Anda di halaman 1dari 44

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN DAN LAPORAN PENDAHULUAN

NAMA : FARIS ALBERT WENAS, S.KEP.

NIM : 20014104022

UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

MANADO 2021
KETUBAN PECAH DINI

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-tanda
persalinan. Ketuban pecah dini atau PROM (Premature Rupture Of Membran) adalah
pecahnya ketuban sebelum waktunya tanpa disertai tanda inpartu dan setelah 1 jam tetap
tidak diikuti dengan proses inpartu sebagaimana mestinya. Ketuban pecah dini (KPD) sering
kali menimbulkan konsekuensi yang berimbas pada morbiditas dan mortalitas pada ibu
maupun bayi terutama pada kematian perinatal yang cukup tinggi. Ketuban pecah dini dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi pada neonates meliputi prematuritas, respiratory
distress syndrome, pendarahan intraventrikel, sepsis, hipoplasia paru serta deformitas
skeletal. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan, pada keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban
pecah dini (Legawati dan Riyanti, 2018).
B. Etiologi atau Faktor Risiko
Penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi multifaktoral yang dapat dijabarkan
sebagai berikut (Mochtar, 2012; Manuaba, 2010).
1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah. Penyakit-
penyakit seperti pielonefritis, sistitis, servisitis, dan vaginitis terdapat bersama-sama
dengan hipermotilitas rahim ini.
2. Kelainan bawaan dari selaput ketuban (selaput ketuban tipis)
3. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis) Infeksi yang menyebabkan terjadi proses
biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan
ketuban pecah.
4. Ketegangan rahim berlebihan (overdistensi rahim) yang terjadi pada kehamilan kembar,
hidramnion
5. Kelainan letak janin dalam rahim: letak sungsang, letak lintang.
6. Kemungkinan kesempitan panggul: perut gantung, bagian terendah belum masuk PAP,
disproporsi sefalopelvik.
7. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi yaitu multipara, grandemultipara,
disproporsi, cervix incompeten, dan lain-lain.
C. Patofisiologis
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya
dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban (Saifuddin, 2009).
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi
dalam kolagen matriks ekstra selular amnion, korion, dan apoptosis membran janin.
Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan
selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti prostalglandin, sitokinin, dan
protein hormone yang merangsang aktivitas matrix degrading enzyme (Saifuddin, 2009).
Pada usia kehamilan cukup bulan, perubahan fisiologis dan kekuatan yang dihasilkan
oleh kontraksi sering kali menyebabkan ketuban melemah dan kemudian terjadi KPD
(Kennedy, 2014). Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1
mengarah pada degradasi proteolitik dan matriks intraselular dan membran janin.
Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan (Saifuddin, 2009).
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut: selaput
ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi, bila terjadi
pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan
mengeluarkan air ketuban (Manuaba, 2010).
D. Tanda dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, aroma air
ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, berwarna pucat, cairan ini tidak akan
berhenti atau kering karena uterus diproduksi sampai kelahiran mendatang. Tetapi, bila
duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau
“menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu, demam, bercak vagina yang
banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah capat merupakan tanda-tanda infeksi
yang terjadi (Sunarti, 2017).
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Norwitz (2008), pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis ketuban
pecah dini antara lain.
1. Analisis urin dan kultur untuk infeksi saluran kemih
2. Pemeriksaan serviks atau kultur Chlamyda Trachomtis atau Neisseria Gonorrhea
3. Pemeriksaan vagina untuk diagnosis vaginosis bacterial (VB) dan trikomoniasis
4. Lakukan pemeriksaan pH dengan kertas nitriazin. pH vagina yang asam (4,5) akan
berubah menjadi basa (7,0-7,7) dan tampak warna biru pada kertas nitriazin
5. Pemeriksaan mikroskopik akan tampak kristalisasi cairan amnion saat mengering
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya infeksi
pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Penanganan ketuban pecah
dini menurut Sarwono (2010), meliputi :
Konserpatif
1. Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun pada
janin) dan harus di rawat dirumah sakit.
2. Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila tidak tahan ampicilin) dan
metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari
3. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau
sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4. Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes buss negativ beri
deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada
kehamilan 37 minggu.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik
(salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.
7. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
8. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu kematangan paru
janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu.
Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg
setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

Aktif

1. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula
diberikan misoprostol 50 mg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali
2. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan persalinan diakhiri
3. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak
berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
4. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

Penatalaksanaan KPD menurut Manuaba (2009) tentang penatalaksanaan KPD adalah:

1. Mempertahankan kehamilan sampai cukup bulan khususnya maturitas paru sehingga


mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
2. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis,
maningitis janin, dan persalinan prematuritas
3. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung
dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin
dapat terjamin.
4. Pada umur kehamilan 24-32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin
cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan
kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan
5. Menghadapi KPD, diperlukan penjelasan terhadap ibu dan keluarga sehingga
terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan
pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan
janinnya.
6. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia
biparietal dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan
kematangan paru.
7. Waktu terminasi pada kehamilan aterm dapat dianjurkan selang waktu 6-24 jam bila tidak
terjadi his spontan.
G. Pengkajian Keperawatan
Kasus Pemicu
Seorang perempuan, G1A0P0, usia kehamilan 24 minggu di bawah ke ruang bersalin dengan
pembukaan serviks 3-4 cm, ketuban sudah pecah sejak 12 jam yang lalu, kontraksi uterus
jarang, DJJ: 100x/menit. Pasien tampak kesakitan, dengan skala nyeri 2-3, tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 110x/menit, RR: 22x/menit.suhu: 38 derajat,. Pemeriksaan obstetric
didapatkan data lakmus tes positif, pengeluaran pervagnam cairan kehijauan, berbau,
menetes. . Perawat akan melakukan tindakan managemen nyeri persalinan
1. Anamnesa
Status obstetrik ibu, multipara, grandemultipara, disproporsi, cervix incompeten, riwayat
selaput ketuban tipis, Jumlah pasangan seksual saat ini, frekuensi hubungan seksual,
perkiraan aktivitas seksual selama hamil. Faktor prekonsepsi atau antenatal yang
mempengaruhi perkembangan infeksi vagina atau infeksi saluran kemih (UTI) ialah
riwayat saluran kemih kronis atau infeksi ginjal; kondisi kronis yang merusak fungsin
ginjal (misalnya AIDS), tidak mengenakan kondom, dan buruknya hiegine genital.
2. Pemeriksaan Fisik
Kaji letak janin dalam rahim (sungsang, lintang), adanya overdistensi rahim. Kaji
adanya pengeluaran cairan abnormal dari vagina, cairan ketuban merembes melalui
vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak dibawah, biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina
yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda
infeksi yang terjadi.
Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan, sedkit-
sedikit atau sekaligus banyak, dapat disertai demam jika sudah ada infeksi, janin mudah
diraba, pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering,
Inspekulo tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban
sudah kering.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG (untuk mengetahui berat janin, usia janin, detak jantung janin,
kelainan amniotic, dll), analisis urin dan kultur untuk infeksi saluran kemih,
pemeriksaan serviks atau kultur Chlamyda Trachomtis atau Neisseria Gonorrhea,
pemeriksaan vagina untuk diagnosis vaginosis bacterial (VB) dan trikomoniasis,
pemeriksaan pH dengan kertas nitriazin. pH vagina yang asam (4,5) akan berubah
menjadi basa (7,0-7,7) dan tampak warna biru pada kertas nitriazin.
H. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri melaharirkan berhubungan dilatasi serviks ditandai dengan:
o Pasien mengeluh nyeri skala nyeri 2-3
o Ekspresi wajah meringis
o Frekuensi nadi 110 kali/menit
2. Risiko infeksi ditandai dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: ketuban
pecah sebelum waktunya
3. Risiko cedera pada ibu ditandai dengan ketuban pecah, proses infeksi, dan induksi
persalinan
I. Intervensi Keperawatan

No. Tujian (SLKI) Intervensi (SIKI)


Dx.
1 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
keperawatan selama 3x60 menit 1. Identifikasi skala nyeri
maka Tingkat Nyeri menurun 2. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
dengan kriteria hasil: rasa nyeri (relaksasi napas dalam)
1. Keluhan nyeri menurun 3. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Meringis menurun 4. Jelaskan strategi meredahkan nyeri
3. Frekuensi nadi membaik (60- 5. Kolaborasi pemberian analgesik
100 kali/menit)

2 Setelah dilakukan intervensi Pemberian Obat


keperawatan selama 3x60 menit 1. Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan
maka Tingkat Infeksi menurun kontraindikasi obat
dengan kriteria hasil: 2. Monitor efek terapeutik obat
1. Demam menurun (36,5- 3. Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi
37,5ºC) obat
2. Cairan berbau busuk 4. Lakukan prinsip enam benar obat
menurun 5. Fasilitasi minum obat antibiotik
6. Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan
yang diharapkan, dan efek samping sebelum
pemberian
3 Setelah dilakukan intervensi Perawatan Kehamilan Risiko Tinggi
keperawatan selama 3x60 menit 1. Identifikasi riwayat obstetris (prematuritas,
maka Tingkat Cedera menurun ketuban pecah dini)
dengan kriteria hasil: 2. Monitor status fisik dan psikososial selama
1. Kejadian cedera menurun kehamilan
3. Dampingi ibu saat merasa cemas
4. Diskusikan persiapan persalinan dan kelahiran
5. Jelaskan risiko janin mengalami kelahiran
prematur
6. Informasikan kemungkinan intervensi selama
proses kelahiran (induksi, perawatan SC)
7. Kolaborasi pemberian antibiotik

Perawatan Persalinan Risiko Tinggi


1. Identifikasi kondisi umum pasien
2. Monitor tanda-tanda vital
3. Monitor kelainan tanda vital pada ibu dan janin
4. Monitor tanda-tanda persalinan
5. Monitor denyut jantung janin
6. Identifikasi posisi janin dengan USG
7. Siapkan peralatan yang sesuai, termasuk monitor
janin, ultrasound, mesin anastesi, persediaan
resusitasi neonatal, forceps, dan penghangat bayi
ekstra.
8. Dukung orang terdekat mendampingi pasien
9. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
10. Koordinasi dengan tim untuk standby
(neonatologis, perawat intensif neonatal,
anastesiologis)
11. Kolaborasi pemberian anastesi maternal, sesuai
kebutuhan

Induksi Persalinan
1. Identifikasi riwayat obstetrik
2. Monitor kondisi ibu dan janin sebelum induksi
3. Monitor kemajuan persalinan secara ketat
4. Berikan kenyamanan selama proses induksi
5. Kolaborasi pemberian obat IV (oksitosin) untuk
merangsang aktivitas rahim

Daftar Pustaka
Legawati dan Riyanti. (2018). Determinan Kejadian Ketuban Pecah Dini (Kpd) di Ruang
Cempaka RSUD. Dr Doris Sylvanus Palangkaraya. Jurnal Surya Medika Volume 3 No. 2

Manuaba, Ida Bagus Gdee. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk
Pendidikan Bidan Ed. 2. Jakarta: EGC

Mochtar, Rustam. (2012). Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Edisi 3.
Jakarta: EGC

Saifuddin, Abdul Bari. (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Sunarti. 2017. “Manajemen Askeb Intranatal Pada Ny ‘R’ Gestasi 37-38 Minggu Dengan KPD.”
Ketuban Pecah Dini: 156.

Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

KETUBAN PECAH DINI


KAJIAN LITERATUR TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Definisi
Teknik relaksasi adalah suatu teknik merileksasikan ketegangan otot yang dapat menunjang
nyeri. Teknik relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi
oksigen, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri, ansietas dan
ketegangan otot.
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan bentuk asuhan keperawatan, yang
dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas
dalam, nafas lambat dan bagaimana mengehembuskan nafas secara perlahan. Selain
dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam ini juga dapat
menciptakan kondisi rileks seluruh tubuh
Tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, menigkatkan efisiensi batuk,
mengurangi stress fisik maupun emosional yaitu intensitas nyeri dan menurunkan
kecemasan.
Teknik relaksasi bertujuan untuk membebaskan secara mental dan fisik dan ketegangan
atau stres sehingga individu dapat mengontrol dirinya. Teknik relaksasi nafas
dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara
perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi bernafas dalam
juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Fitriani,
2013).
2. Indikasi dan Kontraindikasi
Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi individu dan
kerja sama. teknik relaksasi diajarkan hanya saat klien sedang tidak merasakan rasa tidak
nyaman yang akut, hal ini dikarenakan ketidakmampuan dalam berkonsentrasi membuat
latihan nafas menjadi tidak efektif.
3. Hasil Penelitian Terkait
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amaliatul Fatikhah dan Siti Haryani dari
Fakultas Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo dengan judul Pengelolaan Nyeri Akut Pada
Ny.W Dengan Post Sectio Caesarea Indikasi Ketuban Pecah Dini H-0 di Ruang Flamboyan
RSUD Ungaran. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa
perawatan pasien dalam menurunkan rasa nyeri. Pengelolaan nyeri akut dilakukan
selama 3 hari pada Ny. W.
Diagnosa pada pasien adalah nyeri akut berhubungan dengan kondisi
pembedahan. Intervensi yang direncanakan adalah Manajemen Nyeri meliputi
identifikasi lokasi kualitas frekuensi nyeri, identifikasi skala nyeri, fasilitasi istirahat
dan tidur, kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri, ajarkan teknik relaksasi
napas dalam, kolaborasi dengan dokter pemberian analgesic. Implementasi dilakukan
sesuai dengan rencana keperawatan. Hasil pengelolaan didapatkan keluhan nyeri
menurun, skala nyeri menurun dari skala 5 – skala 2, frekuensi nadi membaik menjadi
85x/menit. Masalah nyeri akut berhubungan dengan kondisi pembedahan pada Ny. W
Dapat teratasi. Relaksasi napas dalam dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien
maupun diajarkan oleh keluarga sebagai alternatif manajemen nyeri pasca operasi.

4. Langkah-langkah Tindakan
Langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam menurut Tambunan (2009) adalah sebagai
berikut :
a. Atur pasien pada posisi yang nyaman
b. Minta pasien menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut
c. Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara perlahan dan merasakan
kembang kempisnya perut
d. Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik kemudian keluarkan nafas
secara perlahan melalui mulut
e. Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut pada posisi mecucu
f. Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai perut mengempis
g. Lakukan latihan nafas ini 2-4 kali
5. Daftar Pustaka
Fatikhah, A. (2020). Pengelolaan Nyeri Akut pada Ny.W dengan Post Sectio Caesarea
Indikasi Ketuban Pecah Dini H-0 di Ruang Flamboyan RSUD Ungaran. Fakultas
Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo.
INFERTILITIAS

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan sekurang-
kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau biasa
disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan
seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya (Konsensus Penanganan
Infertilitas, 2013).
B. Faktor penyebab
Gaya Hidup
1. Konsumsi Alkohol
Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan mengurangi sintesis
testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran basalis. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hipotalamus dan hipofisis.
a) Konsumsi satu atau dua gelas alkohol, satu sampai dua kali per minggu tidak
meningkatkan risiko pertumbuhan janin.
b) Konsumsi alkohol tiga atau empat gelas sehari pada laki-laki tidak mempunyai efek
terhadap fertilitas.
c) Konsumsi alkohol yang berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan penurunan
kualitas semen.
2. Merokok
Rokok mengandung zat berbahaya bagi oosit (menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap
mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya kerusakan morfologi), dan embrio
(menyebabkan keguguran).
a) Kebiasaan merokok pada perempuan dapat menurunkan tingkat fertilitas.
b) Kebiasaan merokok pada laki-laki dapat mempengaruhi kualitas semen, namun
dampaknya terhadap fertilitas belum jelas. Berhenti merokok pada laki-laki dapat
meningkatkan kesehatan pada umumnya
3. Berat badan
a) Perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29, cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan kehamilan.
b) Tindakan menurunkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT > 29 dan
mengalami anovulasi akan meningkatkan peluang untuk hamil.
c) Laki-laki yang memiliki IMT > 29 akan mengalami gangguan fertilitas
d) Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT <19 serta
mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan terjadinya pembuahan.
4. Olahraga
a) Olahraga ringan-sedang dapat meningkatkan fertilitas karena akan meningkatkan
aliran darah dan status anti oksidan
b) Olahraga berat dapat menurunkan fertilitas:
Olahraga > 5 jam/minggu, contoh: bersepeda untuk laki-laki
Olahraga > 3-5 jam/minggu, contoh: aerobik untuk perempuan
5. Stress
a) Perasaan cemas, rasa bersalah, dan depresi yang berlebihan dapat berhubungan
dengan infertilitas, namun belum didapatkan hasil penelitian yang adekuat
b) Teknik relaksasi dapat mengurangi stress dan potensi terjadinya infertilitas
c) Berdasarkan studi yang dilakukan, perempuan yang gagal hamil akan mengalami
kenaikan tekanan darah dan denyut nadi, karena stress dapat menyebabkan
penyempitan aliran darah ke organ-organ panggul.
6. Suplementasi Vitamin
a) Konsumsi vitamin A berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan kelainan
kongenital termasuk kraniofasial, jantung, timus, dan susunan saraf pusat.
b) Asam lemak seperti EPA dan DHA (minyak ikan) dianjurkan pada pasien infertilitas
karena akan menekan aktifasi nuclear faktor kappa B
c) Beberapa antioksidan yang diketahui dapat meningkatkan kualitas dari sperma,
diantaranya:
Vit.C dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas semen
Ubiquinone Q10 dapat meningkatkan kualitas sperma
Selenium dan glutation dapat meningkatkan motilitas sperma
d) Asam folat, zink, dan vitamin B12
Kombinasi asam folat dan zink dapat meningkatkan konsentrasi dan morfologi
sperma
Kobalamin (Vit B12) penting dalam spermatogenesis
7. Obat-Obatan
a) Spironolakton akan merusak produksi testosteron dan sperma
Sulfasalazin: mempengaruhi perkembangan sperma normal (dapat digantikan
dengan mesalamin)
b) Kolkisin dan allopurinol dapat mengakibatkan penurunan sperma untuk membuahi
oosit
c) Antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin dan nitrofurantoin pada
dosis yang tinggi berdampak negatif pada pergerakan dan jumlah sperma.
d) Simetidin terkadang menyebabkan impotensi dan sperma yang abnormal
e) Siklosporin juga dapat menurunkan fertilitas pria
8. Obat-obat Herbal
Penelitian yang dilakukan di California menemukan bahwa konsumsi obat-obatan herbal
dalam jumlah minimal seperti ginko biloba, dicurigai menghambat fertilisasi, mengubah
materi genetik sperma, dan mengurangi viabilitas sperma.
Pekerjaan
Terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan paparan bahan berbahaya bagi kesuburan
seorang perempuan maupun laki-laki. Setidaknya terdapat 104.000 bahan fisik dan kimia
yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah teridentifikasi, namun efeknya terhadap
kesuburan, 95% belum dapat diidentifikasi. Bahan yang telah teridentifikasi dapat
mempengaruhi kesuburan diantaranya panas, radiasi sinar-X, logam dan pestisida.

(Bahan dan efeknya terhadap kesuburuan laki-laki)


(Bahan dan efeknya terhadap kesuburuan perempuan)
C. Etiologi
Faktor Perempuan
1. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi ovarium primer
Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder. Namun tidak semua pasien infertilitas
dengan gangguan ovulasi memiliki gejala klinis amenorea, beberapa diantaranya
menunjukkan gejala oligomenorea. Amenorea primer dapat disebabkan oleh kondisi di
bawah ini
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3 kelas, yaitu: 1
Kelas 1 : Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin hipogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan
rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10% dari seluruh kelainan ovulasi.
Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism) Karakteristik
dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi
kelas 2 terjadi sekitar 85% dari seluruh kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik
kelainan kelompok ini adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada
kasus sindrom ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan puluh
persen pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30% akan mengalami amenorea.
Kelas 3 : Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism) Karakteristik kelainan
ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi
sekitar 4-5% dari seluruh gangguan ovulasi.
Kelas 4 : Hiperprolaktinemia
2. Gangguan Tuba dan Pelvis
Kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea, TBC) maupun
endometriosis. Endometriosis merupakan penyakit kronik yang umum dijumpai. Gejala
yang sering ditemukan pada pasien dengan endometriosis adalah nyeri panggul,
infertilitas dan ditemukan pembesaran pada adneksa. Dari studi yang telah dilakukan,
endometriosis terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30% sampai 50% mengalami
infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan endometriosis dapat menyebabkan infertilitas
atau penurunan fekunditas masih belum jelas, namun ada beberapa mekanisme pada
endometriosis seperti terjadinya perlekatan dan distrorsi anatomi panggul yang dapat
mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat
mengganggu pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat penangkapan maupun
transportasi oosit
3. Gangguan Uterus
Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium, leiomyomas,
sindrom asherman Distribusi penyebab infertilitas pada perempuan ditunjukkan pada
gambar berikut:
Faktor Laki-laki
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya sebesar 30-40% dari
infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada laki-laki penting
dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki dapat menurun
akibat dari:11
1. Kelainan urogenital kongenital atau didapat
2. Infeksi saluran urogenital
3. Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)
4. Kelainan endokrin
5. Kelainan genetik
6. Faktor imunologi

Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek merupakan penyebab
utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas semen yang terganggu, azoospermia dan cara
senggama yang salah, merupakan faktor yang berkontribusi pada 50% pasangan infertilitas.
Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan karena beberapa faktor, termasuk disrupsi
endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan, radikal bebas, atau kelainan genetik.
D. Pemeriksaan Infertilitas
Perempuan
Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan menyumbang sekitar
40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Pemeriksaan ovulasi

2. Pemeriksaann Uterus

3. Penilaian Kelainan Tuba


Laki-laki
1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya penyakit
tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum harus
diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau ginekomastia
yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan, berat badan, IMT, dan
tekanan darah harus diketahui.
b) Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran dan
konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu sisi, pemeriksaan
inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk mengukur volume
testis. Ukuran ratarata testis orang dewasa yang dianggap normal adalah 20 ml.16
c) Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras. Konsistensi normal
adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak dan kecil dapat mengindikasikan
spermatogenesis yang terganggu.
d) Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi. Varikokel
sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan atrofi testis kiri.
Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba “sekantung ulat” pada tes
valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya varikokel. Pemeriksaan
kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus dilakukan. Kelainan pada
penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat mengganggu proses transportasi
sperma mencapai bagian proksimal vagina. Pemeriksaan colok dubur dapat
mengidentifikasi pembesaran prostat dan vesikula seminalis.
3. Analisis Sperma

E. Penatalasanaan Medis
1. Gangguan Ovulasi
Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:
WHO kelas I
Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat badan menjadi
normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan. Pengobatan yang
disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah kombinasi rekombinan
FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG. Penggunaan kombinasi preparat
gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi
dibandingkan penggunaan rFSH saja (Evidence level 2a).
WHO Kelas II
Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen sitrat), tindakan drilling
ovarium, atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah
dengan menggunakan insulin sensitizer seperti metformin.
Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk mengkonsumsi
klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6 bulan. Efek samping
klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstilmulasi, rasa tidak nyaman di perut,
serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan IMT > 25, kasus resisten klomifen
sitrat dapat dikombinasi dengan metformin karena diketahui dapat meningkatkan laju
ovulasi dan kehamilan.
WHO Kelas III
Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi ovarium (WHO
kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat terhadap pilihan
tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasangan yang
menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai kemungkinan tindakan adopsi anak. 1
WHO Kelas IV
Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat pasien
hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga gangguan ovulasi dapat
teratasi.
2. Gangguan Tuba
Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat ringan dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan
3. Endometriosis
Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat ringan sampai
sedang melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan laju kehamilan bila
diberikan agonis GnRH selama 6 bulan
4. Tatalaksana pada Gangguan Sperma
TESE dapat menjadi bagian terapi intracytoplasmic sperm injection (ICSI) pada pasien
dengan non-obstruktif azoospermia (NOA). Microsurgical epididymal sperm aspiration
(MESA) diindikasikan pada pria dengan CBAVD. Spermatozoa yang didapatkan
biasanya digunakan untuk ICSI. Pada pasien dengan azoospermia akibat obstruksi
epididimis didapat, end-to-end atau end-to-side microsurgical epididymovasostomy
direkomendasikan, dengan microsurgical intussuception epididymo-casostomy menjadi
teknik yang dipilih. Obstruksi vas proksimal setelah vasektomi membutuhkan
microsurgical vasectomy reversal. Vaso-vasostomi juga dibutuhkan pada kasus yang
jarang seperti obstruksi vassal proksimal (iatrogenik, Pasca-traumatik, pasca-inflamasi).
Tatalaksana obstruksi duktus ejakulatorius tergantung kepada etiologinya. Pada obstruksi
besar pasca-inflamasi dan ketika satu atau kedua duktus ejakulatorius berujung midline
intraprosstaic cyst, transurethral resection of the ejaculatory ducts (TURED) dapat
digunakan.
F. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa
Kaji frekuensi senggama suami-istri, keharmonisan suami-istri, adanya riwayat penyakit
sistem reproduksi (endemetritis, kanker prostat, dsb). Riwayat konsumsi obat-obatan
suami-istri, riwayat seksual, riwayat pekerjaan. Siklus menstruasi pada perempuan,
konsistensi dan jumlah sperma laki-laki, dan keluhan-keluhan terkait masalah kesehatan
yang dialami oleh pasangan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tinggi badan, berat badan, pemeriksaan testis, skrotum, dan tanda-tanda
kelainan hormal lainnya.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ovulasi, uterus, tuba, dan analisis sperma.
G. Diagnosa Keperawatan
1. Disfungsi Seksual
2. Harga Diri Rendah Kronis
3. Kesiapan Peningkatan Koping Keluarga
H. Intervensi Keperawatan

No Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)


Dx
.
1 Setelah dilakukan intervensi Edukasi Seksual
keperwatan beberapa 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
pertemuan diharapkan informasi
Fungsi Seksual membaik 2. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
dengan kriteria hasil: 3. Berikan kesempatan untuk bertanya
1. Kepuasan hubungan 4. Jelaskan anatomi dan fisiologi sistem reproduksi
seksual meningkat laki-laki dan perempuan
5. Jelaskan risiko tertular penyakit menular seksual
dan AIDS akibat seks bebas
2 Setelah dilakukan intervensi Promosi Harga Diri
keperwatan beberapa 1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan
pertemuan diharapkan Harga usia terhadap harga diri
Diri dengan kriteria hasil: 2. Monitor tingkat harga diri setiap waktu, sesuai
1. Penilaian diri positif kebutuhan
meningkat 3. Motivasi menerima tantangan atau hal baru
2. Kemampuan membuat 4. Diskusikan pernyataan tentang harga diri
keputusan meningkat 5. Diskusikan kepercayaan terhadap penilaiaan diri
3. Perasaan bersalah 6. Berikan umpan balik positif atas peningkatan
menurun mencapai tujuan
7. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan
dalam menangani situasi
Dukungan Pengambilan Keputusan
8. Identifikasi persepsi mengenai masalah dan
informasi yang memicu konflik
9. Fasilitasi mengklarifikasi nilai dan harapan yang
membantu membuat pilihan
10. Diskusikan kelebihan dan kekurangan dari setiap
solusi
11. Motivasi mengungkapkan tujuan perawatan yang
diharapkan
12. Hormati hak pasien untuk menerima atau menolak
informasi
13. Berikan informasi yang diminta pasien
14. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam
memfasilitasi pengambilan keputusan

Daftar Pustaka

Konsensus Penanganan Infertilitas. (2013).


KAJIAN LITERATUR TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Defenisi
Pemeriksaan Pap Smear adalah salah satu metode pemeriksaan skrining kanker serviks yaitu
dengan pengambilan apusan sel epitel serviks yang akan diperiksa .memakai mikroskop
untuk mendeteksi lesi prakanker dan kanker serviks

2. Indikasi dan kontraindikasi


Indikasi:
a) Wanita yang telah menikah ( kontak seksual) dalam 3 tahun pertama
b) Wanita dengan keluhan keputihan dan perdarahan pervaginam

Syarat Pemeriksaan:

a) Wanita yang telah menikah (kontak seksual)


b) Tidak dalam keadaan haid
c) Dua hari sebelum melakukan pemeriksaan sebaiknya tidak melakukan kontak seksual,
douching vagina, penggunaan tampon dan jelly/cream vagina

3. Hasil penelitian terkait


Berdasarkan hasil penelitian kajian literature yang dilakukan oleh Farah Amira Natasya Binti
Hafez Amri (C011171821) dan Dr. dr. Nugraha Utama Pelupessy, SpOG.(K) dengan judul
Akurasi Skrining Tes Pap Smear Dan Via Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks : Kajian
Sistematis yang bertujuan untuk membandingkan akurasi tes Pap Smear dan VIA dengan
mengukur nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif antara kedua-dua tes.
Dari sembilan artikel yang terinklusi, 7 studi cross-sectional dan 2 studi prospective
diidentifikasi. Sensitivitas dan spesifisitas Pap smear bervariasi dengan masing-masing nilai
adalah 30-95% dan 62-100%. Manakala, sensitivitas VIA lebih tinggi daripada Pap smear
dengan 4 dari 7 studi perbandingan dengan Pap smear menunjukkan nilai diatas 80% dengan
rentang nilai 57-95%. Namun, spesifisitas Pap smear menunjukkan angka yang lebih tinggi
biarpun tidak jauh berbeda secara signifikan dari VIA yang dalam rentang 11-99%. Pada
perbandingan kurva SROC antara dua tes menunjukkan Pap Smear lebih akurat
dibandingkan tes VIA.

4. Langkah-langkah tindakan (bisa disertai dengan gambar atau link video youtube)

5. Daftar Pustaka

Manual Clinical Skill Lab: Pemeriksaan PAP’s SMEAR. (2019). Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
PRE EKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan di mana hipertensi terjadi setelah
minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Preeclampsia
merupakan suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria. Diagnosis preeklampsia secara tradisional
didasarkan pada adanya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema. Akan tetapi temuan
yang paling penting ialah hipertensi, di mana 20% pasien eklampsia tidak mengalami
proteinuria yang berarti sebelum serangan kejang pertama.
Eklampsia ialah terjadinya konvulsi atau koma pada pasien disertai tanda dan gejala
preeklampsia. Konvulsi atau koma dapat muncul tanpa didahului gangguan neurologis
(Bobak, Lowdermilk, Jensen, dan Perry, 2005).
B. Klasifikasi dan Diagnosis
Adapun preeklampsia digolongkan kedalam preeklampsia ringan dan preeklampsia berat
dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
1. Preeklampsia Ringan
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya
perfusi organ yang berakibat terjadinya vasopasme pembuluh darah dan aktivasi endotel
(Prawihardjo 2014, 543). Berikut diagnosis preeklampsia ringan:
a) Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan diatas 20 minggu
b) Tes celup urine menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil lebih dari 300 mg/24 jam.
2. Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat adalah preeclampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan diastolic ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam (Prawihardjo 2014,
544). Berikut diagnosis preeklampsia berat:
a) Tekanan darah ≥160/110 mmHg pada usia kehamilan lebih dari 20
b) Tes celup urine menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil lebih dari 5 g/24 jam
c) Atau keterlibatan organ lain:
Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikiroangiopati
Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
Sakit kepala, skotoma penglihatan
Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
Edema paru atau gagal jantung kongestif
Oliguria (<500 ml/24 jam), kreatinin lebih dari 1,2 mg/dl
C. Etiologi
Tanda dan gejala timbul hanya hanya selama masa hamil dan menghilang dengan cepat
setelah janin dan plasenta lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang
akan menderita preeklampsia. Akan tetapi ada beberapa faktor risiko tertentu yang berkaitan
dengan perkembangan penyakit:
1. Primigravida
2. Grand multigravida
3. Janin besar
4. Kehamilan dengan janin lebih dari satu
5. Morbid obesitas

Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia terjadi pada 14-
20% kehamilan janin lebih dari satu dan 30% pasien mengalami anomali rahim yang berat.
Pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapat 25%
(Bobak, Lowdermilk, Jensen, dan Perry, 2005).

D. Patofisiologi
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus meometrium
berupa arteri akuarta member cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis member cabang arteri spiralis. Pada hamil normal,
terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi
lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi pada arteri spiralis. Invasi trofoblas juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam
kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas secara sempurna pada lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami
vasokontriksi sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, sehingga terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta
2. Teori iskemia plasenta, Radikal bebas dan disfungsi endotel
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada preeklampsia terjadi kegagalan
pada aliran pembuluh darah, akibatnya plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia plasenta dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga
radikal bebas). Oksidan dan radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau
atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan
merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan atau radikal bebas dalam tubuh yang
bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan. Akibat sel endotel terpapar
terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel ednotel, yang kerusakannya
dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel atau disebut
dengan disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan
disfungsi endotel maka akan terjadi;
a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin yaitu menurunnya produksi prostaglandin (PGE2): suatu
vasodilator kuat.
b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah sel endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan sel endotel
yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit meproduksi tromboksan (TXA2):
suatu vasokontriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin sehingga lebih tinggi
vasodilator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin
sehingga terjadi vasokontriksi, akibatnya tekanan darah mengalami kenaikan.
c) Peningkatan permeabilitas kapilar
3. Teori stimulus inflamasi
Teori ini bersdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal
plasenta juga melepaskan debris trofoblas sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik
trofoblas akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang
kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamsi juga masih dalam
batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan
nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta misalnya pada
plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif kan meningkat, sehingga
jumlah sisa debris trofoblas makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi
inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel
granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
E. Penatalaksanaan
1. Preeklampsia Ringan
a) Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklampsia ringan, dengan cara:
Ibu dianjurkan untuk beristirahat (berbaring tidur/miring), diet: cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak dan garam; Pemberian sedative ringan: tablet Phenobarbital 3 x 30
mg atau diazepam 3 x 2 mg peroral selama 7 hari (atas instruksi dokter); roborantia:
kujungan ulang setiap 1 minggu; pemeriksaan laboratorium: hemoglobin, hemotokrit,
trombosit, urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati dan fungsi ginjal.
b) Penatalaksanaan rawat tinggal pasien preeklampsia ringan berdasarkan kriteria:
setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari
gejala-gejala preeklampsia, kenaikan berat badan ibu 1 kg atau lebih perminggu
selama dua kali berturut-turut (2 minggu), timbul salah satu atau lebih gejala atau
tanda-tanda preeclampsia berat. Bila setelah 1 minggu perawatan diatas tidak ada
perbaikan maka preeklampsia ringan dianggap sebagai preeklampsia berat. Jika
dalam perawatan dirumah sakit sudah ada perabikan sebelum 1 minggu dan
kehamilan mansih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi baru
dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.

Jika kehamilan sudah diatas 37 minggu, maka pertimbangkan terminasi sebagai berikut
dibawah ini:

a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU dalam 500 ml dekstrose
IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.
b) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter Foley,
atau terminasi dengan seksio sesaria.

2. Preeklampsia Berat
a) Segera masuk ke rumah sakit
b) Tirah baringmiring kesatu sisi. Tanda-tanda vital diperiksa setiap 30 menit,
memeriksa reflex patella setiap jam.
c) Memasang infuse dengan cairan dexatose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan
cairan infuse RL (60 -125CC/jam) 500cc.
d) Pemberian anti kejang /anti konvulsan magnesium sulfat (MgSO4) sebagai
pencegahan dan terapi kejang. MgSO4 merupakan obat pilihan untuk mencegah dan
mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan ringan.

Apabila terjadi kejang pada preeklampsia berat maka akan dilakukan pencegahan:

a) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan nafas, pernapasan (oksigen) sirkulasi (cairan
intravena)
b) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana
kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang). Adapun syarat
pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut:
o Tersedia cairan glukosa 10%
o Ada reflex patella
o Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg BB/jam

Adapun cara pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut:


o Berikan dosis awal 4 gram MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah terjadinya
kejang atau kejang berulang dengan cara:
Ambil 4 gram larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutan dengan 10
ml aquades. Berika larutan tersebut secara perlahan-lahan sevara IV selama 20
menit. Jika IV sulit, berikan masing-masing 5 gram MgSO4 (12,5 ml larutan
MgSO4 40%) seara IM di bokong kiri dan kanan.

o Sambil menunggu rujukan mulai dosis rumatan 6 gram MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur dengan cara: Ambil 6 gram MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%)
dan larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat, Asetat, lalu berikan secara IV
dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah
persalinan atau kejang berakhir (bila eklampsia).
o Melakukan pemeriksaan fisik setiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, reflex patella dan jumlah urin.
o Bila frekuensi pernapasan <16x/menit, dan atau tidak didapatkan reflex patella
dan atau oliguria produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam), hentikan pemberian MgSO4.
o Jika terajdi depresi nafas, berikan cairan glukosa 1 gram secara IV (10 ml larutan
10 %) bolus dalam 10 menit.
o Segala ibu hamil denga preeklampsia dan eklampsia dirujuk patau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan penilaian
awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 gram secara IV
perlahan-lahan (15-2o menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulang masih
terdapat kejang, dapat dipertimbangkan untuk pemberian diazepam 10 mg secara
IV selama 2 menit.

Ada beberapa pertimbangan persalinan atau terminasi kehamilan sebagai beriukut:

o Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak
terjadinya kejang
o Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan janin
yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
o Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan
tidak terdapat kontraindikasi.
o Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34-37
minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi
yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan pengawasan
ketat.
o Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm, persalinan
dini dianjurkan.
o Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang
sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan
PEMERIKSAAN TFU DAN LOCHEA

A. Pemeriksaan Tinggi Fundus Uteri

Menurut Mc. Donald untuk menilai umur kehamilan dapat diperhitungkan dengan
melakukan pengukuran jarak simfisis pubis ke fundus uteri. Kemungkinan akurasi
penentuan umur kehamilan dengan menggunakan pengukuran TFU dalam
centimeter/teknik Mc. Donald adalah 56% (Rosenberg et all), 86% (Belizan et all). Teknik
pengukuran yang paling tepat adalah dengan cara menempatkan titik nol pada pinggir atas
simfisis dan titik tertinggi pada fundus uteri, dengan meminimalkan menekan fundus
terlalu kuat, tetapi mengupayakan memfiksasi titik tertinggi fundus. Upaya meminimalisir
bias dan memastikan obyektifitas dapat dilakukan dengan cara ketika melakukan
pengukuran menggunakan metlin, maka metlin dibalik tidak pada ukuran satuan cm tetapi
pada ukuran inchi. Supaya menghindari subyekif dari sisi pengukur, karena pengukur
mengetahui indikator normal TFU dalam cm berdasarkan usia kehamilan. Tujuan
pengukuran TFU Mc. Donald adalah: 1) untuk mengetahui usia kehamilan, 2) untuk
menentukan taksiran berat janin (TBJ) berdasarkan TFU. Menentukan usia kehamilan
berdasarkan TFU dapat menggunakan 2 jenis rumus sebagaiberikut:
1. Rumus Bartholomew; Antara simpisis pubis dan pusat dibagi menjadi 4 bagian yang
sama, maka tiap bagian menunjukkan penambahan 1 bulan. Fundus uteri teraba tepat
di simpisis umur kehamilan 2 bulan (8 minggu). Antara pusat sampai prosesus
xifoideus dibagi menjadai 4 bagian dan tiap bagian menunjukkan kenaikan 1 bulan.
Tinggi fundus uteri pada umur kehamilan 40 minggu (bulan ke-10) kurang lebih
sama dengan umur kehamilan 32 minggu (bulanke-8).
2. Rumus Mc Donald; Tinggi Fundus uteri diukur dengan metlin. Tinggi fundus uteri
dikalikan 2 dan dibagi 7 diperoleh umur kehamilan dalam bulan obstetrik dan bila
Tinggi Fundus Uteri dikalikan 8 dan dibagi 7 memberikan umur kehamilan dalam
minggu. Hal ini dapat dilihat pada gambaran rumus sebagaiberikut:
a. TFU (cm) x 2/7 (atau + 3,5) = umur kehamilan dalambulan
b. TFU (cm) x 8/7 = umur kehamilan dalamminggu

Hasil pengukuran TFU dalam cm juga dipergunakan untuk menghitung taksiran berat
janin. Taksiran ini hanya berlaku untuk janin dengan presentasi kepala. Rumusnya
perhitungan taksiran berat janin menurut Rumus Lohson adalah sebagai berikut:
Tinggi fundus uteri (dalam cm-n) x 155 = berat (gram). Bila kepala belum masuk panggul
maka n = 12, jika kepala sudah masuk panggul maka n = 11.
Cara mengukur tinggi fundus uteri dalam cm:

1. Menggunakan Alat UkurCaliper


Caliper digunakan dengan meletakkan satu ujung pada tepi atas simfisis pubis dan
ujung yang lain pada puncak fundus. Kedua ujung diletakkan pada garis tengah
abdominal, melewati garis tengah abdomen. Ukuran kemudian dibaca pada skala cm
(centimeter) yang terletak ketika 2 ujung caliper bertemu. Ukuran diperkirakan sama
dengan minggu kehamilan atau ± 2 cm dari umur kehamilan dalam minggu, setelah umur
kehamilan 20-24 minggu.,

2. Menggunakan PitaUkur
Pita ukur merupakan metode akurat kedua dalam pengukuran TFU setelah 20-24
minggu kehamilan. Titik nol pita pengukur diletakkan pada tepi atas simfisis pubis dan
pita pengukur ditarik melewati garis tengah abdomen sampai puncak. Hasil dibaca dalam
skala cm, estimasi ukuran yang terukur diperkirakan sama dengan jumlah minggu
kehamilan atau
± 2 cm dari umur kehamilan, setelah umur kehamilan 20-24 minggu kehamilan.
Pelaksanaan pengukuran TFU dapat dilihat pada gambar berikut ini :

3. MenggunakanPitaUkurdenganMetodeBerbeda

Gambar 2.

Pengukuran TFU dengan menggunakan metlin

Berikut ini merupakan tabel nilai normal TFU sesuai umur kehamilan, untuk
memantau pertumbuhan janin:

Nilai Normal TFU Sesuai Umur Kehamilan, Untuk Memantau Pertumbuhan


Janin:
Umur Kehamilan TFU (cm) TFU Leopold 1
12 minggu - 1-2 jari di atas simfisis
16 minggu - Pertengahan simfisis – pusat
20 minggu 20 mg (± 2 cm) 2-3 jari di bawah pusat
22 – 27 minggu Umur kehamilan dalam minggu Setinggi umbilikus
= cm (± 2 cm)
28 minggu 28 cm (± 2 cm) Pertengahan pusat – PX
29 - 35 minggu Umur kehamilan dalam minggu 3 jari di bawah PX
= cm (± 2 cm)
36 – 40 minggu 36 cm (± 2 cm) Pada PX atau pertengahan pusat – PX

A. TUJUANPRAKTIKUM

Setelah mengikuti pembelajaran praktik ini, Anda diharapkan mampu melaksanakan


pengukuran TFU pada ibu hamil. Saudara dapat melakukan persiapan alat untuk
pengukuran TFU pada ibu hamil, mengerti langkah-langkah pengukuran TFU pada ibu
hamil secara tepat, efektif dan efisien, dan dapat mendokumentasikan hasil pemeriksaan
TFU pada buku KIA, kartu ibu atau status ibu hamil.

B. POKOK-POKOKMATERI

1. Persiapan alat untuk pengukuran TFU pada ibuhamil.


2. Langkah-langkah pengukuran TFU pada ibuhamil.
3. Pengukuran TFU pada ibu hamil dengan efektif dan efisien.
4. Pendokumentasian hasil pengukuran TFU pada buku KIA, kartu ibu atau status ibu
hamil.

C. ALAT DANBAHAN

Sebelum melakukan praktikum pengukuran TFU pada ibu hamil Anda harus
menyiapkan alat yang dibutuhkan :
1. Ruang yang nyaman dantertutup.
2. Air mengalir, sabun, handuk untuk cucitangan.
3. Tempat tidur pasien danselimut
4. Metlin/pitameter
5. Form/buku untuk pendokumentasian hasil pemeriksaan ibu hamil: buku KIA, kartu
ibu atau status ibuhamil.
D. PROSEDURPEMERIKSAAN

Praktikum pengukuran TFU pada ibu hamil ini dapat Anda lakukan di laboratorium
skill atau real setting klinik (BPM, RB, Puskesmas atau RS) saat Anda praktik. Langkah
awal yang Anda lakukan adalah mempersiapkan alat dan bahan, menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan TFU pada ibu hamil, mempersilahkan ibu untuk kencing terlebih
dahulu, kemudian lakukan cuci tangan 6 langkah. Ibu hamil dipersilahkan kencing terlebih
dahulu karena untuk kenyamanan klien dan memudahkan perabaan fundus uteri saat
pengukuran TFU. Pengukuran TFU dalam cm (Mc. Donald) pada ibu hamil mulai
dilakukan pada umur kehamilan 20 minggu, dilakukan beriringan atau mengikuti
pemeriksaan Leopold 1. Karena tujuan pemeriksaan Leopold 1 adalah mengukur TFU
(dalam indikator rabaan jari), dimana persiapan tindakannya sama, yaitu terlebih dahulu
meraba fundus uteri, kemudian memfiksasi fundus dan melanjutkan mengukur TFU dalam
cm. Selanjutnya selengkapnya ikuti langkah-langkah pengukuran TFU dalam cm pada ibu
hamil sesuai dengan penuntun belajar berikut ini:

DAFTAR TILIK PENUNTUN BELAJAR PENGUKURAN TFU CARA Mc DONALD PADA IBU
HAMIL

Beri tanda cek (√) pada kolom :


0 : Bila kegiatan tidakdilakukan
1 : Bila kegiatan dilakukan tetapi belum lengkap, belum sempurna atau kegiatan
dilakukan sebagian
2 : Bila kegiatan dilakukan dengan lengkap, sempurna atau kegiatan dilakukan secara
keseluruhan

NO KEGIATAN
A PERSIAPAN
1 Ruang yang nyaman dan tertutup. Tempat tidur pasien dan
2 selimut Metlin/pita meter
3 Air mengalir, sabun, handuk untuk cuci tangan.
4 Form/buku untuk pendokumentasian hasil pemeriksaan ibu hamil: buku KIA, kartu
5 ibu atau status ibuhamil.

B PELAKSANAAN
B1 SIKAP DAN PERILAKU
6 Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilaksanakan.
7 Komunikasi dengan ibu selama melakukan tindakan.
8 Mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan dengan
teknik yang benar.
9 Menempatkan alat, bahan serta posisi pemeriksa secara
ergonomis.
10 Menjaga privacy pasien.

B CONTENT /ISI

11 Mempersilahkan ibu untuk mengosongkan kandung


kencing.
12 Mengatur posisi ibu berbaring di tempat tidur dengan
bantal agak ditinggikan, bantal sampai di bahu atas.
13 Mengatur selimut (selimut menutupi daerah genetalia dan kaki)

14 Mempersilahkan dan membantu ibu untuk membebaskan daerah perut dari baju
(membuka baju atau baju dikeataskan).
15 Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu menghadap perut ibu
16 Mengatur kaki ibu sedikit ditekuk (30 - 450).

17 Mengupayakan suhu tangan pemeriksa sesuai dengan


suhu kulit ibu (misalnya dengan menggosok secara ringan kedua tangan agar hangat
dan sesuai suhu ibu)
18 Mengetengahkan rahim dengan kedua

19 Melakukan fiksasi dengan cara menahan fundus uteri dengan tangan kiri.

20 Meletakkan titik nol metlin pada pinggir atas simfisis.


*disarankan untuk menghindari bias atau subyektif pemeriksa, maka
penempatanmetlin dalam keadaan
terbalik dengan satuan inchi.
22 Tentukan TFU, fiksasi titik tertinggi yang menunjukkan puncak fundus uteri,
kemudian metlin dibalik sehingga
hasil pengukuran dibaca dalam skala cm.
23 Membereskan alat.

24 Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada pasien.

25 Mendokumentasikan hasil pemeriksaan .

C EVALUASI

26 Melaksanakan tindakan secara sistematis/berurutan

27 Melakukan tindakan dengan baik


B. Lochea
Lochea adalah cairan yang dikeluarkan uterus melalui vagina dalam masa nifassifat
locheaalkalis,jumlahlebihbanyakdaripengeluarandarahdanlendirwaktumenstruasidan
berbauanyir(cairaniniberasaldaribekasmelekatnyaatauimplantasiplacenta).
Lochea dibagi dalam beberapa jenis, antara lain sebagai berikut (Mochtar, 2002).
a. Lochearubra(cruenta):berisidarahsegardansisa-sisaselaputketuban,sel-sel
desidua,vernikskaseosa,lanugo,danmekoneum,selama2haripascapersalinan.
b. Locheasanguinolenta:berwarnamerahkuningberisidarahdanlendirharike3-7
pascapersalinan.
c. Locheaserosa:berwarnakuning,cairantidakberdarahlagi,padaharike7-14pasca persalinan.
d. Locheaalba:cairanputih,setelah2minggu.
e. Locheapurulenta:terjadiinfeksi,keluarcairansepertinanahberbaubusuk.
f. Lochiostasis:locheatidaklancarkeluarnya.

Apabilapengeluaranlochealebihlamadaripadayangdisebutkandiataskemungkinan
dapatdisebabkanolehhal-halsebagaiberikut.
a. Tertinggalnyaplacentaatauselaputjaninkarenakontraksiuterusyangkurangbaik.
b. Ibuyangtidakmenyusuianaknya,pengeluaranlochearubralebihbanyakkarena
kontraksi uterus dengancepat.

c. Infeksi jalan lahir, membuat kontraksi uterus kurang baik sehingga lebih lama
mengeluarkanlocheadanlocheaberbauanyiratauamis.

d. Bila lochea bernanah dan berbau busuk, disertai nyeri perut bagian bawah
kemungkinan analisa diagnosisnya adalah metritis. Metritis adalah infeksiuterus
setelahpersalinanyangmerupakansalahsatupenyebabterbesarkematianibu.Bila
pengobatanterlambatataukurangadekuatdapatmenjadiabsespelvik,peritonitis, syok
septik (Mochtar,2002).
Daftar Pustaka

Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.

Baston,H.,&Hall,J.(2011).MidwiferyEssentialPostnatal,Volume4.UnitedKingdom:
Elsevier.

BobakL2004).BukuAjarKeperawatanMaternitasedisi4.Jakarta:EGC.

Coad,J.(2006).Bukuanatomidanfisiologiuntukbidan.Jakarta:EGC.

Cunningham, dkk. (2012). Obstetri Williams, Volume 1. McGraw Hill Education (Asia) and
EGC Medical Publisher.

Anda mungkin juga menyukai