Dosen pengampu:
Disusun Oleh
Afrizal
Mirza Bisri
Rahmad Hidayat
Yanwar Edi S
Yuslianti
Zainul Bakri
FAKULTAS KESEHATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM B
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2021
1. KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan
diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu
kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP
merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002).
HNP adalah keadaan nukleus pulposus keluar melalui anulus fibrosus untuk kemudian
menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosus yang sobek. HNP merupakan
suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologis di kolumna vertebralis pada diskus
intervetebralis/diskogenik. (Muttaqin, 2008).
Hernia diskus (cakram) intervertebralis (HNP) merupakan penyebab utama nyeri
punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh). Herniasi dapat parsial atau
komplet, dari massa nukleus pada daerah vertebra L4-L5, L5-S1 atau C5-C6, C6-C7
adalah yang paling banyak terjadi dan mungkin sebagai dampak trauma atau perubahan
degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan. (Doenges, dkk, 2000).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hernia nukleus pulposus
(HNP) adalah rupturnya nukleus pulposus yang disebabkan oleh trauma atau perubahan
degeneratif terkait dengan proses penuaan yang mengakibatkan nyeri hebat pada
punggung bawah dan dapat bersifat kronik ataupun dapat kambuh.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri punggung yang menyebar ke ekstremitas bawah.
2. Spasme otot.
3. Peningkatan rasa nyeri bila batuk, mengedan, bersin, membungkuk, mengangkat beban
berat, berdiri secara tiba-tiba.
4. Kesemutan, kekakuan, kelemahan pada ekstermitas.
5. Deformitas.
6. Penurunan fungsi sensori, motorik.
7. Konstipasi, kesulitan saat defekasi dan berkemih.
8. Tidak mampu melakukan aktifitas yang biasanya dilakukan.
F. PATOFISIOLOGI
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial. Karena
adanya gaya traumatic yang berulang, sobekan itu menjadi lebih besar dan timbul
sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, resiko HNP hanya menunggu waktu dan
trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat diasumsikan seperti gaya traumatic
ketika hendak menegakan badan waktu terpleset, mengangkat benda berat, dan
sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus puposus dapat mencapai ke korpus tulang belakang
diatas atau dibawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertebralis.
Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat dilihat pada foto
rontgen polos dan dikenal sebagai nodus schmorl. Sobekan sirkum ferensial dan radial
pada annulus fibrosus diskus intervertebralis berikut dengan terbentuknya nodus schmorl
merupakan kelainan yang mendasari low back pain subkronis atau kronis yang kemudian
disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai iskhialgia atau siatika.
Menjebolnya nucleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nucleus pulposus
menekan radiks yang bersama-sama arteria radipularis yang berada dalam lapisan dura.
Hal itu terjadi jika penjebolan berada di sisi lateral tidak aka nada radiks yang terkena
jika tempat herniasinya berada di tengah. Pada tingkat L 2 dan terus ke bawah tidak
terdapat medulla spinalis lagi, maka herniasi yang berada di garis tengah tidak akan
menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi HNP, sisa diskus
intervertebralis mengalami lisis, sehingga dua corpora vertebra bertumpang tindih tanpa
ganjalan.
Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah
disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP terbagi atas HNP sentral dan HNP
lateral. HNP sentral akan menunjukan paraparesis flasid, parestesia , dan retansi urine .
sedangkan HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada
punggung bawah, ditengah-tengah area bokong dan betis , belakang tumit, dan telapak
kaki. Kekuatan ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex achiler negatife. Pada HNP
lateral L4-L5 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral
pantat, tungkai bawah bagian lateral dan di dorsum perdis. Kekuatan ekstensi ibu jari
kaki berkurang dan reflek patella negatif. Sensibilitas dermatom yang sesuai dengan
radiks yang terkena menurun.
Pada percobaan tes laseque atau tes mengangkat tungkai yang lurus (straight leg
raising ),yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi pada sendi panggul, akan
dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda laseque positif).
Gejala yang sering muncul adalah :
a. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam beberapa minggu sampai
beberapa tahun ) nyeri menjalar sesuai dengan distribusisaraf skiatik.
b. Sifat nyeri khasdari posisi terbaring ke duduk,nyeri mulai dari pantat dan terus
menjalar ke bagian belakang lutut kemudian ke tungkai bawah.
c. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan pinggang saat
batuk atau mengejan , berdiri, atau duduk untuk jangka waktu yang lama dan
nyeri berkurang klien beristirahat berbaring.
d. Penderita sering mengeluh kesemutan ( parostesia) atau baal bahkan kekuatan
otot menurun sesuai dengan distribusi persyarafan yang terlibat.
e. Nyeri bertambah bila daerah L5-L1 (garis antara dua Krista iliaka) ditekan.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen foto lumbosakral :
a. Tidak banyak ditemukan kelainan.
b. Kadang-kadang didapatkan artrosis, menunjang tanda-tanda deformitas vertebra.
c. Penyempitan diskus intervertebralis.
d. Untuk menentukan kemungkinan nyeri karena spondilitis, norplasma, atau infeksi
progen.
2. Cairan serebrospinal :
a. Biasanya normal.
b. Jika didapatkan blok akan terjadi prot, indikasi operasi.
3. EMG (elektromigrafi)
a. Terlihat potensial kecil (fibrolasi) didaerah radiks yang terganggu.
b. Kecepatan konduksi menurun.
4. Iskografi : Pemeriksaan diskus di lakukan menggunakan kontras untuk melihat
seberapa besar daerah diskus yang keluar pada kanalis vertebralis.
5. Elektroneuromiografi (ENMG) : Untuk mengetahui radiks yang terkena atau melihat
adanya polineuropati.
6. Tomografi scan : Melihat gambaran vertebra dan jaringan disekitarnya termasuk
diskus intervertebralis.
7. MRI. Pemeriksaan MRI dapat melokalisasi protrusi diskus kecil. Apabila secara
klinis tidak didapatkan pada MRImaka pemeriksaan CT scan dan mielogram dengan
kontras dapat dilakukan untuk melihat derajat gangguan pada diskus vertrebralis.
8. Mielografi. Mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalui tindakan
lumbal pungsi dan pemotretan dengan sinar tembus. Dilakukan apabila diketahui
adanya penyumbatan hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.
9. Pemariksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin dilakukan dengan laboratorium klinik untuk menilai komplikasi
cidera tulang belakang terhadap orang lain.
H. KOMPLIKASI
1. Kelemahan dan atropi otot
2. Trauma serabut syaraf dan jaringan lain
3. Kehilangan kontrol otot sphinter
4. Paralis / ketidakmampuan pergerakan
5. Perdarahan
6. Infeksi dan inflamasi pada tingkat pembedahan diskus spinal
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring
Penderita harus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan
sikap yang baik adalah sikap dalam posisi setengah duduk , tungkai dalam sikap
refleks pada sendi panggul dan lutut tertentu. Tempat tidur tidak boleh memekai
pegas/per, dengan demikian tempat tidur harus di papan yang lurus dan ditutup
dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri punggung bawah
mekanik angkut. Lama tirah baring bergantung pada berat ringannya gannguan
yang dirasakan penderita. Pada HNP, klien memerlukan tirah baring dalam
waktu yang lebih lama. Setelah tirah baring, klien melakukan latihan atau
dipasang korset untuk mencegah terjadinya kontraktur dan mengembalikan lagi
funsi-fungsi otot.
b. Medikamentosa
1) Simptomatik
a) Analgesik (salisilat, parasetamol),
b) Kortikosteroid (prednison, prednisolon),
c) Anti−inflamasi non−steroid (AINS) seperti piroksikan,
d) Antidepresan trisiklik (amitriptilin),
e) Obat penenang minor (diazepam,klordiasepoksid).
2) Kausal; Kolagenese.
c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermi (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang
lebih dalam) untuk relaksasi otot dan mengurangi lordosis.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan apabila dengan tindakan konservatif tidak memberikan
hasil yang nyata , kambuh berulang, atau terjadi defisit neurologis.
3. Rehabilitasi
a. Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula.
b. Agar tidak menggantungkan diri dengan orang lain dalam melakukan kegitan
sehari-hari (the activity of daily living).
c. Klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi saluran kemih, dan
sebagainya.
Rupture diskus
J. PATHWAY
Aliran darah ke diskus berkurang, respon beban yang berat, ligamentum longitudinalis post menyempit
Kaji adanya riwayat trauma akibat mengangkat atau mendorong benda yang
berat. Pengkajian yang didapat keluhan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi
urine. Keluhan nyeri pada punggung bawah, ditengah-tengah area pantat dan
betis, belakang tumit, dan telapak kaki. Klien sering mengeluh kesemutan
(parastesia) atau baal bahkan kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi
persarafan yang terlibat.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan- keluhan klien ,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem dan terarah (B1-B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) dan
dihubungkan dengan keluhan klien.
c. Keadaan umum
Pada HNP, keadaan umum biasanya tidak mengalami penurunan kesadaran.
Adanya perubahan pada tanda vital meliputi bradikardi, hipotensi yang
berhubungan dengan penurunan aktivitas karena adanya paraparese.
B1 (BREATHING)
Jika terjadi area yang terkena HNP adalah sistem saraf spinal thoracal (T1-T12),
maka akan terjadi gangguan pada system pernafasan dan biasanya yang
ditemukan pada pemeriksaan:
Inspeksi, klien terlihat sesak nafas, dan frekuensi pernafasan meningkat.
Palpasi, ditemukan taktil fremitus yang tidak seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi, ditemukan adanya bunyi nafas tambahan (pada klien yang mengalami
asma bronchial akibat gangguan pada saraf spinal thorakal).
B2 (BLOOD)
Gangguan kardiovaskular dan perubahan tekanan darah dapat terjadi pada kasus
HNP yang mengenai saraf spinal thoracal (T1-T12) dan saraf spinal cervikal atas
(C1-C2).
B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainya.
Inspeksi umum, kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, adanya
angulus, pelvis yang miring atau asimetris,muskulaturparavertebral atau pantat
yang asimetris, postur tungkai yang abnormal. Hambatan pada pergerakan
punggung. Pelvis dan tungkai selama bergerak.
d. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya compos mentis, biasanya juga terjadi penurunan
kesadaran apabila yang terkena saraf spinal cervical atas (C1 Dan C2) yang
menuju pada area CNS.
e. Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik. Status mental klien
yang telah lama menderita HNP biasanya mengalami perubahan.
L. PERTIMBANGAN ANESTESI
a. Pengelolaan Anestesi
Setelah pasien masuk ke kamar operasi lalu dipasang monitor standar yaitu
tekanan darah non-invasif kontinyu, saturasi oksigen, EKG. Pasien diposisikan
terlentang dengan kepala slight head up, lalu dilakukan oksigenasi 7 L/menit melalui
sungkup muka selama 3 menit. Kemudian di induksi dengan fentanyl 50 mcg,
propofol 100 mg, intubasi dengan pipa endotrakhea no.7 difasilitasi vekuronium 5
mg. Pemeliharaan anestesi oksigen:n2o = 3L/menit: 3L/menit, sevofluran 1–2
volume%. Fentanyl diberikan secara berkala. Ventilator diatur dengan tidal volume
500 ml, pernafasan 10x/menit, I : E = 1 : 2. Lalu dilakukan pemasangan kateter urine
no 14 dan plester mata untuk mencegah mata kering karena terbuka selama operasi.
Perubahan posisi dilakukan secara bertahap yaitu pasien dimiringkan kanan
atas perlahan (90o) dipertahankan sesaat sambil dilakukan pengukuran tekanan darah
dan bila hemodinamik stabil/tidak mengalami hipotensi, maka dilanjukan ke posisi
telungkup di atas meja yang telah disiapkan untuk posisi tersebut. Wajah diganjal
dengan “donat” dengan memperhatikan mata jangan sampai tertekan, dan posisi pipa
endotrakhea jangan sampai terjepit dan terlipat. Ganjal diletakan dibawah dada dan
panggul sedemikian rupa agar gerakan nafas abdomen bebas. Kateter urin juga harus
diperhatikan dan diposisikan jangan sampai terlipat dan mudah dijangkau untuk
diobservasi. Kaki diposisikan sedikit fleksi dengan memberi ganjalan disekitar
pergelangan kaki. Kedua tangan di posisikan disamping badan dengan memberikan
ganjalan disekitar lengan bawah.
Rumatan anestesi dilakukan dengan isofluran 1-1,5 vol%, oksigen/udara
ruang: 1 Liter/1 Liter, vecuronium 2 mg/jam diberikan dengan menggunakan syring
pump dengan ventilasi kendali mode Volume Controle (VC) dengan Tidal Volume
(TV) 450 mL, frekuensi napas 14 kali/ menit T.Inspirasi 11,7 Minute Volume
tercapai 6-6,5 L/menit. Setelah dilakukan tindakan desinfeksi kulit dan sebelum
dilakukan insisi kulit ditambahkan fentanyl 1 mcg/kgBB. Untuk mengurangi
perdarahan diberikan asam traneksamat 500 mg intravena dan untuk analgetik selama
tindakan ditambah tramadol 100 mg intravena. Status hemodinamik selama prosedur
berlangung cukup stabil, dengan perdarahan sekitar 500 cc, total diuresis selama
operasi 400 cc. Pemasukan cairan selama operasi adalah NaCl 0,9% 1000 cc, RL 500
cc dan koloid 500 cc dengan total pemasukan 2000 cc.
Tiga puluh menit sebelum operasi selesai diberikan ondansetron 8mg intravena
dan, pemberian pelumpuh otot dihentikan.Setelah selesai operasi posisi pasien
dikemballikan dari telungkup ke terlentang secara bertahap, yaitu meja operasi
diposisikan sedikit lebih tinggi dari tempat tidur pasien, lalu meja operasi
dimiringkan kekanan sekitar 15-30o pasien ditahan kemudian dimiringkan kanan atas
perlahan (90o) ditunggu sebentar lalu diukur tekanan darah dan bila hemodinamik
stabil/tidak hipotensi dilanjukan untuk posisi terlentang. Setelah pengisapan lendir
dari rongga mulut dan saluran nafas bersih, plester mata dilepas, diberikan reversal
obat pelumpuh otot dengan neostigmin dan sulfas atropin. Ekstubasi dilakukan
dikamar bedah setelah nafas adekuat.
RENCANA/INTERVENSI
Pra Anestesi
a. Risiko cedera anestesi
1) Tujuan: Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi cedera anestesi
2) Kriteria hasil:
a) Pasien siap untuk dilakukan tindakan anestesi
b) Pemilihan teknik anestesi yang tepat sesuai kondisi pasien
3) Rencana intervensi
a) Lakukan persiapan sebelum pembedahan
b) Kaji status nutrisi pasien (menimbang BB)
c) Anjurkan pasien untuk berpuasa
d) Anjurkan pasien untuk mengosongkan kadung kemih sebelum operasi
e) Lakukan balance cairan
f) Lepaskan aksesoris
g) Latih napas dalam
h) Pantau penyulit yang akan terjadi
i) Tetapkan kriteria mallampati
j) Tentukan status fisik menurut ASA
k) Kolaborasi pemasangan NGT
l) Delegasi dalam pemberian obat pramedikasi
m) Kolaborasi penetapan teknik anestesi
n) Lakukan informed consent
b. Cemas/ansietas
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan ansietas
(kecemasan) teratasi.
2) Kriteria hasil:
a) Pasien bersedia menjalani operasi
b) Pasien tenang, tidak gelisah
c) TTV dalam batas normal (TD: 110-120 / 70-80 mmhg, Nadi: 60-100
x/menit, Suhu: 36-37°C, RR: 16-20 x/menit)
3) Rencana intervensi
a) Melakukan kunjungan pra operatif 1 hari atau pada sebelum tindakan
b) Observasi TTV
c) Ajarkan teknik relaksasi
d) KIE pasien terkait jenis tindakan dan anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian premedikasi anti
cemas sesuai program
Intra Anestesi
a. Risiko cedera trauma pembedahan
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi cedera trauma pembedahan.
2) Kriteria hasil:
a) Tidak ada tanda tanda-tanda trauma pembedahan
b) Pasien tampak rileks selama operasi berlangsung
c) TTV dalam batas normal (TD: 110-120 / 70-80 mmhg, Nadi: 60-100
x/menit, Suhu: 36-37°C, RR: 16-20 x/menit)
d) Saturasi oksigen >95%
e) Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak menunjukkan
respon nyeri
f) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
3) Rencana intervensi
a) Siapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik
anestesi
b) Bantu pelaksanaan anestesi sesuai dengan program kolaboratif spesialis
anestesi
c) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif
d) Monitoring perianestesi
e) Atasi penyulit yang timbul
f) Lakukan pemeliharaan jalan napas
g) Lakukan pemasangan alat ventilaasi mekanik
h) Lakukan pengakhiran tindakan anestesi
b. RK disfungsi respirasi
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi respirasi.
2) Kriteria hasil:
a) RR normal: 16-20 x/menit
b) SaO2 normal: 95-100%
c) Tidak terjadi desaturase
3) Rencana intervensi
a) Monitoring TTV
b) Monitoring saturasi oksigen
c) Atur posisi pasien
d) Kolaborasi dengan dokter anestesi tentang tidakan intubasi dengan ETT
sesuai ukuran pasien
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi
mekanik
f) Pengakhiran tindakan anestesi: reverse dan ekstubasi
c. RK disfungsi kardiovaskuler
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi kardiovaskular.
2) Kriteria hasil:
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110-120 / 70-80 mmhg,
Nadi: 60-100 x/menit, Suhu: 36-37°C, RR: 16-20 x/menit
b) Intake cairan dan output cairan sama
c) Tidak terjadi cyanosis
3) Rencana/intervensi
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif
maintenance cairan intravena dan vasopressor
f) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif
maintenance cairan intravena dan vasopressor
Pasca Anestesi
a. RK disfungsi respirasi
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi respirasi.
2) Kriteria hasil:
a) RR normal: 16-20 x/menit
b) SaO2 normal: 95–100 %
c) Tidak terjadi desaturase
d) Aldrete score ≥9
3) Rencana intervensi
a) Monitoring TTV
b) Monitoring saturasi oksigen
c) Berian oksigen 6L/menit dengan masker oksigen sederhana
d) Atur posisi pasien
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi
mekanik (k/p)
b. RK disfungsi termoregulasi
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi termoregulasi.
2) Kriteria hasil:
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110-120 / 70-80 mmhg,
Nadi: 60-100 x/menit, Suhu: 36-37°C, RR: 16-20 x/menit
b) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana intervensi
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Monitoring suhu badan
f) Memasang selimut hangat
g) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif
maintenance cairan intravena dan obat anti shivering (pethidine)
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih Bahasa: Monica Ester.
Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Tailor, Cynthia M & Sheila Sparks Ralph. 2011. Diagnosa Keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta : EGC.