TINJAUAN TEORI
2. Penyebab
Penyebab dari ketuban pecah dini (KPD) tidak atau masih belum
diketahui dengan pasti. Kemungkinan yang menjadi factor predisposisi
adalah (Manuaba, 2011) :
a. Serviks Incompetent
b. Faktor keturunan
c. Ketegangan rahim berlebihan (overdistensi uterus): kehamilan ganda,
hidramion
d. Kelainan letak rahim (malposisi atau malpresentase janin): letak
sungsang, letak lintang
e. Riwayat KPD
f. Merokok
g. Kemungkinan kesempitan panggul: bagian terendah belum masuk
PAP, CPD
h. Usia ibu yang lebih tua
i. Akibat hubungan seksual
j. Paritas
k. Anemia
l. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban
pecah
m. Kelainan bawaan dari selaput ketuban: selaput ketuban terlalu tipis
n. Keadaan sosial ekonomi: definisi gizi dari lembaga atau asam
askorbat (Vitamin C)
3. Patofisiologis
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi
(sampai 65%). High virulensi berupa Bacteroides Low virulensi,
Lactobacillus Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast,
jaringa retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1)
dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan,
sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/ amnion,
menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
4. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan
tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada
factor faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun
factor faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Adapun yang
menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah, 2010; Manuaba, 2009;
Winkjosastro, 2011) adalah : infeksi, serviks yang inkompeten,
ketegangan intra uterine, trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial
ekonomi, peninggian tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan
panggul, korioamnionitis, factor keturunan, riwayat KPD sebelumnya,
kelainan atau kerusakan selaput ketuban dan serviks yang pendek pada
usia kehamilan 23 minggu.
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Ketegangan intra uterin yang meninggi atau
meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma,
hidramnion, gemelli. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena
berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin
atau oleh kedua factor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan
serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi
obstetrik (Rukiyah, 2010).
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut
kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak
dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena
tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensi
serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan
suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan
trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan
dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba,
2009).
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
Trauma (hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis), Gemelli
(Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih). Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi
karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung
(selaput ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang
menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over
distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga
menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi
teregang,tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan
selaput ketuban mudah pecah. Hidramnion atau polihidramnion adalah
jumlah cairan amnion >2000 mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam
jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah peningkatan
jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut,
volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi
nyata dalam waktu beberapa hari saja (Winkjosastro, 2011).
6. Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini meragukan kita, apakah ketuban
benar sudah pecah atau belum. Apalagi bila pembukaan kanalis servikal
belum ada atau kecil. Menurut Sarwono (2010) penegakkan diagnosis
KPD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang meliputi :
a. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina.
b. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa,
rambut lanugo dan kadang-kadang bau kalau ada infeksi.
c. Dari pemeriksaan inspekulo terlihat keluar cairan ketuban dari cairan
servikalis.
d. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi biru
(basa) bila ketuban sudah pecah.
e. Pemeriksan penunjang dengan menggunakan USG untuk membantu
dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak
plasenta serta jumlah air ketuban. Pemeriksaan air ketuban dengan
tes leukosit esterase, bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 ,
kemungkinan adanya infeksi.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau
dan PHnya.
1) Tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru ,menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
2) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering, pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban
yang sedikit (Manuaba, 2009).
8. Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi pada KPD meliputi ;
a. Mudah terjadinya infeksi intra uterin
b. Partus premature
c. Prolaps bagian janin terutama tali pusat
(Manuaba, 2009).
Terdapat tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini yaitu
a. Peningkatan morbiditas neonatal oleh karena prematuritas
b. Komplikasi selama persalinan dan kelahiran
c. Resiko infeksi baik pada ibu maupun janin, dimana resiko infeksi
karena ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang
terhadap masuknya penyebab infeksi
(Sarwono, 2010).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan,
adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda
persalinan. Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010),
meliputi :
a. Konserpatif
1) Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik
pada ibu maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit.
2) Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila
tidak tahan ampicilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
3) Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4) Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada
infeksi, tes buss negativ beri deksametason, observasi tanda-tanda
infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37
minggu
5) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi
sesudah 24 jam.
6) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi.
7) Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra
uterin).
8) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu
kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar
lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg
sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6
jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
1) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
2) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan
persalinan diakhiri.
3) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesarea
4) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam
C. TEORI EBM
1. Hubungan Induksi Persalinan Oksitosin Drip dengn Ruptur Jalan
Lahir Spontan pada Persalinan Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD
dr. R Soedjono Selong Lombok Timur Turki 2013 oleh Romarjan,
AASP Chandradewi, dan Irmayani
Insidensi ketuban pecah dini (KPD) terjadi 10% pada semua
kehamilan, pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%,
sedangkan pada kehamilan preterm insisdensinya 2% dari semua
kehamilan(2). Dari hasil survei pendahuluan di Ruang Bersalin RSUD
dr.R Soedjono Selong Lombok Timur pada bulan Januari 2012, kasus
ketuban pecah dini (KPD) sebanyak 127 kasus, 66,9% dilakukan
oksitosin drip dan yang mengalami ruptur jalan lahir spontan 58,8%,
adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
induksi persalinan oksitosin drip dengan ruptur jalan lahir spontan pada
persalinan ketuban pecah dini (KPD) di RSUD dr. Soedjono Selong
Lombok Timur.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi analitik, dan dari segi waktu menggunakan pendekatan cross-
sectional, dimana populasinya adalah semua persalinan spontan pada ibu
dengan riwayat ketuban pecah dini ( KPD) sebanyak 81 orang,
sedangkan sampelnya semua tindakan induksi persalinan oksitosin drip
pada persalinan spontan dengan riwayat ketuban pecah dini pada minggu
ke-3 s/d ke-4 bulan Juli 2013 di RSUD dr.R.Soedjono Selong Sebanyak
67 orang.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah persalinan spontan pada ibu
dengan riwayat ketuban pecah dini (KPD) sebanyak 82,7%, persalinan
tidak spontan 17,3%, tindakan induksi oksitosin drip 46,3% dan tidak
induksi oksitosin drip sebanyak 56,7%, mengalami ruptur jalan lahir
62,7%, tidak ruptur 37,3%, sedangkan dari 31 orang yg dilakukan
induksi oksitosin drip sebagian besar mengalami ruptur jalan lahir
spontan sebanyak 80,6% dan dari 36 orang yang tidak dilakukan induksi
oksitosin drip sebagian besar tidak mengalami ruptur jalan lahir spontan
sebanyak 52,8% nilai p.value 0,006 atau ρ<0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan induksi persalinan oksitosin drip pada
persalinan dengan riwayat ketuban pecah dini cenderung mengalami
ruptur jalan lahir spontan.
2. Induction of Labour in Prelabour Rupture of Membranes with or
without Cervical Ripening with Prostaglandin E2: A Randomized
Controlled Trial 2017 oleh Shreyashi Aryal dan Chanda Karki
ABSTRACT:
Objective:
To compare the outcome of induction of labour with titrated dose of
oxytocin with or without pre induction cervical ripening using
prostaglandin E2.
Methods:
This is a prospective study. Sixty women with prelabour rupture of
membranes (PROM) and Bishops score of less than six were randomly
assigned to either immediate induction with intravenous oxytocin drip or
induction with intravenous oxytocin drip preceded by cervical priming
with prostaglandin E2 (PGE2) gel 0.5mg instilled intracervically. These
two groups were compared regarding the mode of delivery, induction to
delivery interval and maternal and neonatal morbidities.
Results:
Cervical priming with PGE2 resulted in lesser number of caesarean
section (5 Vs. 12) and lower incidence of meconium stained liquor (n=6
Vs. n=2). Induction to vaginal delivery interval was shorter when
cervical priming was done (5.4 hrs Vs 7.9 hrs). The maternal morbidity
was negligible (<1%) in both the groups. The number of neonates with
birth asphyxia (n=2) and the need for their resuscitation (n=2) was more
in the oxytocin group but the need of antibiotics for the neonates was
more in PGE2 group (5% Vs. 3%).
Conclusion:
Induction of labor with oxytocin, with or without cervical priming with
vaginal PGE2 gel, are both reasonable options in cases of PROM, since
they result in statistically non significant rates of maternal and neonatal
morbidities and caesarean section. Cervical priming with prostaglandin
results in higher rate of vaginal delivery and shorter induction to vaginal
delivery interval and this is viewed as an advantage to the mother.
3. Premature rupture of membranes at term : immediate induction
with PGE2 gel compared with delayed induction with oxytocin oleh
Chaudhuri Snehamay1, Mitra Sankar Nath2, Biswas Pranab
Kumar1, Bhattacharyya Sudipta2
Objective(s) :
To compare immediate induction with PGE gel and delayed induction
with intravenous oxytocin drip in women with premature rupture of
membranes(PROM) at term.
Method(s) :
In this prospective study 223 women were randomly assigned to either
immediate induction with PGE gel instilled in posterior fornix or
expectant management for 12-24 hours followed by induction of labor
with intravenous oxytocin drip. The two groups were compared with
respect to mode of delivery, labor characteristics, and neonatal and
maternal infectious morbidity.
Results :
Ninety-one percent of women required single application of PGE gel for
labor induction in immediate induction group. Thirty-two percent women
had onset of spontaneous labor during observation in delayed induction
group. Immediate induction with PGE resulted in significantly lower rate
of cesarean section (17.8% vs 28.5%, P= 0.049) and of lower rate of
operative vaginal delivery (3.5% vs 14.2%, P=0.007) among nulliparous
women.
There was no significant difference in the mode of delivery among
multiparas. Interval from induction to active labor, duration of active
labor, and length of hospital stay before delivery were not significantly
different between the two groups. The maternal morbidity was almost
negligible. Only a few neonatal infections occurred and no significant
difference was noted between the two groups (2.7% vs 3.5%, P= 0.71).
Conclusion(s) :
In women with PROM at term, immediate induction of labor with PGE
gel and expectant management followed by oxytocin result in similar low
rates of neonatal infection. Immediate induction of labor with PGE gel
results in significanlty lower rate of cesarean section and of operative
vaginal delivery in nulliparas.
PROBLEM
STATEMENT
Kelompok
Penyebab
Masalah
Penyebab
2. TEORI USG
Urgency, Seriousness, Growth (USG) adalah salah satu alat untuk
menyusun urutan prioritas suatu isu yang harus diselesaikan dengan
menentukan skala nilai 1-5 atau 1-10. Isu yang memiliki total sekor
tertinggi merupakan isu prioritas.
a. Urgency
Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan
dengan waktu yang tersedia serta seberapa keras tekanan waktu
tersebut untuk memecahkan masalah yang menyebabkan isu tadi.
b. Seriousness
Seberapa serius isu tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan
penundaan pemecahan malasah yang menimbulakan isu tersebut atau
akibat yang menimbulkan masalah-masalah lain kalau masalah
penyebab isu tidak dipecahkan. Perli dimengerti dalam keadaan yang
sama, suatu masalah yang dapat menimbulkan masalah lain adalah
lebih serius dibandingkan dengan suatu masalah lain yang berdiri
sendiri.
c. Growth
Seberapa kemungkinan-kemungkinannya isu tersenut
berkembang dikaitkan kemungkinan masalah penyebab isu akan
semakin memburuk jika dibiarkan.
Contoh matriks pemecahan masalah dengan metode USG
No Masalah U S G Total
1 A 5 3 3 11
2 B 4 4 4 12
3 C 3 5 5 13
Keterangan: berdasarkan skala likert 1-5 (5=sangat besar, 4=besar,
3=sedang, 2= kecil, 1=sangat kecil).