Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KETUBAN PECAH DINI DENGAN SECTIO CAESARIA

DISUSUN OLEH :

FAJAR SIDIK PRATAMA

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Horizon Karawang

Jalan Pangkal Perjuangan KM 1 (By Pass), Kabupaten Karawang,

Jawa Barat 413116, Indonesia

2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
KPD DENGAN SECTIO CAESARIA

A. Konsep Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Pengertian KPD
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10 %
perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini (Saifuddin, 2014).

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi
proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang
waktu (Ida Ayu, 2010). KPD adalah pecahnya ketuban sebelum waktu melahirkan
yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh sebelumnya (Nugroho, 2010).

pecah dinyatakan dini jika terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Suatu
proses infeksi dan peradangan dimulai di ruangan yang berada diantara amnion korion
(Joseph, 2010). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah
dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat
terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD
preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang
adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

2. Etiologi Ketuban Pecah Dini


Menurut Manuaba (2013), penyebab ketuban pecah dini antara lain :
1) Servik inkompeten (penipisan servikx) yaitu kelainan pada servik uteri dimana
kanalis servikalis selalu terbuka.
2) Ketegangan uterus yang berlebihan, misalnya pada kehamilan ganda dan
hidroamnion karena adanya peningkatan tekanan pada kulit ketuban di atas 6
ostium uteri internum pada servik atau peningkatan intra uterin secara mendadak.
3) Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetic.
4) Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten.
a. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi
b. Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin
c. Komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat

5) Kelainan letak janin dalam rahim, misalnya pada letak sunsang dan letak lintang,
karena tidak ada bagan terendah yang menutupi pintu atas panggul yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membrane bagian bawah. kemungkinan
kesempitan panggul, perut gantung, sepalopelvik, disproporsi.
6) Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban
pecah dini.
3. Patofisiologis Ketuban Pecah Dini
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut:

1) Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah
dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.

2) Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler


korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada
infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi 7 depolimerisasi kolagen pada
selaput korion / amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah
pecah spontan.

3) Patofisiologi Pada infeksi intrapartum:


a. Ascending infection (naiknya mikroorganisme), pecahnya ketuban
menyebabkan ada hubungan langsung antara ruang intraamnion dengan dunia
luar.
b. Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan
penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang
intraamnion.
c. Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar
melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal). Tindakan iatrogenik traumatik atau
higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang terlalu sering, dan
sebagainya, predisposisi infeksi (Prawirohardjo (2010)
4. Pathway Ketuban Pecah Dini

5. Manifestasi Klinik Ketuban Pecah Dini


Manifestasi klinik KPD menurut Mansjoer (2008) antara lain :
1) Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau
kecoklatan, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak.
2) Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi
3) Janin mudah diraba
4) Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering
5) Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering.
6) Kecemasan ibu meningkat.

6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan
pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga
urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas
nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning
b. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan
infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu
c. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan
dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun
pakis.
d. Pemeriksaanultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion. Walaupun
pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada
umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan
sedehana.

7. Penatalaksanaan Keperawatan Ketuban Pecah Dini


Manajemen terapi pada ketuban pecah dini menurut Manuaba (2013):
1) Konservatif
a. Rawat rumah sakit dengan tirah baring.
b. Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin.
c. Umur kehamilan kurang 37 minggu.
d. Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari.
e. Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan
kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin.
f. Jangan melakukan periksan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda persalinan.
g. Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau gawat janin.
h. Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi uterus
maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air berlangsung terus,
lakukan terminasi kehamilan.
2) Aktif
Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi. Bila ditemukan
tanda tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka lakukan terminasi kehamilan.
a. Induksi atau akselerasi persalinan.
b. Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan mengalami
kegagalan.
c. Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat ditemukan.
Hal-hal yang harus diperhatikan saat terjadi pecah ketuban
Yang harus segera dilakukan:

1) Pakai pembalut tipe keluar banyak atau handuk yang bersih.


2) Tenangkan diri Jangan bergerak terlalu banyak pada saat ini. Ambil nafas
dan tenangkan diri.
Yang tidak boleh dilakukan:

1) Tidak boleh berendam dalam bath tub, karena bayi ada resiko terinfeksi
kuman.

2) Jangan bergerak mondar-mandir atau berlari ke sana kemari, karena air


ketuban akan terus keluar. Berbaringlah dengan pinggang diganjal supaya
lebih tinggi.

A. Konsep Sectio Sesaria


1. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005). Sectio caesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut
atau vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
(Mochtar, 1998). Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan
berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh(Gulardi &Wiknjosastro, 2006).

2. Etiologi
a.       Indikasi Ibu
a)      Panggul sempit absolute
b)      Placenta previa
c)      Ruptura uteri mengancam
d)     Partus Lama
e)      Partus Tak Maju
f)       Pre eklampsia, dan Hipertensi
b.      Indikasi Janin
a)     Kelainan Letak
1.  Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah jalan/cara
yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala letak lintang yang
janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua primigravida dengan letak
lintang harus ditolong dengan sectio caesarea walaupun tidak ada
perkiraan panggul sempit. Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu
ditolong dengan cara lain.
2.  Letak belakang
Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang bila
panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
b)      Gawat Janin
c)      Janin Besar 
c.      Kontra Indikasi
a)      Janin Mati
b)      Syok, anemia berat.
c)      Kelainan congenital Berat

3. Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim.
Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika
perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio
caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan
pada placenta previa walaupun anak sudah mati.

4. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus
lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin.
Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio
Caesarea (SC).
  Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi
aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan
pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri
sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu,
dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen
sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf
- saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan
prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang
bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.

5. Manifestasi Klinik Post Sectio Caesaria


Persalinan dengan Sectio Caesaria, memerlukan perawatan yang lebih
koprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan post  partum.
Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doenges (2001), antara lain :
a.      Nyeri akibat ada luka pembedahan
b .   Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c .     Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d.     Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
banyak)
e.     Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 ml
f.     Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan ketidakmampuan
menghadapi situasi baru
g.     Biasanya terpasang kateter urinarius
h .   Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i.   Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j.      Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k.    Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham
prosedur
l.      Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.

6. Komplikasi
a.       Infeksi Puerpuralis
a)      Ringan      : dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
b)      Sedang     : dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau
perut sedikit kembung
c)      Berat        : dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita
jumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi
infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b.      Pendarahan disebabkan karena :
a)      Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
b)      Atonia Uteri
c)      Pendarahan pada placenta bled
c.  Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonalisasi terlalu tinggi.
d.   Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada
dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri.
Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.

7. Pemeriksaan Penunjang
a.      Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
b.     Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c.      Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d.     Urinalisis / kultur urine
e.      Pemeriksaan elektrolit

8. Penatalaksanaan
a.     Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah
sesuai kebutuhan.
b.     Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
c.     Mobilisasi
a)      Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
b)      Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c)   Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
d)    Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e)    Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
f)    Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d.      Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
e.     Pemberian obat-obatan
a)      Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
b)      Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1.      Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam
2.      Oral             : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3.      Injeksi         : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c)      Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
f.       Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
g.      Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
h.      Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.Manuaba, 1999)
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Fokus
a. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan kesadaran klien, BB / TB, tekanan darah, nadi, pernafasan
dan suhu
2) Head To Toe:
 Rambut: warna rambut, jenis rambut, bau nya, apakah ada luka lesi /
lecet
 Mata: skleranya apakah ihterik / tdk, konjungtiva anemis / tidak,
apakah palpebra oedema / tidak, bagaimana fungsi penglihatan nya
baik / tidak, apakah klien menggunakan alat bantu penglihatan / tidak.
Pada umumnya ibu hamil konjungtiva anemis
 Telinga: apakah simetris kiri dan kanan, apakah ada terdapat serumen /
tidak, apakah klien menggunakan alt bantu pendengaran / tidak,
bagaimana fungsi pendengaran klien baik / tidak
 Hidung: apakah klien bernafas dengan cuping hidung / tidak, apakah
terdapat serumen / tidak, apakah fungsi penciuman klien baik / tidak
 Mulut dan gigi: bagaimana keadaan mukosa bibir klien, apakah lembab
atau kering, keadaan gigi dan gusi apakah ada peradangan dan
pendarahan, apakah ada karies gigi / tidak, keadaan lidah klien bersih /
tidak, apakah keadaan mulut klien berbau / tidak. Pada ibu hamil pada
umum nya berkaries gigi, hal itu disebabkan karena ibu hamil
mengalami penurunan kalsium
 Leher: apakah klien mengalami pembengkakan tyroid
 Paru – paru.
 Inspeksi: warna kulit, apakah pengembangan dada nya simetris kiri
dan kanan, apakah ada terdapat luka memar / lecet, frekuensi
pernafasan nya
 Palpasi: apakah ada teraba massa / tidak , apakah ada teraba
pembengkakan / tidak, getaran dinding dada apakah simetris / tidak
antara kiri dan kanan
 Perkusi: bunyi Paru
 Auskultasi: suara nafas
 Jantung
 Inspeksi: warna kulit, apakah ada luka lesi / lecet, ictus cordis
apakah terlihat / tidak
 Palpasi: frekuensi jantung berapa, apakah teraba ictus cordis pada
ICS% Midclavikula
 Perkusi: bunyi jantung
 Auskultasi: apakah ada suara tambahan / tidak pada jantung klien
 Abdomen
 Inspeksi: keadaan perut, warna nya, apakah ada / tidak luka lesi
dan lecet
 Palpasi: tinggi fundus klien, letak bayi, persentase kepala apakah
sudah masuk PAP / belum
 Perkusi: bunyi abdomen
 Auskultasi: bising usus klien, DJJ janin apakah masih terdengar /
tidak
 Payudara: puting susu klien apakah menonjol / tidak,warna aerola,
kondisi mamae, kondisi ASI klien, apakah sudah mengeluarkan ASI
/belum
 Ekstremitas atas: warna kulit, apakah ada luka lesi / memar, apakah
ada oedema / tidak
 Ektremitas bawah: apakah ada luka memar / tidak , apakah oedema /
tidak
 Genitalia: apakah ada varises atau tidak, apakah ada oedema / tidak
pada daerah genitalia klien
 Integumen: warna kulit, keadaan kulit, dan turgor kulit baik / tidak.

b. Pemeriksaan Laboratorium
a. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau
dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban
mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5,
dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning
b. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah
dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu
c. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek
dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daun pakis
d. Pemeriksaanultrasonografi (USG)
e. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion. Walaupun
pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun
pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan
pemeriksaan sedehana.

2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
b.    Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi, kelemahan, penurunan sirkulasi
c.    Gangguan Integritas Kulit b.d tindakan pembedahan
d.    Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi.
e.    Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan,
penyembuhan dan perawatan post operasi.
f.     Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan
pembedahan

3.    Rencana Kperawatan
Diagnosa Tujuan dan
No Intervensi
Keperawatan Kriteria hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri hal. 201 (SIKI)
tindakan  Observasi
keperawatan selama
 Identifikasi lokasi, durasi,
2 x 24 jam
frekuensi, kualitas, intensitas
diharapkan nyeri
nyeri
berkurang dengan
kriteria hasil sebagai  Identifikasi skala nyeri
berikut :  Identifikasi faktor yang
-Tidak terlalu memperberat dan memperingan
mengeluh nyeri nyeri
-TD normal 120/80  Identifikasi pengetahuan dan
mmhg keyakinan tentang nyeri
-Nadi normal 60  Identifikasi pengaruh budaya
-100 x/menit terhadap respon nyeri
-Sudah bisa tidur  Idenifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplenter yang sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
 Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, tipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromat terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
komres hangat atau dingin,
terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitas istirahat dan tidur
 Pertimbangan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan stategi
meredakan nyeri
 Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode
dan memicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Kolaborasi
 Kolaborasikan pemberian
analgesik, jika perlu
2 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen energi hal. 176 (SIKI)
Aktivitas tindakan  Observasi
keperawatan selama  Identifikasi gangguan fungsi
1 x 24 jam tubuh yang mengakibatkan
diharapkan kelelahan
intoleransi dapat  Monitor kelelahan fisik dan
teratasi dengan emosional
kriteria hasil :  Monitor pola dan jam tidur
1. Aktifitas fisik  Monitor lokasi dan
yang ketidaknyamanan selama
direkomendasik melakukan aktifitas
an cukup  Terapeutik
meningkat (5)  Sediakan lingkungan nyaman dan
2. Aktifitas yang rendah stimulus
tepat cukup  Latihan fisik rentang gerak
meningkat (4) pasif/aktif
3. Strategi untuk  Berikan aktivitas distraksi dan
menyeimbangk menenangkan
an aktivitas dan  Fasilitasi duduk ditempat tidur,
istirahat cukup jika tidak dapat berpindah atau
meningkat (4) berjalan
4. Teknik  Edukasi
pernafasan
 Anjurkan tirah baring
yang efektif
 Anjurkan melakukan aktifitas
meningkat (5)
secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
 Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

3 Gangguan Setelah melakukan Dukungan mobilisasi


mobilisasi fisik tindakan Observasi
b.d nyeri keperawatan selama  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
2x24 jam dihrapkan fisik lainnya
gangguan mobilisasi  Identifikasi toleransi fisik melakukan
berkurang dengan pergerakan
kriteria hasil sebgai  Monitot frekuensi jantung dan TD
berikut sebelum memulai mobilisasi
-Tidak mengeluh  Monitor kondisi umum selama
sulit bergerak melakukan mobilisasi
-Tidak sakit saat Terapeutik
melakukan aktivitas  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
-Rentang gerak alat bantu (mis. Oagar tempat tidur)
meningkat  Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
-Gerakan perlu
terkoordinasi  Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
 jelakan tujuan dan prosedur operasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Anjurkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. Duduk
ditempat tidur, duduk disisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)

4. Resiko Infeksi Setelah dilakukan Risiko infeksi


tindakan Intervensi : Pencegahan infeksi
keperawatan selama Observasi
2x24 jam diharapkan  monitor tanda dan gejala infeksi
risiko infeksi dapat lokal dan sistemik
teratasi dengan Terapeutik
kriteria hasil:  batasi jumlah pengunjung
1. kemerahan
 berikan perawatan kulit pada area
menurun
edema
2. nyeri
 cuci tangan sebelum dan sesudah
menurun
kontak dengan pasien dan
3. kultur area
lingkungan pasien
luka sedang
 pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi

Edukasi
 jelaskan tanda dan gejala infeksi
 ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
 ajarkan etika batuk
 ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
 anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
 anjurkan meningkatkan cairan

Kolaborasi
kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
5. Ansietas Setelahh melakukan Terapi relaksasi
tindakan Observasi
keperawatan selama  Identifikasi penurunan tingkat energi,
2 x 24 jam ketidak mampuan berkonsentrasi,
diharapkan ansietas atau gejala lain yang mengganggu
berkurag dengan kemampuan kognitif
kriteria hasil sebgai  Identifikasi teknik relaksasi yang
berikut : pernah efektif di gunakan
-Merasa bingung  Identifikasi kesediaan, kemampuan
berkurang dan penggunaan teknik sebelumnya
-Merasa khawatir  Periksa ketegangan otot, frekuensi
berkurang nadi, TD dan suhu sebelum dan
-Gelisah berkurang sesudah latihan
Terapeutik
 Ciptakan lingkungan tenang dan
tanpa gangguan dengan pencahayaan
dan suhu ruang nyaman, jika
memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan
irama lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik atau
tundakan medis lain, jika perlu
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan
jenis relaksasi yang tersedia
 Jelaskan secara rinci intervensi yang
dipilih
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensai
rileksasi
 Anjurkan sering mengulang atau
melatih teknik yang dipilih
 Demonstrasikan dan latih teknik
relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC


Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan
KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi

Anda mungkin juga menyukai