atau kumpulan gejala kardiovasculer yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain
sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai
derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi
darah dengan segera (tidak selalu diturunkan sampai batas normal) untuk mencegah
atau membatasi kerusakan organ. (kapita selekta kedokteran, Mansjoer Arif edisi 3
hal 522)
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang
peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang
(Devicaesaria, 2014)
Pada pasien krisis hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah yang mencolok
tinggi, umumnya tekanan darah sistolik lebih dari 220 mmHg dan atau tekanan darah
1
diastolik lebih dari 120-130 mmHg, dan peningkatannya terjadi dalam waktu yang
relative pendek.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan krisis hipertensi adalah sebuah
2
b. Kenaikan tekanan darah tiba – tiba pada penderita hipertensi kronis esensial
(tersering)
c. Hipertensi renovaskular
d. Glomerulonefritis akut
e. Eklampsia
f. Sindroma putus obat antihipertensi
g. Trauma kepala berat
3
mengandung hormon estrogen serta progesterone dapat menyebabkan tekanan
pembuluh darah meningkat, sehingga akan lebih meningkatkan tekanan darah pada
hipertensi, kalau tekanan darah semakin meningkat, maka besar kemungkinan terjadi
krisis hipertensi.
Faktor penyebab hipertensi intinya adalah terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Menurunnya tonus vaskuler
meransang saraf simpatis yang diterukan ke sel jugularis. Dari sel jugalaris ini bisa
meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan
mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan
adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi
pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu juga dapat
meningkatkan hormon aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut
akan berakibat pada peningkatan tekanan darah.
Otak mempunyai suatu mekanisme autoregulasi terhadap kenaikan ataupun
penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60 –
160 mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak
mampu lagi enahan kenaikan tekanan darah, maka akan terjadi oedema otak. Tekanan
diastolic yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak yang
dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible. Aliran darah ke otak pada
penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila mean arterial pressure
(MAP) antara 120 mmHg- 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru
dengan MAP diantara 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi
menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan sedikit
saja dari tekanan darah menyebabkan asidosis otak, yang akan mempercepat
timbulnya oedema otak. Tekanan darah yang sangat tinggi terutama yang meningkat
dalam waktu singkat menyebabkan gangguan atau kerusakan gawat pada target
organ. (cermin dunia kedokteran no.67,th 1991)
Apabila menuju ke otak, maka akan terjadi peningkatan TIK yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah serebral, sehingga O2 di otak menurun dan trombosis
perdarahan serebri yang mengakibatkan obstruksi aliran darah ke otak, sehingga
suplai darah menurun dan terjadi iskemik.
Dan bila di pembuluh darah koroner (jantung), akan menyebabkan miokardium
miskin O2, sehingga penurunan O2 miokardium akan menyebabkan penurunan
kontraktilitas yang berakibat penurunan COP.
4
Pada paru – paru juga akan terjadi peningkatan volume darah paru yang
menyababkan penurunan ekspansi paru, sehingga terjadi dipsnea dan penurunan
oksigenasi yang menyebabkan kelemahan.
Pada mata akan terjadi peningkatan tekanan vascular retina sehingga terjadi
diplopia yang bias menyebabkan injuri.
5
6. Pathway Krisis Hipertensi
Riwayat Hipertensi
Krisis Hipertensi
Vasokonstriksi
Gangguan sirkulasi
Ruptur pembuluh
Vasokonstriksi
darah otak Afterload Penyempitan
pembuluh darah ginjal
ventrikel kiri ↑ arteri kroner
Edema cerebral,
peningkatan TIK Suplai O ke ginjal Hipertropi Suplai O ke
7. Pemeriksaan Diagnostik Krisis
2
Hipertensi 2
menurun
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit
ventrikel kiri dasarnya,
jantungpenyakit
menurun
Iskemia – hipoksia
penyerta, dan kerusakan target organ. Pemeriksaan yang sering dilakukanAkut
antara lain:
Miokard
jaringan Risiko perfusi renal
a. cerebral
Pemeriksaan tekanan darah : Biasanya tekananGagal
darah sistolik
jantung kiri > 180 mmHg, dan
tidak efektif Infark
atau diastolic >120 mmHg
Risiko perfusi serebral
b. Pemeriksaan Laboratorium Cardiac output Penurunan
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volumecairan
tidak efektif
menurun curah jantung
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
Metabolisme anaerob ↑
hipokoagulabilitas, anemia. Back failure Pola napas tidak
2) BUN / SC : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal. efetif
Asam laktat
3) ↑Glucosa : Hiperglikemi (DM) adalah pencetus hipertensi, dapat diakibatkan
Tekanan vena
oleh pengeluaran kadar ketokolamin. pulmonalis ↑ Penurunan
Nyeri Akut
4) Urinalisa : darah, protein,dan glukosa mengindikasikan disfungsi ginjal dan
ekspansi paru
Tekanan
adanya penyakit DM.
c. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
kapiler paru ↑ Edema paru
6
d. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
e. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal, perbaikan
ginjal.
f. Foto rontgen thorax : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.
8. Penatalaksanaan Medis Krisis Hipertensi
a. Untuk Hipertensi Urgensi :
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Normalisasi tekanan darah dilakukan secara bertahap selama 24 – 48 jam.
Penurunan tekanan darah secara cepat dapat mengakibatkan penurunan perfusi
organ yang dapat membahayakan. Umumnya digunakan obat – obat oral anti
hipertensi dalam menanggulangi hipertensi urgensi. Obat – obat oral anti
hipertensi yang digunakan antara lain :
1) Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5 – 10 menit), buccal
(onset 5 – 10 menit), oral (onset 15 – 20 menit), duration 5 – 15 menit (secara
sublingual/buccal). Dosis 5 – 10 mg. Efek samping : sakit kepala, takhikardi,
hipotensi
2) Clonidine : pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit. Duration of
action 8 – 12 jam. Dosis : 0.1 – 0.2 mg, dilanjutkan 0.05 – 0.1 mg setiap jam
s/d 0.7 mg. Efek samping : sedasi, mulut kering
3) Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat dapat
diulangi setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotic
oedema
4) Prazosin : pemberian secara oral dengan dosis 1 – 2 mg dan diulan perjam
bila perlu. Efek samping : hipotensi orthostatic, palpitasi, takhikardi, dan sakit
kepala
Pasien diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk
mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila gejala
penderita yang diobati tidak berkurang, maka sebaiknya penderita dirawat inap.
b. Untuk Hipertensi Emergensi
1) Rawat pasien (jika memungkinkan di ICU) untuk pemberian obat intravena
dan tatalaksana kerusakan organ target
2) Pada kebanyakan pasien, TD diturunkan dalam hitungan menit atau jam
sebagai berikut :
a) 5 s/d 120 menit pertama TD diturunkan 25%
b) 2 – 6 jam kemudian TD diturunkan sampai 160/100 mmHg
7
c) 6 s/d 24 jam berikutnya TD diturunkan sampai < 140/90 mmHg (kalau
tidak ada iskemik organ)
3) Obat intravena dan dosis yang digunakan untuk tatalaksana hipertensi
emergensi antara lain :
a) Clonidin (catapres) IV (150 mcg/ampul)
Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infuse glukosa 5% 500cc
dan diberikan dengan mikrodrip, 12 tetes/menit, setiap 15 menit dapat
dinaikkan 4 tetes sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.
Bila tekanan mencapai target, pasien diobservasi selama 4 jam
kemudian diganti dengan tablet clonidin oral sesuai kebutuhan
Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan
– lahan oleh karena bahaya rebound phenomen, dimana tekanan darah
naik secara cepat bila obat dihentikan.
8
nyeri kepala, mual muntah, bingung dan gejala saraf fokal (nistagmus,
gangguan penglihatan, babinsky positif, reflek asimetris, dan parese
terbatas) melanjut menjadi stupor, koma, kejang-kejang dan akhirnya
meninggal. Obat yang dianjurkan : Natrium Nitroprusid, Diazoxide dan
Trimetapan.
b) Perdarahan Intrakranial
Pengobatan hipertensi pada kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena penurunan tekanan yang cepat dapat menghilangkan spasme
pembuluh darah disekitar tempat perdarahan, yang justru akan menambah
perdarahan. Penurunan tekanan darah dilakukan sebanyak 10-15 % atau
diastolik dipertahankan sekitar 110-120 mmHg. Obat pilihan : Trimetapan
atau Hidralazin.
c) Gagal Jantung Kiri Akut
Biasanya terjadi pada penderita hipertensi sedang atau berat, sebagai
akibat dari bertambahnya beban pada ventrikel kiri. Udem paru akut akan
membaik bila tensi telah terkontrol. Obat pilihan : Trimetapan dan
Natrium nitroprusid. Pemberian Diuretik IV akan mempercepat perbaikan
d) Feokromositoma
Katekolamin dalam jumlah berlebihan yang dikeluarkan oleh tumor akan
berakibat kenaikan tekanan darah. Gejala biasanya timbul mendadak :
nyeri kepala, palpitasi, keringat banyak dan tremor. Obat pilihan :
Pentolamin 5-10 mg IV.
e) Deseksi Aorta Anerisma Akut
Awalnya terjadi robekan tunika intima, sehingga timbul hematom yang
meluas. Bila terjadi ruptur maka akan terjadi kematian. Gejala yang
timbul biasanya adalah nyeri dada tidak khas yang menjalar ke punggung
perut dan anggota bawah. Auskultasi : didapatkan bising kelainan katup
aorta atau cabangnya dan perbedaan tekanan darah pada kedua lengan.
Pengobatan dengan pembedahan, dimana sebelumnya tekanan darah
diturunkan terlebih dulu dengan obat pilihan : Trimetapan atau Sodium
Nitroprusid.
f) Toksemia Gravidarum
Gejala yang muncul adalah kejang-kejang dan kebingungan. Obat
pilihan : Hidralazin kemudian dilanjutkan dengan klonidin.
Sumber : Dewi dan Familia, 2010
9
9. Komplikasi Krisis Hipertensi
Pada hipertensi urgensi terjadi pelonjakan tekanan darah secara tiba-tiba, tetapi
tidak ada kerusakan pada organ-organ tubuh dan tekanan darah dapat diturunkan
dengan aman dalam waktu beberapa jam dengan obat anti-hipertensi.
Sementara pada hipertensi emergensi terjadi kerusakan organ akibat dari tekanan
darah yang sangat tinggi, ini dianggap sebagai darurat hipertensi. Ketika hal tersebut
terjadi, tekanan darah harus dikurangi segera untuk mencegah terjadinya kerusakan
organ. Komplikasi organ berhubungan dengan hipertensi darurat dapat meliputi :
a. Ensefalopati Hipertensif
Pada hipertensi emergensi, kenaikan tekanan darah sudah melampaui batas
autoregulasi otak dengan mekanisme sebagai berikut
Edema serebri
Ensefalopati hipertensif
Batas rendah autoregulasi otak pada normotensi adalah 60-70 mmHg, pada
hipertensi adalah 120 mmHg. Batas tertinggi autoregulasi otak pada normotensi
adalah 150 mmHg. Sedangkan pada hipertensi adalah 200 mmHg. Dengan
mengetahui batas tersebut maka penurunan tekanan darah secara drastis harus
dihindari agar perfusi di otak tetap baik. Dari segi patologi anatomi dijumpai
adanya edema, bercak perdarahan maupun infark kecil dan nekrosis arterioler.
10
oleh sebab lain misalnya arterosklerosis. Mekanisme lain dapat terjadi oleh
karena nekrosis pembuluh darah otak, trombosis multipel atau spasme pembuluh
darah sebagai reaksi meningkatnya tekanan darah secara tiba – tiba. Gejala klinis
berupa sakit kepala hebat mendadak disertai penurunan kesadaran. Dengan
pemeriksaan CT scan dapat diketahui dengan pasti lokasi dan luas jaringan otak
yang terkena.
c. Gagal jantung kiri akut
Mekanisme terjadinya berupa :
1) Peningkatan tahanan vaskular perifer akibat tekanan darah yang tinggi
sehingga terjadi kenaikan afterload diventrikel kiri
2) Terjadi hipertrofi vetrikel kiri yang berakibat disfungsi ventrikel kiri
3) Terjadi retensi air dan garam pada seluruh sistem sirkulasi sehingga
menimbulkan pertambahan preload
4) Bila disertai infark miokardium maupu iskemik pembuluh darah koroner
dapat berakibat payah jantung kongestif.
Gejala klinis yang timbul merupakan akibat edema paru akut yaitu sesak nafas
yang hebat, ortopnoe, batuk, air hunger, panik, sianotik, kadang – kadang batuk
berdarah, ronki basah di kedua paru. Foto toraks menunjukkan adanya
hipervaskularisasi pembuluh darah paru sampai dengan gambaran edema paru.
Pada kasus berat ditemukan kardiomegali terutama pembesaran ventrikel kiri,
dari EKG ditemukan LVH (left ventrikel hipertrofi) dan LV strain.
d. Feokromositoma
Merupakan tumor medula adrenal atau tempat – tempat lain yang banyak
mengeluarkan katekolamin seperti pada bifurkatio aorta, paraganglion simpatik di
abdomen atau dada. Gejala klinis berupa sakit kepala hebat, palpitasi, tremor,
banyak berkeringat, gelisah yang timbul mendadak dan diperngaruhi oleh stress,
emosi maupun trauma. Diagnosis pasti ditemukan dengan pemeriksaan kadar
katekolamin atau metaboliknya diurin, serta pengukuran kadar Vanilil Mandelic
Acid (VMA) dari urin.
e. Disseksi aorta
Terjadinya robekan tunika intima, hematom di sekitar tuniaka media yang lambat
laun mengakibatkan pecahnya aorta secara mendadak. Biasanya terjadi pada
kelainan di tunika media seperti penyakit marfan, arterosklerosis, kuarktasio
aorta. Gejala klinis biasanya berupa nyeri dada yang menyerupai angina pektoris
atau infark miokard dengan penjalaran ke punggung, perut, sampai tungkai
11
bawah serta adanya tanda – tanda insufisiensi aorta. Pemeriksaan radiologis foto
thoraks dijumpai adanya pelebaran mediastinum.
f. Eklamsia
Merupakan salah satu penyulit kehamilan yang ditandai dengan edema tungkai,
hipertensi berat, kesadaran menurun, kejang, proteinuria. Lebih sering dijumpai
pada primipara muda. Patogenesis belum jelas, hipotesis kearah terjadinya
pelepasan renin dari uterus dan meningkatnya sensitifitas terhadap angiotensin.
12
c) Warna kulit, kelembapan kulit
d) Tanda – tanda perdarahan eksternal dan internal
e) Suhu akral perifer dan CRT
4) Disability
Kaji :
a) Tingkat kesadaran
b) Gerakan ekstremitas
c) GCS (Glasgow Coma Scale)
d) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
e) Refleks fisiologis dan patologis
f) Kekuatan otot
5) Eksposure
Kaji : Tanda-tanda trauma yang ada
c. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat kesehatan
Kaji apakah ada riwayat penyakit serupa sebelumnya baik dari pasien maupun
keluarga. Kaji juga riwayat penyakit yang menjadi pencetus krisis hipertensi
pada pasien
2) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh (head to toe) dengan focus
pengkajian pada :
a) Mata : lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan
yang hebat arteriol.
b) Jantung : palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi
jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
c) Paru : perhatikan adanya ronki basah yang mengindikasikan CHF.
d) Status neurologic : pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks
fisiologis dan patologis.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif yang dibuktikan oleh hipertensi
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas
c. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
d. Risko perfusi renal tidak efektif yang dibuktikan oleh hipertensi
e. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
13
14
3. Intervensi Keperawatan
15
□ Efek samping tindakan (mis, Pemantauan Tekanan Intrakranial
tindakan operasi bypass) Observasi
□ Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis, lesi menempati
Kondisi Klinis Terkait ruang, gangguan metabolisme, edema serebral, peningkatan
□ Stroke tekanan vena, obstruksi aliran cairan serebrospinal, hipertensi
□ Cedera kepala intrakranial idiopatik)
□ Aterosklerotik aortik □ Monitor peningkatan TD
□ Infark miokard akut □ Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
□ Diseksi arteri □ Monitor penurunan frekuensi jantung
□ Embolisme □ Monitor ireguleritas irama napas
□ Endocarditis infektif □ Monitor penurunan tingkat kesadaran
□ Fibrilasi atrium □ Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil
□ Hiperkolesterolemia □ Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang yang
□ Hipertensi diindikasikan
□ Dilatasi kardiomiopati □ Monitor tekanan perfusi serebral
□ Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase cairan
serebrospinal
□ Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
□ Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
□ Kalibrasi transduser
□ Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
□ Pertahankan posisi kepala dan leher netral
□ Bilas sistem pemantauan, jika perlu
□ Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
16
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
(SIKI)
2. Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Perawatan Jantung
Penyebab : …..x…. jam diharapkan curah jantung meningkat Observasi
□ Perubahan irama jantung dengan kriteria hasil : □ Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung
□ Perubahan frekuensi jantung □ Kekuatan nadi perifer meningkat (meliputi, dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea, paroxysmal
□ Perubahan kontraktilitas □ Ejection fraction (EF) meningkat nocturnal dyspnea, peningkatan CVP)
□ Perubahan preload □ Cardac index (CI) meningkat □ Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
□ Perubahan afterload □ Left ventricular stroke work index (LVSWI) (meliputi, peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi vena
meningkat jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
Tanda dan Gejala Mayor □ Stroke volume index (SVI) meningkat □ Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortastik, jika
Perubahan Frekuensi/Irama Jantung □ Palpitasi menurun perlu)
□ Palpitasi □ Bradikardia menurun □ Monitor intake dan output cairan
□ Bradikardia/takikardia □ Takikardia menurun □ Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sam
□ Gambaran EKG aritmia atau □ Gambaran EKG aritmia menurun □ Monitor saturasi oksigen
gangguan konduksi □ Lelah menurun □ Monitor keluhan nyeri dada (mis. intensitas, lokasi, radiasi,
□ Edema menurun durasi, presivitasi yang mengurangi nyeri)
Perubahan Preload □ Distensi vena jugularis menurun □ Monitor EKG 12 sandapan
□ Lelah □ Dispnea menurun □ Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
□ Edema □ Oliguria menurun □ Monitor nilai laboratorium jantung (mis. elektrolit, enzim jantung,
□ Distensi vena jugularis □ Pucat/sianosis menurun BNP, NTpro-BNP)
□ Central venous pressure □ Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun □ Monitor fungsi alat pacu jantung
(CVP) meningkat/menurun □ Ortopnea menurun □ Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah
□ Hepatomegali □ Batuk menurun aktivitas
□ Suara jantung S3 menurun □ Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat
Perubahan Afterload □ Suara jantung S4 menurun (mis. beta blocker, ACE inhibitor, calcium channel blocker,
□ Dispnea □ Murmur jantung menurun digoksin)
□ Tekanan darah meningkat □ Berat badan menurun Terapeutik
/menurun □ Hepatomegali menurun □ Posisikan pasien semi-fowler atau Fowler dengan kaki ke bawah
□ Nadi perifer teraba lemah □ Pulmonary vascular resistance (PVR) menurun atau posisi nyaman
□ Capillary Refill Time > 3 detik □ Systemic vascular resistance menurun □ Berikan diet jantung yang sesuai (mis. batasi asupan kafein,
□ Oliguria □ Tekanan darah membaik natrium, kolestrol, dan makanan inggi lemak)
□ Warna kulit pucat dan/atau □ Capillary refill time (CRT) membaik □ Gunakan stocking elastis atau pneumatic intermiiten, sesuai
sianosis □ Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) indikasi
membaik □ Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
17
Perubahan Kontraktilitas □ Central venous pressure membaik □ Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
□ Paroxysmal nocturnal dyspnea □ Berikan dukungan emosional dan spiritual
(PND) □ Berikan oksigen untuk mempertahankan staurasi > 94%
□ Ortopnea Edukasi
□ Batuk □ Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
□ Terdengar suara jantung S3 □ Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
dan/atau S4 □ Anjurkan berhenti merokok
□ Ejection fraction (EF) □ Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
menurun □ Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output secara
harian
Tanda dan Gejala Minor Kolaborasi
Perubahan Preload □ Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
□ Murmur jantung □ Rujuk ke program rehabilitasi jantung
□ Berat badan bertambah
□ Pulmonary artery wedge Perawatan Jantung Akut
pressure (PAWP) menurun Observasi
□ Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan
Perubahan Afterload pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan frekuensi)
□ Pulmonary Vascular □ Monitor EKG 12 sandapan untuk perubahan ST dan T
Resistance (PVR) □ Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
meningkat/menurun □ Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia (mis.
□ Systemic Vascular Resistance, kalium, magnesium serum)
(SVR) meningkat/menurun □ Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-MB, Troponin T, Troponin
I)
Perubahan Kontraktilitas □ Monitor saturasi oksigen
□ Cardiac index (CI) menurun □ Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis. skor
□ Left ventricular stroke work TIMI, Killip, Crusade)
index, (LVSWI) menurun Terapeutik
□ Stroke volume index (SVI) □ Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
menurun □ Pasang akses intravena
□ Puasakan hingga bebas nyeri
Perilaku/Emosi □ Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress
□ Cemas □ Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan
□ Gelisah pemulihan
□ Siapkan menjalani intervensi coroner perkutan, jika perlu
18
Berhubungan dengan: □ Berikan dukungan emosional dan spiritual
□ Gagal jantung kongestif Edukasi
□ Sindrom coroner akut □ Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
□ Stenosis mitral □ Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis. nitrogliserin, beta
□ Regurgitasi mitral blocker, calcium channel blocker)
□ Stenosis aorta □ Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
□ Regurgitasi aorta □ Ajarkan teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
□ Stenosis trikuspidalis Kolaborasi
□ Regurgitasi trikuspidalis □ Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu
□ Stenosis pulmonal □ Kolaborasi pemberian antianginal (mis. nitrogliserin, beta
□ Regurgitasi pulmonal blocker, calcium channel blocker)
□ Aritmia □ Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
□ Penyakit jantung bawaan □ Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
□ Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver Valsava
(mis. pelunak tinja, antiemetik)
□ Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika perlu
□ Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu
19
ekspansi paru Pernapasan cuping hidung menurun Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
Sindrom hipoventilasi Frekuensi nafas membaik Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
Kerusakan inervasi diafragma Kedalaman nafas membaik Berikan oksigen jika perlu
Cedera pada medulla spinalis Ekskursi dada membaik Edukasi
Efek agen farmakologis Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Kecemasan Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Tanda dan Gejala Mayor Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
Dyspnea perlu
Penggunaan otot bantu
pernafasan Pemantauan Respirasi
Fase ekspirasi memanjang Observasi
Pola nafas abnormal Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas
Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Tanda dan Gejala Minor kussmaul, cheyne-stokes, ataksisk)
Ortopnea Monitor kemampuan batuk efektif
Pernapasan pursed lips Monitor adanya produksi sputum
Pernapasan cuping hidung Monitor adanya sumbatan jalan napas
Diameter thoraks anterior Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
posterior meningkat Auskultasi bunyi napas
Ventilasi semenit menurun Monitor saturasi oksigen
Kapasitas vital menurun Monitor nilai AGD
Tekanan ekspirasi menurun Monitor hasil x-ray thoraks
Tekanan inspirasi menurun Terapeutik
Ekskursi dada berubah Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
Kondisi Klinis Terkait Edukasi
Depresi system saraf pusat Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Cedera kepala Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Trauma thoraks
Gullian bare syndrome
Multiple sclerosis
Myasthenia gravis
20
Stroke
Kuadriplegia
Intoksikasi alcohol
21
Diabetes melitus
Hipertensi
Aterosklerosis
Syok
Keganasan
Luka bakar
Pembedahan jantung
Penyakit ginjal (mis, ginjal
polikistik, stenosis arteri
ginjal, gagal ginjal,
glumerulonefritis, nefritis
intersisial, nekrosis kortial
bilateral, polinefritis)
Trauma
22
Bersikap protektif (mis. waspada, Perasaan takut mengalami cedera berulang hangat/ dingin, terapi bermain).
posisi menghindari nyeri) menurun Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
Gelisah Anoreksia menurun ruangan, pencahayaan, kebisingan)
Frekuensi nadi meningkat Ketegangan otot menurun Fasilitasi istirahat dan tidur
Sulit tidur Pupil dilatasi menurun Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan stategi
Muntah menurun meredakan nyeri
Tanda dan Gejala Minor Mual menurun Edukasi
Tekanan darah meningkat Frekuensi nadi membaik Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Pola napas berubah Pola napas membaik Jelaskan strategi meredakan nyeri
Nafsu makan berubah Tekanan darah membaik Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Proses berpikir terganggu Proses berpikir membaik Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Menarik diri Focus membaik Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Berfokus pada diri sendiri Fungsi berkemih membaik Kolaborasi
Diaforesis Perilaku membaik Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Nafsu makan membaik
Kondisi Klinis Terkait Pola tidur membaik Pemberian analgesik
Kondisi pembedahan Observasi
Cedera traumatis Kontrol Nyeri Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda, kualitas,
Infeksi Melaporkan nyeri terkontrol meningkat lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
Sindrom koroner akut Kemampuan mengenali onset nyeri Identifikasi riwayat alergi obat
Glaukoma meningkat Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. narkotika, non-
Kemampuan mengenali penyebab nyeri narkotik, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
meningkat Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
Kemampuan menggunakan teknik non- analgesik
farmakologis meningkat Monitor efektifitas analgesik
Dukungan orang terdekat meningkat Terapeutik
Keluhan nyeri menurun Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai
analgesis optimal, jika perlu
Penggunaan analgestik menurun
Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus oploid
untuk mempertahankan
Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan
respons pasien
Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang
tidak diinginkan
23
Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
24
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, Made, Ketut Suastika. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Hani, Sharon EF, Colgan R. 2010. Hypertensive Urgencies and Emergencies. Prim Care Clin
Office Pract 2010.
Khatib, Oussama M.N. 2005. Clinical Guidelines for the Management of Hypertension.WHO
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Indikator Diagnostik.
Jakarta : DPP PPNI
Price, SA. & Wilson, LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC
Vaidya CK, Ouellette CK. 2009. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
2009.
25