KELOMPOK 2:
MANADO 2021
ASFIKSIA NEONATORUM
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Definisi asfiksia neonatorum dibuat berdasarkan gejala fisis, perubahan metabolik, serta
gangguan fungsi organ yang terjadi akibat hipoksik-iskemik perinatal. Sebelumnya nilai
Apgar sering kali digunakan untuk mendiagnosis asfiksia neonatorum, namun berbagai bukti
menunjukkan bahwa nilai Apgar memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sebagai
penanda tunggal asfiksia (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia,
2019). Berikut ini definisi asfiksia dari beberapa sumber:
1. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir.
2. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan pernapasan tidak
efektif atau kurangnya usaha napas pada menit pertama setelah kelahiran.
3. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan American Academy of
Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang menyebabkan
hipoksemia progresif dan hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.
4. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI
2004)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan
asidosis.
B. Epidemiologi
Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO melaporkan
insidens asfiksia bervariasi antara 2-27 per 1000 kelahiran, tergantung pada lokasi, periode,
dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan. Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1-4 per 1000
kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara berkembang.
Keadaan ini diperkirakan menyebabkan 21% kematian bayi, terutama di negara berkembang
(Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia, 2019)
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat segera setelah
lahir. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan risiko asfiksia meliputi faktor
ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin (antenatal atau pascanatal) (Tabel 1).
Faktor risiko ini perlu dikenali untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya
asfiksia. Beberapa penelitian mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum telah dilakukan
dalam lingkup global maupun nasional.
Suatu penelitian di Nepal Selatan melaporkan korelasi bermakna antara beberapa gejala
klinis maternal dalam 7 hari sebelum persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum.
Gejala-gejala tersebut antara lain : demam selama kehamilan, perdarahan pervaginam,
pembengkakan tangan, wajah, atau kaki, kejang, partus lama, dan ketuban pecah dini. Risiko
asfiksia neonatorum juga ditemukan secara signifikan pada kehamilan multipel dan kelahiran
bayi dari wanita primipara. Selain itu, risiko kematian akibat asfiksia neonatorum cenderung
lebih tinggi daripada bayi prematur. Risiko ini meningkat 1,61 kali lipat pada usia kehamilan
34-37 minggu dan 14,33 kali lipat pada usia kehamilan <34 minggu.
Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait asfiksia, yaitu: berat
lahir rendah; ketuban pecah dini; partus lama; persalinan secara seksio sesarea; usia ibu <20
tahun atau >35 tahun; riwayat obstetric buruk; kelainan letak janin; dan status perawatan
antenatal buruk. Penelitian lain di Port Moresby juga menemukan kondisi maternal berupa
usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>40 tahun), anemia (Hb <8 g/dL),
perdarahan antepartum, demam selama kehamilan, persalinan kurang bulan, dan persalinan
lebih bulan memiliki hubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Korelasi yang signifikan
juga ditemukan pada tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin abnormal dan/atau
air ketuban bercampur mekonium (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Asfiksia, 2019).
Faktor Risiko
Faktor Ibu
Antepartum Sosioeknomi rendah
Primipara
Kehamilan ganda
Infeksi saat kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan
Anemia
Diabetes Melitus
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian bayi sebelumnya
Grimance
Batuk/Bersin/Menan
(reflek) Tidak ada Menyeringai
gis
Activity
Tidak Ada Fleksi ekstremitas Fleksi kuat, gerak
(tonus otot)
Gerakan (Lemah) aktif
Lambat atau
Respiration Menangis kuat atau
Tidak ada tidak teratur
(pernapasan) keras
(Merintih)
Tabel 2. Derajat Asfiksia
G. Diagnostik
WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila nilai Apgar 0 - 3
pada menit pertama yang ditandai dengan:
1. Jaju jantung (LJ) menurun atau menetap (<100 kali/menit) saat lahir
2. Tidak bernapas atau megap-megap, dan
3. Warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.
Kriteria ini disadari memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta kerusakan
neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila dibandingkankan dengan
keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik
untuk tingkat pelayanan kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP berikut ini.
H. Penatalaksanaan
Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia antara lain :
A. Pengkajian
1. Biodata
Pengkajian bayi risiko tinggi meliputi :
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa, jumlah
saudara dan identitas orang tua. Lebih ditekankan pada umur bayi karena berkaitan
dengan diagnosa Asfiksia Neonatorum.
2. Keluhan utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas. Klien dengan asfiksia
neonatorum akan mengalami aspirasi meconium, kesulitan bernapas, kelemahan kekuatan
otot, warna kulit pucat, kemungkinan premature.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan apakah spontan, prematur, aterm, letak bayi dan posisi bayi,
apakah kelahiran sebeumnya berakhir dengan kematian neonatal, Riwayat ibu mengalami
DM, hipertensi, tetani uteri atau malnutrisi, Riwayat konsumsi alcohol, obat dan
merokok.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Pengkjian umum
Ukur panjang dan lingkar kepala secara periodik, adanya tanda distress, penilaian
APGAR skor
b. Kulit
Warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstremitas berwarna biru, pada bayi preterm
terdapat lanugo dan verniks
c. Kepala
Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal haematom, ubun-ubun
besar cekung atau cembung
d. Mata
Warna konjungtiva anemis/ tidak anemis, tidak ada bleeing konjungtiva, warna
sclera tidak kuning, pupil menunjukan reflex terhadap cahaya
e. Hidung
Terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan lender
f. Mulut
Bibir berwarna pucat atau merah, ada lender atau tidak
g. Telinga
Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan
h. Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher neonatus pendek
i. Thoraks
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara wheezing dan ronchi,
frekuensi bunyi jantung lebih dari 100 x/menit
j. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1-2 cm dibawah arcus costae pada garis papilla
mammae, lien tdak teraba, perut buncit berarti adanya asites/tumor, perut cekung
adanya hernia diafragma, biisng usus timbul 1-2 jam setelah masa kelahiran bayi,
sering terdapat retensi karena GI tract belum sempurna
k. Umbilicus
Tali pusat layu, perhatikan ada perdarahan/tidak, adanya tanda-tanda infeksi pada
tali pusat
l. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak muara uretra pada
neonates laki-laki, neonates perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya
sekresi mukus
m. Anus
Perhatikan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta serta warna dari
feses
n. Ekstremitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya patah tulang atau
adanya kelumpuhan saraf atau keadaan jari-jari tangan serta jumlahnya.
o. Reflex
Pada neonates preterm post asfiksia berat reflex moro dan sucking lemah. Reflek
moro dapat memberi keterangan mengenai keadaan susunan saraf pusat atau adanya
patah tulang.
5. Data Penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosa
atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula.
a. Pemeriksaan yang diperlukan adalah : darah rutin.
Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari : Hb (normal 15-19 gr/dL)
biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung turun karena O2 dalam darah
sedikit. Leukosit lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena bayi
preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi. Trombosit (normal 350 x 10
gr/ct) Trombosit pada bayi preterm dengan post asfiksia cenderung turun karena
sering terjadi hipoglikemi.
b. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksia terdiri dari : pH (normal 7,35- 7,45).
Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis metabolik. PCO2 (normal 35- 45 mmHg)
kadar PCO2 pada bayi post asfiksia cenderung naik sering terjadi hiperapnea. PO2
(normal 75-100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia cenderung turun karena
terjadi hipoksia progresif. HCO3 (normal 24-28 mEq/L).
c. Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :Natrium (normal 134- 150
mEq/L) . Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L). Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)
B. Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d benda asing dalam jalan napas
2. Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis, imaturitas neurologis
3. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi - perfusi
4. Termoregulasi tidak efektif b.d stimulasi pusat termoregulasi hipotalamus
5. Risiko infeksi d.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh
C. Intervensi Keperawatan
Pemantauan Respirasi
(I.01014)
Observasi
Auskultasi bunyi Mengevaluasikeadaan
nafas pasien dan
Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen dengan Kejadian Gawat Nafas Pada Neonatus
Di Ruang Persinatologi Neonatus RSD. DR Haryoto Lumajang
Mentari Anggraeni, Awatiful Azza, Komarudin
Terapi yang dapat mengurangi gawat nafas adalah pemberian terapi oksigen yang
bertujuan untuksistem saturasi bayi, mengatasi hipoksia, dan menurunkan kerja
pernafasan.
Penelitian ini menggunakan desain korelasional. Populasi adalah semua ibu dan bayi
yang mengalami gawat nafas sebanyak 43 sampel.
Hasil :
Nilai p value sebesar 0,001 yang berarti ρ < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada hubungan antara pemenuhan kebutuhan oksigen dengan kejadian kegawatan
nafas pada bayi di ruang Perinatologi RSD.Dr. Haryoto Lumajang;
Berdasarkan hasil penelitian, rata- rata bayi mendapatkan terapi oksigen nasal kanul 2,09
lpm selama 15-20menit, nilai minimum pemerian oksigen 1lpm, dan nilai maksimum
pemberian terapi oksigen yakni 3lpm. Dengan jumlah pemberian oksigen tersering adalah
2 lpm selama 15-20menit.
Setelah bayi mendapatkan Terapi Oksigen nasal canul 0,5-2 liter per menit selama 15-20
menit, didapatkan hasil bayi yang mengalami gawat nafas berat mengalami perbaikan
kondisi yang di tunjukkan dengan penurunan score gawat nafas dan menujukkan hasil
monitor dengan kebutuhan oksigen terpenuhi, bayi dengan gawat nafas berat yang
kebutuhan oksigennya sudah mulai terpenuhi sebanyak 5 bayi, dan bayi yang mengalami
gawat nafas berat berumlah 6 bayi
Pada bayi yang mengalami gawatnafas sedang kebutuhan oksigen terpenuhiyang
sebanyak 24 bayi dan bayi yangmengalami gawat nafas sedang berjumlah1 bayi,
Kemudian bayi yang mengalamigawat nafas ringan mengalami perbaikankondisi yang di
tunjukkan denganpenurunan score gawat nafas dankebutuhan oksigen terpenuhi yakni 7
bayiyang sudah terpenuhi kebutuhan oksigennya.
DAFTAR PUSTAKA
Sukarni, I. & Sudarti. (2014). Patologi kehamilan, persalinan, nifas, dan neonatus resiko tinggi.
Yogyakarta : Nuha Medika
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan
dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan
dalam paru. Sindrom gawat napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini biasanya juga
dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena
pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli (Surasmi, dkk, 2003
dalam Moi 2019).
B. Etiologi
Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor
janin dan faktor persalinan.
1. Faktor ibu
meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat
atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu
pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak
menempel pada tempatnya.
meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan
lahir,gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain.
4. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
RDS sering ditemukan pada bayi prematur dan sangat berkaitan erat dengan usia kehamilan.
Dengan ungkapan lain semakin muda usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada
bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining
Surasmi, Siti Handayani, 2003). Penyebab SGNN adalah penyakit membran hialin (PMH) yang
terjadi akibat kekurangan surfaktan. Surfaktan adalah suatu kompleks lipoprotein yang
merupakan bagian dari permukaan mirip film yang ada di alveoli, untuk mencegah kolapsnya
paru. Ketidakadekuatan surfaktan menimbulkan kolaps paru, sehingga menyebabkan hipoksia,
retensi CO2 dan asidosis
C. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai
organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor utama terjadinya RDS.
Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau
tidak adanya surfaktan. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tanpa surfaktan, janin
tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Setiap kali bernafas menjadi sukar dan
memerlukan usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas
(ekspirasi). Hal ini mengakibatkan bayi lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan
energi dari pada menerima sehingga menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya
kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis (Asrining Surasmi, Siti Handayani,
2003). Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan terganggunya ventilasi pulmonal sehingga
terjadi hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang
menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis
metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan aliran darah paru menurun dan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan zat surfaktan (Ngastiyah, 2005). Atelektasis menyebabkan paru
tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis
respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan
sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam,
serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli (Asrining
Surasmi, Siti Handayani, 2003). Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan
perfusi normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru
dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan
pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, Siti
Handayani, 2003). Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin, selanjutnya fibrin
bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas sehingga
timbul masalah gangguan pertukaran gas (Ngastiyah, 2005 dalam Wijanarti 2020).
D. Manifestasi Klinis
Umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram atau masa gestasi 30-
36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan, dan sering disertai dengan riwayat asfiksia pada
waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir kehamilan. Gangguan pernafasan mulai tampak
dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala karakteristik mulai terlihat dalam umur 24-72 jam
(Ngastiyah, 2005 dalam Wijanarti 2020).
Menurut ZR and Sari (2009) dalam Wijanarti 2020 tanda dan gejala yang timbul pada RDS
yaitu:
1. Pernafasan cepat/hiperpnea atau dispnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60x/menit
3. Sianosis
5. Takikardia (170x/menit)
Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS (Respiratory Distress Syndrom) ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak beberapa jam setelah kelahiran.
Bayi RDS (Respiratory Distress Syndrom) yang mampu bertahan hidup sampai 96 jam pertama
mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala umum RDS yaitu: takipnea (>60x/menit),
pernapasan dangkal, mendengkur, sianosis, pucat, kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur,
penurunan suhu tubuh, retraksi suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung ( Surasmi,
dkk 2013 dalam Moi 2019)
E. Komplikasi
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe dan
lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui
operasi caesar.
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
Murmur sistolik
Denyut jantung DBN
b. Integumen
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
Pitting edema pada tangan dan kaki
Mottling
c. Neurologis
Immobilitas, kelemahan
Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
Nafas grunting
Pernapasan cuping hidung
Pernapasan dangkal
Retraksi suprasternal dan substernal
Sianosis
Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral (Letargi)
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan
over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk
janin yang mempunyai predisposisi RDS)
Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Tingkat phospatydylinositol
AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,3-
7,45.
Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar
yang rusak
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Pertukaran Gas b/D Perubahan Membaran Alveolus-Kapiler dibuktikan dengna:
Dispnea
PCO2 Meningkat
PO2 Menurun
Bunyi nafas tambahan
Sianosis
Naps cuping hidung
Warna kulit abnormal
2. Pola Nafas Tidak Efektif b/d Imaturitas Neorplogis dibuktikan dengan
Dispnea
Penggunaan otot bantu pernapasan
Pernapasan cuping hidung
3. Resiko Infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahan tubuh primer (perubahan
sekresi PH)
4. Hipotermi b/d Terpapar Suhu Lingkungan Rendah dibuktikan dengan:
Suhu tubuh dibawah normal
Kulit teraba dingin
No SDKI SLKI SIKI
1. Gangguan Pertukaran Gas b/D Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi (I.01014)
Perubahan Membaran keperawatan diharapkan Observasi:
Alveolus-Kapiler dibuktikan pertukaran gas meningkat dengan
Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
dengna: kriteria hasil:
napas
Dispnea Pertukaran Gas (L.01003)
Monitor saturasi oksigen
PCO2 Meningkat
- Dispneu menurun
PO2 Menurun Monitor nilai AGD
- PCO2 membaik
Bunyi nafas tambahan Monitor hasil X-ray thorax
- PO2 membaik
Sianosis
Terapeutik:
Naps cuping hidung - pH arteri membaik
Atur interval pemantauan respirasi
Warna kulit abnormal - Pola napas membaik
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi:
Observasi:
Teraputik:
Edukasi:
Kolaborasi:
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
4. Hipotermi b/d Terpapar Suhu Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipotermia (I.14507)
Lingkungan Rendah keperawatan diharapkan Observasi:
dibuktikan dengan: termoregulasi neonates membaik
Monitor suhu tubuh
Suhu tubuh dengan kriteria hasil :
dibawah normal Identifikasi penyebab hipotermia
Termoregulasi Neonatus
Kulit teraba dingin (L.14135) Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
Edukasi:
Informasikan perkembangan perawatan pada
keluarga.
KAJIAN LITERATUR
High Flow Nasal Cannula (HFNC) adalah terapi ventilasi non-invasif yang relatif baru dan
pertama kali digunakan sebagai terapi suportif pada bayi premature. Saat ini HFNC juga
dapat digunakan pada perawatan anak-anak maupun dewasa (Wilkinson et al., 2011 dan Dani
et al., 2009). Sebelum adanya HFNC, laju aliran oksigen maksimum 0,5-1 L/menit (lpm)
untuk bayi baru lahir dan aliran oksigen maksimum 2 lpm untuk anak-anak serta dewasa.
Aliran oksigen tersebut digunakan untuk mencegah mukosa hidung kering dan
ketidaknyamanan serta komplikasi lainnya (Myers, 2002 dalam Muflikhatun 2018).
Sama dengan bantuan pernapasan lainnya, HFNC memiliki beberapa kelemahan diantaranya:
2. Pada aliran oksigen yang rendah, biasanya oksigen tidak dilembabkan sehingga
menyebabkan beberapa komplikasi seperti mukosa hidung kering, tenggorokan kering,
dan nyeri hidung (Nishimura, 2015).
3. Pemanasan dan humidifikasi yang tidak memadai menyebabkan toleransi yang buruk
terhadap terapi oksigen yang diberikan (Nishimura, 2015).
4. Perbedaan antara aliran inspirasi pasien dan aliran oksigen yang diberikan sangat besar,
sehingga kadar FiO2 sering tidak tetap dan lebih rendah dari yang ditetapkan (Nishimura,
2015).
5. Tidak dapat menentukan tekanan untuk mengambangkan saluran napas saat aliran
oksigen diberikan (Cummings dan Pollin, 2016 dalam Muflikhatun 2018).
C. Hasil Penelitian Terkait
Judul Jurnal: Efektivitas High Flow Nasal Cannula pada Penderita Respiratory Distress Syndrome Neonatus Kurang Bulan di
RSD dr. Soebandi Jember;
P I C O
(Problem) Intervention Comparison Outcome
Berdasarkan data rekam medik Unit Berdasarkan penelitian Wilkinson et Berdasarkan hasil
Penelitian ini menggunakan
tersebut dapat
Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan al., (2011) penggunaan HFNC
jenis penelitian analitik disimpulkan HFNC
Anak Rumah Sakit Cipto memiliki kemampuan yang serupa efektif dalam
observasional dengan design
menangani kasus
Mangunkusumo (IKA RSCM), terdapat dengan bantuan pernapasan non-
studi cohort melalui RDS ditinjau dari
750 (23%) kasus kelahiran bayi kurang invasif lainnya pada neonatus kurang terdapat perbedaan
pendekatan retrospektif, yaitu
skor Down <24 jam
bulan per tahun, 290 (38%) kasus dari bulan. Penelitian lain oleh Roberts
penelitian yang melihat ke dan
750 kasus tersebut di antaranya bayi dan Hodgson (2017) menyebutkan >24 jam, serta tidak
belakang dan mengamati
terdapat perbedaan
dengan RDS, dan 180 kasus dari 290 bahwa HFNC berhasil diterapkan
berbagai faktor risiko atau SpO2pada<24 jam
kasus RDS tersebut di antaranya sebagai bantuan pernapasan utama dan >24 jam. Faktor-
faktor protektif yang
faktor yang
mendapat terapi continuous positive pada bayi dengan usia gestasi lebih
berhubungan dengan suatu mempengaruhi
airway pressure(CPAP). Aplikasi teknik dari 28 minggu, namun pada bayi kejadian kematian
hasil keluaran (outcome)
pasca penggunaan
resusitasi yang tepat dengan penggunaan dengan usia gestasi kurang dari 28
(Saryono, 2010). Penelitian HFNC antara lain
CPAP atau t- piece resuscitator sejak minggu HFNC dinilai kurang efektif BBL <1500 g, laki-
ini mengambil data sekunder
laki, dan
menit pertama kehidupan (the first sehingga perlu dipertimbangkan
yaitu data rekam medis kasus penggunaan
golden minute of premature care) yang penggunaan CPAP dan pemberian deksametason.
Respiratory Distress
Faktor-faktor yang
ditetapkan American Academy of surfaktan secara dini untuk mencegah
Pediatrics (AAP) tahun 2010 diketahui kegagalan terapi. Penggunaan HFNC mempengaruhi lama
Syndrome (RDS) yang
penggunaan HFNC
menurunkan kebutuhan pemberian pada anak dijelaskan dalam penelitian
menggunakan High Flow antara lain BBL
surfaktan, membantu menjaga kondisi Milési et al. (2014) yang <1500 g, laki-laki,
Nasal Cannula (HFNC) pada
dan UK <32
surfaktan pada permukaan alveolar, menyebutkan bahwa penggunaan
neonatus kurang bulan di minggu.
menstabilkan dinding dada, mengurangi HFNC aman dan efektif diterapkan
RSD dr. Soebandi Kabupaten
usaha bernapas, dan mencegah pada anak dengan bronkiolitis yang
Jember untuk dianalisis
komplikasi berupa penyakit paru kronik cukup berat. pada HFNC (Nishimura,
sehingga ditemukan
seperti broncho pulmonary dysplasia 2015).
efektivitas penggunaan
HFNC.
D. Langkah-langkah tindakan
High Flow Nasal Cannula (HFNC) dapat mengalirkan gas yang telah
terkondisikan seluruhnya (37°C mengandung 44 mg H2O/L [100%
kelembaban relatif] menggunakan active humidifier dan heated inspiratory
circuit [Gambar 2.3]) melalui lubang kanul nasal yang lebar dengan aliran
yang sangat tinggi (hingga 60 lpm) dan konsentrasi oksigen konstan yang
ditetapkan (berkisar 21 hingga 100%) (Hernández et al., 2017). Aliran optimal
untuk HFNC tidak diketahui, namun pada beberapa penelitian laju aliran
oksigen yang digunakan bervariasi dari 2 sampai 8 lpm dan disesuaikan secara
individual untuk meminimalkan usaha pernafasan pasien dan nilai saturasi
oksigen perifer (SpO2) (Mikalsen et al., 2016 dalam Muflikhatun 2018).
(1) Oksigen dicampurkan pada air-oxygen blender dengan kadar FiO2 21-100%
(2) dilembabkan menggunakan active humidifier dengan kelembapan relatif 100%
(3) dipanaskan menggunakan heated inspiratory circuit hingga 37°C
(4) dihantarkan melalui kanul nasal berdiameter besar dengan aliran hingga 60
lpm
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Bayi prematur adalah bayi baru lahir dengan berat badan lahir kurang dari
2500 gram. Bayi prematur adalah neonatus dengan Berat Badan Lahir pada
saat kelahiran kurang dari 2500 gram (Tanto, 2014). Dalam hal ini dibedakan
menjadi:
1. Prematuritas murni Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan
berat badan sesuai.
2. Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)
Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai
dengan usia kehamilan
Klasifikasi pada bayi premature:
a. Bayi prematur digaris batas
37 mg, masa gestasi
2500 gr, 3250 gr
16 % seluruh kelahiran hidup
Biasanya normal
Masalah: Ketidak stabilan, kesulitan menyusu, ikterik, RDS mungkin
muncul
Penampilan: Lipatan pada kaki sedikit, payudara lebih kecil, lanugo
banyak, genitalia kurang berkembang.
b. Bayi Prematur Sedang
31 mg – 36 gestasi
1500 gr – 2500 gram
6 % - 7 % seluruh kelahiran hidup
Masalah: Ketidak stabilan, pengaturan glukosa, RDS, ikterik, anemia,
infeksi, kesulitan menyusu.
Penampilan: Seperti pada bayi premature di garis batas tetapi lebih
parah, kulit lebih tipis, lebih banyak pembuluh darah yang tampak
c. Bayi Sangat Prematur
24 mg – 30 mg gestasi
500 gr – 1400 gr
0,8 % seluruh kelahiran hidup
Masalah : semua
Penampilan: Kecil tidak memiliki lemak, kulit sangat tipis, kedua mata
mungkin berdempetan (Tanto, 2014).
B. Etiologi
Prematuritas adalah penyebab utama dari kematian perinatal di negara
idiopatik, meskipun pada beberapa kasus disebabkan oleh infeksi, kelainan
uterus, inkompetensia serviks dan kelainan placenta. Etiologi prematur adalah :
1. Demografi
a. Insidens bertambah
1) Batas usia teratas dan terbawah Mungkin berkaitan dengan
campuran faktor lainnya.
2) Status sosial ekonomi yang rendah
3) Prenatal care yang tidak adekuat
4) Ras. Beberapa penelitian melaporkan kenaikan dua kali lipat kulit
hitam.
2. Gaya hidup dan pekerjaan
a. Terbukti menaikkan insidens
1) Merokok
2) Penggunaan obat-obatan (drug ust)
b. Mungkin insidens naik
1) Berdiri terlalu lama
2) Kelelahan kerja dan kerja terlalu lama
3) Kerja berat mengangkat berat pada pasien yang mempunyai
predisposisi melahirkan prematur.
3. Riwayat Reproduksi
Faktor utama dalam menetapkan resiko pada kehamilan yang sedang
berlangsung.
4. Anomali uterus
Lelomiomata pada uterus bisa juga meningkatkan insidens partus
prematurus.
5. Kenaikan berat badan
Berat badan yang rendah atau kenaikan berat badan yang sedikit bisa
meningkatkan resiko.
6. Anemia
a. Alat prediksi yang paling lemah.
b. Kemungkinan berkaitan dengan faktor resiko lainnya.
7. Ukuran uterus dan kelainan placenta
Uterus yang menggelembung (distended) bisa memperbesar perbentukan
junction.
a. Kehamilan ganda
b. Polihramnnion
Faktor yang dapat mendorong timbulnya prematuritas adalah :
1. Faktor ibu adalah meliputi :
a. Usia dibawah 20 tahun atau di atas 35 tahun.
b. Penyakit yang diderita ibu, misalnya pendarahan antepartum, trauma
psikis, toksimia gravidarum.
c. Hipotensi tiba-tiba
d. Pre eklami dan eklamsi
e. Multigravida yang jarak kehamilannya terlalu dekat.
f. Keadaan sosial ekonomi rendah
g. Ibu perokok, peminum alkohol.
2. Faktor janin adalah :
a. Kehamilan ganda
b. Kelainan kromosom
c. Infeksi dalam kandungan
d. KPD
3. Faktor lingkungan
a. Tempat tinggal
b. Radiasi
c. Zat-zat racun (Adnyanti, 2011).
C. Patofisiologi
Penyebab terjadinya kelahiran bayi prmatur belum diketahui secara jelas.
Data statistik menunjukkan bahwa bayi lahir prematur terjadi pada ibu yang
memiliki sosial ekonomi rendah. Kejadian ini dengan kurangnya perawatan
pada ibu hamil karena tidak melakukan antenatal care selama kehamilan.
Asupan nutrisi yang tidak adekuat selama kehamilan, infeksi pada uterus dan
komplikasi obstetrik yang lain merupakan pencetus kelahiran bayi prematur.
Ibu hamil dengan usia yamg masih muda, mempunyai kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi alkohol juga menyebabkan terjadinya bayi prematur. Faktor
tersebut bisa menyebabkan terganggunya fungsi plasenta menurun dan
memaksa bayiuntuk keluar sebelum waktunya. Karena bayi lahir sebelum masa
gestasi yang cukup maka organ tubuh bayi belum matur sehingga bayi lahir
prematur memerlukan perawatan yang sangat khusus untuk memungkinkan
bayi beradaptasi dengan lingkungan luar (Tanto, 2014)
D. Tanda atau Gejala bayi Prematur
Karakteristik bayi prematur adalah :
1. Berat badan kurang dari 2500 gram
2. Panjang badan kurang dari 45 cm
3. Lingkar kepala kurang dari 33 cm
4. Lingkar dada kurang dari 30 cm
5. Kepala lebih besar dari badan
6. Kulit tipis transparan
7. Lanugo (bulu-bulu) banyak terutama di dahi, pelipis dan telinga dan tangan.
8. Lemak subkutan kurang.
9. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia mayora
(pada wanita). Pada laki-laki tester belum turun.
10. Rambut tipis, halus.
11. Tulang rawan di daun telinga masih kurang sempurna.
12. Putting susu belum terbentuk dengan baik.
13. Pergerakan kurang dan lemah.
14. Banyak tidur, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering
mengalami serangan apnae.
15. Reflek tonus lemah, reflek menghisap dan menelan serta reflek batul
belum sempurna.
16. Kulit tampak mengkilat dan licin (Adnyanti, 2011).
E. Penatalaksanaan Bayi Prematur
1. Perawatan di Rumah Sakit
Mengingat belum sempurnanya kerja alat – alat tubuh yang perlu untuk
pertumbuhan dan perkembangan dan penyesuaian diri dengan lingkungan
hidup di luar uterus maka perlu diperhatikan pengaturan suhu lingkungan,
pemberian makanan dan bila perlu pemberian oksigen, mencegah infeksi
serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi.
a. Pengaturan suhu
Bayi prematur mudah dan cepat sekali menderita hipotermia bila
berada di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh
permukaan tubuh bai yang relative lebih luas bila dibandingkan
dengan berat badan, kurangnya jaringan lemak di bawah kulit dan
kekurangan lemak coklat (brown flat). Untuk mencegah hipotermia
perlu diusahakan lingkunagn yang cukup hangat untuk bayi dan dalam
keadaan istirahat konsumsi okigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh
bayi tetap normal. Bila bayi di rawat di dalam incubator maka suhu
untuk bayi dengan berat badan kurang dari 2 kg adalah 35 ˚C dan
untuk bayi dengan berat badan 2 – 2,5 kg adalah 34 ˚C agar ia dapta
mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 ˚C. Kelembapan incubator
berkisar antara 50% - 60%. Kelembapan yang lebih tinggi diperlukan
pada bayi dengan sindroma gangguan pernafasan. Suhu incubator
dapat diturunkan 1˚C perminggu untuk bayi dengan berat badan 2 kg
dan secara berangsur – angsur ia dapat di letakkan di dalam tempat
tidur bayi dengan suhu lingkungan 27˚C - 29˚C. Bila incubator tidak
ada, pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan
meletakkan botol – botol hangat disekitarnya atau dengan memasang
lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi. Cara lain untuk
mempertahankan suhu tubuh bayi sekitar 36˚C - 37˚C adalah dengan
memakai alat “perspexheat shield” yang diselimutkan pada bayi dalam
incubator. Alat ini digunakan untuk menghilangkan panas karena
radiasi. Akhir – akhir ini telah mulai digunakan incubator yang
dilengkapi dengan alat temperature sensor (thermistor probe). Alat ini
ditempelkan di kulit bayi. Suhu incubator dikontrol oleh alat
servomechanism. Dengan cara ini suhu kulit bayi dapat dipertahankan
pada derajat yang telah ditetapkan sebelumnya. Alat ini sangat
bermanfaat untuk bayi dengan lahir yang rendah.
Bayi dalam incubator hanya dipakaikan popok. Hal ini mungkin
untuk pengawasan mengenai keadaan umum, perubahan tingkah laku,
warna kulit, pernafasan, kejang dan sebagainya sehingga penyakit
yang diderita dapat dikenal sedini – dininya dan tindakan serta
pengobatan dapat dilaksanakan secepatnya.
b. Pemberian ASI pada bayi premature
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik yang dapat
diberikan oleh ibu pada bayinya, juga untuk bayi premature.
Komposisi ASI yang dihasilkan ibu yang melahirkan premature
berbeda dengan komposisi ASI yang dihasilkan oleh ibu yang
melahirkan cukup bulan dan perbedaan ini berlangsung selama kurang
lebih 4 minggu. Jadi apabila bayi lahir sangant premature (<30>
Persalinan Preterm/Prematur
Kekurangan
cadangan energi Hipoksia Volume paru
menurun
Reflek menghisap Tonus otot menurun
Malnutrisi Pola nafas
belum sempurna tidak efektif
Intoleransi
aktifitas
Nutrisi kurang Hipoglikemi
dari kebutuhan
ASUHAN KEPERAWATAN BAYI LAHIR PREMATUR Hipoksia
1. Pengkajian
Pola nafas tidak
a. Sirkulasi efektif
Nadi apikal mungkin cepat / tidak teratur dalam batas normal (120 sampai
160 dpm) murmur jantung yang dapat menandakan duktus arteriosus paten
(PDA)
b. Makanan / Cairan
Berat badan kurang dari 2500 g
c. Neurosensori
Tubuh panjang, kurus, lemas dengan perut agak gendut
Ukuran kepala besar dalam hubungan dengan tubuh : sutura
mungkin mudah di gerakan, fontanel mungkin besar / terbuka lebar
Umumnya terjadi edema pada kelopak mata, mata mungkin
merapat,Reflek tergantung pada usia gestasi
d. Pernafasan
Apgar score mungkin rendah
Pernafasan dangkal, tidak teratur, pernafasan diafragmatik
intermiten (40-60 x/mnt) mengorok, pernafasan cuping hidung,
retraksi suprasternal subternal, sianosis ada.
Adanya bunyi ampelas pada auskultasi, menandakan sindrom distres
pernafasan (RDS)
e. Keamanan
Suhu berfluktuasi dengan mudah
Menangis mungkin lemah
Wajah mungkin memar, mungkin kaput suksedaneum
Kulit transparan
Lanugo terdistribusi secara luas diseluruh tubuh
Ekstremitas tampak edema
Garis telapak kaki terlihat
Kuku pendek
f. Seksualitas
Persalinan / kelahiran tergesa-gesa
Genetalia ; Labia minora lebih besar dari labia mayora dengan
kritoris menonjol testis pria tidak turun, rugae mungkin banyak /
tidak ada pada skrotum
g. Data Penunjang :
1) Perhatian Khusus:
O2
Observasi TTV
2) Laboratorium:
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neorologis,
penuerunan energi
c. Risiko hipotermia ditandai dengan prematuritas, bayi baru lahir, berat
badan lahir rendah
d. Resiko infeksi ditandai dengan prosedur invasif, peningkatan paparan
organisme patogen lingkungan
e. Resiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Intervensi
(SDKI) Hasil Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
Terapi Oksigen
(I,01026)
Observasi :
- Monitor
kecepatan alian
akosigen
- Monitor
posisialta terapi
oksigen
- Monitor aliran
oksigen secara
periodik dan
pastikan fraksi
yang diberikan
cukup
- Monitor tanda-
tanda
hipoventilasi
Terapeutik :
- Siapkan dan atur
peralatan
pemberian
oksigen
Kolaborasi:
- Kolaboraasi
penentuan dosis
oksigen
Manajemen Asam-
Basa (I.02036)
Observasi :
- Monitor frekuensi
dan kedalaman
napas
- Monitor irama
dan frekuensi
jantung
- Monitor
perubahan pH,
PaCO2 dan
HCO2
Terapeutik :
- Ambil spesimen
darah arteri untuk
pemeriksaan
AGD
- Berikan oksigen,
sesuai indikasi
Edukasi :
- Jelaskan
penyebab dan
mekanisme
terjadinya
gangguan asam
basa
Kolaborasi :
- Kolaborasi
pemeberian
ventilasi
mekanik, jika
perlu
2 Pola napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan Manajemen Jalan
imaturitas neorologis, intervensi keperawatan Napas (I.01011)
penurunan energi (D.0005) selama 1x24 jam maka Observasi :
Pola Napas Membaik, - Monitor pola
dengan kriteria hasil: napas (frekuensi,
Pola Napas (L.01004) kedalaman, usaha
- Dispneu mneurun napas)
- Frekuensi napas Terpeutik :
membaik - Pertahankan
kepatenan jalan
napas
- Posisikan bayi
pronasi
Pemantauan
Respirasi (I.01014)
Observasi :
- Monitor
frekuensi, irama,
kedalaman dan
upaya napas
- Monitor pola
napas
- Palapasi
kesimetrisan
ekspansi paru
- Auskultasi bunyi
napas
- Monitor saturasi
oksigen
- Monitor nilai
AGD
Terapeutik :
- Alur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasi
hasil pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
- Informasikan
hasil pemantauan
3. Risiko hipotermia d.d dengan Setelah dilakukan Regulasi
prematuritas, bayi baru intervensi keperawatan temperatur
lahir, berat badan lahir selama 1x24 jam maka (I.14578)
rendah termoregulasi Observasi :
neonatus Membaik, - Monitor suhu
dengan kriteria hasil: bayi sampai stabil
Termoregulasi (36,5°C-37,5°C)
Neonatus (L.14135) - Monitor suhu
- Akroslanosis tubuh tiap dua
menurun jam, jika perlu
- Suhu tubuh - Monitor warna
meningkat dan suhu kulit
- Suhu kuliat - Monitor dan catat
meningkat tanda dan gejala
- hipotermia atau
hipertemia
Terpeutik :
- Pasang alat
pemantau suhu
kontinu, jika
perlu
- Tingkatkan
asupan cairan dan
nutrisi yang
adekuat
- Bedong bayi
segera setelah
lahir untuk
mencegah
kehilangan panas
- Tempatkan bayi
baru lahir di
bawah radiant
warmer
- Pertahankan
kelembapan
inkubator 50%
atau lebih untuk
mengurangi
kehilangan panas
karena proses
evaporasi
- Atur suhu
inkubatot sesuai
kebutuhan\hangat
kan terlebih
dahulu bahan-
bahan yang akan
kontak dengan
bayi (mis.selimut,
bedongan,
stestoskop)
- Sesuaikan suhu
lingkungan
dengan
kebutuhan pasien
Edukasi :
- Jelaskan cara
pencegahan
hipoteri karena
terpapar udara
dingin
4 Resiko infeksi d.d prosedur Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
invasif, peningkatan paparan intervensi keperawatan (I.14539)
organisme patogen selama 1x24 jam maka Observasi :
lingkungan (D.0142) tingkat infeksi - Monitor tanda
menurun, dengan dan gejala infeksi
kriteria hasil: lokal dan
Tingkat Infeksi sistemik
(L.14137) Terapeutik :
- Kadar sel darah - Batasi jumlah
putih membaik pengunjung
- Demam menurun - Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien
dan lingkungan
pasien
- Pertahankan tekni
aseptik pada
pasien
Edukasi :
- Jelaskan tanda
dan gejala infeksi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
Kolaborasi :
- Kolaborasi
pemberian
imunisasi
5 Resiko defisit nutrisi d..d Setelah dilakukan Edukasi Nutrisi
ketidakmampuan menelan intervensi keperawatan Bayi (I.12397)
makanan, ketidakmampuan selama 1x24 jam maka Observasi :
mencerna makanan (D.0032) status nutrisi bayi - Identifikasi
membaik, dengan kesiapan dan
kriteria hasil: kemampuan ibu
Status Nutrisi atau pengasuh
(L03031) menerima
- Berat badan informasi
meningkat - Identifikasi
- Panjang badan kemampuan ibu
meningkat atau pengasuh
- Prematuritas menyediakan
menurun nutrisi
- Lapisan lemak Terapeutik :
membaik - Sediakan materi
dan media
pendidikan
kesehatan
- Jadwalkan
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
- Berikan
kesempatan
kepada ibu atau
pengasuh untuk
bertanya
Edukasi :
- Jelaskan tanda-
tanda awal rasa
lapar (mis. Bayi
gelisah,
membuka mulut
dan menggeleng-
gelengkan kepala,
munjulu-julurkan
lidah, mengisap
jari atau tangan)
- Ajarkan Perilaku
Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS)
- ajarkan cara
memilih makanan
sesuai dengan
usia bayi
- ajarkan cara
mengatur
frekuensi makan
sesuai usia bayi
Konseling Laktasi
(I.03093)
Observasi :
- Identifikasi
keadaan
emosional ibu
saat akan
dilakukan
konseling
menyusui
- Identifikasi
keinginan
danjurkan tetap
memberikan ASI
saat bayi sakitan
tujuan menyusui
- Identifikasi
permasalahan
selama proses
menyusui
Terapeutik :
- Gunakan teknik
mendengarkan
aktif
- Berikan pujian
terhadap perilaku
ibu yang benar
Edukasi :
- Ajarkan teknik
menyusui yang
tepat sesuai
kebutuhan ibu
DAFTAR PUSTAKA
Lia Dewi VN. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jogjakarta:
Salemba Medika.
Tanto Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV. Jakarta : Media
Aesculapius.
Referensi:
Astuti (2016). Optimalisasi Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Enteral Pada bayi
berat lahir rendah (BBLR) melalui pengaturan posisi dengan pendekatan
teori konservasi levine. Depok: Universitas Indonesia
JURNAL PENDUKUNG TINDAKAN KEPERAWATAN
PENGARUH POSISI PRONASI PADA BAYI PREMATUR TERHADAP PERUBAHAN
HEMODINAMIK
(Lina Dewi Anggraeni, E. Sri Indiyah, Susi Daryati. 2019)
Keimpulan
Ada pengaruh
bermakna posisi
pronasi pada bayi
terhadap Peningkatan
saturasi oksigen pre-
post intervensi 1 dan 2
jam pertama (Pv 0.00).
Ada pengaruh
bermakna posisi
pronasi pada bayi
terhadap HR pre-post
intervensi 1jam
pertama (Pv 0.027)
dan 2 jam pertama (Pv
0.008). Hasil
penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai
salah satu asuhan
keperawatan pada bayi
prematur yaitu dengan
pemberian posisi
pronasi. Semakin lama
durasi pemberian
posisi pronasi di
berikan semakin baik
status hemodinamik
pada bayi prematur.