Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN


KRISIS HIPERTENSI

OLEH

I GEDE PATRIA PRASTIKA

NIM. P07120215059

KELAS 4B DIV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2018
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi merupakan sebuah kegawatdaruratan yang memerlukan
penurunan tekanan darah segera (Tanto, 2014)
Krisis hipertensi adalah suatu kondisi dimana diperlukan penurunan tekanan
darah dengan segera (tidak selalu diturunkan sampai batas normal) untuk mencegah
atau membatasi kerusakan organ. (kapita selekta kedokteran, Mansjoer Arif edisi 3
hal 522)
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular
yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan
peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang
merupakan konsekuensi dari peningkatan tekanan darah tersebut. Hipertensi krisis
merupakan komplikasi yang sering dari penderita hipertensi dan membutuhkan
penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa
(Devicaesaria, 2014)
Pada pasien krisis hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah yang mencolok
tinggi, umumnya tekanan darah sistolik lebih dari 220 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik lebih dari 120-130 mmHg, dan peningkatannya terjadi dalam waktu yang
relative pendek.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan krisis hipertensi adalah
sebuah kegawatdaruratan dari penderita hipertensi yang memerlukan penurunan
tekanan darah segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.

2. Klasifikasi Krisis Hipertensi


Krisis hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi 2 (Tanto, 2014), yaitu :
a. Hipertensi urgensi, yaitu naiknya tekanan darah secara mendadak (tekanan darah
sistolik > 180 mmHg, dan atau diastolic >120 mmHg) tanpa disertai kerusakan
organ target. Penurunan tekanan darah pada keadaan ini harus dilaksanakan
dalam kurun waktu 24 – 48 jam.
b. Hipertensi emergensi, yaitu naiknya tekanan darah secara mendadak (tekanan
darah sistolik sistolik > 180 mmHg, dan atau diastolic >120 mmHg) disertai
kerusakan organ target yang progresif. Pada keadaan ini memerlukan penurunan
tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit atau jam.
Beberapa kerusakan target organ yang bersifat progresif yang harus diwaspadai,
antara lain :
1) Perubahan status neurologis
2) Hipertensi ensefalopati
3) Infark serebri
4) Perdarahan intracranial
5) Iskemi atau infark miokard
6) Disfungsi paru akut
7) Diseksi aorta
8) Insufisiensi renal
9) Eklampsia
Kedua krisis hipertensi ini perlu dibedakan dengan cara anamnesa maupun
pemeriksaan fisik. Karena baik factor risiko dan penanggulangannya berbeda

3. Etiologi Krisis Hipertensi


Faktor penyebab hipertensi intinya adalah terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab krisis
hipertensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan
darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan
darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid
arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan
fungsi autoregulasi (Devicaesaria, 2014). Terdapat beberapa faktor yang dicurigai
mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi, yaitu
a. Hipertensi yang tidak terkontrol
b. Kenaikan tekanan darah tiba – tiba pada penderita hipertensi kronis esensial
(tersering)
c. Hipertensi renovaskular
d. Glomerulonefritis akut
e. Eklampsia
f. Sindroma putus obat antihipertensi
g. Trauma kepala berat
4. Manifestasi Klinis Krisis Hipertensi
Manifestasi klinis dari krisis hipertensi secara umum adalah :
a. Tekanan darah meningkat > 140/90mmHg
b. Sakit kepala
c. Epistaksis
d. Pusing atau migren
e. Rasa berat di tungkuk
f. Sukar tidur
g. Mata berkunang-kunang, lamah dan lelah.
h. Muka pucat.

Pada hipertensi emergensi, manifestasi klinis yang ditunjukkan sesuai dengan organ
target yang diserang, yaitu :
a. Neuorologi
1) Sakit kepala
2) Pengelihatan kabur
3) Kejang – kejang
4) Deficit neurologis fokal
5) Mengalami penurunan kesadaran
b. Mata
1) Perdarahan retina
2) Eksudat retina
3) Edema pupil
c. Kardiologi
1) Nyeri dada
2) Edema paru
d. Ginjal
1) Azotemia
2) Proteinuria
3) Oliguria
5. Patofisiologi Krisis Hipertensi
Penyebab krisis hipertensi yaitu adanya ketidakteraturan meminum obat
antihipertensi, stress, mengkonsumsi kontrasepsi oral, obesitas, merokok dan minum
alkohol. Karena ketidakteraturan atau ketidakpatuhan minum obat antihipertensi,
maka dapat menybabkan kondisi akan semakin buruk, sehingga memungkinkan
seseorang terserang hipertensi yang semakin berat (Krisis hipertensi).
Stres juga dapat merangsang saraf simpatik yang dapat menyebabkan
vasokontriksi. Sedangkan mengkonsumsi kontrasepsi oral yang biasanya
mengandung hormon estrogen serta progesterone dapat menyebabkan tekanan
pembuluh darah meningkat, sehingga akan lebih meningkatkan tekanan darah pada
hipertensi, kalau tekanan darah semakin meningkat, maka besar kemungkinan terjadi
krisis hipertensi.
Faktor penyebab hipertensi intinya adalah terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Menurunnya tonus vaskuler
meransang saraf simpatis yang diterukan ke sel jugularis. Dari sel jugalaris ini bisa
meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan
mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan
adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi
pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu juga dapat
meningkatkan hormon aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut
akan berakibat pada peningkatan tekanan darah.
Otak mempunyai suatu mekanisme autoregulasi terhadap kenaikan ataupun
penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60 –
160 mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak
mampu lagi enahan kenaikan tekanan darah, maka akan terjadi oedema otak.
Tekanan diastolic yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak
yang dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible. Aliran darah ke otak
pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila mean arterial
pressure (MAP) antara 120 mmHg- 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi
baru dengan MAP diantara 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi
menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan sedikit
saja dari tekanan darah menyebabkan asidosis otak, yang akan mempercepat
timbulnya oedema otak. Tekanan darah yang sangat tinggi terutama yang meningkat
dalam waktu singkat menyebabkan gangguan atau kerusakan gawat pada target
organ. (cermin dunia kedokteran no.67,th 1991)
Apabila menuju ke otak, maka akan terjadi peningkatan TIK yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah serebral, sehingga O2 di otak menurun dan
trombosis perdarahan serebri yang mengakibatkan obstruksi aliran darah ke otak,
sehingga suplai darah menurun dan terjadi iskemik.
Dan bila di pembuluh darah koroner (jantung), akan menyebabkan
miokardium miskin O2, sehingga penurunan O2 miokardium akan menyebabkan
penurunan kontraktilitas yang berakibat penurunan COP.
Pada paru – paru juga akan terjadi peningkatan volume darah paru yang
menyababkan penurunan ekspansi paru, sehingga terjadi dipsnea dan penurunan
oksigenasi yang menyebabkan kelemahan.
Pada mata akan terjadi peningkatan tekanan vaskuler retina sehingga terjadi
diplopia yang bisa menyebabkan injuri.
6. Pathway Krisis Hipertensi
Riwayat Hipertensi

Ketidakteraturan meminum obat


antihipertensi, stress, mengkonsumsi
kontrasepsi oral, obesitas, merokok dan
minum alkohol

Krisis Hipertensi

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur pembuluh darah

Vasokonstriksi

Gangguan sirkulasi

Otak Ginjal Jantung

Ruptur pembuluh
Vasokonstriksi
darah otak Afterload Penyempitan
pembuluh darah ginjal
ventrikel kiri ↑ arteri kroner
Edema cerebral,
peningkatan TIK Suplai O2 ke ginjal Hipertropi Suplai O2 ke
menurun ventrikel kiri jantung menurun
Iskemia – hipoksia
Akut Miokard
jaringan cerebral Risiko ketidakefektifan
Gagal jantung kiri
Infark
perfusi ginjal

Risiko ketidakefektifan
Cardiac output Penurunan
perfusi jaringan otak
menurun curah jantung
Metabolisme anaerob ↑
Back failure Ketidakefektifan
pola napas
Asam laktat ↑
Tekanan vena
pulmonalis ↑ Penurunan
Nyeri Akut
ekspansi paru
Tekanan
kapiler paru ↑ Edema paru
7. Pemeriksaan Diagnostik Krisis Hipertensi
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya, penyakit
penyerta, dan kerusakan target organ. Pemeriksaan yang sering dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan tekanan darah : Biasanya tekanan darah sistolik > 180 mmHg, dan
atau diastolic >120 mmHg
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volumecairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN / SC : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
3) Glucosa : Hiperglikemi (DM) adalah pencetus hipertensi, dapat diakibatkan
oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein,dan glukosa mengindikasikan disfungsi ginjal dan
adanya penyakit DM.
c. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
d. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
e. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal, perbaikan
ginjal.
f. Foto rontgen thorax : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.

8. Penatalaksanaan Medis Krisis Hipertensi


a. Untuk Hipertensi Urgensi :
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Normalisasi tekanan darah dilakukan secara bertahap selama 24 – 48 jam.
Penurunan tekanan darah secara cepat dapat mengakibatkan penurunan perfusi
organ yang dapat membahayakan. Umumnya digunakan obat – obat oral anti
hipertensi dalam menanggulangi hipertensi urgensi. Obat – obat oral anti
hipertensi yang digunakan antara lain :
1) Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5 – 10 menit), buccal
(onset 5 – 10 menit), oral (onset 15 – 20 menit), duration 5 – 15 menit (secara
sublingual/buccal). Dosis 5 – 10 mg. Efek samping : sakit kepala, takhikardi,
hipotensi
2) Clonidine : pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit. Duration of
action 8 – 12 jam. Dosis : 0.1 – 0.2 mg, dilanjutkan 0.05 – 0.1 mg setiap jam
s/d 0.7 mg. Efek samping : sedasi, mulut kering
3) Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat dapat
diulangi setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotic
oedema
4) Prazosin : pemberian secara oral dengan dosis 1 – 2 mg dan diulan perjam
bila perlu. Efek samping : hipotensi orthostatic, palpitasi, takhikardi, dan sakit
kepala
Pasien diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk
mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila gejala
penderita yang diobati tidak berkurang, maka sebaiknya penderita dirawat inap.
b. Untuk Hipertensi Emergensi
1) Rawat pasien (jika memungkinkan di ICU) untuk pemberian obat intravena
dan tatalaksana kerusakan organ target
2) Pada kebanyakan pasien, TD diturunkan dalam hitungan menit atau jam
sebagai berikut :
a) 5 s/d 120 menit pertama TD diturunkan 25%
b) 2 – 6 jam kemudian TD diturunkan sampai 160/100 mmHg
c) 6 s/d 24 jam berikutnya TD diturunkan sampai < 140/90 mmHg (kalau
tidak ada iskemik organ)
3) Obat intravena dan dosis yang digunakan untuk tatalaksana hipertensi
emergensi antara lain :
a) Clonidin (catapres) IV (150 mcg/ampul)
 Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infuse glukosa 5% 500cc
dan diberikan dengan mikrodrip, 12 tetes/menit, setiap 15 menit dapat
dinaikkan 4 tetes sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.
 Bila tekanan mencapai target, pasien diobservasi selama 4 jam
kemudian diganti dengan tablet clonidin oral sesuai kebutuhan
 Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan
– lahan oleh karena bahaya rebound phenomen, dimana tekanan darah
naik secara cepat bila obat dihentikan.
b) Diltiazem (Herbeser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)
 Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3 menit kemudian diteruskan
dengan infuse 50 mg/jam selama 20 menit.
 Bila tekanan darah telah turun >20% dari awal, dosis diberikan 30
mg/menit sampai target tercapai.
 Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10 mg/jam dengan observasi
4 jam diganti dengan tablet oral.
c) Nicardipin (perdipin) IV (2 mg dan 10 mg/ampul)
 Nicardipin diberikan 10 – 30 mcg/kgBB bolus
 Bila tekanan darah tetap stabil diteruskan dengan 0.5 – 6
mcg/kgBB/menit sampai target tekanan darah tercapai.
d) Labetalol (normodyne) IV
Labetalol diberikan 20 – 80 mg, IV bolus setiap 10 menit atau dapat
diberikan dalam cairan infuse dengan dosis 2 mg/menit
e) Nitroprusside (nitropress, nipride) IV
Nitroprusside diberikan dalam cairan infuse dengan dosis 0.25 – 10
mcg/kgBB/menit.
f) Sodium nitroprusside
 Dosis 0.25 – 10 μg/kgBB/IV
 Onset segera
 Durasi 1-2 menit
4) Manajemen Spesifik
Berdasarkan organ target yang mengalami kerusakan, penatalaksanaannya
antara lain :
a) Ensefalopati Hipertensif
Pada Ensefalofati hipertensi biasanya ada keluhan serebral. Bisa terjadi
dari hipertensi esensial atau hipertensi maligna, feokromositoma dan
eklamsia. Biasanya tekanan darah naik dengan cepat, dengan keluhan :
nyeri kepala, mual muntah, bingung dan gejala saraf fokal (nistagmus,
gangguan penglihatan, babinsky positif, reflek asimetris, dan parese
terbatas) melanjut menjadi stupor, koma, kejang-kejang dan akhirnya
meninggal. Obat yang dianjurkan : Natrium Nitroprusid, Diazoxide dan
Trimetapan.
b) Perdarahan Intrakranial
Pengobatan hipertensi pada kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena penurunan tekanan yang cepat dapat menghilangkan spasme
pembuluh darah disekitar tempat perdarahan, yang justru akan menambah
perdarahan. Penurunan tekanan darah dilakukan sebanyak 10-15 % atau
diastolik dipertahankan sekitar 110-120 mmHg. Obat pilihan : Trimetapan
atau Hidralazin.
c) Gagal Jantung Kiri Akut
Biasanya terjadi pada penderita hipertensi sedang atau berat, sebagai
akibat dari bertambahnya beban pada ventrikel kiri. Udem paru akut akan
membaik bila tensi telah terkontrol. Obat pilihan : Trimetapan dan
Natrium nitroprusid. Pemberian Diuretik IV akan mempercepat perbaikan
d) Feokromositoma
Katekolamin dalam jumlah berlebihan yang dikeluarkan oleh tumor akan
berakibat kenaikan tekanan darah. Gejala biasanya timbul mendadak :
nyeri kepala, palpitasi, keringat banyak dan tremor. Obat pilihan :
Pentolamin 5-10 mg IV.
e) Deseksi Aorta Anerisma Akut
Awalnya terjadi robekan tunika intima, sehingga timbul hematom yang
meluas. Bila terjadi ruptur maka akan terjadi kematian. Gejala yang
timbul biasanya adalah nyeri dada tidak khas yang menjalar ke punggung
perut dan anggota bawah. Auskultasi : didapatkan bising kelainan katup
aorta atau cabangnya dan perbedaan tekanan darah pada kedua lengan.
Pengobatan dengan pembedahan, dimana sebelumnya tekanan darah
diturunkan terlebih dulu dengan obat pilihan : Trimetapan atau Sodium
Nitroprusid.
f) Toksemia Gravidarum
Gejala yang muncul adalah kejang-kejang dan kebingungan. Obat pilihan
: Hidralazin kemudian dilanjutkan dengan klonidin.
Sumber : Dewi dan Familia, 2010
9. Komplikasi Krisis Hipertensi
Pada hipertensi urgensi terjadi pelonjakan tekanan darah secara tiba-tiba, tetapi
tidak ada kerusakan pada organ-organ tubuh dan tekanan darah dapat diturunkan
dengan aman dalam waktu beberapa jam dengan obat anti-hipertensi.
Sementara pada hipertensi emergensi terjadi kerusakan organ akibat dari
tekanan darah yang sangat tinggi, ini dianggap sebagai darurat hipertensi. Ketika hal
tersebut terjadi, tekanan darah harus dikurangi segera untuk mencegah terjadinya
kerusakan organ. Komplikasi organ berhubungan dengan hipertensi darurat dapat
meliputi :
a. Ensefalopati Hipertensif
Pada hipertensi emergensi, kenaikan tekanan darah sudah melampaui batas
autoregulasi otak dengan mekanisme sebagai berikut

Kenaikan tekanan arteri

Kerusakan membran endothelia breakdown Vasodilation

Peningkatan permeabelitas blood brain barrier peningkatan peredaran darah


lokal

Edema serebri

Ensefalopati hipertensif

Batas rendah autoregulasi otak pada normotensi adalah 60-70 mmHg, pada
hipertensi adalah 120 mmHg. Batas tertinggi autoregulasi otak pada normotensi
adalah 150 mmHg. Sedangkan pada hipertensi adalah 200 mmHg. Dengan
mengetahui batas tersebut maka penurunan tekanan darah secara drastis harus
dihindari agar perfusi di otak tetap baik. Dari segi patologi anatomi dijumpai
adanya edema, bercak perdarahan maupun infark kecil dan nekrosis arterioler.
b. Perdarahan intra serebral
Terjadi karena pecahnya sistem vaskularisasi intra serebral yang disebabkan
terjadinya perubahan degeneratif pembuluh darah, berlanjut menjadi aneurisma
oleh sebab lain misalnya arterosklerosis. Mekanisme lain dapat terjadi oleh
karena nekrosis pembuluh darah otak, trombosis multipel atau spasme pembuluh
darah sebagai reaksi meningkatnya tekanan darah secara tiba – tiba. Gejala klinis
berupa sakit kepala hebat mendadak disertai penurunan kesadaran. Dengan
pemeriksaan CT scan dapat diketahui dengan pasti lokasi dan luas jaringan otak
yang terkena.
c. Gagal jantung kiri akut
Mekanisme terjadinya berupa :
1) Peningkatan tahanan vaskular perifer akibat tekanan darah yang tinggi
sehingga terjadi kenaikan afterload diventrikel kiri
2) Terjadi hipertrofi vetrikel kiri yang berakibat disfungsi ventrikel kiri
3) Terjadi retensi air dan garam pada seluruh sistem sirkulasi sehingga
menimbulkan pertambahan preload
4) Bila disertai infark miokardium maupu iskemik pembuluh darah koroner
dapat berakibat payah jantung kongestif.
Gejala klinis yang timbul merupakan akibat edema paru akut yaitu sesak nafas
yang hebat, ortopnoe, batuk, air hunger, panik, sianotik, kadang – kadang batuk
berdarah, ronki basah di kedua paru. Foto toraks menunjukkan adanya
hipervaskularisasi pembuluh darah paru sampai dengan gambaran edema paru.
Pada kasus berat ditemukan kardiomegali terutama pembesaran ventrikel kiri,
dari EKG ditemukan LVH (left ventrikel hipertrofi) dan LV strain.
d. Feokromositoma
Merupakan tumor medula adrenal atau tempat – tempat lain yang banyak
mengeluarkan katekolamin seperti pada bifurkatio aorta, paraganglion simpatik di
abdomen atau dada. Gejala klinis berupa sakit kepala hebat, palpitasi, tremor,
banyak berkeringat, gelisah yang timbul mendadak dan diperngaruhi oleh stress,
emosi maupun trauma. Diagnosis pasti ditemukan dengan pemeriksaan kadar
katekolamin atau metaboliknya diurin, serta pengukuran kadar Vanilil Mandelic
Acid (VMA) dari urin.
e. Disseksi aorta
Terjadinya robekan tunika intima, hematom di sekitar tuniaka media yang lambat
laun mengakibatkan pecahnya aorta secara mendadak. Biasanya terjadi pada
kelainan di tunika media seperti penyakit marfan, arterosklerosis, kuarktasio
aorta. Gejala klinis biasanya berupa nyeri dada yang menyerupai angina pektoris
atau infark miokard dengan penjalaran ke punggung, perut, sampai tungkai
bawah serta adanya tanda – tanda insufisiensi aorta. Pemeriksaan radiologis foto
thoraks dijumpai adanya pelebaran mediastinum.
f. Eklamsia
Merupakan salah satu penyulit kehamilan yang ditandai dengan edema tungkai,
hipertensi berat, kesadaran menurun, kejang, proteinuria. Lebih sering dijumpai
pada primipara muda. Patogenesis belum jelas, hipotesis kearah terjadinya
pelepasan renin dari uterus dan meningkatnya sensitifitas terhadap angiotensin.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, agama, bangsa.
b. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji :
a) Bersihan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Tanda – tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
2) Breathing
Kaji :
a) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
b) Suara nafas melalui hidung atau mulut
c) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
d) Kelainan dinding thoraks
3) Circulation
Kaji :
a) Denyut nadi karotis
b) Tekanan darah
c) Warna kulit, kelembapan kulit
d) Tanda – tanda perdarahan eksternal dan internal
e) Suhu akral perifer dan CRT
4) Disability
Kaji :
a) Tingkat kesadaran
b) Gerakan ekstremitas
c) GCS (Glasgow Coma Scale)
d) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
e) Refleks fisiologis dan patologis
f) Kekuatan otot
5) Eksposure
Kaji : Tanda-tanda trauma yang ada
c. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat kesehatan
Kaji apakah ada riwayat penyakit serupa sebelumnya baik dari pasien maupun
keluarga. Kaji juga riwayat penyakit yang menjadi pencetus krisis hipertensi
pada pasien
2) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh (head to toe) dengan focus
pengkajian pada :
a) Mata : lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan
yang hebat arteriol.
b) Jantung : palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi
jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
c) Paru : perhatikan adanya ronki basah yang mengindikasikan CHF.
d) Status neurologic : pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks
fisiologis dan patologis.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak yang dibuktikan oleh hipertensi
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas
c. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan ekspansi paru
d. Risko ketidakefektifan perfusi ginjal yang dibuktikan oleh hipertensi
e. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)

1 Risiko ketidakefektifan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Manajemen Edema Serebral
perfusi jaringan otak .... x ... jam, diharapkan tidak terjadi 1. Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran,
yang dibuktikan oleh peningkatan tekanan intracranial dengan keluhan pusing, pingsan
penyakit neurologis kriteria hasil : 2. Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan
Perfusi Jaringan : Serebral dengan nilai normal
1. Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 3. Monitor tanda – tanda vital
dan diastolik 4. Monitor TIK dan CPP
2. Terjadi penurunan MAP 5. Monitor status pernapasan : frekwensi, irama,
3. Sakit kepala menurun atau hilang kedalaman pernapasan
4. Tidak gelisah 6. Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
5. Tidak mengalami muntah 7. Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada
6. Tidak mengalami penurunan kesadaran lutut/panggul
7. Tidak demam 8. Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau
lebih
9. Hindari cairan IV hipotonik
10. Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum
dan urin, natrium, kalium.
Monitor Tekanan Intrakranial (TIK)
1. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang TIK
2. Monitor tekanan aliran darah otak
3. Monitor status neurologis
4. Monitor suhu dan jumlah WBC
5. Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku kuduk
6. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi netral,
hindari fleksi pinggang yang berlebihan
7. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan
perfusi serebral
8. Berikan agen farmakologis untuk mempertahankan
TIK dalam jangkuan tertentu.
2 Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Cardiac Care
b.d perubahan ….. x …. jam, diharapkan masalah 1. Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi, rambatan,
kontraktilitas penurunan curah jantung dapat teratasi durasi, serta faktor yang menimbulkan dan
dengan kriteria hasil : meringankan gejala)
Cardiac Pump Effectiveness 2. Monitor EKG untuk perubahan ST, jika diperlukan
1. Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 3. Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi perifer
dan diastolik (Cek nadi perifer, edema,CRT, serta warna dan
2. Heart rate dalam batas normal temperatur ekstremitas) secara rutin
3. Tekanan vena sentral (Central venous 4. Monitor tanda-tanda vital secara teratur
pressure) dalam batas normal 5. Monitor status kardiovaskuler
4. Gejala angina berkurang 6. Monitor disritmia jantung
5. Edema perifer berkurang 7. Catat tanda dan gejala dari penurunan curah jantung
6. Tidak mengeluh dispnea saat istirahat 8. Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal
7. Tidak terjadi sianosis jantung
9. Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan perfusi.
Circulation Status 10. Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit)
1. PaO2 dalam batas normal (60-80 mmHg) 11. Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada
2. PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg) kebijaksanaan unit (Contoh medikasi antiaritmia,
3. Saturasi O2 dalam batas normal (> 95%) cardioverion, defibrilator), jika diperlukan
4. Capillary Refill Time (CRT) dalam batas 12. Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.
normal (< 3 detik)
Cardiac Care : Acute
1. Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung
2. Auskultasi bunyi jantung
3. Auskultasi paru – paru untuk crackles atau suara nafas
tambahan lainnya
4. Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika
diperlukan.
3 Ketidakefektifan pola Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Oxygen Therapy
napas b.d penurunan …. x …. jam, diharapkan pola nafas pasien 1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea dengan tepat
ekspansi paru teratur dengan Kriteria Hasil : 2. Pertahankan jalan nafas yang paten
Respiratory status : Ventilation 3. Siapkan peralatan oksigenasi dan berikan melalui
1. Respirasi dalam batas normal (dewasa: sistem humidifier
16-20 x/menit) 4. Monitor respirasi dan status O2
2. Irama pernafasan teratur 5. Pertahankan posisi pasien semi fowler
3. Kedalaman pernafasan normal 6. Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan
4. Suara perkusi dada normal (sonor) 7. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi induksi
5. Ekspansi dada simetris oksigen
6. Tidak terdapat akumulasi sputum
7. Tidak terdapat penggunaan otot bantu Monitor Pernafasan
napas 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
bernapas
2. Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu napas dan retraksi pada otot
supraclaviculas dan intercosta
3. Monitor suara napas tambahan seperti ngorok atau
mengi
4. Monitor pola napas (misalnya: bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernapasan 1:1,
apneustik, respirasi biot, pola ataxic)
5. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
6. Posisikan pasien miring ke samping sesuai indikasi
untuk mencegah aspirasi
4 Risko ketidakefektifan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Electrolyte Management
perfusi ginjal yang … x … jam, diharapkan tidak terjadi 1. Pantau kadar serum elektrolit yang abnormal seperti
dibuktikan oleh penurunan fungsi ginjal dengan criteria hasil : yang tersedia
hipertensi Kidney Function 2. Monitor perubahan status paru atau jantung yang
1. Urine output selama 8 jam normal (0.5 – 1 menunjukkan kelebihan cairan atau dehidrasi
ml/kgBB/jam) 3. Pantau adanya tanda dan gejala overhidrasi yang
2. Warna urine normal memburuk atau dehidrasi (misalnya ronki basah di
3. pH urine normal (4.8 – 7.4) lapangan paru, poliuria atau oliguria, perubahan
4. Elektrolit urine normal (Na+ = 137 - 147 perilaku, kejang saliva berbusa dan kental, mata cekung
mEq/L, Cl- = 95 - 108 mEq/L, K+ = 3,5- atau edema, napas dangkal dan cepat)
5,5 mEq/L, Ca2+ = 8,5 – 10,5 mEq/L, 4. Berikan cairan yang sesuai
Mg2+ = 1,5-2,5 mEq/L, PO43- = 1,7 – 2,6 5. Pastikan bahwa larutan intravena yang mengandung
mEq/L) elektrolit diberikan dengan aliran yang konstan dan
5. Bikarbonat darah arteri/H2CO3 normal sesuai
(22-26 mEq/L) 6. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan
6. Nitrogen urea darah/blood urea nitrogen keseimbangan cairan (misalnya hematokrit, BUN, SC,
dalam batas normal (6 - 20 mg/dl) albumin, protein total, natrium, kalium, osmolalitas
7. Kreatinin serum dalam batas normal (50 - serum dan urin spesifik tingkat gravitasi)
100 mg/hari) 7. Jaga pencatatan intake/asupan dan output yang akurat
8. Tidak ada peningkatan protein urine (< 8. Batasi cairan yang sesuai
10mg/dl) 9. Monitor intake dan output
9. Tidak ada keton urine 10. Monitor tanda-tanda vital yang sesuai
10. Tidak ada anemia 11. Monitor manifestasi dari ketidakseimbangan elektrolit
11. Tidak ada edema
5 Nyeri akut b.d agen Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Pain Management
cedera biologis … x … jam, diharapkan nyeri akut dapat 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
berkurang dengan Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
Pain Level intensitas atau beratnya nyeri dan factor pencetus
1. Beristirahat dengan nyaman/tidak gelisah 2. Kendalikan factor lingkungan yang dapat
2. Tidak tampak ekspresi wajah kesakitan mempengaruhi respon pasien terhadap
3. Frekuensi nafas dalam batas normal ketidaknyamanan (mis., suhu ruangan,pencahayaan dan
(dewasa : 16 - 24 x /menit) suara bising)
4. Tekanan darah mengalami penurunan 3. Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat
mencetus atau meningkatkan nyeri (mis., ketakutan,
kelelahan, keadaan monoton, dan kurang pengetahuan)
4. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam
(mis., farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal)
untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan
5. Ajarkan penggunaan teknik non farmaklogi (relaksasi)
6. Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan
peresepan analgesic
7. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
8. Monitor tanda – tanda vital
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, Made, Ketut Suastika. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC

Devicaesaria, A. 2014. Hipertensi Krisis. Leading Jurnal

Gunawan, Lany. 2005. Hipertensi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hani, Sharon EF, Colgan R. 2010. Hypertensive Urgencies and Emergencies. Prim Care Clin
Office Pract 2010.

Khatib, Oussama M.N. 2005. Clinical Guidelines for the Management of Hypertension.WHO

Price, SA. & Wilson, LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC

Syarif, Amir. 2003. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI

Vaidya CK, Ouellette CK. 2009. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
2009.
Badung, 02. November 2018

Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa

…………………………………….… …………………………………….…

NIP. NIM.

Nama Pembimbing / CT

…………………………………….…

NIP.

Anda mungkin juga menyukai