Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN POST PARTUM

DENGAN SECTIO CAESAREA INDIKASI KETUBAN PECAH DINI


DI RUANG ADAS MANIS RSUD PANDANARANG BOYOLALI
Disusun untuk memenuhi tugas keperawatan Maternitas

Disusun Oleh :

Aprilia Wulandari

P202205006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN

TAHUN AJARAN 2022/2023


LAPORAN PENDAHULUAN

MASA NIFAS

1. Ketuban Pecah Dini (KPD)


a. Pengertian
Ketuban pecah dini merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
mulai persalinan dan ditunggu satu jam sebelum terjadi in partu (Manuaba, 2009).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum persalinan mulai pada
tahapan kehamilan manapun (Arma, 2015). Sedangkan menurut (Darma Sari,
2017) ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan berupa air-air dari
vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan pecah dini
terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Cairan keluar melalui selaput
ketuban yang mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai 28
minggu dan setidaknya satu jam sebelum waktu kehamilan yang sebenarnya.
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami KPD.
Jadi ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini dapat berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan.
Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten
atau dengan sebutan Lag Period. Ada beberapa perhitungan yang mengukur Lag
Period, diantaranya 1 jam atau 6 jam sebelum intrapartum, dan diatas 6 jam
setelah ketuban pecah. Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah
pecah, maka dapat terjadi infeksi pada ibu dan juga bayi (Fujiyarti, 2016).

b. Etiologi
Faktor yang menyebabkan kejadian ketuban pecah dini antara lain:
(Aspiani & Reny, 2017)
a) Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban yang bisa menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini.
b) Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka karena
kelainan pada servik uteri akibat persalinan atau curetage.
c) Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya:
1) Trauma: saat berhubungan badan, pememeriksaan yang dilakukan saat
kehamilan untuk memeriksa sampel air ketuban untuk mengetahui ada
atau tidaknya kelainan pada janin (amniosintesis), trauma saat
berkendara.
2) Gemelli: Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau
lebih. Pada kehamilan Gemelli terjadinya distensi uterus yang berlebihan
sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan, hal
ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak
ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah.

c. Tanda dan Gejala


Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina,
aroma air ketuban berbau, berwarna pucat, cairan ini tidak akan berhenti atau
kering karena uterus diproduksi sampai kelahiran mendatang. Tetapi, bila duduk
atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal”
atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu, demam, bercak
vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah capat merupakan
tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sunarti, 2017) .

d. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah
tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh
infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion
di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler
atau trofoblas (Mamede et al., 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan biokimia
yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur,
jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput
ketuban diidentifikasi sebagai suatu zona “restriced zone of exteme altered
morphologi (ZAM)” (Rangaswamy et al., 2012).
Mekanisme terjadinya KPD dimulai dengan terjadi pembukaan premature
servik, lalu kulit ketuban mengalami devaskularisasi. Setelah kulit ketuban
mengalami devaskularisasi selanjutnya kulit ketuban mengalami nekrosis
sehingga jaringan ikat yang menyangga ketuban makin berkurang, melemahnya
daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi yang mengeluarkan enzim
yaitu enzim proteolotik dan kolagenase yang diikuti oleh ketuban pecah spontan
(Manuaba, 2009).

e. Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan dalam mendiagnosa
KPD yaitu :
a) Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, konsentrasi, bau dan
pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga
urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas
nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika
kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya air ketuban
(alkalis). pH air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan
tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis) dengan meneteskan air 17
ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukan gambaran daun pakis.
b) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
cavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion

f. Penatalaksanaan
Menurut Ratnawati (2017), penatalaksanaan ketuban pecah dini, yaitu :
a) Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.
b) Bila janin hidup dan terdapat prolaps di tali pusat, ibu dirujuk dengan posisi
panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi bersujud.
c) Jika perlu kepala janin didorong ke atas dengan dua jari agar tali pusat tidak
tertekan kepala janin
d) Jika Tali pusat di vulva maka di bungkus kain hangat yang dilapisi plastik
e) Jika ada demam atau di khawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau KPD
lebih dari 6 jam, berikan antibiotik.
f) Bila keluarga ibu menolak dirujuk, ibu diharuskan beristirahat dengan posisi
berbaring miring, berikan antibiotik.
g) Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan konservatif, yaitu
tirah baring dan berikan sedatif, antibiotik dan tokolisis.
h) Pada kehamilan 33-35 minggu dilakukan terapi konservatif selama 24 jam
lalu induksi persalinan.
i) Pada kehamilan lebih 36 minggu, bila ada his, pimpin meneran dan
akselerasi bila ada inersia uteri.
j) Bila tidak ada his, lakukan tindakan induksi persalinan bila ketuban pecah
kurang dari 6 jam dan skor pelvik kurang dari 5 atau ketuban pecah dini lebih
dari 6 jam dan skor pelvik lebih dari 5.
k) Bila terjadi infeksi, akhiri kehamilan. Mengakhiri kehamilan dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu:
1) Induksi Induksi adalah proses stimulasi untuk merangsang kontraksi
rahim sebelum kontraksi alami terjadi, dengan tujuan untuk mempercepat
proses persalinan. (Alodokter, 2018).
2) Persalinan secara normal/pervaginam Persalinan normal adalah proses
persalinan melalui kejadian secara alami dengan adanya kontraksi rahim
ibu dan dilalui dengan pembukaan untuk mengeluarkan bayi (Wikipedia,
2018).
3) Sectio caesarea. Menurut (Heldayani, 2009), sectio caesarea adalah suatu
cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus
melalui dinding depan perut untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
2. Secio Caesarea
A. Pengertian
Secio Caesarea adalah persalinan janin melalui sayatan perut terbuka
(laparotomi) dan sayatan di rahim (histerotomi). Sesar pertama yang
didokumentasikan terjadi pada 1020 M, dan sejak itu prosedurnya telah
berkembang pesat (Sung & Mahdy, 2020).
Saat ini, Sectio Caesarea merupakan operasi yang paling sering dilakukan di
Amerika Serikat, dengan lebih dari 1 juta wanita melahirkan melalui operasi
caesar setiap tahun. Angka persalinan sesar naik dari 5% pada tahun 1970 menjadi
31,9% pada tahun 2016. Meskipun ada upaya berkelanjutan untuk mengurangi
tingkat bedah sesar, para ahli tidak mengantisipasi penurunan yang signifikan
setidaknya selama satu atau dua dekade. Meskipun memberikan risiko komplikasi
langsung dan jangka panjang, bagi beberapa wanita, persalinan sesar bisa menjadi
cara teraman atau bahkan satu-satunya cara untuk melahirkan bayi baru lahir yang
sehat (Sung & Mahdy, 2020).
Dari hasil beberapa studi yang berbeda memberikan informasi yang menarik,
dimana sebagian besar Sectio caesarean (50 %) dilakukan sebagai keadaan
Emergency selama persalinan, 35 % sebagai operasi Elective dan 15 % dari semua
operasi Sectio caesarean tunggal pada wanita primipara, dan di antara primipara,
keadaan darurat selama persalinan bertanggung jawab atas 35 % operasi Sectio
caesarean.
Terdapat 4 indikator yang menyumbang 80-85 % dari total operasi Sectio
caesarean, sebagai berikut :
1. Section caesarean elective oleh karena indikasi presentasi bokong
2. Section caesarean emergency oleh karena indikasi retardasi pertumbuhan
3. Section caesarean emergency oleh karena selama persalinan karena janin
gagal berkembang atau gawat janin
4. Repeat section caesarean
B. Indikasi / Kontraindikasi
 Indikasi
Ada berbagai alasan mengapa janin tidak bisa, atau tidak boleh
dilahirkan melalui vagina. Beberapa dari indikasi ini dianggap tidak fleksibel
karena persalinan pervaginam akan berbahaya dalam kasus klinis tertentu.
Misalnya, kelahiran sesar sering kali merupakan tatalaksana yang
direkomendasikan jika pasien pernah mengalami bekas luka sesar klasik atau
sebelumnya terdapat riwayat ruptur uteri. Namun, karena potensi komplikasi
persalinan sesar, banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari cara untuk
mengurangi angka operasi sesar (Sung et al, 2020) (Cunningham et al.,
2018).
Terdapat penurunan pada jumlah kali pertama pasien mendapatkan
operasi caesar, karena banyak wanita yang melahirkan kali pertama dengan
metode sesar pada akhirnya akan memiliki sisa anak mereka melalui operasi
caesar. Pasien mungkin memilih operasi caesar karena berbagai alasan, atau
mungkin bukan kandidat untuk kelahiran pervaginam berikutnya. Misalnya,
jika pasien memiliki serviks yang tidak produktif pada waktunya,
pematangan serviks dengan obat-obatan seperti misoprostol tidak dianjurkan
karena peningkatan risiko ruptur uterus dengan obat-obatan tersebut. Dalam
artikel yang diterbitkan pada tahun 2011 “Pencegahan Aman Kelahiran
Caesar Primer,” penulis membahas indikasi yang paling sering
didokumentasikan untuk kelahiran sesar kali pertama (distosia persalinan,
pola detak jantung janin abnormal, malpresentasi janin, kehamilan ganda,
dan dugaan makrosomia janin), dan mitigasi bagaimana faktor-faktor
tersebut (Sung et al, 2020) (Cunningham, 2018)
Indikasi Ibu untuk Operasi Caesar yakni sebagai berikut (Sung et al,
2020):
1. Persalinan sesar sebelumnya
2. Permintaan ibu
3. Deformitas panggul atau disproporsi sefalopelvis
4. Trauma perineum sebelumnya
5. Sebelumnya operasi rekonstruksi panggul atau anal / rektal
6. Herpes simpleks atau infeksi HIV
7. Penyakit jantung atau paru
8. Aneurisma serebral atau malformasi arteriovenosa
9. Patologi yang membutuhkan pembedahan intraabdominal secara
bersamaan
10. Sesar perimortem

Indikasi Uterine / Anatomis untuk operasi caesar yakni sebagai berikut


(Sung et al, 2020) (Cunningham et al., 2018).
1. Plasentasi abnormal (seperti plasenta previa, plasenta akreta)
2. Solusio plasenta
3. Riwayat histerotomi klasik
4. Miomektomi ketebalan penuh sebelumnya
5. Riwayat dehiscence insisi uterus
6. Kanker serviks invasif
7. Trakelektomi sebelumnya
8. Massa obstruktif saluran genital
9. Cerclage permanen

Indikasi Janin untuk operasi caesar yakni sebagai berikut (Sung et al,
2020) (Cunningham et al., 2018).
1. Status janin yang tidak meyakinkan (seperti pemeriksaan Doppler tali
pusat abnormal) atau detak jantung janin yang abnormal
2. Prolaps tali pusat
3. Gagal melahirkan pervaginam operatif
4. Malpresentation
5. Makrosomia
6. Anomali kongenital
7. Trombositopenia
8. Trauma kelahiran neonatal sebelumnya

Suatu studi pada tahun 2007 mengamati tingkat risiko janin tambahan
yang dianggap dapat diterima oleh seorang wanita atau pengasuhnya untuk
mencapai persalinan pervaginam dan untuk menghindari operasi caesar.
Mereka menyimpulkan bahwa pasien hamil dan mereka yang merawat
mereka memiliki toleransi yang rendah terhadap risiko. Dapat dimengerti dan
dibenarkan bagi seorang wanita untuk memiliki ekspektasi yang tinggi atas
hasil persalinannya. Tujuan menurunkan angka operasi caesar mungkin sulit
dicapai, mengingat keraguan untuk mengekspos janin pada risiko (Sung et al,
2020) (Cunningham et al., 2018).
Namun tidak menutup kemungkinan akan indikasi non medis yang
didapatkan dalam persalinan Sectio caesarean. Dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan, didapatkan beberapa faktor non medis, seperti ; induksi
permintaan sisi penawaran, masalah keputusan yang berkaitan dengan
kenyamanan professional dan optimalisasi waktu dan kecenderungan untuk
Sectio caesarean di rumah sakit swasta dibandingkan rumah sakit umum.
Diartikulasikan oleh 4 faktor seperti :
1. Penilaian diri dan pengaturan diri dalam praktik medis
2. Penggunaan teknologi yang bertanggung jawab
3. Faktor keuangan
4. Adanya faktor ketakutan akan tindakan / peralatan medis.

 Kontra Indikasi
Berikut merupakan hal yang menjadi kontraindikasi dilakukannya
operasi Sectio Caesarea (Sung et al, 2020) (Cunningham et al., 2018).
1) Janin mati
2) Shock
3) Anemia berat
4) Kelainan kongenital berat
5) Infeksi piogenik pada dinding abdomen
6) Fasilitas yang kurang memadai dalam operasi sectio caesarea
Pelaksanaan persalinan SC tanpa didasari indikasi medis adalah tidak
etis, kecuali jika telah melalui tahapan konseling. Pasien memiliki hak
otonomi untuk meminta dilakukan persalinan SC, bila pasien sadar dan tanpa
tekanan dalam memutuskan untuk dilakukan persalinan SC.
Tetapi indikasi medis yang tentu harus jelas, ibu seharusnya menjalani
persalinan normal. Namun, masih banyak persepsi yang belum menemukan
titik tengah tentang persalinan SC. Akibatnya, persalinan pervaginam
maupun SC dijadikan pilihan dalam persalinan, walaupun persalinan SC
merupakan pilihan jika terdapat kedaruratan dalam persalinan.

3. Masa Nifas
A. Pengertian
Masa nifas (Post Partum) adalah masa di mulai setelah kelahiran plasenta
dan berakhir ketika alat kandungan kembali semula seperti sebelum hamil, yang
berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari. Selama masa pemulihan tersebut
berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan fisik yang bersifat fisiologis
dan banyak memberikan ketidak nyamanan pada awal postpartum, yang tidak
menutup kemungkinan untuk menjadi patologis bila tidak diikuti dengan
perawatan yang baik (Wahida & B, 2020).

B. Klasifikasi Post Partum


Masa post partum dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut (Maryunani, 2016):
1) Pueperium Dini ( Immediate Puerperium)
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan masa kepulihan dimana ibu
sudah diperbolehkan mobilisasi berdiri dan berjalanjalan. Pada masa ini
sering terjadi masalah misalnya Atonia Uteri oleh karenanya rutin dilakukan
pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah ibu dan
suhu.
2) Puerperium Intermedial ( Early Post Partum Period)
Masa puerperium minggu kedua sampai minggu keenam dimana terjadi masa
pemulihan menyeluruh otot-otot dan alat-alat genitalia yang lamanya 6-8
minggu. Pada fase ini memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak
ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3) Remote Puerperium ( Late Post Partum Period)
4) Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama
hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi, waktu untuk sehat
sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan atau tahunan.
C. Perubahan Fisiologi Post Partum
Menurut (Wahyuningsih, 2019) sebagai berikut :
1) Uterus
Setelah plasenta lahir, uterus akan mulai mengeras karena kontraksi
dan retaksi otot-ototnya. Uterus berangsur-angsur mengecil sampai keadaan
sebelum hami.

2) Lochea
Cairan/secret berasal dari kavum uteri dan vagina selama masa post
partum. Beberapa jenis lochea :
a. Lochea rubra berwarna merah karena berisi darah segar dan sisa-sisa
selaput ketuban, desidua, verniks kaseosa, lanugo, meconium berlangsung
2 hari post partum
b. Lochea sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah dan berlangsung
3-7 hari post partum
c. Lochea Serosa berwarna kuning karena mengandung serum, jaringan
desidua, leukosit dan eritrosit berlangsung 7-14 hari post partum
d. Lochea alba berwarna putih terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua
berlangsung 14 hari-2 minggu berikutnya
3) Endometrium
Perubahan terjadi dengan thrombosis degenerasi dan nekrosis di
tempat implantasi plasenta. Bekas implantasi plasenta karena kontraksi
sehingga menonjol ke kavum uteri, hari 1 endometrium tebal 2,5 mm,
endometrium akan rata setelah hari ke
4) Serviks
Setelah persalinan serviks menganga, setelah 7 hari dapat dilalui 1 jari,
setelah 4 minggu rongga bagian luar kembali normal.
5) Vagina dan perineum
Vagina secara berangsur-angsur luasnya berkurang tetapi jarang sekali
kembali seperti ukuran nullipara, hymen tampak sebagai tonjolan jaringan
yang kecil dan berubag menjadi karunkula mitiformis. Minggu ke 3 rugae
vagina kembali. Perineum yang terdapat laserasi atau jahitan serta udem akan
berangsur-angsur pulih sembuh 6-7 hari tanpa infeksi. Oleh karena itu vulva
hygiene perlu dilakukan.
6) Mamae / Payudara
Semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi secara
alami. Ada dua mekanisme : produksi susu, sekresi susu atau let down selama
kehamilan jaringan payudara tumbuh dan menyikapkan fungsinya
mempersiapkan makanan bagi bayi. pada hari ke tiga setelah melahirkan efek
prolaktin pada payudara mulai dirasakan, sel 29 acini yang menghasilkan ASI
mulai berfungsi. Ketika bayi menghisap putting, oksitosin merangsang ensit
let down (mengalirkan) sehingga menyebabkan ejeksi ASI.
7) System Pencernaan
Setelah persalinan 2 jam ibu merasa lapar kecuali ada komplikasi
persalinan, tidak ada alasan menunda pemberian makanan. Konstipasi terjadi
karena psikis takut BAB karena luka jahit perineum
8) System Perkemihan
Pelvis ginjal teregang dan laktasi selama kehamilan, kembali normal
akhir minggu ke 4 setelah melahirkan. Kurang dari 40% wanita post partum
mengalami proteinuria non patologis, kecuali pada kasus preeklamsi
9) System Muskuloskeletal
Ligament fasia diafragma pelvis meregang saat kehamilan berangsur-
angsur mengecil seperti semula
10) System Endokrin
a) Oksitosin berperan dalam kontraksi uterus mencegah pendarahan,
membantu uterus kembali normal. Isapan bayi dapat merangsang produksi
ASI dan sekresi oksitosin
b) Prolaktin, dikeluarkan oleh kelenjar dimana pituitrin merangsang
pengeluaran prolaktin untuk produksi ASI, jika ibu post partum tidak
menyusui dalam 14-21 hari timbul mentruasi
c) Estrogen dan progesterone, setelah melahirkan esterogen menurun,
progesterone meningkat
11) Perubahan tanda-tanda vital
a) Suhu tubuh saat post partum dapat naik 0,50C, setelah 2 jam post partum
normal
b) Nadi dan pernafasan, nadi dapat bradikardi atau takikardi waspada
mungkin ada perdarahan, pernafasan akan sedikit meningkat setelah
persalinan lalu kembali normal
c) Tekanan darah kadang naik lalu kembali normal setelah beberapa hari
asalkan tidak ada penyakit yang menyertai. BB turun rata-rata 4,5 kg
12) Setelah partus/melahirkan, adanya striase pada dinding abdomen tidak dapat
dihilangkan sempurna dan berubah jadi putih (striae albicans)
13) Evaluasi tonus otot abdomen untuk menentukan diastasis (derajat pemisahan
otot rektus abdomen). Setiap wanita mempunyai 3 set otot abdominalis yaitu
rectus abdominalis, oblique, transverse. Rectus abdominalis merupakan otot
paling luar yang bergerak dari atas kebawah. Otot ini terbagi menjadi 2 yang
dinamakan recti yang lebarnya ±0,5 cm dan di hubungkan oleh jaringan
fibrous (linea alba)

D. Perubahan Psikologi Post Partum


Berikut tahap penyesuaian psikologi ibu dalam masa post partum Menurut
(Sutanto & Vito, 2018):
1. Adaptasi Psikologis Ibu Postpartum Pada primipara, menjadi orangtua
merupakan pengalaman tersendiri dan dapat menimbulkan stress bila tidak
ditangani dengan segera. Perubahan peran dari wanita biasa menjadi seorang
ibu memerlukan adaptasi sehingga ibu dapat melakukan perannya dengan
baik. Perubahan hormonal yang sangat cepat setelah proses melahirkan juga
ikut mempengaruhi keadaan emosi dan proses adaptasi ibu pada masa nifas.
Fase-fase yang dialami oleh ibu pada masa nifas adalah sebagai berikut :
1) Fase Talking In (Setelah melahirkan sampai hari ke dua)
a. Perasaan ibu berfokus pada dirinya.
b. Ibu masih pasif dan tergantung dengan orang lain.
c. Perhatian ibu tertuju pada kekhawatiran perubahan tubuhnya.
d. Ibu akan mengulangi pengalaman pengalaman waktu melahirkan.
e. Memerlukan ketenangan dalam tidur untuk mengembalikan keadaan
tubuh ke kondisi normal.
f. Nafsu makan ibu biasanya bertambah sehingga membutuhkan
peningkatan nutrisi.
g. Kurangnya nafsu makan menandakan proses pengembalian kondisi
tubuh tidak berlangsung normal.
2) Fase Taking Hold (Hari ke-3 sampai 10)
a. Ibu merasa merasa khawatir akan ketidakmampuan merawat bayi,
muncul perasaan sedih (baby blues).
b. Ibu memperhatikan kemampuan men jadi orang tua dan
meningkatkan teng gung jawab akan bayinya.
c. Ibu memfokuskan perhatian pada pengontrolan fungsi tubuh, BAK,
BAB dan daya tahan tubuh.
d. Ibu berusaha untuk menguasai keterampilan merawat bayi seperti
menggen dong, menyusui, memandikan, dan mengganti popok.
e. Ibu cenderung terbuka menerima nasehat bidan dan kritikan pribadi.
f. Kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum karena merasa
tidak mampu membesarkan bayinya.
g. Kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum karena merasa
tidak mampu membesarkan bayinya. 7) Wanita pada masa ini sangat
sensitif akan ketidakmampuannya, cepat tersinggung, dan cenderung
menganggap pemberi tahuan bidan sebagai teguran. Dianjur kan
untuk berhati-hati dalam berko munikasi dengan wanita ini dan
perlu memberi support.
3) Fase Letting Go (Hari ke-10sampai akhir masa nifas)
a. Ibu merasa percaya diri untuk merawat diri dan bayinya. Setelah ibu
pulang ke rumah dan dipengaruhi oleh dukungan serta perhatian
keluarga.
b. Ibu sudah mengambil tanggung jawab dalam merawat bayi dan
memahami kebutuhan bayi

2. Postpartum Blues (Baby Blues)


Postpartum blues merupakan perasaan sedih yang dialami oleh seorang
ibu berkaitan dengan bayinya. Biasanya muncul sekitar 2 hari sampai 2
minggu sejak kelahiran bayi. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan
perasaan yang dialami ibu saat hamil sehingga sulit menerima kehadiran
bayinya. Perubahan perasaan ini merupakan respon alami terhadap rasa lelah
yang dirasakan. Selain itu juga karena perubahan fisik dan emosional selama
beberapa bulan kehamilan. Perubahan hormone yang sangat cepat antara
kehamilan dan setelah proses persalinan sangat berpengaruh dalam hal
bagaimana ibu bereaksi terhadap situasi yang berbeda (Maritalia, 2017).
Setalah melahirkan dan terlepasnya plasenta dari dinding rahim, tubuh ibu
mengalami perubahan besar dalam jumlah hormone sehingga membutuhkan
waktu untuk menyesuaikan diri. Disamping perubahan fisik, hadirnya
seorang bayi dapat membuat perbedaan besar dalam kehidupan ibu dalam
hubungannya dengan suami, orangtua, maupun anggota keluarga lain.
Perubahan ini akan kembali secara perlahan setelah ibu menyesuaikan diri
dengan pera barunya dan akan hilang dengan sendirinya sekitar 10 – 14 hari
setelah melahirkan (Maritalia, 2017).
Ibu yang mengalami baby blues akan mengalami perubahan perasaan,
menangis, cemas, kesepian, khawatir yang berlebihan mengenai bayi,
penurunan gairah seks, dan kurang percaya diri terhadap kemampuan
menjadi seorang ibu (Maritalia, 2017)
3. Depresi Postpartum
Kesedihan atau kemurungan yang dialami ibu pada masa nifas merupakan
hal yang normal. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam
tubuh seorang wanita selama kehamilan dan setelah bayi lahir. Seorang ibu
primipara lebih beresiko mengalami kesedihan atau kemurungan postpartum
karena ia belum mempunyai pengalaman dalam merawat dan menyusui
bayinya. Kesedihan atau kemurungan yang terjadi pada awal masa nifas
merupakan hal yang umum dan akan hilang sendiri dalam 2 minggu setelah
ibu melahirkan dan setelah melewati proses adaptasi (Maritalia, 2017).
Ada kalanya ibu merasakan kesedihan karena kebebasan, otonomi,
interaksi sosial, kemandiriannya berkurang setelah mempunyai bayi. Hal ini
akan mengakibatkan depresi postpartum. Ibu yang mengalami hal ini akan
menunjukkan tanda-tanda seperti : sulit tidur, tidak ada nafsu makan,
perasaan tidak berdaya atau kehilangan kontrol, terlalu cemas atau tidak
perhatian sama sekali pada bayi, tidak menyukai atau takut menyentuh bayi,
pikiran yang menakutkan mengenai bayi, sedikit atau tidak ada perhatian
terhadap penampilan diri, gejala fisik seperti sulit bernafas atau perasaan
berdebar-debar (Maritalia, 2017).
4. Respon Antara Ibu dan Bayi Setelah Persalinan
a. Sentuhan (Touch)
Sentuhan yang dilakukan ibu pada bayinya seperti membelai-
belai kepala bayi dengan lembut, mencium bayi, menyentuh wajah dan
ekstermitas, memeluk dan menggendong bayi, dapat membuat bayi
merasa aman dan nyaman. Biasanya bayi akan memberikan respon
terhadap sentuhan ibu dengan cara menggenggam jari ibu atau
memegang seuntai rambut ibu. Gerakan lembut ibu ketika menyentuh
bayinya akan menenangkan bayi. Hal ini akan terus berlanjut seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi (Maritalia, 2017).
b. Kontak Mata (Eye To Eye Contact)
Kontak mata memiliki efek yang erat terhadap perkembangan
dimulainya hubungan dan rasa percaya sebagai faktor yang penting
sebagai hubungan antar manusia pada umunya. Bayi baru lahir dapat
memusatkan perhatian pada suatu obyek, 1 jam setelah kelahiran pada
jarak sekitar 20-25 cm, dan dapat memusatkan pandangan sebaik orang
dewasa pada sekitar 4 bulan. Setelah dilakukan pemotongan tali pusat,
sebelum dilakukan IMD, sebaiknya bayi diperlihatkan dulu pada ibu
sesegera mungkin agar ibu dapat melihat keadaan bayinya dan ini akan
membuat ibu merasa tenang. Kontak mata antara ibu dan bayi
hendaknya dapat terus dipertahankan setiap kali ibu berkomunikasi
dengan bayinya. Hal ini bisa dilakukan ketika ibu memberikan ASI,
memandikan bayi, mengganti popok atau melakukan tindakan lainnya
(Maritalia, 2017).
c. Bau Badan (Odor)
Begitu dilahirkan, indra penciuman bayi sudah berkembang
dengan baik dan sangat berperan dalam nalurinya untuk
mempertahankan hidup. Oleh karena itu, dilakukan IMD, kedua telapak
tangan bayi tidak boleh dibersihkan agar bau air ketuban yang ada di
tangan tersebut tetap terjaga dan menjadi panduan bagi bayi untuk
menemukan putting susu ibunya. Penelitian menunjukkan bahwa
kegiatan seorang bayi, detak jantung dan pola pernafsannya berubah
setiap kali hadir bau yang baru, tetapi bersamaan makin dikenalnya bau
itu, bayi pun berhenti bereaksi. Pada akhir minggu pertama
kehidupannya sorang bayi dapat mengenali ibunya dari bau badan dan
air susu ibunya. Indra penciuman bayi akan terus terasah jika seorang ibu
dapat terus memberikan ASI pada bayinya (Maritalia, 2017).
d. Kehangatan Tubuh (Body Warm)
Bayi baru lahir sangat mudah mengalami hipotermi karena tidak
ada lagi air ketuban yang melindunginya dari perubahan suhu yang
terjadi secara ekstrim di luar uterus. Jika tidak ada komplikasi yang
serius pada ibu dan bayi pada proses persalinan, bayi dapat diletakkan di
atas perut ibu segera setelah dilakukan pemotongan tali pusat. 30 Kontak
antara ibu dan bayi yang dilakukan segera setelah lahir ini dikenal
dengan istilah Inisiasi Menyusui Dini (IMD). IMD memberikan banyak
manfaat baik bagi ibumaupun bayi. Selain mencegah hipertermi, IMD
juga dapat meningkatkan bounding attachment antara ibu dan bayi,
eksplorasi bayi dalam menemukan puting susu ibunya sebagai langkah
awal kehidupan dalam mempertahankan diri, merangsang pengeluaran
oksitosin yang berfungsi untuk kontraksi uterus sehingga dapat
mengurangi resiko perdarahan postpartum (Maritalia, 2017).
e. Suara (Voice)
Sistem pendengaran janin sudah mulai berfungsi pada usia
sekitar 30 minggu atau memasuki trimester ketiga kehamilan. Sejak
dilahirkan, bayi dapat mendengar suara-suara dan membedakan nada,
meskipun suara-suara tersebut terhalang selama beberapa hari oleh
cairan amnion dari rahim yang melekat pada telinga. Hasil penelitian
membuktikan bahwa bayi baru lahir bukan hanya mendengar secara
pasif melainkan mendengarkan dengan sengaja (aktif) dan mereka dapat
membedakan serta menyesuaikan diri dengan suara-suara tertentu.
Respon yang diberikan bayi pada ibu berupa tangisan pertama setelah
lahir akan membuat ibu merasa senang karena bayi telah lahir dengan
selamat (Maritalia, 2017).
f. Gaya Bahasa (Entrainment)
Bayi baru lahir mulai membedakan dan menemukan perubahan
struktur bicara dan bahasa dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Perubahan nada suara ibu ketika berkomunikasi dengan bayinya seperti
bercerita, mengajak bercanda atau sedang memarahi bayi, secara
perlahan mulai dapat dipahami dan dipelajari bayi. Bayi akan berespon
dengan mengeluarkan suara-suara tertentu dari mulutnya ketika ibu
sedang mengajaknya bercanda. Sebaliknya, bila ibu memarahi atau
mengeluarkan suara yang agak keras dan tegas terhadap tingkah laku
bayi yang tidak diinginkannya, bayi akan terdiam atau bahkan menangis.
Perkembangan bayi dalam berbicara dan bahasa dipengaruhi dan diatur
jauh sebelum ia menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang
sesungguhnya (Maritalia, 2017).
g. Irama Kehidupan (Biorhytmic)
Di dalam rahim janin belajar menyesuaikan diri dengan irama
alamiah ibunya, seperti detak jantung. Selama kurang lebih 40 minggu di
dalam rahim, janin terbiasa mendengarkan suara detak jantung ibu dan
janin mencoba mengenali biorhythmic ibunya dan menyesuaikan dengan
irama dirinya sendiri. Setelah lahir, suara detak jantung ibu masih akan
berpengaruh terhadap bayi. Bayi yang sedang gelisah atau menangis
akan merasa tenang dan diam dalam pelukan ibunya. Selama berada
dalam pelukan ibu, bayi akan mendengar suara detak jantung ibu,
biorhythmic yang sudah sangat dikenalnya selama masih berada dalam
rahim. Hal inilah yang membuat bayi merasa tenang bahkan tertidur
dalam dekapan ibu (Maritalia, 2017).

E. Pathways
F. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik secara
bio, pisiko, sosial dan spiritual.
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan, pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. kemampuan
menidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan
diagnosis keperawatan oleh karena itu pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan
cermat sehingga seluruh kebutuhan perwatan pada klien dapat diidentifikasi.
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, tanggal MRS,
diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada uumumnya pasien post sectio caesar mengeluh nyeri pada daerah luka
bekas operasi. Nyeri biasanya bertambah parah jika pasien bergerak.
3. Riwayat kesehatan
Pada pengkajian riwayat kesehatan, data yang dikaji adalah riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan sekarang dan riwayat kesehatan keluarga. Dalam
mengkaji riwayat kesehatan dahulu hal yang perlu dikaji adalah penyakit yang
pernah diderita pasien khususnya penyakit kronis, menular, dan menahun seperti
penyakit jantung, hipertensi, diabetes, TBC, hepatitis dan penyakit kelamin.
Riwayat kesehatan sekarang berisi tentang pengkajian data yang dilakukan
untuk menentukan sebab dari dilakuakannya operasi sectio caesarea seperti
kelainan letak bayi (letak sungsang dan letak lintang), faktor plasenta (plasenta
previa, solution plasenta, plasenta accrete, vasa previa), kelainan tali pusat
(prolapses tali pusat, telilit tali pusat), bayi kembar (multiple pregnancy), pre
eklampsia, dan ketuban pecah dini yang nantinya akan membantu membuat
rencana tindakan terhadap pasien.
Riwayat kesehatan keluarga berisi tentang pengkajian apakah keluarga pasien
memiliki riwayat penyakit kronis, menular, dan menahun seperti penyakit jantung,
hipertensi, diabetes, TBC, hepatitis dan penyakit kelamin yang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya pre eklampsia dan giant baby, seperti diabetes
dan hipertensi yang sering terjadi pada beberapa keturunan.
4. Riwayat perkawinan
Pada riwayat perkawinan hal yang perlu dikaji adalah menikah sejak usia
berapa, lama pernikahan, berapa kali menikah, status pernikahan saat ini.
5. Riwayat obsterti
Pada pengkajian riwayat obstetri meliputi riwayat kehamilan, persalinan dan
nifas yang lalu, berpa kali ibu hamil, penolong persalinan, dimana ibu bersalin,
cara bersalin, jumlah anak, apakah pernah abortus, dan keadaan nifas yang lalu.
Riwayat persalinan sekarang Meliputi tanggal persalinan, jenis persalinan,
lama persalinan, jenis kelamin anak, keadaan anak.
6. Riwayat KB
Pengkajian riwayat KB dilakukan untuk mengetahui apakah klien pernah ikut
program KB, jenis kontrasepsi, apakah terdapat keluhan dan maalah dalam
penggunaan kontrasepsi tersebut, dan setelah masa nifas ini akan menggunakan
alat kontrasepsi apa.
7. Pola-pola fungsi kesehatan
Setiap pola fungsi kesehatan pasien terbentuk atas interaksi antara pasien dan
lingkungan kemudian menjadi suatu rangkaian perilaku membantu perawat untuk
mengumpulkan, mengorganisasikan, dan memilah-milah data. Pengkajian pola
fungsi kesehatan terdiri dari pola nutrisi dan metabolisme biasanya terjadi
peningkatan nafsu makan karena adanya kebutuhan untuk menyusui bayinya. Pola
aktifitas biasanya pada pasien post sectio caesarea mobilisasi dilakuakn secara
bertahap meliputi miring kanan dan kiri pada 6-8 jam pertama, kemudian latihan
duduk dan latihan berjalan. Pada hari ketiga optimalnya pasien sudah dapat
dipulangkan. Pra eliminasi biasanya terjadi konstipasi karena pasien post sectio
caesarea takut untuk melakukan BAB. Pola istirahat dan tidur biasasnya terjadi
perubahan yang disebabkan oleh kehadiran sang bayi dan rasa nyeri yang
ditimbulkan akibat luka pembedahan. Pola reproduksi biasanya terjadi disfungsi
seksual yang diakibatkan oleh proses persalinan dan masa nifas.
8. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan, perawat harus melakukan
pemeriksaan menyeluruh dan terutama berfokus pada masa nifas, yaitu :
1) Keadaan umum ibu
Observasi keadaan emosi ibu, observasi tahap post partum seperti
fase Taking-in (fase menerima), Taking-hold (fase dependenmandiri), dan
Letting-go (fase interdependen).
2) Tanda-tanda vital
Tekanan darah, pada orang dewasa tekanan darah normal untuk systole
berkisar antara 110-140 mmHg dan untuk diastole 60-80 mmHg. Setelah
melahirkan ibu dapat mengalami penurunan tekanan darah dibandingkan
saat mengandung yang disebabkan karena terjadinya perdarahan saat
melahirkan. Apabila tekanan darah ibu meningkat melebihi 30 mmHg
pada systole atau lebih dari 15 mmHg pada diastole harus dicurigai
timbulnya hipertensi atau preeklamsia pada ibu post partum (Marliandiani
& Nyna, 2015).
Suhu, normalnya yaitu < 380C. Dalam 24 jam pertama setelah persalinan
suhu ibu bisa naik sedikit sebagai bentuk tubuh merespon terjadinya proses
persalinan, terutama dehidrasi akibat pengeluaran darah serta cairan saat
persalinan. Bila kenaikan mencapai > 380C pada hari ke 2 38 sampai hari-
hari berikutnya, harus diwaspadai adanya infeksi (Marliandiani & Nyna,
2015).
Nadi, normalnya pada ibu nifas adalah 60-100 x/menit. Jika frekuensi
nadi > 100 x/menit dapat menandakan terjadi gejala syok karena infeksi
khususnya bila disertai peningkatan suhu tubuh (Marliandiani & Nyna,
2015).
Pernafasan, normalnya adalah 20-30 x/menit. Pada umunya respirasi
lambat atau bahkan normal. Karena ibu dalam keadaan pemulihan atau
dalam kondisi istirahat. Bila ada respirasi cepat post partum (> 30x/menit)
mungkin karena adanya tanda-tanda syok (Marliandiani & Nyna, 2015).
3) Kepala dan Wajah
Inspeksi : mengamati kesimetrisan muka, amati ada tidaknya
hiperpigmentasi pada wajah ibu (cloasmagravidarum), amati warna dan
keadaan rambut mengenai kebersihan, amati apakah terdapat edema atau
tidak.
Palpasi : kaji kerontokan dan kebersihan rambut, kaji pembengkakan pada
muka
4) Mata
Inspeksi : mengamati kelopak mata mengalami peradangan atau tidak,
kesimetrisan kanan dan kiri, reflek berkedip baik atau tidak, konjungtiva
dan sklera : merah/konjungtivitis atau anemis atau tidak, sklera ikterik
sebagai indikasi adanya indikasi hiperbilirubin atau gangguan yang terjadi
pada hepar, pupil isokor atau tidak, reflek pupil terhadap cahaya
miosis/mengecil. Palpasi : mengkaji adanya nyeri tekan atau peningkatan
tekanan intraokuler pada kedua bola mata.
5) Hidung
Inspeksi : mengamati keberadaan septum apakah tepat di tengah, kaji
adanya masa abnormal dalam hidung dan adanya secret.
Palpasi : mengkaji adanya nyeri tekan pada hidung
6) Telinga
Inspeksi : mengamati kesimetrisan telinga kanan dan kiri, warna telinga
dengan daerah sekitar, ada atau tidaknya luka, kebersihan telinga amati ada
tidaknya serumen dan otitis media.
Palpasi :mengkaji adanya nyeri tekan
7) Mulut
Inspeksi : mengamati bibir apakah ada kelainan congenital (bibir
sumbing), warna mulut, kesimetrisan, kelembapan, sianosis atau tidak,
pembengkakan, lesi, amati adanya stomatitis pada mulut, mengamati
jumlah dan bentuk gigi, ada atau 40 tidaknya gigi berlubang (karies gigi),
warna gigi, adanya plak, dan kebersihan gigi.
Palpasi : mengkaji terdapat nyeri tekan atau tidak pada pipi dan mulut
bagian dalam.
8) Leher
Inspeksi : mengamati adanya luka, massa abnormal, kesimetrisan,
hiperpigmentasi.
Palpasi : mengkaji adanya distensi vena jugularis, pembesaran kelejar
tiroid.
9) Thorak
a) Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan dada, bentuk dari rongga dada, pergerakan
nafas (frekuensi nafas, irama, kedalaman pernafasan, dan upaya
pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan), warna kulit, lesi,
edema, maupun penonjolan.
Palpasi : simetris, pergerakan dada, masa dan lesi, nyeri, tractile
fremitus apakah normal kanan dan kiri. Perkusi : normalnya berbunyi
sonor.
Auskultasi : normalnya terdengar vasikuler pada kedua paru.

b) Jantung
Inspeksi : mengamati pulsasi di ictus cordis.
Palpasi : teraba atau tidaknya pulsasi.
Perkusi : normalnya terdengar pekak.
Auskultasi : normalnya terdengar tunggal suara jantung pertama dan
kedua.
c) Payudara
Inspeksi : kaji kesimetrisan payudara, hiperpigmentasi pada aerola,
kemerahan pada puting, bentuk puting terbenam atau menonjol, amati
warna kulit.
Palpasi : kaji apakah kolostrum sudah keluar atau belum, kaji apakah
terasa keras atau tidak, nyeri pada payudara.
d) Abdomen
Inspeksi : mengkaji ada tidaknya luka bekas melahirkan, adanya linia
nigra dan adanya strie albican.
Auskultasi : dengarkan bising usus apakah normal 5-20 x/menit.
Palpasi : letak tinggi fundus uteri, konsistensi rahim, kontraksi uterus
(involusi).
Perkusi : kaji suara apakah timpani.
e) Ekstermitas
Inspeksi : mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstermitas atas dan
ekstermitas bawah, kekuatan tonus otot.
Palpasi : mengkaji ada tidaknya edema, farises, reflek patella positif atau
negatif.
f) Genetalia
Inspeksi : mengamati persebaran rambut pubis, adanya luka episiotomi
dan jahitan, keadaan luka, warna lokea, amati ada tidaknya gumpalan,
amati ada tidaknya hemoroid.
Palpasi : mengkaji adakah masa abnormal.

G. Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien sectio caesarea adalah ;
1. Nyeri Akut bd Agen pencedera fisik (D.0077)
2. Gangguan mobilitas fisik bd nyeri (D.0054)
3. Resiko infeksi bd adanya luka insisi (0142)
4. Ansietas bd krisis situasional (D.0080)
5. Defisit pengetahuan tentang perawatan diri pasca operasi sectio caesar (D.0111).

H. Intervensi Keperawatan

NO Diagnosis Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan Kriteria Hasil

1. Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


asuhan (I.08238)
keperawatan
selama 3 x 24 jam Observasi Observasi

diharapkan tingkat - Identifikasi - Mengetahui lokasi,

nyeri pada pasien lokasi, karakteristik, durasi,

menurun dengan karakteristik ,dur frekuensi, kualitas dan

kriteria hasil: asi, frekuensi, intensitas nyeri pada

Tingkat Nyeri kualitas dan pasien

(L.08066) intensitas nyeri - Mengetahui

- Frekuensi - Identifikasi skala seberapakah rasa nyeri

nadi nyeri yang dialami pasien

membaik (5) -
Terapeutik
- Keluhan Terapeutik
nyeri - Berikan terknik - Untuk mengurangi rasa
menurun (5) nonfarmakologi nyeri yang dirasakan
untuk
- Meringis
mengurangi rasa pasien
menurun (5)
nyeri (mis. terapi - Untuk memberikan
- Gelisah
pijat, kompes kenyamanan dan
menurun (5)
hangat/dingin, mengurangi rasa nyeri
- Kesulitan
hipnosis, yang dirasakan pasien
tidur
relaksasi nafas - Istirahat dan tidur dapat
menurun (5)
dalam) mengurangi rasa nyeri
- Kontrol pada pasien
lingkungan yang
memperberat
nyeri
- Fasilitas istirahat
dan tidur
-
Edukasi
Edukasi
- Untuk memberikan
- Jelaskan
pemahaman agar pasien
penyebab,
tidak gelisah saat nyeri
periode, dan
timbul
pemicu nyeri
- Untuk memberikan
- Jelaskan strategi
informasi mengenai
meredakan nyeri
strategi meredakan
- Anjurkan
nyeri yang tepat bagi
memonitor nyeri
pasien
secara mandiri
- Untuk memandirikan
- Ajarkan teknik
pasien dalam
nonfarmakologis
memonitor nyeri yang
unntuk
dirasakan
mengurangi rasa
- Untuk mengurangi rasa
nyeri
nyeri
-
Kolaborasi
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
analgesik, jika - Untuk membantu
perlu proses penyembuhan
pasien pasca operasi
atau mengurangi rasa
nyeri yang dirasakan
pasien

2 Gangguan Setelah dilakukan I.06171 Dukungan


mobilitas intervensi Ambulasi
fisik bd nyeri keperawatan
selama 3 x 24 jam Observasi Observasi

maka L.05042  Identifikasi  Untuk mengetahui

Mobilitas fisik adanya nyeri atau faktor penyebab

meningkat dengan keluhan fisik terjadinya penyakit

kriteria hasil : lainnya  Mengidentifikasi

 Pergerakan  Identifikasi kekuatan yang

ekstermitas toleransi fisik menerima penjelasan

Verbalisasi melakukan
kepulihan ambulasi
energi cukup  menerima
meningkat (4) informasi
 Tenaga cukup
Terapeutik
meningkat (4) Terapeutik
 Menyediakan materi
 Kemampuan  Sediakan materi
atau media tentang
melakukan atau media
aktivitas dan
aktivitas rutin pengaturan
istirahan untuk
cukup aktivitas dan
panduan
meningkat (4) istirahat

 Verbalisasi Edukasi
lelah cukup Edukasi  Untuk menunjang
menurun (4)  Jelaskan
proses kesembuhan
pentingnya
pasien secara
melakukan
aktivitas fisik bertahap
 Ajarkan cara
mengidentifikasi
kebutuhan
istirahat
3 Risiko Setelah dilakukan I.14539 Pencegahan
Infeksi tindakan Infeksi
keperawatan
selama 3 x 24 jam Observasi Observasi
diharapkan tingkat - Monitor tanda dan
infeksi menurun gejala infeksi - Untuk mengetahui
dengan kriteria local tanda dan gejala dari
hasil : infeksi

Terapeutik
L.14137 Tingkat
Terapeutik
Infeksi
- Untuk mempercepat
- Nyeri cukup - Berikan
pemulihan apabila
menurun (4) perawatan kulit
masih terdapat edema
- Kemerahan pada area edema
- Untuk menghindari
cukup - Cuci tangan
- Infeksi
menurun (4) sebelum dan
- Perdarahan sesudah kontak
cukup dengan pasien dan
menurun (4) lingkungan pasien

Edukasi
Edukasi

- Agar mengetahui tanda


- Jelaskan tanda
dan gejala
dan gejala infeksi
- Agar mengetahui cara
- Ajarkan cara
cuci tangan yang benar
mencuci tangan
- Agar dapat
dengan benar
memamntau secara
- Ajarkan cara
memeriksa
kondisi luka atau mandiri mengenai luka
luka operasi

DAFTAR PUSTAKA

Arma. (2015). Bahan Ajar Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Deepublish.


Cunningham, F. (2018). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.
Darma Sari, S. (2017). Kehamilan, Persalinan, Bayi Preterm & Postterm Disertai Evidence
Based. Jakarta: Noerfikri.
Fujiyarti. (2016). Hubungan Antara Usia Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan Kejadian
Ketuban Pecah Dini Di Puskesmas PONED Cingambul Kabupaten Majalengka Tahun
2016-2017. Vol 4: 1–9.
Mamede, A. C., Carvalho, M. J., Abrantes, A. M., Laranjo, M., Maia, C. J., & Botelho, M. F.
(2012). Amniotic membrane: from structure and functions to clinical applications. Cell
and tissue research.
Manuaba, I. (2009). Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC.
Maritalia, D. (2017). Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Maryunani, A. (2016). Manajemen Kebidanan. Jakarta.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. (Edisi 1). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan ( (Edisi 1). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. (Edisi 1). Jakarta: PPNI.

Rahayu, B., & Sari, A. N. (2017). Studi Deskriptif Penyebab Kejadian Ketuban Pecah Dini
(KPD) Pada Ibu Bersalin. Jurnal Ners Dan Kebidanan Indonesia, vol 5, n0.
Rangaswamy, N., Mercer, B. M., Kumar, D., Moore, J. J., Mansour, J. M., Redline, R., &
Moore, R. M. (2012). Weakening and Rupture of Human Fetal Membranes-
Biochemistry and Biomechanics. INTECH Open Access Publisher.
Sunarti. (2017). Manajemen Askeb Intranatal Pada Ny ‘R’ Gestasi 37-38 Minggu Dengan
KPD. Ketuban Pecah Dini: 156.
Sung, S., & Mahdy, H. (2020). Cesarean Section. StatPearls Publishing.
Sutanto, & Vito, A. (2018). Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.
Wahida, Y., & B, H. (2020). Emodemo Dalam Asuhan Kebidanan Masa Nifas. In asuhan
kebidanan masa nifas.
Wahyuningsih, S. (2019). Buku arajan asuhan keperawatan post partum dilengkap dengan
panduan persiapan praktikum mahasiswa keperwatan. Sleman: CV Budi Utama.
LEMBAR PENGESAHAN

Boyolali, November 2022


Mahasiswa

Aprilia Wulandari
NIM. P202205006

Mengetahui;

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Devi Permata Sari, S.Kep.,Ns.,MAN Fitri Kurniawati


NPP. 129.172 NIP. 199005162237

Anda mungkin juga menyukai