Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI

PADA PASIEN ABORTUS INKOMPLIT DENGAN CURETAGE

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR 2020
A. KONSEP DASAR
1. Defenisi
Abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum mampu hidup
diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 gram atau
kehamilan kurang dari 28 minggu (Chandranita, 2010). Abortus ialah
berakhirnya suatu kehamilan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu
pada atau sebelum kehamilan atau keluarnya hasil konsepsi sebelum
mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000gr
atau umur kehamiln kurang dari 28 minggu (Manuamba 2010).
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan dengan berat badan dibawah 500 gram atau umur
kehamilan kurang dari 20 minggu (Nanny, 2011). Peneliti mengambil
kesimpulan bahwa abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi dengan
umur kehamilan kurang dari 28 minggu sebelum janin dapat bertahan
hidup.
a. Macam-macam abortus

Berdasarkan kejadiannya abortus dibagi menjadi dua, yaitu sebagai


berikut:

1. Abortus spontan terjadi secara alamiah tanpa interfensi luar


(buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Berdasarkan
gambaran kliniknya abortus dapat dibagi menjadi (Prawirohardjo,
2010):
a) Abortus completus (keguguran lengkap) adalah pengeluaran
semua hasil konsepsi dengan umur kehamilan > 20 minggu
kehamilan lengkap.
b) Abortus insipiens adalah perdarahan intrauterin sebelum
kehamilan lengkap 20 minggu dengan dilatasi serviks berlanjut
tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pengeluaran
sebagian atau seluruhnya.
c) Abortus incomplit adalah pengeluaran sebagian tetapi tidak
semua hasil konsepsi pada umur >20 minggu kehamilan
lengkap.
d) Abortus imminens adalah perdarahan intrauteri pada umur < 20
minggu kehamilan lengkap dengan atau tanpa kontraksi uterus,
tanpa dilatasi serviks dan tanpa pengeluaran hasil konsepsi.
Hasil kehamilan yang belum viabel berada dalam bahaya tetapi
kehamilannya terus berlanjut.
e) Missed abortion (keguguran tertunda) adalah kematian embrio
atau janin berumur < 20 minggu kehamilan lengkap tetapi hasil
konsepsi tertahan dalam rahim selama ≥ 8 minggu.

f) Abortus habitualis adalah kehilangan 3 atau lebih hasil


kehamilan secara spontan yang belum viabel secara berturut-
turut.
g) Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi
genetalia interna sedangkan abortus sepsis adalah abortus
terinfeksi dengan penyebaran bakteri melalui sirkulasi ibu.
2. Abortus Provocatus
Abortus provocatus adalah tindakan abortus yang disengaja
dilakkukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28
minggu atau berat janin 500 gram, abortus ini dibagi lagi menjadi
sebagai berikut (Manuaba, 2010):
a) Abortus medisinalis adalah abortus yang dilakukan atas dasar
indikasi vital ibu hamil jika diteruskan kehamilannya akan lebih
membahayakan jiwa sehingga terpaksa dilakukan abortus
buatan. Tindakan itu harus disetujui oleh paling sedikit tiga
orang dokter.
b) Abortus kriminalis adalah abortus yang dilakukan pada
kehamilan yang tidak diinginkan, diantaranya akibat perbuatan
yang tidak bertanggung jawab, sebagian besar dilakukan oleh
tenaga yang tidak terlatih sehingga menimbulkan komplikasi.
2. Etiologi
Penyebab keguguran sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi
terdapat beberapa faktor sebagai berikut (Nanny, 2011)
1. Umur
Resiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya usia ibu.
Insiden abortus dengan trisomi meningkat dengan bertambahnya usia
ibu. Resiko ibu mengalami aneuploidi yaitu diatas 35 tahun karena
kelainan kromosom akan meningkat pada usia diatas 35 tahun.
2. Kelainan Pertumbuhan Hasil Konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin
dan cacat bawahan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan.
Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi seperti:
a) Faktor kromosom, gangguan terjadi sejak semula pertemuan
kromosom, termasuk kromosom seks.
b) Faktor lingkungan endometrium
c) Endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil
konsepsi.
d) Gizi ibu kurang karena anemia atau jarak kehamilan terlalu pendek
3. Pengaruh luar
a) Infeksi endometrium, endometrium tidak siap menerima hasil
konsepsi
b) Hasil konsepsi terpengaruh oleh obat dan radiasi menyebabkan
pertumbuhan hasil konsepsi terganggu.

4. Kelainan Pada Plasenta


a) Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga plasenta tidak
dapat berfungsi.
b) Gangguan pada pembuluh darah plasenta yang diantaranya pada
penderita diabetes mellitus
c) Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah plasenta sehingga
menimbulkan keguguran.
5. Penyakit Ibu
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria,
sifilis, anemia dan penyakit menahun ibu seperti hipertensi, penyakit
ginjal, penyakit hati, dan penyakit diabetesmilitus. Kelainan yang
terdapat dalam rahim. Rahim merupakan tempat tumbuh kembangnya
janin dijumpai keadaan abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus
arkuatus, uterus septus, retrofleksia uteri, serviks inkompeten, bekas
operasi pada serviks (konisasi, amputasi serviks ), robekan serviks
postpartum (Manuaba, 2010).
6. Riwayat Abortus
Riwayat abortus pada penderitaabortus merupakan predisposisi
terjadinya abortus berulang. Kejadian ini sekitar 3-5% jumlah kejadian
abortus. Data menunjukan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan akan
beresiko mengalami abortus sebesar 15% (Soepardan, 2010).

7. Faktor anatomi
Faktor anatomi dapat memicu terjadinya abortus pada 10-15%
kejadian yang ditemukan. Kejaian abortus dapat diesabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah sebgai berikut:
a) Lesi anatomi kongenital yaitu kelainan duktus mullerian (uterus
bersepta) kelainan pada duktus ini biasanya terjadi abortus pada
kehamilan trimester kedua
b) Kelianan kongenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah
endometrium
c) Kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia),
leimioma dan endometritis.
8. Faktor Infeksi
Infeksi termasuk yang diakibatkan oleh TORC (toksoplasma, rubella,
cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering dihubungkan
dengan abortus.
9. Obat-obatan rekreasional dan toksin lingkungan
Peranaan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap
teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol,
yang berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu
yang berperan terjadinya abortus.
3. Tanda dan Gejala
Abortus inkomplit ditandai dengan dikeluarkannya sebagian hasil
konsepsi dari uterus, sehingga sisanya memberikan gejala klinis sebagai
berikut (Soepardan, 2010):
1. Amenore
2. Perdarahan dapat dalam jumlah sedikit atau banyak,
perdarahan biasanya dalam darah beku
3. Sakit perut dan mulas-mulas dan sudah keluar jarinan
atau bagian janin
4. Pemeriksaan dalam didapatkan servik terbuka, pada
palpasi teraba sisa-sisa jaringan dalam kantung
servikalis atau kavum uteri.
Gejala lain dari abortus incomplit yang dapat muncul adalah sebagai
berikut:
1) Perdarahan biasa sedikit/banyak dan biasa terdapat bekuan darah .
2) Rasa mules (kontraksi) tambah hebat.
3) Ostium uteri eksternum atau serviks terbuka.
4) Pada pemeriksaan vaginal, jaringan dapat diraba dalam cavum uteri
atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian
jaringan keluar.
5) Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan dapat
menyebabkan syok (Maryunani, 2009).
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
Abortus bisa didiagnosis banding dengan keadaan fisiologi yakni flek
nidasi. Diagnosis banding lainnya adalah kondisi patologis yakni kehamilan
ektopik dan mola hidatidosa.
Perdarahan Vagina Fisiologis Akibat Flek Nidasi. Flek nidasi akibat
implantasi terkadang terjadi pada kehamilan normal. Gejala yang timbul
berupa spotting atau flek ringan yang mungkin terjadi pada 1-2 minggu
paska pembuahan dimana sel telur mulai menempel pada uterus. Pada
keadaan ini, flek akan menghilang dalam 3-5 hari.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis abortus
adalah plano pregnancy test, laboratorium darah, dan ultrasonografi. Plano
Pregnancy Test Plano pregnancy test  yang diperiksa melalui urin akan
menunjukkan hasil positif pada 2 minggu pasca terbentuknya konsepsi
janin. Pada abortus, plano pregnancy test umumnya masih positif sampai 7-
10 hari pasca abortus namun berangsur-angsur akan menjadi negatif.
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jika terjadi perdarahan hebat pada abortus, akan ditemukan penurunan
hemoglobin (Hb) dan hematokrit, serta terjadi peningkatan leukosit dengan
pergeseran ke kiri (shift to the left) jika terjadi infeksi. Profil koagulasi
dianjurkan diperiksa hanya jika ada perdarahan masif. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch dilakukan jika ada indikasi transfusi darah.
Pemeriksaan golongan darah dan rhesus juga diperlukan untuk melihat
adanya kemungkinan inkompatibilitas, serta untuk menentukan jika
diperlukan pemberian anti-D. Pemeriksaan beta HCG darah dapat dilakukan
untuk mengetahui perkembangan plasenta. Pada abortus, kadar beta HCG
bisa lebih rendah atau menurun dibanding sebelumnya dan akan normal
dalam 2 minggu setelah abortus. Pemeriksaan ini jarang diperlukan, tetapi
dapat dilakukan sebagai pemeriksaan serial untuk menunjang diagnosis jika
kelangsungan kehamilan meragukan.
USG
USG umumnya dianjurkan dilakukan untuk melihat ada tidaknya
kantung gestasi, untuk mengetahui apakah embrio masih berkembang, dan
untuk mendeteksi detak jantung janin. USG transvaginal lebih baik
dibanding transabdominal karena gambaran yang ditampilkan lebih jelas.
USG transvaginal disarankan terutama pada pasien obesitas dan pasien
dengan uterus retrofleksi.
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
a) Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien,
termasuk tanda-tanda vital.
b) Pengawasan pernafasan (jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan
seperti adanya takipnea, sianosis) bebaskan saluran nafas dari
sumbatan kemudian berikan bantuan oksigen.
c) Berikan cairan infus (D5% dan atau NaCl 0,9%).
d) Lakukan pemeriksaan laboratorium
e) Periksa tanda-tanda syok (pucat, berkeringat banyak, pingsan,
tekanan sistolik kurang 90 mmHg, nadi lebih 112 kali per menit).
f) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan <
16 minggu, evakuasi sisa hasil konsepsi dengan Aspirasi Vacum
Manual merupakan metode evakuasi yang terpilih. Evakuasi dengan
kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan jika AVM tidak tersedia. Jika
evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrium 0,2 mg im
(diulangi setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per
oral (dapat diulangi setelah 4 jam jika perlu).
g) Jika kehamilan > 16 mingguan)
1) Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan IV (garam
fisiologis arau RL) dengan kecepatan 40 tetes / menit sampai
terjadi ekspulsi konsepsi.
2) Jika perlu berikan misoprostol 200 mg pervaginam setiap 4 jam
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi(maksimal 80 mg)
3) Evakuasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus
4) Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.
b. Penatalaksanaaan Operatif
Kuratase adalah cara membersihkan hasil konsepsi dengan alat
kuretase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus
melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan
serviks dan besarnya uterus (Manuamba, 2010):
1. Persiapan sebelum kuretase
2. Persiapan penderita
3. Lakukanlah pemeriksan dalam: tekanan darah, nadi, keadaan
jantung dan paru-paru
4. Pasang infuse
5. Persiapan alat-alat kuratase
6. Alat-alat kuretase hendaknya telah tersedia dalam bak alat dalam
keadaan aseptik.
7. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi
8. Persiapan untuk anestesi general

B. PERTIMBANAGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-tidak, tanpa"
dan aesthetos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anestesi atau anestesi umum merupakan suatu
tindakan yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar
dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat
diprediksi, anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat
dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sadar pasien
tidak mengingat peristiwa pembedahan yang dilakukan (Pramono,
2014). Metode atau teknik anestesi umum dibagi menjadi 3 yaitu
teknik anestesi umum inhalasi, anestesi umum intravena dan anestesi
umum imbang (Mangku dan Senapathi, 2010). Pemberian anestesi
umum dengan teknik inhalasi, intravena maupun imbang mempunyai
risiko komplikasi pada pasien. Kematian merupakan risiko
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca pemberian anestesi.
Kematian yang disebabkan anestesi umum terjadi < 1:100.000 kasus,
selain kematian ada komplikasi lain yaitu serangan jantung, infeksi
paru, stroke, trauma pada gigi atau lidah (Pramono, 2014). Risiko
komplikasi pada anestesi umum minimal apabila kondisi pasien
sedang optimal, namun sebaliknya jika pasien mempunyai riwayat
kebiasaan yang kurang baik misalnya riwayat penyalahgunaan
alkohol atau obat-obatan, alergi pada komponen obat, perokok,
mempunyai riwayat penyakit jantung, 2 paru dan ginjal maka risiko
komplikasi anestesi umum akan lebih tinggi (Pramono, 2014).
Risiko komplikasi pada anestesi umum tersebut dapat diminimalkan
bahkan dicegah. Dokter anestesi dan penata anestesi berperan
penting dalam meminimalkan risiko komplikasi tersebut yaitu
dengan cara mempersiapkan pasien sebelum operasi dengan
melakukan kunjungan pre anestesi (Pramono, 2014). Saat kunjungan
pre anestesi dokter anestesi atau penata anestesi melakukan
pemeriksaan kondisi pasien serta melakukan anamnesis (Mangku
dan Senapathi, 2010). Pemeriksaan yang dilakukan saat kunjungan
pre anestesi adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan khusus yang mendalam jika diperlukan, konsultasi
dengan dokter spesialis lain, penentuan status fisik berdasarkan ASA
serta anamnesis. Anamnesis tersebut meliputi identitas pasien,
anamnesis khusus terkait penyakit bedah, anamnesis umum meliputi
riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat, riwayat
kebiasaan buruk seperti merokok (Mangku dan Senapathi, 2010).
b. Regional Anestesi
Anestesi regional dilakukan dengan memblokir rasa sakit di sebagian
anggota tubuh. Seperti halnya anestesi lokal, pasien akan tetap
tersadar selama operasi berlangsung, namun tidak dapat merasakan
sebagian anggota tubuhnya. Pada anestesi regional, obat akan
diberikan dengan cara disuntikkan di dekat sumsum tulang belakang
atau di sekitar area saraf. Suntikan ini akan menghilangkan rasa sakit
pada beberapa bagian tubuh, seperti pinggul, perut, lengan, dan kaki.
Terdapat beberapa jenis anestesi regional, yaitu blok saraf
perifer, epidural, dan spinal. Anestesi regional yang paling sering
digunakan adalah epidural, yang umum digunakan saat persalinan.
3. Teknik Anestesi
a. Total Intra Venous Anestesi (TIVA)
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik
anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi
didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa
penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O.
TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai
komponen penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran,
analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun tidak ada satupun
obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga
diperlukan pemberian kombinasi dari beberapa obat untuk
mencapai efek yang diinginkan tersebut. Farmakokinetik
barbiturat yang digunakan sebagai anestesi intravena pertama
kali tidak memenuhi kriteria ideal untuk pemeliharaan anestesi,
walaupun ditambah dengan pemberian meperidin atau morphine
yang dapat mengganggu nafas spontan pasien. Sehingga saat
diperkenalkannya anestesi inhalasi modern yang di awali oleh
halothane di tahun 1956, membuat anestesiologist meninggalkan
penggunaan anestesi intra vena untuk pemeliharaan anestesi.
Pada tahun 1975, Savege et al, mengkombinasikan agen steroid
Altesin dengan meperidine yang berguna untuk menjaga
suplemen oksigen pada pasien dengan nafas spontan.
Menjadikan titik tolak perkembangan dan ketertarikan
anestesiologist terhadap tehnik TIVA, yang diikuti dengan
perkembangan dan penemuan obat lainnya seperti tiopental,
metohexital, etomidat, propofol dan ketamin. Kecuali ketamin,
obat anestesi intra vena yang lain tidak mempunyai efek
analgesia. Sifat fisik dan farmakologis anestetika intra vena
yang ideal meliputi :
1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan
2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak
merusak jaringan saat digunakan ekstravaskuler maupun
intra arteri.
3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi
hipersensitifi tas
4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan
aktifi tas eksitasi
5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat
6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk
meningkatkan kefektifan titrasinya dan meminimalisir
akumulasi obat di jaringan
7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal
8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial
9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut
10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting
(PONV), amnesia, reaksi psikomimetik, pusing, nyeri
kepala maupun waktu sedasi yang memanjang (hangover
eff ects
4. Rumatan Anestesi
Obat-obat induksi Intravena
Untuk induksi intravena dapat digunakan obat-obatan yang
mempunyai onset kerja cepat. Contoh obat induksi yang dapat
digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Thiopenton
paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang
dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan
histamin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa thiopenton
dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor μ2,
menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik
negative dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat
stimulasi yang harus berlanjut. Oleh karena itu blok reseptor μ2
dapat menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang
disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan) Ketamin dan
propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan
melalui penekanan langsung aktivitas otot polos saluran napas.
Dari suatu hasil penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat
digunakan untuk bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten
daripada propofol. Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat
menurunkan insidensi wheezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB.
Dibandingkan dengan benzodiazepine, propofol lebih
menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhir yang
cepat pula. Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesicuntuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin
diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek
meningkatkan sekresi saliva dan trakeobronkial. Efek ini dapat
dicegah dengan menggunakan antisialogog seperti atropine
ataupun gycopyrolate. Refleks bronkospasme dapat dicegah
sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-
2mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatile
selama 5 menit atau diberikan lidokain intravena atau intratrakeal
1-2mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu
bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga
dengan antikolinergik (atropine 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi
dapat menyebabkan takikardi
5. Resiko
Seperti juga prosedur medis lainnya, anastesi berisiko menimbulkan
efek samping, baik ringan maupun berat. Berikut ini adalah efek
samping yang bisa terjadi akibat pemberian anestesi, berdasarkan
jenis anestesinya: Efek samping anestesi umum:
 Mual dan muntah.
 Mulut kering.
 Sakit tenggorokan
 Suara serak.
 Rasa kantuk.
 Menggigil.
 Timbul nyeri dan memar di area yang disuntik atau
dipasangkan infus.
 Kebingungan.
 Sulit buang air kecil.
 Kerusakan gigi.
Risiko untuk mengalami efek samping anestesi akan semakin
tinggi apabila pasien memiliki penyakit atau kondisi kesehatan
tertentu, misanya penyakit jantung atau obesitas. Usia yang terlalu
muda atau terlalu tua, kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol,
serta konsumsi obat-obatan tertentu juga akan meningkatkan risiko
terjadinya efek samping anestesi. Untuk mencegah munculnya efek
samping, dokter atau penata anestesi akan melakukan pemeriksaan
lengkap dan memberitahukan hal-hal apa saja yang boleh dan tidak
boleh dilakukan sebelum operasi berlangsung. Misalnya, kapan
harus berhenti makan dan minum, atau obat dan suplemen apa saja
yang tidak boleh dikonsumsi sebelum operasi. Jika Anda akan
melakukan operasi atau suatu tindakan medis, baik besar maupun
kecil, tanyakanlah dengan jelas kepada dokter anestesi yang akan
menangani Anda, terkait jenis dan efek samping anestesi yang akan
digunakan.
C. Web of caution (WOC)

Abortus
Inkomplit

post anestesi

kuretase

Pre anestesi Intra anestesi Belum sadar penuh

Jaringan Terputus
Kurang Masuknya alat Resiko Jatuh
pengetahuan
tindakan kuretase

Merangsang area
sensorik motorik Cemas
Peningkatan Nadi

Nyeri
Nyeri
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Kasus
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk


mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi
kebebutuhan serta masalahnya. Pengkajian meliputi :
a. Data Subjektif : mengatakan Ibu mengeluh nyeri dibagian perut,
Pasien masih dalam pengaruh obat anestesi, Pasien mengatakan
belum pernah dirawat di RS, Pasien selalu bertanya perihal
dindakan operasi
b. Data Objektif : Wajah terlihat meringis, Nadi = 115x/menit, TD
=140/80 mmHg, RR =24 x/ menit, skala nyeri 6, Pasien dilakukan
tindakan Kuretage dengan teknik TIVA, Nadi meningkat
120x/menit, Pasien mengerang, Pasien tampak meronta ronta,
Aldrete score 7
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a. PRE ANESTESI
1. Nyeri
2. Ansietas
b. INTRA ANESTESI
1. Nyeri
c. PASCA ANESTESI
1. Resiko jatuh
3. Rencana intervensi
a. Pre anestesi
1. Nyeri
a) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
nyeri hilang atau terkontrol, klien tampak rileks dengan
kreteria hasil:
b) Kriteria hasil
1. Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
2. Pasien mampu istirahat atau tidur
3. Ekspresi wajah nyaman atau tenang
4. TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N :
60-100 x/mnt R : 16-24 x/mnt
c) Rencana tindakan
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekuensi dan
karakteristik nyeri
3. Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
4. Ajarkan Teknik relaksasi
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic

2. Ansietas
a) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
ansietas (kecemasan) teratasi dengan
b) Kriteria hasil
1. Pasien bersedia menjalani operasi
2. Pasien tenang, tidak gelisah
3. TTV dalam batas normal ( TD : 120/80, N : 80-
100x/mnt, RR: 14-20 x/menit)
c) Rencana tindakan
1. Observasi TTV
2. Ajarkan teknik relaksasi
3. KIE pasien terkait jenis tindakan dan anestesi
4. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian
premedikasi midazolam
b. Intra anestesi
1. Nyeri
a) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi nyeri
b) Kriteria hasil
1. Nyeri teratasi
2. Pasien dapat bernafas dengan relaks
3. Nadi normal : 80 x/menit
c) Rencana tindakan
1. Monitoring Vital sign
2. Monitoring saturasi oksigen pasien
3. Berikan oksigen
4. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian
analgetik
c. Pasca anestesi
1. Resiko jatuh
a) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi
diharapkan tidak aman setelah pembedahan
b) Kriteria hasil

1. Tanda tanda vital dalam batas normal Td 110-


120/70-80 mmHg Nadi 60-100x/menit RR 16-
20x/menit
2. Aldread score>7
c) Rencana intervensi
1. Monitoring TTV
2. Lakukan penilaian Aldread score
3. Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
4. Berikan gelang resiko jatuh

Anda mungkin juga menyukai