Anda di halaman 1dari 31

1

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PERIOPERATIF


“ KASUS POST OP APPENDIKTOMI “
DOSEN PEMBIMBING : Ns.MASHUDI, M.Kep

OLEH:
DORA FEBRIANTI
PO:7120117167
TINGKAT IV SEMESTER VII

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES JAMBI
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
2
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
laporan pendahuluan asuhan keperawatan tentang Post Op appendiktomi dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Saya sangat berharap Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Post
OP Appendiktomi. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam Laporan ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan Laporan yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga Laporan Pendahuluan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jambi, November 2020

Penyusun
3
DAFTAR ISI
Cover …………………………………………………………..
Kata Pengantar…………………………………………………
Daftra Isi……………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
1.3 Tujuan..........................................................................................
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Appendiktomi .........................................................
2.2 Etiologi Appendiktomi...............................................................
2.3 Patofisiologi Appendiktomi.......................................................
2.4 VOC Appendiktomi....................................................................
2.5 Klasifikasi Appendiktomi …………………………………………….
2.6 Menifestasi Appendiktomi……………………………………………..
2.7 Pemeriksaan Appendiktomi ………………………………………
2.8 Komplikasi…………………………………………………..
2.10 Penata laksanaan ……………………………………………
KONSEP DASAR PENYAKIT
2.10 Pengkajian……………………………………………………….
2.11 Diagnosa Keperawatan…………………………………………
2.12 perencanaan ……………………………………………………
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Deskripsi kasus pemicu …………………………………….
3.2 Asuhan keperawatan ………………………………………..
PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................
3.2 Saran ........................................................................................
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendiktomi adalah pengangkatan secara bedah appendiks vermiformis.
Appendiktomi merupakan pengangkatan appendiks terinflamasi, dapat dilakukan pada
pasien meggunakan pendekatan endoskopi, namun adanya perlengkapan multiple, posisi
retroperitoneal dari appendiks, atau robek perlu dilakukan prosedur pembedahan
(Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Marlyn, Mary & Alice). Peradangan akut pada
apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya. Peradangan pada apendiks merupakan kausa laparotomi tersering pada anak
dan orang dewasa (Kartono D, 2015).

Menurut WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi apendiksitis di


dunia tahun 2010 mencapai 27% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia atau
6.647.186.407 jiwa. Dan insidensi apendiksitis akut tertinggi sebanding dengan
jumlah penduduknya yang paling banyak dibandingkan dengan Negara-negara lain di
wilyah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sekitar 238.452.952 penduduk Indonesia,
596.136 orang diantaranya menderita apendiksitis akut.
Insidensi appendiktomi di Indonesia menempati urutan ke 2 (dua) dari 193 negara
diantara kasus kegawatan abdomen lainnya. Dan apendiksitis menempati urutan keempat
penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit
sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI, 2012).
Menurut The Lancet perkembangan mortalitas apendisitis terlihat dimana pada tahun
1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan umur adalah sebanyak 875.000 kematian
sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 719.000 kematian(Naghavi
M, Lancet 2015).
Berdasarkan data hasil presurvey yang diperoleh di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Jenderal Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung dari bulan Januari
sampai Juni tahun 2014 sebanyak 88 pasien yang menderita apendisitis dan yang
dilakukan operasi sebanyak 82, sebanyak 60% mengalami komplikasi perporasi, 50%
pasien yang tidak melakukan mobilisasi memerlukan waktu lebih dari 5 hari
perawatan luka sampai buka jahitan. Sedangkan 32% pasien yang melakukan mobilisasi
dini memerlukan3-5 hari perawatan luka sampai buka jahitan dan tidak ada komplikasi
(Mitrawati, Andoko, Hermawan. 2015. Hubungan mobilisasi dini dengan lamanya
penyembuhan pasien pasca operasi apendiktomi).
Sedangkan pada tahun 2017 jumlah penderita apendisitis meningkat menjadi 115
orang dan yang menderita apendisitis 21 orang pada tahun 2018 bulan januari sampai
maret (Rismawati, 2018).Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka
5
operasi apendiktomi adalah kurangnya atau tidak melakukan mobilisasi dini. Dengan
keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan pasca
pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca
pembedahan (Israfi dalam Akhrita, 2011).
Hal ini telah dibuktikan oleh Wiyono dalam Akhrita (2011). Hasil
penelitiannya mengatakan bahwa mobilisasi diperlukan untuk membantu mempercepat
pemulihan usus dan mempercepat penyembuhan luka pasien. Mobilisasi sangat penting
dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko kena tirah baring lama seperti
terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot bagian tubuh, gangguan
sirkulasi darah, gangguan pernafasan, dan gangguan peristaltik maupun berkemih
(Carpenito, 2000).
Komplikasi appendiktomi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong,2005). Selain itu, terdapat komplikasi akibat
tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah
komplikasi prosedur intra abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja
internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992). Komplikasi utama
apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau
abses. Insidens perforasi mencapai 10%-32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil
dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,70 celcius atau lebih tinggi, penampilan toksik,
dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Pasien yang baru mengalami operasi apendisitis, pasien tersebut mengatakan
bahwa mereka sangat takut untuk melakukan mobilisasi pasca operasi. Hal ini
disebabkan karena pasien merasa sangat kesakitan saat bergerak pasca efek anestesi
operasi tersebut hilang. Disamping itu, pasien juga mengungkapkan kekhawatiran
jahitan luka bekas operasi akan merenggang atau terbuka jika mereka melakukan
mobilisasi pasca operasi. Pasien beranggapan mobilisasi dapat menyebabkan terjadinya
ruam atau lecet pada bagian abdomen bagian bawah, kekakuan, atau penegangan otot-
otot di seluruh tubuh, pusing dan susah bernafas, juga susah buang air besar maupun
berkemih. Hal inilah yang menyebabkan banyak diantara mereka untuk lebih memilih
diam atau tidak bergerak di atas tempat tidur. Juga didapatkan bahwa jarang perawat
yang mengajarkan mobilisasi pada pasien post operasi appendiktomi (Mulya, 2015.
Pemberian Mobilisasi Dini Terhadap Lamanya Penyembuhan Luka Post Operasi
Apendiktomi).
6
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik mengambil judul Asuhan
Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Pada Pasien Post
Operasi Appendiktomi di Ruang Bedah Rsud Jenderal Ahmad Yani Kota Metro Provinsi
Lampung.

.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Appendiktomi?
2. Apa saja etiologi dari Appendiktomi?
3. Bagaimana patofisiologi dari Appendiktomi?
4. Apa saja manifestasi klinik dari Appendiktomi ?
5. Apa saja komplikasi Appendiktomi?
6. Bagaimana penanganan Appendiktomi?
7. Bagaimana konsep askep dari Appendiktomi?
.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Apa itu Appendiktomi
2. Untuk mengetahui Apa saja etiologi dari Appendiktomi
3. Untuk mengetahui Bagaimana patofisiologi dari Appendiktomi
4. Untuk mengetahui Apa saja manifestasi klinik dari Appendiktomi
5. Untuk mengetahui Apa saja komplikasi Appendiktomi
6. Untuk mengetahui Bagaimana penanganan Appendiktomi
7. Untuk mengetahui Bagaimana konsep askep dari Appendiktomi
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Appendiktomi


Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks (Haryono, 2012).
Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan operasi hanya untuk penyakit
apendisitis atau penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang terinfeksi. Apendiktomi dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses
(Marijata dalam Pristahayuningtyas,2015).
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan pembedahan pada
apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi dimulai saat pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya. Pasien yang telah menjalani
pembedahan dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh
istirahat dan kenyamanan) (Muttaqin, 2009).
Aktivitas keperawatan post operasi berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan. Peran perawat yang mendukung proses kesembuhan pasien yaitu
dengan memberikan dorongan kepada pasien untuk melakukan mobilisasi setelah operasi (Potter
& Perry, 2010). Mobilisasi penting dilakukan karena selain mempercepat proses kesembuhan
juga mencegah komplikasi yang mungkin muncul (Muttaqin, 2009).

2.2 Etiologi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis dikarenakan
apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat menyebabkan infeksi dan
perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus. Disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica
(Sjamsuhidayat,2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut Haryono (2012)
diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa,
35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan
oleh parasit dan cacing.
8

b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak
ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus,
Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks
yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis.
Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya mengonsumsi
tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi.

2.3 Patofisiologi
Apendisitis    biasanya   disebabkan   oleh   penyumbatan   lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena   fibrosis   akibat  peradangan   
sebelumnya,   atau   neoplasma. Obstruksi  tersebut   menyebabkan mukus   yang   diproduksi
mukosa mengalami bendungan.  Makin  lama mukus  tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan      peningkatan  tekanan
intralumen.  Tekanan            yang meningkat tersebut akan menghambat aliran  limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat   inilah   terjadi
apendiks   akut   fokal   yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila  sekresi mukus  terus berlanjut, 
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabakan obstruksi vena, edema
bertambah, dan   bakteri   akan menembus   dingin   peradangan   yang timbul        meluas dan
mengenai peritoneum setempat,   sehingga meninmbulkan  nyeri  di  daerah  kanan  bawah.
Keadaan  ini disebut dengan apendisitis supraktif akut.
Bila  aliran arteri terganggu, maka  akan terjadi infark dinding apendiksyang  diikuti
dengan  gangren.  Stadium  ini disebut  dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Price, 2005.
9

2.4 VOC Appendiktomi

apendisitis menurut Masjoer (2007) Apendiks

Hiperplasi folikel Erosi


limfoid Benda asing fekalit
mukosa Striktur Tumor
apendiks

Sumbatan

Mukosa terbendung

Apendiks teregang

Tekanan intraluminal

Aliran darah
terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks

Apendisitis Trombosis pada vena


intramural

Ke peritonium Pembengkakan dan iskemia

Peritonitis Pembedahan Perforasi

Cemas
Luka insisi Risiko infeksi

Defisit self care Nyeri Hambatan mobilitas fisik


2.5 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendiks akut dan apendiks kronik
a. A pe n di s i t i s A ku t
Apendisitis akut sering timbul dengan gejala khas yang didasari oleh radang  mendadak umbai
cacing  yang  memberikan  tanda  setempat, disertai  maupun  tidak  disertai rangsang
peritoneum  lokal.  Gejala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul, nyeri
visceral didaerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering di sertai mual dan
kadang   ada   muntah.   Umumnya   nafsu   makan   menurun   dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas  letaknya.  Sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis K ron i k
Diagnosis apendiksitis kronik baru dapat di tegakkan jika di penuhi semua syarat: riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang  kronik apendiks  secara
makroskopik  dan  mikroskopik,  dan keluhan        menghilang setelah   apendiktomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis   kronik   adalah   fibrosis menyeluruh   dinding   apendiks,
sumbatan parsial atau total  lumen  apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa,  dan sel inflamasi  kronik. Insidens apendiksitis kronik antara 1-5 %.(Sjamsuhidajat,
2004).

2.6 Manifestasi Klinis


Pada kasus apendiksitis akut klasik, gejala awal adalah nyeri atau rasa tidak enak di
sekitar umbilikus. Gejala ini umunya berlangsung lebih dari satu atau dua hari. Dalam
beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai oleh anoreksia,
mual, dan muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan di sekitar titik Mc Burney. Kemudian,
dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan
leukositosis sedang (Price, Sylvia Anderson, 2006).

Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney bila
dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi nyeri bila tekanan
dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat
konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnta infeksi dan lokasi appendiks. Bila
apendisitis melingkar di belakang sekum, nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal. Nyeri
pada defekasi menunjukkan ujung appendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat
berkemih menunjukkan bahwa appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.

Gambaran klinik apendisitis:


a. Tanda awal
Nyeri mulai di episgastrium atau regiomilikus disertai mual dan anoreksia.
b. Nyeri rangsang peritonium tidak langsung
Nyeri rangsang peritonium tidak langsung meliputi nyeri kanan bawah pada tekanan
kiri (Rovsing), nyeri tekanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg), nyeri tekanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam
berjalan, batuk, atau mengedan. (Brunner dan Suddarth, 2002)

2.7 pemeriksaan penunjang


1. Jumlah leukosit lebih tinggi dari 10.000 /mm3, normalnya 5.000-10.000/mm3
2. Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75%
3. Pemeriksaan urin rutin, urinalisis normal, tetapi eritrosit atau lekosit mungkin ada.
4. Pemeriksaan photo sinar x tidak tampak kelainan yang spesifik (Doengoes, 1999

2.8 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%.
Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Peforasi secara umum terjadi 24 jam
setelah nyeri (gejala-gejalanya termasuk demam, penampilan toksik dan nyeri berlanjut).
(Syamsuhidayat, et.al, 2002)

2.9 Penatalaksanaan Medis


Pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendiksitis telah ditegakkan, antibiotik
dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa di tegakan .

Apendektomi dilakukan sesegara mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.


Apendektomi dapat dilakukan dengan anastesi umum spinal dengan insisi abdomen bawah
dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
1. Pra Operatif
a. Observasi
Dalam 8 – 12 jam setelah kaluhan tanda dan gejala apendiksitis seringkali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu di lakukan. Pasien diminta untuk tirah
baring dan dipuasakan, laksatif tidak di berikan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah di ulang secara periodik, foto thoraks dan abdomen dilakukan untuk
mencari kemungkinan ada penyulit lain.
b. Infus intravena di gunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan
cairan yang telah hilang.
c. Terapi Antibiotik dapat di berikan untuk mencegah infeksi

2. Pasca Operasi
Perlu dilakukan obsevasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syock, hipertermi, atau gangguan pernafasan. Baringkan pasien dalam posisi semi
fowler. Posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen. Pasien di katakan
baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Pasien dipuasakan, bila tindakan operasi
lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai
fungsi usus kembali normal.

Berikan minum mulai dari 15 ml/jam selama 4 - 5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan hari nya di berikan makanan saring, dan hari berikutnya di berikan makanan
lunak. Satu hari pasca operasi di anjurakan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30
menit. Pada hari berikutnya pasien boleh berdiri dan duduk di luar kamar. Pada hari ke 5
atau 7 jahitan dapat di buka di angkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Asuhan Keperawatan Post Apendiktomi

1. Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada penderita post operasi (Haryono, 2012) adalah:

a. Jalan napas dan pernapasan

Agen anestesi tertentu menyebabkan depresi pernapasan. Waspadai pernapasan dangkal,

lambat, dan batuk lemah. Kaji patensi jalan napas, irama, kedalaman ventilasi, simetri gerakan

dinding dada, suara napas, dan warna mukosa.

b. Sirkulasi

Penderita berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh hilangnya

darah aktual atau potensial dari tempat pembedahan, efek samping anestesi,

ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi mekanisme yang mengatur sirkulasi normal. Masalah

umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah dapat terjadi secara eksternal

melalui saluran atau sayatan internal. Kedua tipe ini menghasilkan perdarahan dan penurunan
tekanan darah, jantung, dan laju pernapasan meningkat, nadi terdengar lemah, kulit dingin,

lembab, pucat, dan gelisah.

c. Kontrol suhu

d. Keseimbangan cairan dan elektrolit

Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk tanda-tanda perubahan elektrolit.

Monitor dan bandingkan nilai-nilai laboratorium dengan nilai-nilai dasar dari penderita.

Catatan yang akurat dari asupan dan keluaran dapat menilai fungsi ginjal dan peredaran darah.

Ukur semua sumber keluaran, termasuk urine, keluaran dari pembedahan, drainase luka

dan perhatikan setiap keluaran yang tidak terlihat dari diaforesis.

e. Intergritas kulit dan kondisi luka

Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase diperban. Pada penggantian perban

pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika tepi luka berdekatan dan untuk perdarahan atau

drainase.

f. Fungsi perkemihan

Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung kemih yang

penuh. Raba perut bagian bawah tepat di atas simfisis pubis untuk mengkaji distensi kandung

kemih. Jika penderita terpasang kateter urin, harus ada aliran urine terus menerus sebanyak 30-50

ml/jam pada orang dewasa.

g. Fungsi gastrointestinal

Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Kaji kembalinya

peristaltik setiap 4 sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi

suara usus kembali normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran

menunjukkan gerak peristaltik yang telah kembali.

h. Kenyamanan

Penderitya merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali kesadaran penuh. Kaji nyeri

penderita dengan skala nyeri.


2. Diagnosis keperawatan

Diagnosis keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut

Wilkinson, J dan Ahern (2013):

a. Nyeri akut

1) Batasan karakteristik

a) Subjektif: mengungkapkan nyeri secara verbal

b) Objektif: posisi untuk menghilangkan nyeri, perubahan tonus otot (dengan rentang

lemas tidak bertenaga sampai kaku), respon autonomik (misalnya diaphoresis,

perubahan tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil), perubahan selera

makan, gangguan tidur.

2) Faktor yang berhubungan

Agen-agen penyebab cedera (biologis, kimia, fisik, dan psikologis)

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1) Batasan karakteristik

a) Subjektif: kram abdomen, nyeri abdomen, menolak makan, persepsi ketidakmampuan untuk

mencerna makanan, merasa cepat kenyang setelah makan.

b) Objektif: bising usus hiperaktif, kurangnya minat terhadap makanan, embrane mukosa pucat,

tonus otot buruk.

2) Faktor yang berhubungan

Ketidakmampuan untuk menelan atau menerima makanan atau menyerap nutrien akibat

faktor biologis, psikologis, atau ekonomi. Contoh menurut NANDA yaitu kesulitan

mengunyah dan menelan, hilangnya nafsu makan, mual, dan muntah.


c. Hambatan mobilitas fisik

1) Batasan karakteristik

Objektif: kesulitan membolak-balik posisi tubuh, dispnea saat beraktivitas,

keterbatasan rentang gerak sendi, ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan

rutinitas aktivitas kehidupan sehari- hari), melambatnya pergerakan, gerakan tidak

teratur atau tidak terkoordinasi.

2) Faktor yang berhubungan

Perubahan metabolisme sel, gangguan kognitif, penurunan

kekuatan/kendali/massa otot, ansietas, ketidaknyamanan dan nyeri, intoleransi aktivitas

dan penurunan kekuatan, kaku sendi/kontaktur, gangguan muskuluskeletal, gangguan

neuromuskuler, nyeri, program pembatasan pergerakan, gaya hidup yang kurang gerak,

malnutrisi, gangguan sensori persepsi.

d. Konstipasi

1) Batasan karakteristik

a) Subjektif: nyeri abdomen, nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot

yang dapat dipalpasi, perasaan penuh dan tekanan pada rektum, nyeri saat defekasi

b) Objektif: perubahan pola defekasi, distensi abdomen, bising usus hipoaktif, tidak mampu

mengeluarkan feses, feses yang kering, keras dan padat.

2) Faktor yang berhubungan

a) Kebiasaan mengabaikan desakan untuk defakasi b) Asupan serat dan cairan tidak

mencukupi

c) Perubahan pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi d) Antikolinergis,

antidepresan, diuretik, sedative

e. Ansietas

1) Batasan karakteristik

a) Perilaku: penurunan produktivitas, mengekspresikan kekhawatiran akibat peristiwa

dalam hidup, gelisah, memandang sekilas, insomnia, kontak mata buruk, resah, menyelidik

dan tidak waspada.


b) Afektif: gelisah, kesedihan yang mendalam, fokus pada diri sendiri, gugup, marah,

menyesal, perasaan takut, ketidakpastian, khawatir.

c) Fisiologis: wajah tegang, peningkatan keringat, gemetar atau tremor di tangan, suara bergetar

d) Parasimpatis: nyeri abdomen, penurunan tekanan darah, penurunaan nadi, pingsan, sering

berkemih

e) Simpatis: mulut kering, jantung berdebar-debar, dilatasi pupil, kelemahan.

f) Kognitif: konfusi, kesulitan untuk berkonsentrasi

2) Faktor yang berhubungan:

a) Terpajan toksin

b) Stres

c) Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan, status

kesehatan

f. Risiko Infeksi

Faktor yang berhubungan:

1) Penyakit kronis

2) Penekanan sistem imun

3) Pertahanan primer tidak adekuat g. Desisit Pengetahuan

Faktor yang berhubungan:

1) Batasan karakteristik

a) Ketidakakuratan mengikuti perintah

b) Perilaku tidak tepat (missal hysteria, bermusuhan, agitasi, apatis)

c) Pengungkapan masalah d) Sering bertanya

2) Faktor yang berhubungan

a) Keterbatasan kognitif

b) Kurang minat dalam belajar

c) Kurang dapat mengingat

d) Kurang informasi
3. Rencana keperawatan

Rencana keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut

Wilkinson, J dan Ahern (2013):

a. Nyeri akut

1) Kriteria hasil

a) Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktkan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 :

tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):

(1) Mengenali awitan nyeri

(2) Menggunakan tindakan pencegahan


(3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

b) Menunjukkan tingkat nyeri


(1) Ekspresi nyeri pada wajah

(2) Gelisah atau ketegangan otot

(3) Durasi episode nyeri

(4) Merintih dan menangis

(5) Gelisah

2) Intervensi

a) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu

berkomunikasi efektif.

b) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan

durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

c) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya,umpan balik biologis, relaksasi,

imajinasi terbimbing,terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, kompres hangat

atau dingin, massase sebelum dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama aktivitas yang

menimbulkan nyeri.

d) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon penderita terhadap

ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan).

e) Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi nonfarmakologis sebelum melakukan

prosedur yang menimbulkan nyeri.


b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1) Kriteria hasil:

a) Memperlihatkan status gizi: asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator sebagai

berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat, sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat).

(1) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total.

(2) Asupan cairan oral/IV

b) Mempertahankan berat badan ideal

c) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit dalam batas normal).

2) Intervensi

a) Timbang pada interval yang tepat

b) Instruksikan penderita agar menarik napas dalam, perlahan, dan menelan secara sadar untuk

mengurangi mual dan muntah.

c) Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan

jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk penderita

dengan kebutuhan energi tinggi, seperti penderita pascabedah dan luka bakar, trauma, demam, dan

luka).

d) Berikan obat antiemetik dan/atau analgesik sebelum makan atau sesuai jadwal yang

dianjurkan.

c. Hambatan mobilitas fisik

1) Kriteria hasil:

a) Klien meningkat dalam aktivitas fisik

b) Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

c) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

d) Memperagakan penggunaan alat e) Bantu untuk mobilisasi

2) Intervensi

a) Monitor vital sign sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon pasien saan latihan

b) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
c) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

d) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

e) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

f) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuan ADL secara mandiri sesuai kemampuan

g) Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL pasien

h) Berikan alat bantu juka memerlukan

i) Ajarkan pasien bagaimana mengubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

d. Konstipasi

1) Kriteria hasil:

a) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi

b) Pola eliminasi (dalam rentang yang diharapkan)

c) Feses lunak dan berbentuk

2) Intervensi

a) Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas, pengobatan, dan pola

kebiasaan penderita.

b) Kaji dan dokumentasikan

(1) Warna dan konsitensi feses pertama pasca operasi

(2) Frekuensi, warna dan konsistensi feses

(3) Keluarnya flatus

(4) Ada atau tidak ada bising usus

c) Identifikasi factor yang dapat menyebabkan konstipasi.

d) Informasikan kepada penderita kemungkinan konstipasi akibat obat

e) Tekankan pentingnya menghindari mengejan selama defekasi untuk mencegah

perubahantanda vital, perdarahan

f) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet
e. Ansietas

1) Kriteria hasil

a) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai

sedang, konsentrasi

b) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan c) Memiliki tanda-tanda

vital dalam batas normal

2) Intervensi

a) Kaji faktor budaya (misalnya konflik nilai) yang menjadi penyebab ansietas

b) Berikan penguatan positif kepada penderita

c) erikan sikap empatik secara verbal non verbal

d) Berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas

e) Ajarkan relaksasi distraks

i) Kolaborasi pemberian obat ansietas jika diperlukan

f. Risiko infeksi

1) Kriteria hasil

a) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi,

dan penyembuhan luka

b) Terbebas dari tanda gejala infeksi

2) Intervensi

a) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,

penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit)

b) Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

c) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan

jahitan.

d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiot


g. Defisit pengetahuan
1) Kriteria hasil
a) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan program pengobatan.
b) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara
benar.
c) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan
2) Intervensi
a) Kaji sejauh mana pengetahuan klien mengenai penyakitnya b) Jelaskan

patofisiologi, tanda, dan gejala dari penyakit

c) Berikan penjelasan yang mudah dimengerti apabila klien bertanya

d) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah

komplikasi

e) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Deskripsi Kasus
Seorang perempuan berumur 20 tahun di rawat di RSUD , dua hari sbelum di
bawa ke rumhah sakit klien mengalami sakit perut yang hebat , setelah dilakukan
pemerikaan fisik positif appendiksitis .
klien melakukan operasi appendik tomi , klien mengatakan nyeri pada area luka
post operasi appendiktomi di perut kanan bawah nyri bertambah saat bergerak . nyerti
terasa tertusuk,skala 6 hilang timbul, klian mengatakan baru 1x masuk rumah sakit, klien
tidak memiliki riwayat penykit ,di lakukan pemeriksaan Tanda tanda vita , TD: 120/80
mmhg . N; 82x/m. RR; 20x/m. s: 36.8˚c.
pemeriksaan fisik:
Abdomen I : terdapat luka post operasi apendiktomi di perut kanan bawah
dengan panjang kurang lebih 10cmA : bising usus 8x/menitP : Ada nyeri tekanP :
tympani. Genetalia Terpasang kateter ukuran 18. Aliran lancar, warna urine kuning
keemasan. Ekstremitas atas Terpasang selang infus RL 500ml pada tangan kiri 20 tpm.
Terapi yang di gunakan Cairan parenteral RL dengan dengan 20 tetes/menit
injeksi ketorolac 30 mg per 8 jam melalui intervena . injeksi ranitidine 50 mg per 12
jam melaluiintravena, injeksi ceftriaxone 30 mg per 12 jam melalui intravena.
pemeriksaan penunjang : pemriksaan darah lengkap leukosit ebih dari batas
normal 24,9(10ˆ3ul) nilai normal 4.00-11,00 dan neotrofil juga melebih batas normal
80% nilai normal 40-75.
aktivitas klien sebelum sakit sangat aktif melakukan kegiatan rumah
tangga , setelah sakit klien kesulitan untuk beraktivitas dan bergerak akibat
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan
pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi dimulai saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya. .
Apendiks yang meradang dapat menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak
dilakukan tindakan pembedahan. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus.
Apendisitis    biasanya   disebabkan   oleh   penyumbatan   lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena   fibrosis   akibat 
peradangan   sebelumnya,   atau   neoplasma. Obstruksi  tersebut   menyebabkan mukus   
yang   diproduksi   mukosa mengalami bendungan.

4.2 Saran
1. diharpkan dalam melakukan pengkajian keperawatan dalam klien post
Appendiktomi yang mengkaji secara menyuruh dan sidesuiakan dengan teori yang
ada
2. di harapkan agar lebih memahami dan mempelajri lebih dalam ilmu
keperwatanmedical dalam bedah khususnya tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan post appendiktomi dan juga untuk meningkatkan kepercayaan diri
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1410/4/BAB%20II.pdf
http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/398/2/5%2CBAB%20I.pdf
http://ratnabudi97.blogspot.com/2016/01/asuhan-keperawatan-appendiktomi.html
https://id.scribd.com/document/368164925/Lp-Apendiktomi

Anda mungkin juga menyukai