Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Ketuban Pecah Dini


1. Pengertian
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban/keluarnya
cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan 22 minggu sebelum
proses persalinan berlangsung yaitu bila pembukaan pada primi kurang
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Pecahnya selaput ketuban
dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu
maupun kehamilan aterm (Saifuddin, 2006).

2. Penyebab
Penyebab dari ketuban pecah dini (KPD) tidak atau masih belum
diketahui dengan pasti. Kemungkinan yang menjadi factor predisposisi
adalah (Manuaba, 2011) :
a. Serviks Incompetent
b. Faktor keturunan
c. Ketegangan rahim berlebihan (overdistensi uterus): kehamilan ganda,
hidramion
d. Kelainan letak rahim (malposisi atau malpresentase janin): letak
sungsang, letak lintang
e. Riwayat KPD
f. Merokok
g. Kemungkinan kesempitan panggul: bagian terendah belum masuk
PAP, CPD
h. Usia ibu yang lebih tua
i. Akibat hubungan seksual
j. Paritas
k. Anemia
l. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban
pecah
m. Kelainan bawaan dari selaput ketuban: selaput ketuban terlalu tipis
n. Keadaan sosial ekonomi: definisi gizi dari lembaga atau asam
askorbat (Vitamin C)

3. Patofisiologis
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi
(sampai 65%). High virulensi berupa Bacteroides Low virulensi,
Lactobacillus Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast,
jaringa retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1)
dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan,
sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/ amnion,
menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.

4. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan
tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada
factor faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun
factor faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Adapun yang
menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah, 2010; Manuaba, 2009;
Winkjosastro, 2011) adalah : infeksi, serviks yang inkompeten,
ketegangan intra uterine, trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial
ekonomi, peninggian tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan
panggul, korioamnionitis, factor keturunan, riwayat KPD sebelumnya,
kelainan atau kerusakan selaput ketuban dan serviks yang pendek pada
usia kehamilan 23 minggu.
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Ketegangan intra uterin yang meninggi atau
meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma,
hidramnion, gemelli. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena
berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin
atau oleh kedua factor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan
serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi
obstetrik (Rukiyah, 2010).
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut
kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak
dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena
tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensi
serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan
suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan
trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan
dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba,
2009).
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
Trauma (hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis), Gemelli
(Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih). Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi
karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung
(selaput ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang
menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over
distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga
menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi
teregang,tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan
selaput ketuban mudah pecah. Hidramnion atau polihidramnion adalah
jumlah cairan amnion >2000 mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam
jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah peningkatan
jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut,
volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi
nyata dalam waktu beberapa hari saja (Winkjosastro, 2011).

5. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban
berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna
darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin yang
sudah terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran
untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut
jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi
(Manuaba, 2009).

6. Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini meragukan kita, apakah ketuban
benar sudah pecah atau belum. Apalagi bila pembukaan kanalis servikal
belum ada atau kecil. Menurut Sarwono (2010) penegakkan diagnosis
KPD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang meliputi :
a. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina.
b. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa,
rambut lanugo dan kadang-kadang bau kalau ada infeksi.
c. Dari pemeriksaan inspekulo terlihat keluar cairan ketuban dari cairan
servikalis.
d. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi biru
(basa) bila ketuban sudah pecah.
e. Pemeriksan penunjang dengan menggunakan USG untuk membantu
dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak
plasenta serta jumlah air ketuban. Pemeriksaan air ketuban dengan
tes leukosit esterase, bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 ,
kemungkinan adanya infeksi.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau
dan PHnya.
1) Tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru ,menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
2) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering, pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban
yang sedikit (Manuaba, 2009).

8. Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi pada KPD meliputi ;
a. Mudah terjadinya infeksi intra uterin
b. Partus premature
c. Prolaps bagian janin terutama tali pusat
(Manuaba, 2009).
Terdapat tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini yaitu
a. Peningkatan morbiditas neonatal oleh karena prematuritas
b. Komplikasi selama persalinan dan kelahiran
c. Resiko infeksi baik pada ibu maupun janin, dimana resiko infeksi
karena ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang
terhadap masuknya penyebab infeksi
(Sarwono, 2010).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan,
adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda
persalinan. Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010),
meliputi :
a. Konserpatif
1) Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik
pada ibu maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit.
2) Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila
tidak tahan ampicilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
3) Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4) Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada
infeksi, tes buss negativ beri deksametason, observasi tanda-tanda
infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37
minggu
5) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi
sesudah 24 jam.
6) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi.
7) Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra
uterin).
8) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu
kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar
lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg
sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6
jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
1) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
2) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan
persalinan diakhiri.
3) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesarea
4) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

Penatalaksanaan KPD menurut Manuaba (2009) tentang


penatalaksanaan KPD adalah :
a. Mempertahankan kehamilan sampai cukup bulan khususnya maturitas
paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru
yang sehat.
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi
pemicu sepsis, maningitis janin, dan persalinan prematuritas
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan
berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid,
sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
d. Pada umur kehamilan 24-32 minggu yang menyebabkan menunggu
berat janin cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan, dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan
e. Menghadapi KPD, diperlukan penjelasan terhadap ibu dan keluarga
sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin
dilakukan dengan pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan
mungkin harus mengorbankan janinnya.
f. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengukur
distansia biparietal dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk
melakukan pemeriksaan kematangan paru.
g. Waktu terminasi pada kehamilan aterm dapat dianjurkan selang waktu
6-24 jam bila tidak terjadi his spontan.

B. TEORI ASUHAN KEBIDANAN


Agar proses manajemen kebidanan pada ibu dapat dilaksanakan dengan
baik maka diperlukan langkah-langkah sistematis. Adapun langkah-langkah
yang harus dilaksanakan menurut Varney (2008), dan Mufdillah, Hidayat,
(2008) adalah sebagai berikut :
1. Langkah I : Pengkajian Data (Pengumpulan Data Dasar).
Pengkajian adalah tahap awal yang dipakai dalam menerapkan
asuhan kebidanan pada pasien dan merupakan suatu proses pengumpulan
data yang sistematis dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2009).
Pengkajian merupakan metode pengumpulan semua informasi
(data) yang akurat dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan
kondisi klien. Untuk memperoleh data dilakukan dengan cara anamnesis
dan pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tanda-
tanda vital (Soepardan, 2008).
Menurut Pudiastuti (2012) pengkajian data meliputi :
a. Data Subyektif
Data subyektif adalah data yang didapatkan dari pasien
sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian,
informasi tersebut tidak dapat ditemukan, oleh tim kesehatan
secaraindependen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi
(Nursalam, 2009).
1) Biodata yang Menyangkut Identitas Pasien
a) Nama
Nama jelas dan lengkap bila perlu nama panggilan sehari-
hari agar tidak keliru dalam memberikan pelayanan.
b) Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko seperti
kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum matang,
mental dan psikisnya belum siap sedangkan umur lebih dari
35 tahun rentan sekali untuk terjadi perdarahan masa nifas.
c) Agama
Untuk mengetahui pasien tersebut dalam membimbing atau
mengarahkan pasien dalam berdoa.
d) Suku
Bangsa Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan
sehari-hari.
e) Pendidikan
Berpengaruh terhadap tindakan kebidanan dan mengetahui
sejauh mana tingkat intelektualnya, 27 sehingga bidan dapat
memberikan konseling dengan pendidikannya.
f) Pekerjaan Pasien
Gunanya untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya, karena ini mempengaruhi dalam gizi pasien
tersebut.
g) Alamat
Ditanyakan karena mungkin memiliki nama yang sama
dengan alamat yang berbeda.
2) Keluhan Utama
Keluhan yang terjadi pada ibu bersalin dengan ketuban pecah
dini adalah ibu mengatakan mengeluarkan cairan yang
merembes melalui vagina, nyeri perut dan demam
(Nugroho,2010).
3) Riwayat Menstruasi
Umur menarche, siklus, lamanya haid, banyaknya darah, haid
teratur atau tidak, sifat darah (cair atau ada bekuan, warnanya),
adanya dismenorhoe.
4) Riwayat Perkawinan
Perlu dikaji tentang berapa kali menikah, status menikah syah
atau tidak, karena bila melahirkan tanpa status yang jelas akan
berkaitan dengan psikologinya, sehingga akan mempengaruhi
proses nifas.
5) Riwayat Kehamilan, Persalian dan Nifas yang lalu
a) Kehamilan : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan ibu
dan hasilpemeriksaan kehamilan.
b) Persalinan : spontan atau buatan lahir aterm atau prematur
ada perdarahan atau tidak, waktu persalinan ditolong oleh
siapa, dimana tempat melahirkan.
c) Nifas: Untuk mengetahui hasil akhir persalinan ( abortus,
lahir hidup, apakah dalam kesehatan yang baik) apakah
terdapat komplikasi atau intervensi 28 pada masa nifas dan
apakah ibu tersebut mengetahui penyebabnya.
6) Riwayat kehamilan sekarang
Menurut Rohani dkk. (2011), data subyektif dari riwayat
kehamilan antara lain:
a) Haid pertama dan haid terakhir merupakan data dasar yang
diperlukan untuk menentukan usia kehamilan, apakah
cukup bulan prematur.
b) Kepala bayi lahir (menurut taksiran ibu) merupakan data
dasar untuk menentukan usia kehamilan menurut taksiran
atau perkiraan ibu.
c) Taksiran persalinan.
d) Keluhan pada trimester I, II, III.
e) Apakah ibu pernah memeriksakan kehamilannya dan
dimana ibu memeriksakan kehamilannya. Hal ini
diperlukan untuk mengidentifikasi masalah potensial yang
dapat terjadi pada persalinan kali ini.
f) Imunisasi TT. Sudah pernah imunisasi TT ataubelum,
berapa kali, dimana, teratur atau tidak.
7) Riwayat Keluarga Berencana
Jenis kontrasepsi yang pernah dipakai, efek samping, alasan
berhentinya menggunakan alat kontrasepsi, dan lama
penggunaan alat kontrasepsi.
8) Riwayat Penyakit Sekarang
Untuk mendeteksi adanya komplikasi pada persalinan dan
kehamilan, dengan menanyakan apakah ibu mengalami sakit
kepala hebat, pandangan berkunangkunang, atau nyeri
epigastrum, sehingga dapat mempersiapkan bila terjadi
kegawatan dalam persalinan.
9) Riwayat Penyakit Keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit menular ataupun penyakit keturunan.
10) Pola Kebiasaan Sehari-Hari
a) Nutrisi
Menggambarkan tentang pola makanan dan minuman,
frekuensi banyaknya, jenis makanan, makanan pantangan.
b) Eliminasi
Menggambarkan berapakali ibu BAB dan BAK dalam satu
hari.
c) Pola Istirahat
Menggambarkan berapa lama ibu istirahat tidur siang atau
malam.
d) Penggunaan Obat-obatan dan Rokok
Harus dikaji apakah ibu perokok dan pemakai obatobatan
atau jamu-jamuan selama hamil atau tidak. Jamu-jamuan
dapat menyebabkan perlekatan plasenta semakin kuat
sehingga memicu terjadinya retensio plasenta.
e) Keadaan psikososial
Untuk mengetahui tentang perasaan ibu sekarang, apakah
ibu takut, cemas atau bingung.
b. Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi dan
diukur oleh tenaga kesehatan.
1) Keadaan umum
Keadaan umum ini meliputi : Baik, sedang, atau jelek. Pada
kasus ketuban pecah dini keadaan umumnya baik
(Nugroho,2010).
2) Kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan individu mengadakan hubungan
dengan lingkungannya, serta dengan dirinya sendiri melalui
panca indranya dan mengadakan pembatasan terhadap
lingkungannya serta terhadap dirinya sendiri melalui perhatian.
3) Tekanan darah
Tekanan darah pada ibu hamil tidak boleh mencapai 140
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik. 30 Perubahan 30
mmHg sistolik 15 mmHg diastolik diatas tekanan darah
sebelum hamil, menandakan toxemia gravidarum (keracunan
kehamilan) (Hani, dkk. 2011)
4) Suhu
Untuk mengetahui suhu badan, apakah ada peningkatan atau
tidak, suhu normal 36,5-37,5oC (Sulistyawati, 2012).
5) Nadi
Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam satu menit.
Batas normal 60-100 kali permenit (Hani, dkk. 2011).
6) Respirasi
Untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien yang dihitung
dalam menit. Batas normal 20-24 kali permenit (Salmah, dkk,
2006).
7) Tinggi Badan
Untuk mengetahui tinggi badan ibu, dan mengetahui resiko
tinggi badan. Tinggi normal ibu hamil adalah 145 cm (Hani,
dkk, 2011).
8) Berat badan
Untuk mngetahui berat badan ibu, karena jika berat badan ibu
berlebih dapat beresiko menyebabkan komplikasi kehamilan
meliputi diabetes gestasional, hipertensi, akibat kehamilan dan
distosia bahu. Kenaikan berat badan ibu normal selama
kehamilan sekitar 6,5-15 kg (Saryono, 2010).
9) Lila (lingkar lengan atas)
Untuk mengetahui lingkar lengan atas pasien, sebagai ukuran
status gizi ibu hamil, jika kurang dari 23,3 cm maka
kekurangan energy kronik (KEK)
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Untuk mengetahui rambut rontok atau tidak, bersih atau kotor
dan berketombe atau tidak (Sulistyawati, 2012)
2) Muka
Apakah terdapat oedema atau tidak, terdapat cloasma
gravidarum atau tidak, dan muka pucat atau tidak, karena pada
pasien dengan anemia sedang muka terlihat pucat (Hani, dkk.
2011).
3) Mata
Untuk mengetahui warna konjungtiva pucat atau tidak, dan
sclera putih atau tidak, pada penderita anemia biasanya warna
konjungtiva pucat (Varney, 2011)
4) Hidung
Untuk mengetahui adanya kelainan, cuping hidung, benjolan
dan secret (Hani,dkk. 2011).
5) Telinga
Untuk mengetahui keadaan telinga, ada kotoran atau tidak
(Sulistyawati, 2012)
6) Mulut Gigi dan Gusi
Untuk mengetahui adanya stomatitis, karies gigi, gusi berdarah
atau tidak (Sulistyawati, 2012).
7) Leher
Untuk mengetahui ada tidaknya pembengkakan kelenjar limfe,
kelenjar thiroid dan vena jugularis (Hani, dkk. 2012)
8) Mamae
Untuk mengetahui adanya pembesaran pada mamae,simetris
atau tidak, putting susu menonjol atau tidak, ada benjolan atau
tidak, dan sudah ada pengeluaran kolostrum atau tidak
(Sulistyawaty, 2012).
9) Abdomen
a) Inspeksi
Adalah proses pengamatan dilakukan untuk menilai
pembesaran perut sesuai atau tidak dengan usia kehamilan,
bentuk perut memanjang atau melenting, adakah linea alba
atau linea nigra, adakah kelainan pada perut serta untuk
menilai pergerakan anak (Varney, 2011)
b) Palpasi
Adalah pemeriksaan dengan indera peraba yaitu
tangan dilakukan untuk menentukan besarnya rahmi,
dengan menentukan usia kehamilan serta menentukan letak
anak dalam rahim. Pemeriksaan palpasi dengan metode
leopold menurut Manuaba (2010) meliputi :
Leopold I : untuk mengetahui Tinggi Fundus Uteri
(TFU) dan bagian apakah yang terdapat
difundus
Leopold II : Untuk mengetahui bagian punggung janin
di
sebelah kanan atau kiri
Leopold III : Untuk mengetahui bagian terbawah janin
bokong atau kepala
Leopld IV : Untuk mengetahui apakah bagian terbawah
janin sudah masuk pintu atas panggul
(PAP) atau belum.
TFU : untuk mengetahui TFU dengan
(Mc.Donald) menggunakan metlin
mengukur dari sympisis sampai fundus
TBJ : Untuk mengetahui taksiran berat janin
(TFU-12)X155 (Konvergen)
(TFU-12)X155 (Divergen)
c) Auskultasi
Adalah pemeriksaan menggunakan stetoskop untuk
mendengarkan bunyi detak jantung janin, punctun
maximum, frekuensi, normal atau tidak (Salmah, 2011)
d) Pemeriksaan Dalam
Untuk mengetahui kemajuan persalinan ibu. pemeriksaan
dalam harus dilakukan dengan interval 4 jam (Elisabeth
Siwi Walyani dan Endang Purwoastusi, 2015).
10) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium untuk menguji adanya kelainan yang
menyertai kehamilan atau tidak, berguna untuk mengetahui
kesejahteraan janin. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mengkaji kadar Hb ibu hamil dengan anemia sedang, dimana
kadar Hb ibu hanya mencapai 7-8 gr%. (Manuaba, 2010).
2. Langkah II : Interpretasi Data
Intrepertasi Data merupakan metode identifikasi terhadap diagnosi
atau masalah berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang
dikumpulkan. Data dasar tersebut kemudian diinterprestasikan sehingga
dapat dirumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik. Baik rumusan
diagnosis maupu masalah, keduanya harus ditangani. Meskipun masalah
tidak dapat diartikan sebagai diagnosis, tetapi tetap membutuhkan
penanganan. Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang
dialami wanita yang diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan hasil
pengkajian. Masalah juga sering meyertai diagnosis. Interpretasi data
terdiri dari masalah atau diagnosa dan kebutuhan (Soepardan, 2008).
Interpretasi Data (data hasil dari pengkajian) mencakup diagnosa
kebidanan, masalah dan kebutuhan. Data dasar yang sudah dikumpulkan,
diinterprestasikan sehingga dapat dirumuskan diagnosa masalah yang
spesifik (Varney, 2010)
a. Diagnosa Kebidanan
Diagnosa yang ditegakkan dalam ruang lingkup praktek
kebidanan yang memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan.
Diagnosa kebidanan yang ditegakkan pada ketuban pecah dini adalah
Ny.x..... G.... P.... A... umur.... hamil... minggu dengan ketuban pecah
dini.
b. Masalah
Hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien yang
ditemukan dari hasil pengkajian yang menyertai diagnosa (Varney,
2010).
Masalah yang sering timbul pada ibu bersalin dengan
ketubanpecah dini yaitu ibu tampak gelisah dan cemas menghadapi
persalinan (Wiknjosastro, 2008).
c. Kebutuhan
Hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien dan belum teridentifikasi
dalam diagnosa dan masalah yang didapatkan dengan menggunakan
analisa data (Varney, 2011).
Kebutuhan pada ibu bersalin dengan ketuban pecah dini adalah
informasi tentang keadaan ibu, informasi tentang makanan bergizi
cukup kalori, support mental dari keluarga dan tenaga kesehatan
(Manuaba, 2007).
3. Langkah III : Diagnosa Potensial
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang dapat ditegakkan yang
berkaitan dengan para, abortus, anak hidup dalam keadaan hamil
(Ambarwati, 2010).
Diagnosa potensial merupakan identifikasi yang dilakukan
berdasarkan diagnosis/ masalah yang telah di identifikasi. Langkah ini
membutuhkan antisipasi bila memungkinkan dilakukan pencegahan agar
tidak terjadi kegawatdaruratan (Soepardan, 2008).
4. Langkah IV : Tindakan Segera
Tindakan segera merupakan tindakan yang dilakukan dengan cara
menetapkan kebutuhan tentang perlunya tindakan segera oleh bidan/
dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani 35 bersama dengan anggota
tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien (Soepardan, 2008).
5. Langkah V : Rencana Tindakan Asuhan Kebidanan
Mengembangkan tindakan komprehensif yang ditentukan pada
tahap sebelumnya, juga mengantisipasi diagnosa dan masalah kebidanan
secara komprehensif yang didasari atas rasional tindakan yang relevan
dan diakui kebenarannya sesuai kondisi dan situasi berdasarkan analisa
dan asumsi yang seharusnya boleh dikerjakan atau tidak oleh bidan
(Soepardan, 2008).
Pada langkah ini seorang bidan merumuskan rencana tindakan yang
sebelumnya telah didiskusikan dengan pasien dan kemudian membuat
kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya. Semua keputusan
berdasarkan pengetahuan dan prosedur yang telah ditetapkan dengan
pertimbangan. Apakah hal ini perlu dilakukan atau tidak.
6. Langkah VI :Implementasi
Langkah ini merupakan pelaksanaan asuhan yang menyeluruh
seperti yang telah diuraikan pada langkah kelima, dilaksanakan secara
efisien dan aman. Perencanaan ini dapat dilakukan oleh klien atau tenaga
lainnya (Varney, 2010).
7. Langkah VII : Evaluasi
Mengevaluasi keefektifan dari seluruh asuhan yang sudah
diberikan meliputi, apakah telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
sebagaimana telah diidentifikasi didalam masalah. (Varney, 2010).

C. TEORI EBM
1. Hubungan Induksi Persalinan Oksitosin Drip dengn Ruptur Jalan
Lahir Spontan pada Persalinan Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD
dr. R Soedjono Selong Lombok Timur Turki 2013 oleh Romarjan,
AASP Chandradewi, dan Irmayani
Insidensi ketuban pecah dini (KPD) terjadi 10% pada semua
kehamilan, pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%,
sedangkan pada kehamilan preterm insisdensinya 2% dari semua
kehamilan(2). Dari hasil survei pendahuluan di Ruang Bersalin RSUD
dr.R Soedjono Selong Lombok Timur pada bulan Januari 2012, kasus
ketuban pecah dini (KPD) sebanyak 127 kasus, 66,9% dilakukan
oksitosin drip dan yang mengalami ruptur jalan lahir spontan 58,8%,
adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
induksi persalinan oksitosin drip dengan ruptur jalan lahir spontan pada
persalinan ketuban pecah dini (KPD) di RSUD dr. Soedjono Selong
Lombok Timur.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi analitik, dan dari segi waktu menggunakan pendekatan cross-
sectional, dimana populasinya adalah semua persalinan spontan pada ibu
dengan riwayat ketuban pecah dini ( KPD) sebanyak 81 orang,
sedangkan sampelnya semua tindakan induksi persalinan oksitosin drip
pada persalinan spontan dengan riwayat ketuban pecah dini pada minggu
ke-3 s/d ke-4 bulan Juli 2013 di RSUD dr.R.Soedjono Selong Sebanyak
67 orang.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah persalinan spontan pada ibu
dengan riwayat ketuban pecah dini (KPD) sebanyak 82,7%, persalinan
tidak spontan 17,3%, tindakan induksi oksitosin drip 46,3% dan tidak
induksi oksitosin drip sebanyak 56,7%, mengalami ruptur jalan lahir
62,7%, tidak ruptur 37,3%, sedangkan dari 31 orang yg dilakukan
induksi oksitosin drip sebagian besar mengalami ruptur jalan lahir
spontan sebanyak 80,6% dan dari 36 orang yang tidak dilakukan induksi
oksitosin drip sebagian besar tidak mengalami ruptur jalan lahir spontan
sebanyak 52,8% nilai p.value 0,006 atau ρ<0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan induksi persalinan oksitosin drip pada
persalinan dengan riwayat ketuban pecah dini cenderung mengalami
ruptur jalan lahir spontan.
2. Induction of Labour in Prelabour Rupture of Membranes with or
without Cervical Ripening with Prostaglandin E2: A Randomized
Controlled Trial 2017 oleh Shreyashi Aryal dan Chanda Karki
ABSTRACT:
Objective:
To compare the outcome of induction of labour with titrated dose of
oxytocin with or without pre induction cervical ripening using
prostaglandin E2.
Methods:
This is a prospective study. Sixty women with prelabour rupture of
membranes (PROM) and Bishops score of less than six were randomly
assigned to either immediate induction with intravenous oxytocin drip or
induction with intravenous oxytocin drip preceded by cervical priming
with prostaglandin E2 (PGE2) gel 0.5mg instilled intracervically. These
two groups were compared regarding the mode of delivery, induction to
delivery interval and maternal and neonatal morbidities.
Results:
Cervical priming with PGE2 resulted in lesser number of caesarean
section (5 Vs. 12) and lower incidence of meconium stained liquor (n=6
Vs. n=2). Induction to vaginal delivery interval was shorter when
cervical priming was done (5.4 hrs Vs 7.9 hrs). The maternal morbidity
was negligible (<1%) in both the groups. The number of neonates with
birth asphyxia (n=2) and the need for their resuscitation (n=2) was more
in the oxytocin group but the need of antibiotics for the neonates was
more in PGE2 group (5% Vs. 3%).
Conclusion:
Induction of labor with oxytocin, with or without cervical priming with
vaginal PGE2 gel, are both reasonable options in cases of PROM, since
they result in statistically non significant rates of maternal and neonatal
morbidities and caesarean section. Cervical priming with prostaglandin
results in higher rate of vaginal delivery and shorter induction to vaginal
delivery interval and this is viewed as an advantage to the mother.
3. Premature rupture of membranes at term : immediate induction
with PGE2 gel compared with delayed induction with oxytocin oleh
Chaudhuri Snehamay1, Mitra Sankar Nath2, Biswas Pranab
Kumar1, Bhattacharyya Sudipta2
Objective(s) :
To compare immediate induction with PGE gel and delayed induction
with intravenous oxytocin drip in women with premature rupture of
membranes(PROM) at term.
Method(s) :
In this prospective study 223 women were randomly assigned to either
immediate induction with PGE gel instilled in posterior fornix or
expectant management for 12-24 hours followed by induction of labor
with intravenous oxytocin drip. The two groups were compared with
respect to mode of delivery, labor characteristics, and neonatal and
maternal infectious morbidity.
Results :
Ninety-one percent of women required single application of PGE gel for
labor induction in immediate induction group. Thirty-two percent women
had onset of spontaneous labor during observation in delayed induction
group. Immediate induction with PGE resulted in significantly lower rate
of cesarean section (17.8% vs 28.5%, P= 0.049) and of lower rate of
operative vaginal delivery (3.5% vs 14.2%, P=0.007) among nulliparous
women.
There was no significant difference in the mode of delivery among
multiparas. Interval from induction to active labor, duration of active
labor, and length of hospital stay before delivery were not significantly
different between the two groups. The maternal morbidity was almost
negligible. Only a few neonatal infections occurred and no significant
difference was noted between the two groups (2.7% vs 3.5%, P= 0.71).
Conclusion(s) :
In women with PROM at term, immediate induction of labor with PGE
gel and expectant management followed by oxytocin result in similar low
rates of neonatal infection. Immediate induction of labor with PGE gel
results in significanlty lower rate of cesarean section and of operative
vaginal delivery in nulliparas.

D. TEORI FISHBONE DAN USG


1. TEORI FISHBONE
Fishbone Diagrams (Diagran Tulang Ikan) merupakan konsep
analisis sebab akibat yang dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa untuk
mendekripsikan suatu permasalahan dan penyebabnya dalam sebuah
kerangka tulang ikan. Fishbone diagrams juga dikenal dengan istilah
diagram Ishikawa, yang diadopsi dari nama seorang ahli pengendali
statistik dari Jepang yang menemukan dan mengembangkan diagram ini
pada tahun 1960-an. Diagram ini pertama kali digunakan untuk
manajemen kualitas di perusahaan Kawasaki, yang selanjurnya diakui
sebagai salah satu pioner pembangunan dari proses manajemen modern.
Watson (2004) dalam Illie G dan Ciocoiu CN (2010)
mendefinisikan fishbone sebagai alat (tool) yang menggambarkan sebuah
cara yang sistematis dalam memandang berbagai dampak atau akibat dan
penyebab yang membuat atau berkontribusi dalam berbagai dampak
tersebut. Oleh karena fungsi tersebut, diagram ini biasa disebut diagram
sebab-akibat. Langkah-langkah pembuatan diagram fishbone yaitu:
a. Menyepakati permasalah utama yang terjadi dan diungkapkan bahwa
masalah tersebut merupakan suatu pernyataan masalah (problem
statement).
Masalah merupakan perbedaan kondisi yang ada dengan
kondisi yang diinginkan (W. Pounds 1969 dalam Robbins dan
Coulter, 2012). Pada langkah pertama ini, harus dilakukan
kesepakatan terhadap sebuah pernyataan masalah yang kemudian
diinterpretasikan sebagai effect atau secara visual dalam fishbone
seperti kepala ikan. Selanjutnya menuliskan problem statement di
sebelah kanan diagram dan menggambar sebuah kotak yang
mengelilingi tulisan pernyataan masalah tersebut dan membuat
panah horizonatal panjang menuju ke arah kotak.
CAUSE EFFECT

PROBLEM
STATEMENT

Gambar Kesepakatan permasalahan utama


b. Mengidentifikasi penyebab masalah yang mungkin
Identifikasi dilakukan dengan metode brainstorming.
Gasperz dan Fontana (2011) mengelompokkan penyebab masalah
menjadi tujuh yaitu manpower (SDM), machines (mesin dan
peralatan), methods (metode), materials (bahan baku), media,
motivation (motivasi), dan money (keuangan). Kelompok penyebab
masalah ini ditempatkan dalam diagram fishbone pada sirip ikan.
Pada tahap kedua ini, dilanjutkan dengan pengisian penyebab
masalah yang disepakati seperti gambar sebagai berikut.

Kelompok
Penyebab

Masalah

Penyebab

Gambar Identifikasi penyebab masalah


c. Identifikasi kategori penyebab
Dimulai dari garis horizontal utama, membuat garis diagonal
yang menjadi cabang, setiap cabang mewakili sebab utama dari masalah
yang ditulis. Sebab ini diinterpretasikan sebagai cause secara viasual
dalam fishbone seperti tulang ikan. Kayegori sebab utama
mengorganisasikan sebab sedemikian rupa sehingga masuk akal dengan
situasi.
d. Menemukan sebab potensial
Setiap kategori mempunyai sebab-sebab yang perlu diuraikan
melalui sesi brainstorming. Saat sebab-sebab dikemukakan, tentukan
bersama-sama dimana sebab tersebut ditempatkan dalam fishbone
diagram, yaitu tentukan di bawah kategori yang mana gagasan tersebut
harus ditempatkan. Sebab-sebab ditulis dengan garis horizontal sehingga
banya tulang kecil dari garis diagonal.
e. Mengkaji kembali
Setelah menemukan penyebab potensial dari setiap penyebab
yang mungkin kemuadian dikaji kembali urutan penyebab masalah
tersebut pada cabang yang sesuai dengan kategori utama sehingga
membentuk sepeti tulang-tulang kecil dari ikan. Selanjutnya adalah
menginterpretasikan dan mengkaji kembali diagram sebab akibat tersebut
mulai dari masalah awal hingga ditemukannya akar penyebab tersebut.
f. Mencapai kesepakatan
Setelah proses interpretasi dengan melihat penyebab yang mucul berulang
didapatkan kesepakatan melalui konsensus tentang penyebab itu, sehingga
sudah dapat dilakukan pemilihan penyebab yang paling penting dan dapat
diatasi. Selanjutnya adalah memfokus perhatian pada penyebab yang
terpilih untuk hasil yang lebih optimal.

2. TEORI USG
Urgency, Seriousness, Growth (USG) adalah salah satu alat untuk
menyusun urutan prioritas suatu isu yang harus diselesaikan dengan
menentukan skala nilai 1-5 atau 1-10. Isu yang memiliki total sekor
tertinggi merupakan isu prioritas.
a. Urgency
Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan
dengan waktu yang tersedia serta seberapa keras tekanan waktu
tersebut untuk memecahkan masalah yang menyebabkan isu tadi.
b. Seriousness
Seberapa serius isu tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan
penundaan pemecahan malasah yang menimbulakan isu tersebut atau
akibat yang menimbulkan masalah-masalah lain kalau masalah
penyebab isu tidak dipecahkan. Perli dimengerti dalam keadaan yang
sama, suatu masalah yang dapat menimbulkan masalah lain adalah
lebih serius dibandingkan dengan suatu masalah lain yang berdiri
sendiri.
c. Growth
Seberapa kemungkinan-kemungkinannya isu tersenut
berkembang dikaitkan kemungkinan masalah penyebab isu akan
semakin memburuk jika dibiarkan.
Contoh matriks pemecahan masalah dengan metode USG
No Masalah U S G Total
1 A 5 3 3 11
2 B 4 4 4 12
3 C 3 5 5 13
Keterangan: berdasarkan skala likert 1-5 (5=sangat besar, 4=besar,
3=sedang, 2= kecil, 1=sangat kecil).

Anda mungkin juga menyukai