Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat
persis di inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr,
didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm.
Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara
duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada
dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat
meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio
urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi,
manifestasi

klinis,

prosedur

diagnostik

dan

asuhan

keperawatan

yang

komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan BPH secara komprehensif dengan TURP
Transurethral Resection Of The Prostate
1.2.2 Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian secara menyeluruh pada klien BPH
dengan TURP

universitas kadiri

b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada klien BPH


dengan TURP
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi masalah
keperawatan yang timbul pada klien BPH dengan TURP
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada
klien BPH dengan TURP
1.3 Manfaat
1.3.1 Secara Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru atau paling
tidak mengingatkan kembali tentang konsep dasar penyakit BPH serta asuhan
keperawatan pada klien dengan BPH. Dengan demikian, perawat diharapkan
semakin menyadari perannya sebagai tenaga kesehatan professional yang perlu
meningkatkan ilmu pengetahuan dan kualitas kerja yang efektif dan efesien
dengan menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi tentang proses
keperawatan klien dengan BPH
1.3.2 Secara Aplikatif
Manfaat aplikatif diturunkan dari manfaat teoritis. Makalah ini diharapkan
dapat memberikan contoh asuhan keperawatan yang tepat, efektif dan efesien,
bermanfaat untuk mendukung proses pemulihan klien dengan BPH.

BAB 2

universitas kadiri

PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia ( BPH )
menurut beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan
Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun
atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit,
dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan
oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas,
yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

universitas kadiri

2.2 Tahap Perkembangan Penyakit BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya
menurut Sjamsuhidajat dan De jong
(2005) secara klinis penyakit BPH dibagi
menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1

: Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok


dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah

Derajat 2

teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml


: Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok
dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum

Derajat 3

urin 50100 ml.


: Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari

Derajat 4

100 ml.
: Apabila sudah terjadi retensi urine total

2.3 Anatomi dan Fisiologi Prostat


1. Anatomi Prostat

Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah


kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya

universitas kadiri

berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini


menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1
Gambar 2. 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus
oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal.
Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital,
dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum.
Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang
disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis
dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).

universitas kadiri

Gambar
2.2: Bagian
prostat

Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 3050 kelenjar
yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau
isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus
sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos,
selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius,
banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan
terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus
medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada
waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau
buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri
dari 50 70 % jaringan kelenjar, 30 50 % adalah jaringan stroma (penyangga)
dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

universitas kadiri

(Hidayat, 2009)
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik
dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan
parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra
posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada
otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat
banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan
tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran
kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior
dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini
masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua
bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang
sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat
membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan
prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan
70% volume cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan
menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret
vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh
volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat
melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma

universitas kadiri

tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5
akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain
tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas
sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).
2.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.
Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun
sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut
Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron ( DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron ( DHT )
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron ( DHT ) dalam sel prostad merupakan
factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan
bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat
normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Pada usia
yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar

universitas kadiri

estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan
testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian selsel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma
karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.

universitas kadiri

10

5. Teori sel stem


Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi selsel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.5 Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala
pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi ( perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering
mengejan

pada

saan

miksi

sehingga

mengakibatkan

tekanan

universitas kadiri

11

intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien
BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan
tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak
nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi
kronis dan volume residual yang besar.
2.6 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk
batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

universitas kadiri

12

universitas kadiri

13

universitas kadiri

14

2.4 Patway

universitas kadiri

15

2.5 Definisi TURP


Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Transurethral resection of the prostate (TURP) dapat dipakai sebagai criteria
standar untuk mengurangi bladder outlet obstruction (BOO) secondary to BPH.
TURP merupakan metode paling sering digunakan dimana jaringan prostat yang
menyumbat dibuang melalui sebuah alat yang dimasukkan melalui uretra (saluran
kencing). Merupakan salah satu jenis operasi endoskopi yang banyak dilakukan
saat ini adalah TURP (transurethral resection of the prostate) dimana kelenjar
prostat dipotong dengan cara dikerok dengan menggunakan energi listrik.
2.6 Indikasi TURP
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala
sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat
diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi
Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60
gram.
2.7 Mekanisme TURP
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan
suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan
dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai
diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung
besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa
elektrolit.

Prosedur

ini

dilakukan

dengan

anastesi

regional

Blok

Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24


untuk beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk
spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon
dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuades sebanyak 30
50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat dengan cara traksi

universitas kadiri

16

selama 6 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau


dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak
boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian
penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli buli karena ischemi. Setelah
traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal atau abdomen
bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 48 jam pasca
bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya
dilepas pada hari ke35.Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam
sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi
baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas

Gambar Prosedur TURP

universitas kadiri

17

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN BPH dengan TURP
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertuju
an untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidenti
fikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik
fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995: 18).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
1) Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama,suku
bangsaras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan da
n alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia
lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasia
n

(Donna, D.I, 1991 : 1743 ).

2) Keluhan utamaKeluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pa


sca TURP adalah
nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli. Pada saat meng
kaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat at
au meringankan nyeri (
paliative

), rasa nyeri

provokative
yang

dirasakan (quality), keganasan

intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).


3) Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lowe
r Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar u
rin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah sel
esai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yan
g dapat menimbulkan keluhan dan
ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulan
g.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keada
an penyakit sekarang perlu ditanyakan

universitas kadiri

18

Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi


Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya
penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pu
la

adanya

riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.


5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seper
ti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
6) Riwayat psikososial
Kaji adanya
emosi kecemasan,
pandangan
klien

terhadap

dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.


7) Pola pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring s
elama 24 jam pasca
TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli

buli

memerlukan
penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn.
E.D, 2000 : 683).
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan
minum sebelum flatus.
c. Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi
urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedang
kan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas
(Sunaryo, H, 1999: 35)
d. Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah da
n terpasang traksi kateter selama 6

24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh f


leksi selama traksi masih diperlukan.
e. Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba

dan

Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.

universitas kadiri

19

g. Pola persepsi dan konsep diri


Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang peraw
atan dan komplikasi pasca TURP.
h. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dap
at mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga t
empat kerja dan masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual
Tindakan
TURP
dapat

menyebabkan

impotensi

dan ejakulasi retrograde


j. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang pera
watan

dan

komplikasi

pasca TURP.

Gali

adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stre
s tersebut.
8) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem sistem tubuh antara lain :
a. Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, k
ecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal
(

jam

) pasca operasi harus diminitor tiap

jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat
diperpanjang misalnya 3 jam sekali .
b. Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelump
uhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai
daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
c. Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun
pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perda
rahan dan observasi cairan (infus, irigasi,

per

oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.


d. Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan
(relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi.
e. Sistem gastrointestinal
Anasthesi
menyebabkan klien pusing, mual dan muntah
.Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f. Sistem urogenital

universitas kadiri

20

Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri


.

Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah.

Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat meno
njol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin
kencing (Sunaryo,

,1999

16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi.


Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
g. Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian
paha klien.
Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
9) Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorik
Setiap penderita

pasca

TURP

harus

di

cek

kadar

hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin


tetap merah dan perlu

di

periksa

ulang

bila

terjadi

penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar


serum kreatinin juga
lagi bila sebelum

operasi

perlu diulang secara berkala terlebih


kadar

kreatininnya

meningkat.

Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindro


ma

TURP.

Bila

terdapat

tanda

septisemia

harus diperiksa kultur urin dan kultur darah ( Tim Keperawat


an RSUD dr. Soetomo, 1997)
b. Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan
setelah kateter dilepas

(Lab

UPF

Ilmu bedah

RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).


b.

Analisa dan sintesa data


Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data t

ersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan

Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara
lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan,
resiko tinggi

universitas kadiri

21

ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetah


uan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Perubahan eliminasi urin b.d. Obstruksi mekanikal : Bekuan
darah,edema ; Tekanan dan iritasi kateter/balon ; Hilang tonus kandung
kemih sehubungan dengan distensi berlebihan praoperasi.
(i) Data Pendukung :
Frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, retensi, kandung kemih
penuh,ketidaknyamanan suprapubik.

Hasil yang diharapkan :


Pasian akan memperbaiki pola berkemih yang normal tanpa retensi. Pasien
akan dapat mengontrol pola berkemih.
Tindakan/ Intervensi :
1. Kaji pengeluaran urin khususnya selama irigasi kandung kemih R/
Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan
spasme kandung kemih.
2. Perhatikan waktu, jumlah berkemih, setelah kateter dilepas. Perhatikan
keluhan rasa penuh kandung kemih; ketidakmampuan berkemih,
urgensi.
R/ Kateter biasanya dilepas 2 5 hari setelah pembedahan, tetapi
keluhan penuh pada bladder masih tetap terjadi karena adanya edema
pada uretra.
3. Motivasi pasien untuk berkemih jika ada keinginan untuk berkemih.
R/ Mencegah terjadinya retensi urin.
4. Anjurkan pasien untuk minum 3000 ml setiap hari. Batasi cairan pada
malam hari, setelah kateter dilepas.

universitas kadiri

22

R/ Mempertahankan hidrasi yang adekuat dan perfusi ginjal untuk


aliran urin.
5. Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan
bokong, menghentikan dan memulai aliran urin.
R/ Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/ sfingter,
meminimalkan inkontinensia.
6. Pertahankan irigasi kandung kemih secara kontinu sesuai indikasi pad
periode pasca operasi.
R/ Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan aliran urin.

2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. area bedah vaskuler ;


kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan preoperasi
Data pendukung :
( Tidak dapat diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala membuat diagnosa
aktual )
Hasil yang diharapkan :
Mempertahankan hidrasi yang dekuat dengn tandavital stabil, ndi perifer teraba ,
pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tetap serta
tidak ada perdarahan aktif.
Tindakan/ Intervensi :
1. Observasi intake dan output
R/ Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
2. Observasi drainase kateter dan perhatikan perdarahan yang berlebihan/
berlanjut.
R/ dengan mengetahui adanya perdarahan dapat menentukan intervensi yang
diberikan sebagai evaluasi medik.
3. Observasi tanda-tanda vital

universitas kadiri

23

R/ Perubahan tanda-tanda vital akibat perdarahan dapat menunjukan


terjadinya syok hipovolemik.
4. Tingkatkan pemasukan cairan 3000 ml

Perhari kecuali

jika ada R/

kontraindikasi membilas ginjal / kandung kemih dari bakteri dan debris


tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan / kelebihan cairan bila tidak
diawasi dengan ketat.
5. Observasi hasil laboratorium sesuai indikasi

[ Hb,Ht,jumlah sel darah

merah.
R/Berguna dalam mengevaluasi kehilangan darah dan kebutuhan
penggantiannya.

3. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d. prosedur invasif : alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih yang sering ; trauma jaringan,
insisi bedah.
Data pendukung :
( tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa
aktual ).
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi :
Pasien tidak menunjukan terjadinya tanda-tanda infeksi.
Tindakan/Intervensi :
1. Berikan perawatan kateter secara teratur .
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2. Mengganti balutan dengan sering
R/ balutan yang basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk
pertumbuhan bakteri
3. Observasi tanda-tanda vital, tanda-tanda infeksI Pemberian antibiotik sesuai
indikasi
R/ Untuk mencegah terjadinya infeksi.

universitas kadiri

24

4. Nyeri ( akut ) b.d. iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon kandung
kemih.
Data pendukung :
Nyeri spasme kandung kemih
Wajah meringis,gelisah
Hasil yang diharapkan :
- Pasien akan melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Pasien akan menunjukan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas
teraupetik sesuai indikasi untuk situasi individu.
- Pasien akan tampak rileks, tidur/istirahat dengan tenang.
Tindakan / intervensi :
- Pertahankan posisi kateter. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan risiko
distensi/ spasme kandung kemih.
- Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi. R/ Menurunkan
iritasi dengan mempertahankan aliran cairan secara tetap ke mukosa kandung
kemih.
- Berikan rendam duduk atau lampu penghangat
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan
penyembuhan.
- Berikan antispamodik.
R/ Merilekskan otot polos, untuk menurunkan spasme.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan b.d. Kurang mengingat, salah interpretasi data ; kurang
terpapar terhadap informasi.
Data Pendukung :
Pasien selalu menanyakan tentang penyakitnya ; Tidak akurat mengikuti instruksi.
Hasil yang diharapkan/ Kriteria evaluasi :

universitas kadiri

25

Pasien akan memahami tentang prosedur bedah dan pengobatan, Pasien


akan akan berpartisipasi dalam program pengobatan.

Pendidikan Kesehatan
1. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake nutrisi; dorong pasien untuk
konsumsi buah-buahan,meningkatkan diet tinggi serat
2. Anjurkan kepada pasien untuk membatasi aktifitas misalnya menghindari
mengangkat beban berat, latihan keras, duduk yang

terlalu lama, memanjat

tangga.
3. Motivasi latihan berkemih
4. Ajarkan tentang cara perawatan kateter

universitas kadiri

26

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

universitas kadiri

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

universitas kadiri

28

4. Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S,


Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
5. Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires
dkk, EGC ; Jakarta.
6. Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R.
Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.

universitas kadiri

Anda mungkin juga menyukai