Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

Low Back Pain (LBP) adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah pinggang bagian

bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang dan samping luar.

Keluhan ini dapat demikian hebatnya sehingga pasien mengalami kesulitan dalam

melakukan setiap gerakan. Penyebab dari nyeri punggung bawah banyak sekali dan

bervariasi mulai dari kelelahan otot sampai tumor ganas. Dalam beberapa kasus nyeri

punggung bawah dapat ditangani dan dicegah dengan mengetahui penyebabnya dan

bagaimana pencegahannya. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan pemeriksaan

yang lengkap dan teliti, apalagi pada kasus yang spesifik pemeriksaannya akan lebih

banyak daripada kasus non spesifik. Pada kasus spesifik akan ada pemeriksaan

tambahan karena adanya kelainan neurologi, yang kebanyakan disebabkan karena

Hernia Nukleus Pulposus (HNP), spondilosis, dan trauma. Pada penderita HNP

biasanya akan timbul nyeri pinggang yang menjalar sampai daerah tungkai bawah

bahkan ada yang sampai ujung ibu jari kaki dan juga ditandai dengan nyeri yang hebat

ketika pasien mengejan atau bersin. Dengan adanya nyeri tersebut, maka akan timbul

spasme otot di sekitar vertebra dan keterbatasan gerak pada vertebra lumbal (fleksi,

ekstensi, latero fleksi). Lordosis lumbal kurang atau semakin mendatar. Dari masalah

yang timbul ini, akan mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari tidak dapat bekerja

sesuai dengan bidangnya dan tidak dapat menikmati waktu senggang karena nyeri

waktu istirahat (Chusid, 1993).

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan salah satu penyebab dari nyeri

punggung bawah (LBP). Pada penderita Hernia Nukleus Pulposus (HNP) biasanya akan

1
timbul nyeri pinggang yang menjalar sampai daerah tungkai bawah bahkan ada yang

sampai ujung ibu jari kaki dan juga ditandai dengan nyeri yang hebat ketika pasien

mengejan atau bersin. Dengan adanya nyeri tersebu, maka akan timbul spasme otot di

sekitar vertebra dan keterbatasan gerak pada vertebra lumbal. Hernia Nukleus Pulposus

(HNP) atau herniasi diskus intervertebralis, yang sering pula disebut sebagai Lumbar

Disc Syndrome atau Lumbosacral Radiculopathies adalah penyebab tersering nyeri

punggung bawah yang bersifat akut, kronik atau berulang.

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu penyakit dimana bantalan lunak di

antara ruas-ruas tulang belakang (soft gel disc atau Nukleus Pulposus) mengalami

tekanan di salah satu bagian posterior atau lateral sehingga Nukleus Pulposus pecah dan

luruh sehingga terjadi penonjolan melalui anulus fibrosus ke dalam kanalis spinalis dan

mengakibatkan penekanan saraf (Leksana, 2013).

Pria dan wanita memiliki risiko yang sama dalam mengalami HNP, dengan umur

paling sering antara usia 30 dan 50 tahun. HNP merupakan penyebab paling umum

akibat kerja pada mereka yang berusia di bawah 45 tahun.

Nyeri punggung bawah dialami oleh 70% orang di Negara - Negara maju

(McIntonsh dan Hall, 2011). NPB termasuk dalam sepuluh penyakit prevalensi tinggi di

dunia. Global Burden of Disease Study (GBD) 2010 menyatakan bahwa prevalensi

nyeri punggung bawah di dunia 9,17% dengan jumlah populasi 632.045 jiwa.

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi pada laki – laki lebih tinggi sebesar 9,64%

daripada perempuan sebesar 8,70% (Vos et al., 2010).

Di Indonesia tidak terdapat data yang menunjukkan prevalensi nyeri punggung

bawah secara jelas, tetapi prevalensi penyakit sendi di Indonesia berdasarkan diagnosis

2
atau gejala menurut Riskesdas tahun 2013 adalah 24,7 persen. Prevalensi penyakit sendi

berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu prevalensi

tertinggi pada umur ≥75 tahun (33% 2 dan 54,8%). Berdasarkan jenis kelamin,

prevalensi pada perempuan (27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (21,8%) (Riskesdas,

2013). Salah satu penyebab yang paling sering dari nyeri punggung bawah adalah

hernia nukleus pulposus (Awad JN, 2006).

Fisioterapi berperan penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada

HNP lumbalis, sesuai dengan peran fisioterapi menurut KEPMENKES NO 517 /

MENKES / SK/ VI/ 2008 tentang standar pelayanan fisioterapi di sarana kesehatan.

“Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada Individu dan

atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi

tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,

peningkatan gerak, peralatan (fisik,elektroterapeutik,mekanik), pelatihan fungsi

komunikasi (Sunarto , 2009). Peran fisioterapi sangat besar dalam pananganan HNP

lumbal. Untuk mengatasi disfungsi akibat HNP lumbal bisa memberikan intervensi

berupa Short Wave Diathermy (SWD), Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation

(TENS) ,INTERVERENSI dan Terapi Manual

3
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Tinjauan Kondisi Hernia Nucleus Pulposus (HNP)

1. Definisi HNP

HNP atau Protrusi diskus intervertebralis adalah suatu kondisi dimana

terjadi penonjolan diskus intervertebralis ke dalam canalis spinal (protrusi

diskus) atau nukleus pulposus yang terlepas sebagian didalam canalis spinal

(ruptur diskus).

HNP adalah suatu kondisi dimana sebagian atau seluruh bagian dari

nukleus pulposus mengalami penonjolan ke dalam canalis spinal. Nukleus

pulposus akan mengalami herniasi jika annulus fibrosus mengalami

kerobekan dan menyebabkan kompresi pada saraf, terutama banyak terjadi di

daerah lumbal dan servikal sehingga menimbulkan adanya gangguan

neurologi (nyeri punggung) yang didahului oleh perubahan degeneratif pada

proses penuaan.

Hernian Nukleus pulposus (HNP) adalah turunnya kandungan annulus

fibrosus dari diskus intervertebralis lumbal pada spinal canalatau rupture

annulus fibrosus dengan tekanan dari nucleus pulposus yang menyebabkan

kompresi pada element saraf. Pada umumnya HNP pada lumbal sering

terjadi pada L4-L5 dan L5-S1. Kompresi saraf pada level ini melibatkan root

nervel 4, L5, dan S1. Hal ini akan menyebabkan nyeri dari pantat dan

menjalar ketungkai. Kebas dan nyeri menjalar yang tajam merupakan hal

4
yang sering dirasakan penderita HNP. Weakness pada grup otot tertentu

namun jarang terjadi pada banyak grup otot (Lotket dkk,2008).

Hernia Nukleus pulposus (HNP) terbagi dalam 4 grade berdasarkan

keadaan herniasnya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan hernia yang

sesungguhnya, yaitu:

a) Prostusi diskus intervetebralis : nucleus terlihat menonjolke satu arah

tanpa kerusakan annulus fibrosus.

b) Prolaps diskus intervertebral : nucleus berpindah, tetapi masih

dalamlingkaran annulus fibrosus.

c) Extrusi diskus intervertebral : nukleus keluar dan annulus fibrosus dan

brada di bawah ligamentum, lomgitudinalis posterior.

d) Sequesstrasi diskus intervetebla : nukleus telah menembus ligamentum

longitudinalis posterior.

5
2. Anatomi Tulang Belakang

a. Anatomi Tulang belakang

Column Vertebra berperan sebagai batang tubuh elastis. Columna

vertebralis terdiri dari 33 tulang yang membentuk kurva dan terdiri dari 5

regio yaitu 7 segmen vert. cervical, 12 segmen vert. thoracal, 5 segmen

vert. lumbal, 5 segmen vert. sacrum, 4 segmen vert. coccygeus.

Kurva pada ver tebra terdiri atas : kurva konveks keanterior (lordosis)

cervical, kurva konveks keposterior (kiphosis) thoracal, kurva konveks

keanterior (lordosis) lumbal, kurva konveks keposterior (kiphosis)

sacrum.

Gambar 2.1 Vertebra di setiap regio (cervical, thoracal dan lumbar)

(Palastanga & Soames, 2012)

1) Thorakal

Thoracal spine adalah unik dibandingkan dengan regio cervical

dan lumbal karena ukuran dan luasnya regio serta bersendi dengan

6
sangkar thorax. Corpus vertebra secara progresif lebih lebar dari

segmen atas ke segmen bawah

Ciri khas utama dari vert.thoracal adalah :

- Facet articular pada corpus vertebra yg bersendi dengan costa

- Processus spinosus yang panjang dan mengarah kebawah

- Facet articular pada processus transversus

- Facet articular pada processus artikular superior dan inferior

- Ujung processus spinosus sejajar dengan corpus vertebra

segmen bawahnya

Costa memiliki ukuran yg panjang dan tulangnya tipis, mudah

mengalami fraktur jika terjadi trauma pada regio thoracal. Costa

berhubungan dengan thoracal spine kearah anterior dan posterior.

Kearah posterior, costa bersendi dengan corpus vertebra yg dikenal

dengan costovertebral joint dan bersendi dengan processus

transversus yg dikenal dengan costotransversal joint. Kearah anterior

costa bersendi dengan sternum yg dikenal sebagai costosternal joint.

Thoracal spine memiliki diskus intervertebralis diantara corpus

vertebra  berperan mengontrol gerakan. Diskus thoracal memiliki

nukleus pulposus yang kecil.

7
Struktur Thoracal Spine

Terdapat variasi facet joint disepanjang thoracal spine  pada

upper thoracal yaitu C7-Th1 bentuk/arah facet menyesuaikan bentuk

facet C7, juga pada lower thoracal yaitu Th12-L1 bentuk/arah facet

menyesuaikan bentuk/arah facet L1. Secara umum permukaan facet

superior menghadap kearah anterior, sehingga arah facet joint lebih

kearah bidang frontal.

Struktur ligamen yang memperkuat thoracal spine :

- Bagian anterior : ligamen longitudinal anterior, ligamen

sternocostal, ligamen costotransversal (serabut superior,

serabut middle, serabut lateral)

- Bagian posterior : ligamen longitudinal posterior, ligamen

flavum, ligamen interspinosus, dan ligamen supraspinosus

2) Lumbal

Lumbal spine terdiri dari 5 vertebra lumbal, segmen Th12-L1 dan

segmen L5-S1. Vertebra lumbal merupakan struktur paling bawah

sebelum sacrum. Vertebra lumbal memiliki corpus vertebra yang

8
lebih besar dan lebih tebal dibandingkan regio lain. Vertebra lumbal

tidak memiliki foramen transversum dan facies artikularis costalis.

Lumbal spine memiliki diskus intervetebralis diantara corpus

vertebra dan facet joint antara processus articularis superior-inferior

Vertebra lumbal memiliki : Proc. Transversus yang datar &

seperti sayap pada 4 segmen vertebra lumbal (L1-L4), sedangkan

pada L5 proc. Transversus tebal dan bulat punting, proc. Artikularis

superior et inferior yang permukaannya lebih kearah bidang sagittal,

proc. Spinosus yang pendek dan tebal.

Regio lumbal terdiri atas vertebra Th12, vertebra L1-L5,dan

vertebra L5-S1. Pada segmen Th12-L1 membentuk sendi facet dan

intervertebral thoracolumbal joint. Pada segmen L5-S1 membentuk

sendi facet dan interver-tebral lumbosacral joint.

Ligamen yang memperkuat vertebra lumbal adalah :

- Bagian anterior : ligamen longitudinal anterior.

- Bagian posterior : ligamen longitudinal posterior, ligamen

flavum, ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus,

ligamen intertransversalis, ligamen iliolumbar.

9
Otot-otot stabilitas lumbal adalah multifidus (bagian dari otot

paraspinal lumbal) yang berperan mempertahankan lordosis lumbal,

otot transversus abdominis berperan sbg stabilisasi isometrik-

dinamik selama gerak rotasi. Kontributor lainnya adalah otot erector

spine, obliques external dan internal, rectus abdominis serta fascia

thoracolumbal.

Segmental regio lumbal terdiri dari thoracolumbal junction,

segmen lumbal (L1-L5), dan lumbosacral. Thoracolumbal terdiri dari

facet joint dan intervertebral joint. Facet joint thoracolumbal

dibentuk oleh proc. artikularis inferior Th12 yang bersendi dengan

proc. artikularis superior L1. Facet superior Th12 berbeda dengan

facet inferior Th12  perbedaannya : permukaan facet superior

lebih kearah bidang frontal sedangkan permukaan facet inferior lebih

kearah bidang sagittal.

Pada gerak fleksi-ekstensi lumbal akan memaksa terjadi-nya

gerak penyerta dari Th10 – Th12. Pada segmen lumbal terdiri dari

segmen L1-L2, L2-L3, L3-L4, L4-L5. Puncak lordosis terletak pada

vertebra L3 dengan jarak 2-4 cm. Arah permukaan facet pada lumbal

lebih kearah bidang sagital sehingga menghasilkan gerak fleksi-

ekstensi yang lebih besar. Stabilitas dan mobilitas lumbal ditentukan

oleh facet joint, diskus, ligamen dan otot. Segmen L5-S1 dibentuk

oleh proc. artikularis inferior vertebra L5 yang bersendi dengan proc.

artikularis supe-rior S1. Segmen L5-S1 (lumbosacral) merupakan

10
regio yang paling besar menerima beban mengingat lumbal

mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku).

b. Otot-otot trunk

1. Otot rectus abdominis

Rectus (Gbr 2.3) abdominis berasal dari permukaan luar

kartilago costa V, VI, VII, Prosesus xioideus, dan ligamentum

xipoidea. Insersio pada sisi kranial tulang pubis antara tuberculum

pubicum dengan simphisis pubis. Persarafan dari saraf intercostalis.

Sedangkan fungsi otot ini adalah menarik thorak ke arah pelvis,

mengangkat pelvis ke depan dan menekan perut (Palastanga &

Soames, 2012).

2. Otot Obliqus Abdominis Eksternus

Berasal dari permulaan costa V dan VI sampai XII serta

berinsersio di crista illiaca Persyarafannya dari saraf intercostalis

lengan caudal, iliohipogastrikus dan saraf ilionguinal . Otot ini

berfungsi menekan perut, menarik rangka tubuh condong ke

11
depan, menarik pelvis ke atas, dan pasca kontraksi sepihak

membantu rotasi thorak ke sisi berlawanan (Palastanga & Soames,

2012).

3. Otot Obliqus Abdominus Internus

Berasal dari krista iliaca, Fasia thoracolumbalis, dan pada

dua pertiga ligamen inguinal. Dan berinsersio pada ke-3 atau ke-4

kartilago kostalis dan linea alba. Persarafannya dari saraf

intercostalis bagian caudal, iliohipogastrikus, dan saraf ilioinguinal.

Fungsi otot tersebut adalah rotasi ke sisi yang sama, membantu otot

oblikus abdominus eksternus pada sisi yang berlawanan untuk

menekuk/ fleksi dan rotasi kolumna vertebralis kesamping

(Palastanga &Soames 2012).

4. Otot Transversus Abdominis

Lapisan otot terdalam. Peran utamanya adalah untuk

menstabilkan trunk dan menjaga tekanan perut internal.

5. Otot Erector Spine

12
Merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada

facia lumbodoral, serta muncul dari sesuatu aponeurosis pada

sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Otot

terdiri atas : m.transverso spinalis, m.longissimus, m.iliocostalis,

m.spinalis, m.paravertebral. Group otot ini merupakan penggerak

utama pada gerakan ekstensi lumbal dan sebagai stabilisator

vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak (Palastanga

&Soames 2012).

6. Otot Quadratus Lumborum

Otot Quadratus Lumborum adalah otot yang berapasangan dari

dinding perut posterior kiri dan kanan, yang merupakan otot

terdalam dan otot ini disebut otot punggung, bentuknya tidak

beraturan dan segi empat.

7. Otot Psoas

13
Psoas adalah fleksor pinggul dan eksternal memutar pinggul dan

psoas ( utama/mayor) membantu otot dalam ekstensi lumbal dan

menggerakan tulang rusuk maju, mengangkat dada

c. Saraf

Tiga puluh satu pasang saraf spinal (nervus spinalis) dilepaskan dari

medulla spinalis. Beberapa anak akar keluar dari permukaan dorsal dan

permukaan ventral medulla spinalis, dan bertaut untuk membentuk akar

ventral (radix anterior) dan akar dorsal (radix posterior). Dalam radix

posterior terdapat serabut aferen atau sensoris dari kulit, jaringan

subkutan dan profunda, dan sringkali dari visera.radix anterior terdiri

dari serabut eferen atau motoris untuk otot kerangka. Pembagian nervus

spinal adalah sebagai berikut: 8 pasang nervus cervicalis, 12 pasang

nervus thoracius, 5 pasang nervus lumbalis, 5 pasang nervus sakralis, dan

satu pasang nervus coccygeus.

Saraf spinalis L4-S3 pada fossa poplitea membelah dirinya menjadi

saraf perifer yakni Nervus tibialis dan Nervus poreneus. Nervus

14
ischiadicus keluar dari foramen ischiadicus mayor tuberositas anterior

1/3 bawah dan tengah dari SIPS kebagian dari tuberositas ischia.

Tengah 2 antara tuberositas ischii dan trochanter yaitu pada saat

Nervus ischiadicus keluar dari gluteus maximus berjalan melalui collum

femoris. Sepanjang paha bagian belakang sampai fossa poplitea.

Perjalanan Nervus Ischiadicus di mulai dari L4-S3, dan saraf ini

memiliki percabangan antara lain:

- N. lateral poplital yang terdapat pada caput fibula

- N. Medial popliteal yang terdapat pada fossa polpliteal

- N. Tibialis Posterior yang terdapat pada sebelah bawah

- N. Suralis/Saphenus yang terdapat pada tendon archilles

- N. Plantaris Yang berada pada telapak kaki

Tulang belakang merupakan bangunan yang kompleks yang dapat

dibagi menjadi 2 bagian. Dibagian ventral terdiri dari korpus vertebra

yang dibatasi satu dengan lainnya oleh diskus intervertebra dan ditahan

satu dengan lainnya oleh ligamentum longitudinal ventral dan dorsal.

Bagian dorsal tidak begitu kuat dan terdiri atas arkus vertebra dengan

lamina dan pedikel yang diikat satu dengan lainnya oleh berbagai

ligamen diantaranya ligament interspinal, ligamen intertranversa dan

ligamen flavum. Pada procesus spinosus dan tranversus melekat otot-otot

yang turut menunjang dan melindungi kolum vertebra. Seluruh bangunan

kolum vertebra mendapat inervasi dari cabang-cabang saraf spinal yang

sebagian besar keluar dari ruangan kanalis vertebra melalui foramen

intervertebra dan sebagian dari ramus meningeal yang menginervasi

15
duramater. Diskus intervertebra dan nukleus pulposus tidak mempunyai

inervasi sensibel biarpun berbatasan langsung dengan ligament

longitudinal yang mengandung serabut sensibel.

Bagian lumbal merupakan bagian tulang punggung yang mempunyai

kebebasan gerak yang terbesar. Tarikan tekanan dan torsi yang dialami

pada gerakan-gerakan antara bagian toraks dan panggul menyebabkan

daerah ini dapat mengalami cedera lebih besar daripada daerah lain,

biarpun tulang- tulang vertebra dan ligamen di daerah pinggang relatif

lebih kokoh. Perbedaan hentakan antara tulang dengan jaringan dalam

peranan mereka sebagai sendi pendukung akan menyebabkan penyakit

yang karakteristik unik pada daerah yang bersangkutan. Sebagian besar

lesi pada diskus lumbal adalah mengenai jaringan lunak dan sering sekali

menghasilkan protrusi inti (nucleus) yang kemudian menekan akar saraf.

- N. Ischiadicus mempersarafi: m. Semitendinosus, m.

Semimbranosus, m. Biceps Femoris, m. Adduktor Magnus

- N. Pereneus Mempersarafi : m. tibialis anterior, m. ekstensor

digitorum longus , m. ekstensor halluci longus, m. digitorum brevis,

m. pereneus tertius

- N. Tibialis Mempersarafi : m. gastrocnemius, m. popliteus, m.

soleus, m. plantaris, m. tibialis posterior, m. fleksor digitorum

longus, m. fleksor hallucis longus

d. Diskus Intervertebralis

Setidaknya ada 24 diskus intervertebralis yang diselingi tubuh

vertebral: enam di cervical, dua belas di thoracal dan lima di wilayah

16
lumbar, dengan satu di antaranya sacrum dan coccygeus . Diskus di

daerah lumbar tebal setidaknya 10mm, setara dengan sepertiga dari

ketinggian tubuh vertebra lumbal. Setiap disc secara struktural ditandai

oleh tiga terintegrasi jaringan: nukleus pulposus, dan annulus fibrosus

(Hamill.J et al,2015).

a) Nucleus Pulposus

Nucleus pulposus Zat lunak, sangat hidrofilik terdapat di bagian

tengah diskus. Posisi nukleus pulposus dalam diskus letaknya di

central diskus lumbalis (Gbr. 2.9). Inti pulposus terdiri dari tiga

dimensi kisi serat kolagen yang di dalamnya tercakup proteoglikan

gel, yang bertanggung jawab atas sifat hidrofilik dari nukleus.

Kehilangan dan hilangnya yang merata dari gel ini terjadi dengan

penuaan, yang menurunkan kadar air sampai masuk lanjut degenerasi

kolagen mungkin tanpa proteoglikan material. Ini adalah perubahan

besar dehidrasi yang mendasari nukleus di kemudian hari. Diawal

hidup, kadar air 80-88% biasa. Namun dari sekitar dekade keempat

dan seterusnya ini menurun hingga 70% (Hamill.J et al,2015).

b) Annulus Fibrosus

Tersusun oleh serabut konsentrik jaringan colagen yang tampak

menyilang satu sama lain. Serabut yang saling menyilang secara

vertikal sekitar 30 satu sama lainnya menyebabkan struktur ini lebih

sensitif pada strain rotasi dari pada beban kompresi. Serabut-

serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari discus

intervertebralis, susunan serabut yang kuat melindungi nucleus

17
didalamnya. Secara mekanis annulus fibrosus berperan sebagai coiled

spring (gulungan pegas) untuk mempertahankan korpus vertebra

ketika melawan tahanan dari nucleus pulposus yang bekerja seperti

bola.

Gambar 2.9 Intervertebral discus

(Hamill.J et al,2015).

3. Biomekanik Lumbal

Biomekanik terbagi atas gerakan osteokinematik dan

arthrokinematik. Gerak osteokinematik merupakan gerakan yang

berhubungan dengan Lingkup Gerak Sendi. Pada lumbal spine

melibatkan gerakan fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi. Sedangkan

gerak arthrokinemetik merupakan gerakan yang terjadi didalam kapsul

sendi pada persendian. Pada lumbal spine gerakannya berupa gerak slide

atau glide terjadi pada permukaan persendian.

1) Osteokinematik

18
Gerakan osteokinematik pada fleksi dan ekstensi terjadi

pada sagital plane, lateral fleksi pada frontal plane, dan rotasi

kanan-kiri terjadi pada transverse plane. Sudut normal gerakan

fleksi yaitu 65ᵒ-85ᵒ, gerakan ekstensi sudut normal gerakan

sekitar 25o-40o, dan untuk gerakan lateral fleksi 25ᵒ, sedangkan

gerakan rotasi dengan sudut normal yang dibentuk adalah 45ᵒ

(Reese dan bandy, 2010).

2) Arthrokinematik

Pada lumbal, ketika lumbal spine bergerak fleksi discus

intervertebralis tertekan pada bagian anterior dan

menggelembung pada bagian posterior dan terjadi berlawanan

pada gerakan ekstensi. Pada saat lateral flexion, discus

intervertebralis tertekan pada sisi terjadi lateral fleksi. Misalnya,

lateral fleksi ke kiri menyebabkan discus intervertebralis tertekan

pada sisi sebelah kiri. Secara bersamaan discus intervertebralis

sisi kanan menjadi menegang. Pada level lumbal spine, jaringan

collagen pada setengah dari lamina mengarah pada arah yang

berlawanan (kira- kira 120ᵒ) dari jaringan setengah lainnya.

Setengah jaringan itu lebih mengarah ke kanan akan membatasi

rotasi kekiri.

Pada biomekanik, spine mempertimbangkan kinematic chain. Ini

menggambarkan model pola deskripsi sederhana dari gerak. Misalnya

pada gerakan fleksi normal dari lumbal spine superior vertebra akan

bergerak pada vertebra dibawahnya.L1 akan bergerak pertama pada L2,

19
L2 selanjutnya akan bergerak pada L3, dan L3 selanjutnya akan bergerak

pada L4, begitu seterusnya. Pada keadaan ini, gerakan arthrokinematik

mellibatkan gerakan dari inferior facet dari vertebra pada superior facet

dari caudal vertebra. Superior vertebra slide ke anterior dan superior

pada caudal vertebra. Hingga facet joint terbuka pada fleksi dan tertutup

pada ekstensi (Schenck, 2005).

Diskus Intervertervertebralis pada saat fleksi

Diskus Intervertebralis pada saat ekstensi

20
3) Lumbopelvic Ryhtm

Gambar A diatas menunjukkan bahwa gerakan

membungkuk kedepan yang normal dimana lumbal dan pelvis

akan bergerak secara simultan dengan fleksi lumbal 40 derajat

dan fleksi hip sebesar 70 derajat.

Gambar B menunjukkan adanya keterbatasan gerak fleksi

pada hip oleh karena adanya ketegangan yang terjadi pada otot

hamstring sehingga diperlukan gerakan fleksi yang lebih besar

pada lumbal dan thorakal bawah.

Gambar C menunjukkan dengan adanya keterbatasan

gerak lumbal, maka diperlukan fleksi hip yang lebih besar. Pada

gambar B dan C, bayangan yang berwarna merah menunjukkan

region yang mobilitasnya terbatas.

4. Etiologi

Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya dengan

meningkatnya usia terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan

kurang lentur dan tipisnya nucleus pulposus. Annulus fibrosus mengalami

perubahan karena digunakan terus menerus. Akibatnya, annulus fibrosus

21
biasanya di daerah lumbal dapat menyembul atau pecah (Moore dan Agur,

2013)

Hernia nucleus pulposus(HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh karena

adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus

intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada

kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan

oleh cidera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau

bahkan dalam beberapa tahun. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya

mendorong ke arah medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan

memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus doralatau

terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Helmi, 2012).

5. Patofisiologi

Nukleus pulposus terdiri dari jaringan penyambung longgar dan sel-sel

kartilago yang mempunyai kandungan air yang tinggi. Nukleus pulposus

bergerak, cairan menjadi padat dan rata serta melebar di bawah tekanan dan

menggelembungkan annulus fibrosus.

Menjebolnya nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa

nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteri

radikulasi berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi bila penjebolan di

sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya di tengah, maka tidak ada radiks

yang terkena. Salah satu akibat dari trauma sedang yang berulangkali

mengenai diskus intervertebrais adalah terobeknya annulus fibrosus. Pada

tahap awal, robeknya anulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial, karena

gaya traumatik yang berkali-kali, berikutnya robekan itu menjadi lebih besar

22
dan disamping itu timbul sobekan radikal. Kalau hal ini sudah terjadi, maka

soal menjebolnya nukleus pulposus adalah soal waktu dan trauma

berikutnya saja.

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan

degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein

polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus.

Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan

pada herniasi nukleus. Setela trauma jatuh, kecelakaan, dan stress minor

berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat,

dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama

beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus,

kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan

memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau

terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus

pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria

radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat

herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak

ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus

kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis

tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.

Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis

mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa

23
ganjalan. Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang

membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras

dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola

dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan

rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002).

Diskus intervertebral dibentuk oleh dua komponen yaitu; nukleus

pulposus yang terdiri dari serabut halus dan longgar, berisi sel-sel fibroblast

dan dibentuk oleh anulus fibrosus yang mengelilingi nukleus pulposus yang

terdiri dari jaringan pengikat yang kuat.

Nyeri tulang belakang dapat dilihat pada hernia diskus intervertebral

pada daerah lumbosakral, hal ini biasa ditemukan dalam praktek neurologi.

Hal ini biasa berhubungan dengan beberapa luka pada tulang belakang atau

oleh tekanan yang berlebihan, biasanya disebabkan oleh karena mengangkat

beban/ mengangkat tekanan yang berlebihan (berat). Hernia diskus lebih

banyak terjadi pada daerah lumbosakral, juga dapat terjadi pada daerah

servikal dan thorakal tapi kasusnya jarang terjadi. HNP sangat jarang terjadi

pada anak-anak dan remaja, tetapi terjadi dengan umur setelah 20 tahun.

Menjebolnya (hernia)nucleus pulposus bisa ke korpus vertebra diatas

atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertbralis.

Menjebolnya sebagian dari nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat

dilihat dari foto roentgen polos dan dikenal sebagai nodus Schmorl. Robekan

sirkumferensial dan radikal pada nucleus fibrosus diskus intervertebralis

berikut dengan terbentuknya nodus schomorl merupakan kelainan mendasari

24
“low back pain”sub kronik atau kronik yang kemudian disusun oleh nyeri

sepanjang tungkai yang dikenal sebagai khokalgia atau siatika.

6. Gambaran klinis

Gejala klinik bervariasi tergantung pada derajatnya dan radiks yang

terkena. Pada stadium awal, gejala asimtomatik. Gejala klinis muncul

ketika nucleus pulposus menekan saraf. Gejala klinis yang paling sering

adalah iskialgia (nyeri radikuler). Nyeri biasanya bersifat tajam, seperti

terbakar dan berdenyut menjalar sampai bawah lutut. Bila saraf sensoris

kena maka akan memberikan gejala kesemutan atau rasa baal sesuai

dermatomnya. Bila mengenai conus atau cauda ekuina dapat terjadi

gangguan miksi, defekasi dan disfungsi seksual. Nyeri yang timbul sesuai

dengan distribusi dermatom (nyeri radikuler) dan kelemahan otot sesuai

dengan miotom yang terkena.

Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya HNP Lumbal ialah :

a. Aliran darah ke diskus berkurang

b. Beban yang berat

c. Ligamentum longitudinalis post menyempit.

Dapat disimpulkan, tanda gan gejala yang dialami oleh penderita HNP

lumbal pada umumnya adalah :

a. Nyeri menjalar ke tungkai

b. Spasme otot – otot paravertebrae

c. Keterbatasan LGS lumbal

d. Mengganggu mobilitas spine

e. Mempengaruhi pola jalan (gait) menjadi kaku dan susah paya

25
B. Tinjauan Tentang Pemeriksaan dan Pengukuran Fisioterapi

1. Assesment fisioterapi pada kasus HNP

a. History Taking

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang

pemeriksa sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam

pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik

membawa kita menempuh setengah jalan kea rah diagbosis yang tepat.

Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat

ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

Pada pasien penderita HNP biasanya akan mengeluhkan nyeri saat

dimalam hari dan kekkuan dipagi hari, nyeri saat membungkuk, batuk,

mengangkat (terutama benda yang berat dan menggunakan posisi yang

tidak ergonomi) dan biasanya nyeri menjalar, nyeri berkurang saat

beristirahat dan melakukan gerakan ekstensi lumbal.

b. Inspeksi/Observasi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan

pemerikssan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan

kecepatan menganalisa pasien dalam waktu yang singkat.

Pasien dengan pederita kasus HNP pada umumnya akan

mengalami hipomibile dan lateral shift, serta pasien juga akan

mengalami akan mengalami kesulitan membungkuk maupun gangguan

saat berjalan.

26
c. Red Flag

Sangat penting untuk menghindari Red Flags serta faktor lainnya

yang dapat memperlambat hasil terapi atau memicu kondisi kearah

kronis. Patient history lebih bermanfaat dibandingkan clinical

examination dalam mendeteksi kondisi yang menyertai yang dimana

kondisi tersebut jarang terjadi, terhitung kurang dari 1% dari kondisi

kasus Low Back Pain.

Jarvik dan Deyo dalam penelitiannya melaporkan bahwa

kombinasi diagnose pada red flag yang yang digunakan adalah usia lebih

dari 50 tahun, ada atau tidaknya riwayat kanker, apakah pasien pernah

mengalami penurunan berat badan secara drastic, dan apakah pasien

pernah menjani perawatan konservatif namun gagal. Cluster dari variable

– variable ini menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas

sebesar 60%. Infeksi spondylitis merupakan kondisi nonmechanical

lainnya yang diiringi dengan demam (sensivitas 98%). Meskipun temuan

ini tidak spesifik untuk satu gangguaan (spesifitas 50%). Ankylosing

spondylitis sering dikaitkan dengan onset yang terlalu cepat atau bahkan

terlalu lambat. Usia rerata dibawah 40 tahun, merasakan long-term

discomfort selama lebih dari 3 bulan, kekakuan dipagi hari, dan rasa

tidak nyaman meningkat ketika melakukan olahraga.

Lurie dalam penelitiannya menyarankan untuk utuk

menambahkan history factor lainnya seperti bagaimana faktor dari

keluarga, kaku pada thorax, nyeri dada, dan nyeri pada tumit. Deteksi

masalah pada cauda equine paling efektif menggunakan tes urin. Selain

27
itu, red flag dapat secara signifikan berpotensi untuk membuat faktor

patologis menjadi kronis jika tidak dapat ditemukan secepatnya. Faktor –

faktor tersebut dapat termasuk seperti nyeri yang bersifat radikuler

hingga ke extremitas bawah, nyeri peripheral selama terapi atau

bergerak.

d. Quick Test

Quick test adalah tes provokasi untuk mengungkap letak kelainan

yang dikeluhkan penderita baik segmental maupun regional, yang

bersifat umum dan praktis.

Quick test pada kasus hnp yaitu lumbopelvic rhythm, dimana

pasien merasa nyeri saat melakukan gerakan tersebut dan tidak bisa

dilakukan dengan full ROM fleksi lumbal dikarenakan nucleus pulposus

akan semakin terdorong kea rah ruang yang terbuka (arah posterior dari

vertebra) dan menekan saraf isciadikus, biasa juga ada kelemahan otot

erector spine, quadriceps, dan otot hip ekstensor.

Gambar 2.12

Lumbopelvic rhythm (A) Posisi berdiri (B) 50 ° pertama fleksi (C) kelanjutan

fleksi dan menghasilkan anterior tilt pelvis (Hamill, 2015)

28
Quick test pada kasus hnp yaitu Tredenlenberg, dimana saat

dilakukannya test ini pada umumnya SIPS dari pasien hnp tidak

mengalami pergerakan ketika dilakukan gerakan mengangkat kaki dan

ketika melakukan gerakan lateral fleksi.

e. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak

tubuh dengan cara melakukan gerekan fungsional dasar pada region

tertentu untuk melacak kelainan struktur region tersebut.

1) Aktif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan yang dilakukan sendiri oleh

penderita, sesuai petunjuk pemeriksa. Informasi yang diperoleh dari

pemeriksaan ini masih bersifat global sebab masih melibatkan

berbagai struktur seperti neuromuscular, arthrogen, vegetative

mechanism. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi berupa :

a) Koordinasi gerak

b) Pola gerak

c) Nyeri

d) ROM aktif

Pada pasien HNP biasa ditemukan nyeri pada beberapa gerakan

utamanya saat fleksi, nyeri itu disebabkan oleh diskus yang bergeser

kea rah posterior dan menekan saraf ischiadicus

2) Pasif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan terhadap pasien yang

dilakukan oleh pemeriksa tanpa melibatkan pasien secara aktif.

29
Dengan demikian pemeriksaan ini banyak ditujukan untuk struktur

athrogen dan myotendinogen secara pasif. Sebelum melakukan

pemeriksaan usahakan agar region yang akan digerakkan dalam

keadaan rileks dan pada saat digerakkan usahakan mencapai ROM

seoptimal mungkin dengan memeperhatikan keluhan penderita,

sehingga pada satu sisi akan terjadi penguluran dan pada sisi yang

lain mengalami kompresi. Indormasi yang dapat diperoleh dari

pemeriksaan ini adalah :

a) ROM Pasif

b) Stabilitas sendi

c) Rasa nyeri

d) End feel

e) Capsular pattern

Sama halnya seperti gerakan aktif pada pasien HNP biasa

ditemukan nyeri pada beberapa gerakan utamanya saat fleksi, nyeri

itupun disebabkan oleh diskus yang bergeser ke arah posterior dari

vertebra dan menekan saraf ischiadicus

3) Gerak Isometrik Melawan Tahanan (TIMT)

Adalah pemeriksaan yang ditujukan pada musculotendinogen dan

neurogen. Caranya penderita melakukan gerakan dengan melawan

tahanan yang diberikan oleh pemeriksa tanpa terjadi gerakan yang

merubah posisi ROM sendi pada regio yang diperiksa. Informasi

yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :

a) Nyeri pada musculotendinogen

30
b) Kekuatan otot secara isometric

c) Kualitas saraf motorik

Pada mumya pasien HNP tidak akan merasakan nyeri akibat

tertekannya saraf ischiadicus, namun pasien tetap akan merasakan

nyeri apabila sudah mengalami masalah pada jaringan ototnya

seperti spasme maupun kontraktur.

f. Pemeriksaan Spesifik

Adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila informasi yang

diperoleh melalui anamnesis, inspeksi dan pemeriksaan fungsi belum

cukup untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit atau problematic

fisioterapi terhadap penderita. Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk

mengungkap ciri khusus serta jenis gangguan dari suatu struktur atau

jaringan tertentu.

1) Straight-Leg Raise Test

Berdasarkan sumber dari buku Netter Clinical Science, Deville

dan rekan melakukan penelitian tentang keakuratan SLR untuk

mendeteksi hernia diskus, hal ini telah dibuktikan terhadap 75

pasien.

2) Slump Test

Berdasarkan sumber dari buku Netter Clinical Science telah

terbukti bahwa dengan melakukan slump test dapat mendeteksi

bahwa pasien tersebut menderita hnp.

3) Quadrant Test

31
Dengan melakukan tes ini maka akan menyebabkan terjadinya

provokasi pada diskus maupun facet yang mengalami masalah dan

dapat menjadi acuan apabila pasien menderita HNP

4) Segmental Instability Test

Berdasarkan sumber dari buku Netter Clinical Science telah

membuktikan dengan melakukan test ini kita dapat

mengidentifikasikan instabiliti pada lumbar spine posterior

5) Patrick Test

Dengan melakukan tes ini akan menyebabkan terapis mengetahui

apabila terjadi kelainan patologis pada lumbal pasien yang di

sebabkan oleh bulging dari diskus itu sendiri.

6) Joint Play Movement Test

Dalam test ini, terdiri dari PACVP dan LPAVP. PACVP atau

postero-anterior central vertebra pressure diaplikasikan dalam posisi

tidur tengkurap dengan memberikan kompresi pada proc. spinosus

setiap segmen. Sedangkan LPAVP atau lateral-posterior vertebral

pressure juga dalam posisi yang sama tetapi kompressi diberikan

pada facet joint tepat disamping proc.sponosus. Hasil yang diperoleh

dari PACVP di L3 – L4 terdapat nyeri pada segmen dan LPAVP L3

– L4 terdapat nyeri pada segmen sisi kanan.

7) Dermatom Test

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu

saraf spinalis. Ada 8 saraf cervical, 12 saraf thoracal, 5 saraf lumbal

32
dan 5 saraf sacral. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan

dari kulit yang dipersarafinya ke otak.

Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk

menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan

terbatas dermatom adalah gejala bukan penyebab dari masalah yang

mendasari, operasi tidak boleh sekalipun ditentukan oleh rasa sakit.

Sakit di daerah dermatom mengindikasikan kekurangan oksigen ke

saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat di

sepanjang jalur saraf.

8) Myotom Test

Myotome adalah sekumpulan otot yang diinervasi oleh spinal

cord (syaraf di tulang belakang manusia). Test ini dilakukan untuk

mengatahui akar saraf yang terganggu sehingga terjadi gangguan

pada otot. Area inervasi yang terganggu dapat pula diketahui dengan

melakukan Myotome test.

2. Pengukuran fisioterapi

1) VAS

Metode VAS adalah alat ukur intensitas nyeri yang meliputi 10

cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan tingkat intensitas nyeri

(ujung kiri diberi tanda “no pai” dan ujung kanan diberi tanda “bad

pain”). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai

dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakan pasien, kemudia jaraknya

diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien dan

33
itulah tingkat intensitas nyeri pasien. Skor tersebut dicatat dan digunakan

untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial,

VAS lebih sensitive terhadap intensitas nyeri dibandingkan pengukuran

lainnya (Munoz et al., 2004).

Gambar 2.13 Visual Analogue Scale

(1) skala 0 - 1 = tidak terasa nyeri;

(2) skala 1 - 3 = nyeri ringan;

(3) skala 3 - 7 = nyeri sedang ;

(4) skala 7 - 9 = nyeri berat;

(5) skala 9 – 10 = nyeri sangat berat

2) Pengukuran disabilitas menggunakan Oswestry Disability Index (ODI)

a) Pengertian

Sebagai alat ukur dengan menggunakan seperangkat pertanyaan

yang dilengkapi dengan skor yang telah ditentukan. The Oswestry

low back Index (juga dikenal sebagai Oswestry Low Back Pain

Disability Questionnaire) adalah alat yang sangat penting untuk para

peneliti dan evaluator untuk mengukur kemampuan fungsional

34
pasien. Tes ini dianggap sebagai 'uji baku' untuk gangguan

fungsional tulang belakang.

b) Sistem Skoring

Untuk setiap bagian total skor yang mungkin adalah 5: jika

pernyataan pertama ditandai skor bagian = 0, jika yang terakhir

Pernyataan ditandai, = 5. Jika semua 10 bagian selesai skor dihitung

sebagai berikut:

Contoh:

16 (jumlah gol)

50 (mungkin total score) x 100 = 32%

Jika salah satu bagian yang tidak terjawab atau tidak berlaku skor

dihitung:

16 (jumlah gol)

45 mungkin total score) x 100 = 35,5%

Perubahan terdeteksi Minimum (kepercayaan 90%): 10% poin

(perubahan kurang dari ini mungkin disebabkan kesalahan dalam

pengukuran)

c) Interpretasi Skor

No Skor Kriteria Keterangan

1 0% -20% cacat minimal Pasien mampu lebih mandiri

dan dapat menjalankan

kegiatan hidup sehari hari,

biasanya pengobatan hanya

35
berisi rekomendasi untuk

aktivitas mengangkat duduk

dan berolahraga.

2 21% - cacat sedang Pasien mengalami rasa sakit

40% dan kesulitan saat duduk,

mengangkat dan berdiri.

Melakukan perjalanan dan

kehidupan sosial sulit dan

mereka mungkin dinonaktifkan

dari pekerjaan. Perawatan

pribadi, aktivitas seksual dan

tidur tidak terlalu terpengaruh

dan pasien biasanya dapat

dikelola oleh cara-cara

konservatif.

3 41% - cacat berat Nyeri tetap masalah utama

60%: dalam kelompok ini dan sangat

berpengaruh terhadap aktivitas

sehari-hari hidup. Pasien-

pasien ini memerlukan

perawatan dari orang orang

sekitar.

36
4 61% - Lumpuh Pasien dalam kelompok ini

80% bergantung perawatan orang

lain.

5 81% - Pasien yang Pasien-pasien ini adalah pasien

100% melebihkan yang melebih lebihkan

keluhan keluhan.

Tabel 2.1
Interpretasi Skor Oswetry Disability Index

d) Kusioner Oswetry Disability Index

Kuesioner ini telah dirancang untuk memberikan informasi

mengenai bagaimana punggung atau sakit kaki mempengaruhi

kemampuan Anda untuk mengelola dalam kehidupan sehari-hari.

Jawablah dengan memeriksa satu kotak di setiap bagian untuk

Pernyataan yang paling sesuai untuk pasien tersebut. Peneliti

menyadari Anda dapat mempertimbangkan bahwa dua atau lebih

pernyataan dalam salah satu.Bagian berlaku tapi silahkan saja keluar

naungan tempat yang menunjukkan pernyataan yang paling jelas

menggambarkan masalah pasien.

ODI (OSWESTRY DISABILITY INDEX) SCORE

1. Intensitas Nyeri

0 = saya dapat mentolerir nyeri tanpa menggunakan

obat pereda nyeri

37
1 = nyeri terasa buruk, tapi saya dapat menangani

tanpa obat pereda nyeri

2 = obat pereda nyeri membantu mengurangi nyeri

saya secara keseluruhan

3 = obat pereda nyeri mengurangi sebagian nyeri saya

4 = obat pereda nyeri mengurangi sedikit nyeri saya

5 = obat pereda nyeri tidak mempunyai efek terhadap

nyeri yang saya alami

2. Perawatan Diri

0 = saya dapat merawat diri secara normal tanpa

menambah nyeri

1 = saya dapat merawat diri secara normal, tetapi

menambah nyeri saya

2 = perawatan diri menyebabkan nyeri, sehingga

melakukan dengan lambat dan berhati- hati

3 = saya butuh bntuan, tetapi saya dapat menangani

sebagian besar perawatan diri saya

4 = saya butuh bantuan dalam sebagian besar aspek

perawatan diri saya

5 = saya tidak berpakaian, kesulitan mencuci, dan

tetap ditempat tidur

3. Mengangkat

0 = saya dapat mengangkat benda berat tanpa

menambah nyeri

38
1 = saya dapat mengangkat beda berat, tetapi

menambah nyeri

2 = nyeri mencegah saya mengangkat benda berat dari

lain, tetapi tetapi saya dapat menangani jika benda

tertentu ditempatkan pada tempat yang membuat saya

nyaman ( misalnya diatas meja)

3 = nyeri mencegah saya mengangkat benda berat dari

lantai, tetapi saya dapat menangani benda ringan dan

sedang pada tempat yang membuat saya nyaman

4 = saya hanya dapat mengangkat benda yang sangat

ringan

5 = saya tidak dapat mengangkat atau membawa suatu

benda

4. Berjalan

0 = nyeri tidak menghambat saya berjalan dalam

berbagai jarak

1 = nyeri menghambat saya berjalan lebih dari 1 km

2 = nyeri menhambat saya berjalan lebih dari setengah

km

3 = nyeri menghambat saya berjalan lebih dari

seperempat km

4 = saya dapat berjalan dengan tongkat atau kruk

5 = sebagian besar waktu saya di tempat tidur dan saya

harus merangkak ke toilet

39
5. Duduk

0 = saya dapat duduk diberbagai jenis kursi sepanjang

waktu saya suka

1 = saya hanya dapat duduk di kursi favorit saya

sepanjang waktu saya suka

2 = nyeri menghambat saya duduk lebih dari 1 jam

3 = nyeri mencegah saya duduk lebih daro 30 menit

4 = nyeri mencegah saya duduk lebih dari 10 menit

5 = nyeri mengahambat saya duduk

6. Berdiri

0 = saya dapat berdiri selama yang saya inginkan

tambah menambah nyeri

1 = saya dapat berdiri selama yang saya inginkan,

tetapi menmbah nyeri

2 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 1 jam

3 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 30 menit

4 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 10 menit

5 = nyeri menghambat saya berdiri

7. Tidur

0 = nyeri tidak menghambat saya tidur nyaman

1 = saya dapat tidur nyaman jika menggunakan obat

pereda nyeri

2 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyeri,

tidur saya kurang dari 6 jam

40
3 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyer,

tidur saya kurang dari 4 jam

4 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyeri,

tidur saya kurang dari 2 jam

5 = nyeri menghambat tidur saya

8. Kehidupan sosial

0 = kehidupan sosial normal tanpa menghambat nyeri

1 = kehidupan sosial saya normal, tetapi tingkat nyeri

saya bertambah

2 = nyeri menghambat saya berpartisipasi melakukan

kegiatan banyak energik (olahraga, dansa, dll)

3 = nyeri sering menghambat saya keluar

4 = nyeri menghambat kehidupan sosial saya dirumah

5 = saya kesulitan melakukan kehidupan sosial karena

nyeri

9. Bepergian

0 = saya dapat bepergian kemana saja tanpa

menambah nyeri

1 = saya dapat bepergian kemana saja, tetapi

menambah nyeri

2 = nyeri menghambat saya bepergian lebih dari 2 jam

3 = nyeri menghambat saya bepergian lebih dari 1 jam

4 = nyeri menghambat saya bepergian untuk suatu

kebutuhan di bawah setengah jam

41
5 = nyeri menghambat saya bepergian kecuali

mengunjungi dokter atau terapis atau kerumah sakit

10. Pekerjan/Rumah Tangga

0 = pekerjaan/aktivitas kerja normal tidak

menyebabkan nyeri

1 = urusan rumah tangga/aktivitas kerja normal

menambah nyeri, tetapi saya dapat melakukan semua

yang membutuhkan saya

2 = saya dapat melakukan kegiatan urusan rumah

tangga/tugas rumah tetapi nyeri menghambat saya

melakukan kegiatan yang membutuhkan aktivitas fisik

(misalnya mengangkat, membersihkan rumah)

3 = nyeri menghambat saya melakukan sesuatu kecuali

pekerjaan ringan

4 = nyeri menghambat saya melakukan aktivitas

pekerjaan/urusan rumah tangga sehari hari

5 = saya sama sekali tidak dapat melakukan urusan

pekerjaaan/rumah tangga

Total Skor

Tabel 2.2
Interpretasi Skor Oswetry Disability Index

0 – 20 : cacat minimal

21-40 : Cacat moderat

41-60 : Cacat parah

61-80 : Nyeri punggung melumpuhkan

42
81-100 : Merasakan gejala nyeri yang hebat

C. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

1. Microwave Diathermy (MWD)

a. Pengertian

Microwave Diathermy adalah metode terapi yang menerapkan

energi elektromagnetik dalam frekuensi gelombang mikro dan bertujuan

untuk menghasilkan panas di dalam jaringan tubuh, aplikasi panas pada

microwave diathermy dapat meningkatkan aliran darah, mempercepat

metabolisme, dan laju difusi ion yang melintasi membran seluler

(Andreas et al, 2018).

Microwave Diathermy merupakan suatu pengobatan menggunakan

stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus

bolak-balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12 cm

(James et al, 2016).

Microwave Diathermy memiliki efek fisiologis untuk mengurangi

nyeri dan memperbaiki otot – otot yang mengalami kontraktur. Hal ini

sejalan dengan impairment yang dialami oleh pasien dengan kondisi

HNP. Dengan pemberian microwave diathermy pada pasien dengan

kondisi HNP dapat mereduksi nyeri yang dirasakan pasien serta

memperbaiki otot – otot thigh yang ada pada daerah lumbal.

b. Produksi dan Penerapan

Prinsip produksi gelombang mikro pada dasarnya sama dengan

arus listrik bolak-balik frekuensi tinggi yang lain, untuk memperoleh

43
frekuensi yang lebih tinggi lagi diperlukan suatu tabung khusus yang

disebut magnetron. Magnetron ini memerlukan waktu untuk pemanasan,

sehingga output belum diperoleh segera setelah mesin dioperasikan.

Untuk itu mesin dilengkapi dengan tombol pemanasan agar mesin tetap

dalam posisi dosis nol antara pengobatan satu dengan yang berikutnya.

Pada posisi tersebut tabung tetap mendapatkan arus listrik, tetapi dosis ke

pasien nol, sehingga terhindar dari seringnya perubahan panas (Thomas

et al, 2016).

Arus dari mesin mengalir ke elektroda melalui co-axial cable, yaitu

suatu kable yang terdiri dari serangkaian kawat di tengah yang di

selubungi oleh selubung logam yang dikelilingi suatu benda isolator.

Kawat dan selubung logam tadi berjalan sejajar dan membentuk sebagai

kabel output dan kabel bolak-balik dari mesin. Konstruksi kabel

semacam ini diperlukan untuk arus frekuensi yang sangat tinggi dan

panjangnya tertentu untuk suatu pengobatan.

Co-axial kabel ini menghantarkan arus listrik ke sebuah area

dimana gelombang mikro dipancarkan. Area ini dipasang suatu reflektor

yang dibungkus dengan bahan yang dapat meneruskan gelombang

elektromagnetik. Kontruksi ini dimaksudkan untuk mengarahkan

gelombang ke jaringan tubuh yang disebut emitter, director atau aplicator

atau sebagai elektrode.

c. Penerapan Pada Jaringan

Emitter atau sering juga disebut elektrode atau magnetode terdiri

dari serial, reflektor, dan pembungkus. Emitter ini mempunyai bentuk

44
yang bermacam-macam dan ukuran serta sifat energi elektromagnetik

yang dipancarkan. Antara emitter dan kulit di dalam teknik aplikasi

terdpat jarak berupa udara. Pada emitter yang berbulat maka medan

elektromagnetik yang dipancarkan berbentuk sirkuler da paling padat di

daerah tepi. Pada bentuk segi empat medan elektromagnetik yang

dipancarkan berbentuk oval dan paling padat di daerah tengah.

Energi elektromagnetik yang dipancarkan dari emitter akan

menyebar, sehingga kepadatan gelombang akan semakin berkurang pada

jarak yang semakin jauh. Berkurangnya intensitas energi elektromagnetik

juga disebabkan oleh penyerapan jaringan. Jarak antara kulit dan emitter

tergantung pada beberapa faktor antara lan jenis emitter, output mesin

dan spesifikasi struktur jaringan yang diobati. Pada pengobatan daerah

yang lebih luas diperlukan jarak yang lebih jauh dan memerlukan mesin

yang ouputnya lebih besar.

d. Efek Fisiologis

1) Perubahan Temperature

a) Reaksi Lokal Jaringan

(1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal ± 13% tiap kenaikan

temperatur 1ºC.

(2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul

homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.

b) Reaksi General

45
Kemungkinan terjadi kenaikan temperature tetapi perlu

dipertimbangkan karena penertasinya dangkal ± 3 cm dan

aplikasinya lokal.

2) Konsensual Efek

Timbulya respon panas pada sisi kontralateral dari segmen

yang sama. Melalui penerapan microwave diathermy (MWD),

penetrasi dan perubahan temperatur lebih terkonsentrasi pada

jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak mengandung cairan

dan darah.

3) Jaringan Ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat seperti jaringan kollagen

kulit ,otot, tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat menurunnya

viscositas matriks jaringan tanpa menambah panjang serabut

kollagen, tetapi terbatas pada jaringan ikat yang letak kedalamannya

± 3 cm.

4) Jaringan Otot

Meningkatkan elastisitas jaringan otot dan menurunkan tonus

melalui normalisasi nocisensorik dan penurunan iritasi sisa

metabolism otot.

e. Efek Terapeutik

1) Nyeri, Hipertonus dan Gangguan Vaskularisasi

Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedatif,

serta perbaikan metabolisme.

46
2) Penyembuhan Luka Pada Jaringan Lunak

Meningkat proses perbaikan atau respirasi jaringan secara

fisiologis.

3) Kontraktur Jaringan

Dengan peningkatan elastisitas jaringan lunak, maka dapat

mengurangi proses kontraktur jaringan. Ini di maksudkan sebagai

persiapan sebelum pemberi latihan.

4) Gangguan Kondukvititas Dan Ambang Rangsang Jaringan Saraf

Apabila elastisitas dan ambang rangsang jaringan saraf semakin

membaik, maka konduktivitas jaringan saraf akan membaik pula.

5) Indikasi dan Kontraindikasi MWD

a) Indikasi

(1) Post akut muskuluskeletal injury

(2) Kerobekan otot dan tendon

(3) Penyakit degenerasi sendi

(4) Peningkatan ekstensibilitas kollagen

(5) Mengurangi kekakuan sendi, bursitis

(6) Lesi kapsul

(7) Myofascial trigger point

(8) Mengurangi nyeri subakut dan nyeri kronik

b) Kontraindikasi

(1) Akut traumatik muskuluskeletal injury

(2) Kondisi-kondisi akut inflamasi

47
(3) Area ischemia dan efusi sendi

(4) Mata, contact lens

(5) Malignancy dan infeksi

(6) Area pelvic selama menstruasi, testis dan kehamilan

(7) Pemasangan metal/besi pada tulang, cardic pacemakers, dan

alat-alat intrauterine.

2. MET (Muscle Energy Technique)

a. Definisi

Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot dengan

cara pemberian kontraksi isometrik sebelum dilakukan stretching yang

bertujuansebagai proprioceptive neuromuscular facilitation untuk

menghindari kerusakanjaringan lebih lanjut. Penerapan muscle energy

technique didasarkan padapenggunaan otot pasien, selanjutnya dilakukan

relaxasi dan stretching pada ototagonis dan antagonis, yang bertujuan

untuk penguatan atau meningkatkan tonusotot yang lemah, melepaskan

hipertonus, stretching ketegangan otot dan fascia,meningkatkan fungsi

muskuloskeletal, mobilisasi sendi pada keterbatasan geraksendi, dan

meningkatkan sirkulasi lokal, dan mengurangi nyeri.

Muscle energy technique sendiri mempunyai prinsip memanipulasi

secara halusdengan tahanan minimal 20% dari kekuatan otot yang

melibatkan kontrolpernafasan dari pasien dan repetisi yang optimal.

Muscle energy technique initidak menimbulkan iritasi karena efeknya

48
yang merelaksasi pada otot tanpamenimbulkan nyeri dan kerusakan

jaringan melalui tekanan minimal dan lembut.

Muscle Energy Technique adalah teknik yang menggunakan

kontraksi isometrik ringan kemudian diikuti dengan relaksasi, dan

dilanjutkan dengan active assisted stretching. Dosis yang diberikan

adalah kontraksi isometrik dipertahankan selama 6 – 8 detik, diulang 2 –

3 kali, 1 kali active assisted stretching, 2 set latihan, jumlah intervensi

sebanyak 6 kali.

b. Jenis-jenis Muscle Energy Technique

1) Isometrik Muscle Energy Technique

Isometrik muscle energy technique atau post isometric

relaxation (PIR). Post isometric relaxation mengacu pada

pengurangan tonus ototagonis yang terjadi setelah kontraksi

isometrik. Hal ini terjadi karenapengaruh reseptor stretch yang

disebut golgi tendon organ pada ototagonis. Reseptor ini bereaksi

terhadap overstretching otot oleh inhibisiotot yang selanjutnya

berkontraksi. Hal ini secara natural melindungireaksi terhadap

regangan berlebih, mencegah ruptur dan memilikipengaruh

pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba-tiba pada seluruh otot

dibawah pengaruh stretching.

Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan

yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent

darigolgi tendon organ masuk ke bagian dorsal spinal cord dan

bertemudengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls

49
motorneuron efferent dan oleh karena itu terjadi pencegahan

kontraksi lebihlanjut, tonus otot menurun, yang menghasilkan

relaksasi dan pemanjanganotot agonist.

2) Isotonik Muscle Energy Technique

Isotonik muscle energy technique menggunakan teknik

reciprocalinnervations/ inhibisi yang memiliki prinsip kerja yaitu

ketika otot agonisberkontraksi dan memendek, otot antagonis harus

rileks dan memanjangsehingga gerakan terjadi dibawah pengaruh otot

agonis. Kontraksi ototagonis reciprocal menghambat otot antagonis

sehingga menimbulkangerakan yang pelan, lebih kuatnya kontraksi

otot agonis, hambatan lebihterjadi, dan otot antagonis lebih rileks.

Reciprocal innervations/inhibition mengacu pada inhibisi

ototantagonis ketika kontraksi isometrik yang terjadi dalam otot

agonis. Halini terjadi karena receptor strecth dalam serabut otot

agonis musclespindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan

panjang ototsecara tetap dengan memberikan umpan balik pada

perubahan kontraksi,dalam hal ini arah muscle spindle memainkan

bagian dalam proprioceptif. Dalam respon untuk peregangan, muscle

spindle menghentikan impulssaraf yang meningkatkan kontraksi,

hingga mencegah over stretching.Muscle spindle menghentikan

impuls yang membangkitkan serabut sarafafferent atau otot agonis,

bertemu dengan excitatory motor neuron ototagonis (dalam spinal

cord) dan pada waktu yang sama menghalangi motor neuron otot

agonis mencegah kontraksinya. Hal ini menghasilkan relaksasi

50
antagonis sehingga disebut reciprocal inhibition. Saat agonis

berhentiberkontraksi melawan tahanan, muscle spindle berhenti

membebaskan danotot relaksasi, hal ini memiliki efek yang sama

seperti post isometric relaxation.

c. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi

(a) Adanya kontraktur, pemendekan atau spastisitas pada otot.

(b) Meningkatkan luas gerak sendi pada jaringan otot yang

mengalamikelemahan.

(c) Adanya malposition pada struktur tulang.

(d) Perbaikan pergerakan sendi yang berhubungan dengan disfungsi

artikular.

2) Kontraindikasi

(a) Cedera musculoskeleteal akut

(b) Adanya fraktur tulang

(c) Osteoporosis

(d) Adanya penyatuan dan ketidakstabilan sendi

3. Core Stability Exercise

a. Defenisi

Core Stability Exercise adalah kemampuan untuk mengontrol

posisi dan gerakan batang badan melalui panggul dan kaki sehingga

memungkinkan menghasilkan kinerja gerakan tubuh yang optimal,

transfer dan kontrol kekuatan gerakan persegmen ke terminal dalam

sebuah aktifitas rantai kinetik terintegrasi. Core dalam pengertiannya

51
merujuk kepada daerah Lumbo-Pelvic-Hip kompleks, Core menjadi

daerah awal dari semua gerakan, dan juga berkenaan dengan titik tumpu

dari gaya gravitasi. Pada daerah Lumbo-Pelvic-Hip ini terdapat 29 otot

yang saling terkait untuk membentuk suatu stability system. Dengan

adanya efisiensi dari Core yaitu kemampuan untuk memelihara

hubungan otot agonis dan antagonis sehigga dapat memperbaiki

penampilan postur, meningkatkan koordinasi gerakan, efisiensi tenaga

dan mengurangi angka risiko cidera.

Otot utama dari Core Muscle antara lain adalah otot panggul,

Transversus Abdominis, Multifidus, Internal dan Eksternal Obliques,

Rektus Abdominis, Sacrospinalis khususnya Longissimus Thoracis, dan

Diafragma. Minor Core Muscle termasuk Latisimus Dorsi, Gluteus

Maximus, dan Trapezius. (Kibler,2006)

b. Tujuan

Secara umum, Core stability exercise mempunyai tujuan yaitu :

1) Memperkuat core muscles akan memperbaiki postur tubuh dan

mencegah sakit pinggang (low back).

2) Membantu menjaga kesehatan otot, sehingga mencegah cidera

pinggang lebih lanjut.

3) Meningkatkan kinerja tubuh

4) Latihan memperkuat core muscle tidak menyebabkan sakit nyeri otot.

5) Memperpanjang otot dan mencegah ketidakseimbangan pijakan saat

menjadi tua.

c. Indikasi dan Kontraindikasi

52
1) Indikasi

Gangguan Stabilitas

2) Kontraindikasi

a) Cancer atau tumor pada spine

b) Infeksi pada tulang belakang (spinal osteomylitis)

c) Spinal fraktur

d) Masalah kardiovaskular

d. Teknik pelaksanaan

1) Gerakan 1

Berbaring tengkurap di atas meja atau matras dengan lengan /

siku di atas meja / tikar. Bangkit sehingga Anda mempertahankan

posisi di lengan dan jari kaki mempertahankan perut. Punggung

dalam posisi lurus. Tahan posisi ini selama 15 detik - 1 menit.

Kemajuan dalam peningkatan 15 detik. Ulangi 5-10 kali.

Gambar 2.14 Prone Bridging on Elbow


Core Stability Exercise
( Tan. J, 2015)

2) Gerakan 2

Tidur terlentang kemudian posisi menyamping Anda dengan

siku di bawah Anda; bangkit sehingga Anda mempertahankan satu

53
lengan / siku dan kaki di sisi yang sama. Pegang ini posisi selama

15 detik - 1 menit. Kemajuan dalam peningkatan 15 detik. Ulangi

5-10 kali. Pastikan untuk menyelesaikan latihan di kedua sisi.

Gambar 2.15 Side Bridging on Elbow


Core Stability Exercise
( Tan. J, 2015)

3) Gerakan 3

Dalam posisi merangkak, pertahankan kepala lurus dengan

lutut membungkuk ke 90 derajat. Libatkan core Anda untuk

menjaga punggung tetap lurus selama seluruh latihan dan gunakan

hamstring, glutes, dan low back Anda untuk mengangkat kaki lurus

sambil mengangkat lengan yang berlawanan. Ulangi 10 kali setiap

sisi.

Gambar 2.16 Quadruped Opposite arm/leg


Core Stability Exercise ( Tan. J, 2015)

54
4) Gerakan 4

Berbaring telentang di atas meja atau tikar dengan pinggul

dan lutut ditekuk hingga 90 derajat dengan kaki rata di lantai dan

lengan menghadap ke bawah. Menarik otot perut dan pertahankan

selama latihan. Pelan-pelan angkat letakkan meja / mat dengan

menggunakan glutes dan hamstrings Anda sampai trunk sejajar

dengan paha; tahan selama 3-5 detik. Ulangi 10 - 20 kali.

Gambar 2.17 Supine Butt Lift With Arm and side


Core Stability Exercise
( Tan. J, 2015)

4. Mc Kenzie Exercise

a. Defenisi

Terapi latihan metode Mc Kenzie merupakan suatu teknik latihan

dengan menggunakan gerakan badan terutama ke belakang/ekstensi,

biasanya digunakan untuk penguatan dan peregangan otot-otot

ekstensor dan fleksor sendi lumbosacralis dan dapat mengurangi nyeri.

Latihan ini diciptakan oleh Robin Mc Kenzie. Prisip latihan Mc Kenzie

Exercise adalah memperbaiki postur untuk mengurangi hiperlordosis

lumbal. Sedangkan secara operasional pemberian latihan untuk

penguatan otot punggung bawah ditunjukan untuk otot - otot fleksor

55
dan untuk peregangan ditunjukan untuk otot - otot ekstensor punggung

(McKenzie, 2008).

b. Tujuan

Secara umum tujuan pemberian Mc Kenzie exercise, diantaranya

adalah:

1) Mengurangi nyeri dan ketegangan otot

2) Menambah fleksibilitas dan gerak sendi

3) Mengembalikan/koreksi sikap tubuh atau postur

4) Mengembalikan fungsi vertebra

c. Indikasi dan Kontraindikasi

1) Indikasi

a) Kondisi yang menimbulkan nyeri pada vertebra yang berulang

b) Nyeri vertebra yang menimbulkan gejala – gejala intermitten

2) Kontraindikasi

a) Fraktur

b) Ada dislokasi atau subluksasi

c) Terdapat gejala peradangan atau infeksi akut pada daerah sendi

d) Terdapat gejala osteoporosis

e) Terjadi gangguan arteri vertebralis

d. Teknik Pelaksanaan

1) Gerakan 1

Posisi tidur terungkap mata terpejam selama 3-5 menit denga

mengatur frekuensi pernapasan, yaitu dengan tarik nafas dalam dan

menghembuskan perlahan-lahan hingga seluruh tubuh merasakan

56
rileks (deep breathing) (Handika M, 2017). Gerakan ini dapat dilihat

seperti pada Gambar 2.18 berikut.

Gambar 2.18 Prone Lying


Mc Kenzie Methode
(Amy Romano, 2013)

2) Gerakan 2

Posisi tidur terungkap dengan posisi kepala dan badan bagian atas

terangkat disanggah dengan kedua lengan bawah, posisi siku fleksi

90 derajat, gerakan ini dilakukan secara perlahan-lahan dengan

kontraksi otot punggung seminimal mungkin yaitu gerakan terjadi

akibat dorongan dan kontraksi dari otot-otot lengan, gerakan ini

dilakukan dan ditahan selama 8 hitungan (8 detik) dengan 8 kali

pengulangan (Handika M, 2017). Gerakan ini dapat dilihat seperti

pada Gambar 2.19 berikut.

Gambar 2.19 Progress to Elbow


Mc Kenzie Methode
(Amy Romano, 2013)
3) Gerakan 3

Posisi tidur tengkurap dengan posisi kepala dan badan bagian

atas terangkat disanggah dengan kedua lengan lurus 180 derajat,

gerakan ini dilakukan secara perlahan-lahan dengan kontraksi otot

punggung bagian bawah seminimal mungkin yaitu gerakan terjadi

57
akibat dorongan lengan, gerakan ini dilakukan dan ditahan selama 8

hitungan (8 detik) dengan 8 kali pengulangan (Handika M, 2017).

Gerakan ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.20 berikut.

Gambar 2.20 Full Press Up


Mc Kenzie Methode
(Amy Romano, 2013)

4) Gerakan 4

Posisi tubuh berdiri tegak dengan kedua tangan diletakkan

pada pinggang (tolak pinggang), dorongkan tubuh bagian atas dan

kepala ke belakang sebatas kemampuan. Setiap gerakan dilakukan

dan ditahan selama 5-8 hitungan (5-8 detik) dengan 8 kali

pengulangan (Handika M, 2017). Gerakan ini dapat dilihat seperti

pada Gambar 2.21 berikut.

Gambar 2.21Standing Back Extension


Managing Back Pain With the Mc Kenzie Methode
(Brian Fulton, 2013)

58
5) Gerakan 5

Posisi tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi, kemudian

menarik kedua lutut hingga menekan dada namun posisi kepala

tidak diangkat atau tetap diletakkan pada lantai, setiap gerakan

dilakukan dan ditahan selama 5-8 hitungan (5-8 detik) dengan 8 kali

pengulangan (Handika M, 2017). Gerakan ini dapat dilihat seperti

pada Gambar 2.22 berikut.

Gambar 2.22 Knees Bent&Knees to Chest


Mc Kenzie Methode
(Amy Romano, 2013)

6) Gerakan 6

Posisi duduk tegak tanpa bersandar dengan kedua tangan

diletakkan di atas lutut, kemudian tubuh digerakkan ke bawah

dengan menekukkan (fleksi) pinggang hingga dada menyentuh paha

hingga otototot punggung terulur secara penuh, setiap gerakan

dilakukan dan ditahan selama 5-8 hitungan (5-8 detik) dengan 8 kali

pengulangan (Handika M, 2017). Gerakan ini dapat dilihat seperti

pada Gambar 2.23 berikut.

59
Gambar 2.23 Seated&Flex with Hands Behind Seat
Mc Kenzie Methode
(Amy Romano, 2013)

60
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 56 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Perawat

Alamat : Jl. perimtis

B. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai kiri

Sifat Nyeri : Menjalar

RPP : 1 tahun yang lalu pasien mulai merasakan sakit

punggung bagian bawah dan menjalar ke tungkai bawah

sebelah kiri dan saat mengeluhkan sakit tersebut pasien

segera memeriksakannya ke RS Awal Bross di poli syaraf

kemudian dirujuk ke poli fisioterapi dan setelah terapi

beberapa kali, nyerinya perlahan menghilang sehingga

pasien berhenti terapi dan 2 minggu yang lalu pasien

datang kembali ke poli fisioterapi mengeluhkan nyeri

punggung bagian bawah yang sudah menjalar sampai ke

kedua tungkainya.

61
Vital Sign

Tekanan Darah : 130/90 mmHg

Respirasi : 20x/menit

Denyut Nadi : 80x/menit

Suhu : 36 ◦C

C. Inspeksi/observasi

Statis : - Pasien datang dengan wajah yang pucat

- Pinggang pasien tampak asimetris

- Atrofi pada kaki kanan

Dinamis : - Pasien sulit melakukan gerakan membungkuk

- Pasien sulit melakukan perubahan posisi dari duduk ke

berdiri dan pada saat berjalan pasien merasakan sakit

D. Pemeriksaan fungsi dasar

1. Orientasi Test/Quick Test

a. Tes provokasi batuk, bersin : Positif

b. Tes berjinjit : Positif ( lumbar )

c. Tes berjalan dengan tumit : Positif ( sacrum )

d. Lumbopelvic Rhythm : Abnormal

62
2. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

a. Pemeriksaan Gerak Aktif

Gerakan ROM Nyeri


Fleksi Lumbal Terbatas Positif
Ekstensi Lumbal Normal Negatif
Lateral Fleksi Lumbal Terbatas Positif
Rotasi Fleksi Lumbal Terbatas Positif
Fleksi Hip Terbatas Positif
Ekstensi Hip Normal Negatif

b. Pemeriksaan Gerak Pasif

Gerakan ROM Nyeri EndFell


Fleksi Lumbal Terbatas Positif Hard endfeel
Ekstensi Lumbal Normal Negatif Hard endfeel
Lateral Fleksi Terbatas Positif soft endfeel
Lumbal
Rotasi Fleksi Lumbal Terbatas Positif soft endfeel
Fleksi Hip Terbatas Positif Firm endfeel
Ekstensi Hip Normal Negatif Firm endfeel

c. TIMT

Gerakan Nyeri Kekuatan Otot


Fleksi Lumbal Positif Lemah
Ekstensi Lumbal Negatif Normal
Lateral Fleksi Lumbal Positif Lemah
Rotasi Fleksi Lumbal Positif Lemah
Fleksi Hip Positif Lemah
Ekstensi Hip Negatif Normal

63
E. Pemeriksaan Spesifik Dan Pengukuran Fisioterapi

1. VAS

0-1 : tidak nyeri

1-3 : nyeri ringan

3-7 : nyeri sedang

7-9 : nyeri berat

9-10: nyeri sangat berat

Hasil : 8 (nyeri berat)

2. Tes Palpasi

Fisioterapis meraba dan menekan otot pasien

Hasil :

- Spasme otot erector spine

3. Slump test

Tujuan:

Tes ketegangan saraf digunakan untuk mendeteksi herniated disc,

neurodynamic atau sensitivitas jaringan saraf

Prosedur tes :

64
Posisi pasien duduk tegak dan kedua tangan berada dibelakang tubuh

pasien. 1) Terapis mempertahankan kepala pasien pada posisi netral, pasien

diminta membungkuk (fleksi lumbal), 2) kemudian beri tekanan (

kompresi) pada bahu kanan kiri pasien untuk mempertahankan fleksi

lumbal, 3) selanjutnya pasien diminta menggerakkan fleksi leher dan

kepala sejauh mungkin, 4) kemudian terapis mempertahankan posisi

maksimal fleksi vertebra tersebut dengan memberi tekanan pada kepala

bagian belakang, 5) terapis menahan kaki pasien pada maksimal dosro

fleksi, pasien diminta ekstensi knee, 6) jika pasien tidak mampu ekstensi

knee (karena nyeri) maka tekanan pada kepala dipindahhkan pada bahu

kanan kiri.

Interpretasi :

Bila saat tekanan pada kepala dipindahkan ke bahu pasien, mampu

menammbah gerakan ekstensi knee atau nyeri berkurang, berarti tes positif.

(Magee, 2014).

65
Hasil : Positif.

4. Straight Leg Raising (SLR).

Prosedur tes :

Posisi pasien tidur terlentang dalam posisi comfortable. Terapis secara

pasif menggerakkan tungkai pasien yang dites kearah fleksi hip dan

ekstensi knee.

Positif tes :

Jika nyeri terutama dirasakan pada pinggang maka lebih kearah disc.

herniation atau penyebab patologi penekanan pada sisi sentral, jika nyeri

terutama pada tungkai, maka patologi yang menyebabkan penekanan

terhadap jaringan saraf lebih pada sisi lateral.

Interpretasi :

Positif tes mengindikasikan patologi disc herniation dan/atau penekanan

pada jaringan saraf.

Hasil : Positif

66
Kanan Kiri

47o 63o

Keterangan :

30o – 70o : Timbul nyeri kejut sepanjang dermatom dan akar sarafnya yang

terkompresi

70o – 90o : Timbul nyeri radicular

90o : Timbul nyeri pada bagian tungkai pasien terutama pada betis

5. Bragard’s Test

Tujuan :

Tes untuk mengidentifikasi patologi pada dura meter atau lesi pada

spinal cord.

Prosedur tes

Sama seperti Lasegue’s test dimana bedanya pada Bragard’s test, terapis

menambahkan fleksi cervical secara pasif disertai dorsofleksi ankle.

Positif tes :

Jika peningkatan nyeri dengan fleksi cervical, dorsofleksi ankle, atau

kedunya mengindikasikan penguluran pada dura mater dari spinal cord atau

lesi pada spinar cord (seperti: disc herniation, tumor, meningitis), tetapi jika

nyeri tidak meningkat dengan fleksi cervical mengindikasikan lesi pada area

hamstring atau pada lumbosacral atau area sacroiliac joint.

67
Hasil : Positif

6. Quadrant Test

Pasien dalam keadaan berdiri. Terapis mempalpasi ilium dari sisi yang

berlawanan dari yang ingin di test. Pasien diarahkan oleh fisioterapis untuk

melakukan gerakan ekstensi, lateral fleksi lumbal, lateral lumbal (gerakan

3D). Tahan posisi ini selama 3 detik.

Hasil : Positif

7. JPM test (PAVCP)

Posisi pasien tengkurap di atas bed. Pada Posterior Anterior Central

Vertebral Pressure (PACVP) terapis memberikan tekanan pada prosesus

spinosus dan rasakan endfeelnya.

68
Hasil : Positif

8. Tes untuk pelvic, SIJ dan hip

a. Patrick Test

Tujuan :

Untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbar,atau SI joint

Prosedur tes :

Posisi pasien tidur terlentang dalam posisi comfortable.

Terapis secara pasif menggerakkan tungkai pasien yang dites kearah

fleksi knee dengan menempatkan ankle di atas knee pada tungkai

pasien yang satunya. Kemudian terapis memfiksasi SIAS pasien

pada tungkai yang tidak dites dengan menggunakan satu tangan dan

tangan satunya pada sisi medial knee pasien yang dites, memberikan

tekanan tungkai pasien kearah abduksi. Mengulangi prosedur tes

yang sama pada tungkai pasien yang satunya. Positif tes jika lokasi

69
nyeri berkorespondensi terhadap disfungsi pada area hip, lumbar,

dan atau SI.

Hasil: Positif . Nyeri berlokasi diarea HIP dibagian anterior dan

nyeri mengakibatkan penurunan fungsi pada area HIP anterior

b. Anti Patrick Test

Tujuan :

Tes untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic akibat syndrome

piriformis.

Prosedur tes :

Posisi pasien tidur terlentang dalam posisi comfortable. Terapis

meletakkan kedua tangan di atas knee pasien, masing-masing pada

sisi medial dan lateral knee untuk menyiapkan stabilisasi. Terapis

70
selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasian ke arah fleksi

hip 90, endorotasi, adduksi, dan knee fleksi 90.

Positif tes :

Jika nyeri pada area gluteal/sciatic akibat syndrome piriformis.

Hasil : Negatif

9. Oswestry Disability Index (ODI)

1. Intensitas Nyeri :1

2. Perawatan Diri :3

3. Mengangkat :3

4. Berjalan :3

5. Duduk :3

6. Berdiri :3

7. Tidur :5

8. Kehidupan Sosial :2

71
9. Berpergian :1

10. Pekerjaan/Rumah Tangga :3

Hasil : 7

Skor dalam ODI

Hasil : 27 (cacat moderat)

11. Pemeriksaan penunjang (MRI)

Hasil MRI

- Spondylosis cervicothoracolumbalis.

- Bulging disc ringan ke posterior ( broad base ) pada level C5 –C6 yang

menekan thoracal sac.

- Belum tampak tanda – tanda herniasi discus pada level thoracal.

- Bulging disc ke posterior ( broad base ) pada level L4 - L5 yang menekan

thoracal sac.

- Bulging disc ke posterior ( broad base ) pada level L5 – S1 yang menekan

thoracal sac dan recessus lateralis bilateral.

- Hipertrofi dan edema facet joint bilateral pada L2 – L3 sampai L5 – S1

- Degenerative endplate changes ( Modic type 2 )

- Degenerative disc disease ( Klasifikasi Ptirrmann grade II – III )

F. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

1. Diagnosa

“Gangguan Aktivitas Fungsional ec HNP”

2. Problematik Fisioterapi

72
a. Anatomical / Fungsional Impairmant

- Nyeri menjalar ke kedua tungkai

- Spasme otot erector spine

b. Activity Limitation

- Gangguan ADL seperti berjalan jauh, duduk dan membungkuk.

- Gangguan mengangkat barang yang berat

- Kesulitan dalam perubahan posisi dari jongkok ke berdiri

c. Participation Restriction

- Sulit melakukan aktivitas sehari-hari

- Adanya hambatan melakukan aktivitas social antara pasien dengan

masyarakat.

G. Tujuan Intervensi Fisioterapi

a. Tujuan jangka pendek:

- Mengurangi nyeri menjalar pada kedua tungkai

- Mengembalikan fungsi gerak

- Mengurangi spasme otot erector spine

b. Tujuan jangka panjang :

Memperbaiki kemampuan fungsional lumbal yang berhubungan

dengan kegiatan menengadah serta membungkuk, mengangkat/

memindahkan barang, perubahan posisi dari jongkok ke berdiri

dengan posisi tegak tanpa ada keluhan.

H. Program Intervensi Fisioterapi

1. SWD

73
Prosedur :

- Posisi Pasien :Posisikan pasien dalam keadaan tengkurap.

- Posisi Fisioterapis :Fisioterapis berada di samping pasien.

- Teknik Pelaksanaan :Arahkan lengan SWD di L4 dan L5 pasien dengan

intensitas 50 W selama 10 Menit. Tanyakan selalu apa yang dirasakan

pasien selama pengaplikasian SWD.

- Dosis :

F : 3 Kali seminggu

I : 50 W

T : Metode segmental

T : 10 menit

2. Muscle Energy Teknik (MET)

a. Otot erector spine

Prosedur :

- Posisi Pasien : pasien side lying dengan salah satu kaki di atas, dan

satu kakinya posisi menggantung di antara kaki FT dengan bed.

- Posisi Fisioterapis : di belakang pasien.

- Teknik pelaksanaan : Satu tangan fisioterapis mengfiksasi crista

iliaca dan tangan satunya di scapula. tangan mendorong scapula ke

atas, tangan satunya menahan crista ilaca agar stabil.

74
b. Otot quadratus lumborum

Prosedur :

- Posisi pasien : side lying dengan satu kaki menggantung di bed.

- Posisi Fisioterapis : di belakang bawah pasien.

- Prosedur Pelaksanaan anterior pelvic tilting : minta pasein untuk

mengangkat pelvic ke atas, lalu fisioterapi menarik ke bawah dan

minta pasien untuk menahan pelvic ke atas.

- Prosedur Pelaksanaan posterior pelvic tilting : minta pasien untuk

mendorong kaki fisioterapi.

75
- Dosis

F : Setiap hari

I : Penguluran maksimal

T : Kontak langsung

T : 6 hitungan dengan 4x repetisi

3. McKenzie Exercise

Prosedur :

- Posisi Pasien :Posisikan pasien dalam keadaan tengkurap.

- Posisi Fisioterapis :Fisioterapis berada di samping pasien.

- Teknik Pelaksanaan :Minta pasien tengkurap dengan elbow

menyanggah, selanjutnya badan diangkat dengan tangan pasein

menumpu pada bed.

- Dosis :

F : Setiap hari

I : Penguluran max

T : Kontak langsung

T : 8x hitungan

76
4. Core stabilty

- Posisi pasien : Tidur terlentang dengan handuk di bawah lumbal.

- Prosedur pelaksanaan : Minta pasien untuk mengangkat pinggulnya

sedikit lalu minta pasien untuk menekan handuk.Stabilizer diposisikan di

bawah lordosis lumbar. Selama latihan, tulang belakang tidak

melakukan gerakan apa pun. Transversus abdominis (TrA)

dikontraksikan saat melakukan latihan untuk mempertahankan posisi

yang sesuai. Pasien menarik perutnya ke atas dan ke atas di pusar tanpa

menggerakkan tulang rusuk, panggul atau tulang belakang.

- Dosis

F : Setiap hari

I : Kontraksi max

T : Kontak langsung

T : 8x hitungan

77
5. Edukasi

Pasien dianjurkan untuk :

- Menjaga postur tubuh yang benar pada saat berdiri ataupun duduk

- Berhati-hati terhadap gerakan yang dapat membebani vertebra / gerakan

membungkuk, misalnya : mengangkat beban yang berat.

I. Evaluasi Fisioterapi

Saat ini, pasien telah melakukan terapi sebanyak 2 kali. Berdasarkan

intervensi yang diberikan kepada pasien maka diperoleh hasil berupa penurunan

nyeri dan kemampuan aktivitas dari pasien yang mulai membaik seperti nilai

VAS yang awalnya nilai 8 menjadi 7 dan nilai ODI yang awalnya 26 sekarang

menjadi 23.

78

Anda mungkin juga menyukai