Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan suatu jenis virus


yang menyerang sel darah putih sehingga menyebabkan kekebalan tubuh manusia
menurun. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan
beberapa penyakit yang muncul karena menurunnya kekebalan tubuh manusia
yang disebabkan dari infeksi HIV. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan
dengan Antiretroviral atau ARV untuk menuruknkan jumlah virus HIV dalam
tubuh agar tidak masuk dalam stadium AIDS. Orang yang sudah terjangkit AIDS
membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik
atau berbagai macam penyakit infeksi yang dapat berakibat fatal dengan berbagai
macam komplikasinya (Departemen Kesehatan R.I, 2014). Infeksi HIV pada bayi
dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena
jumlah penderita yang banyak dan selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu
usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. (Setiawan, 2009).

Pada akhir tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta orang di dunia hidup
dengan HIV, sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan menyebabkan 1 juta
kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta orang
terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita
anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara
menduduki peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika,
yakni sebesar 3,5 juta orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita dan
anak perempuan (WHO, 2016).

Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua yang


diestimasikan sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di Asia
Tenggara setelah India (60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA (WHO,
2016). Tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan kejadian insiden HIV menjadi
41.250 orang yang sebelumnya sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen P2P
Kemenkes RI, 2016).

Hasil estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur >
15 tahun di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah
infeksi baru sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen
P2P Kemenkes RI, 2016). Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada laki-
laki masih lebih besar dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki
sebesar 63,3% dan pada perempuan sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS
pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar 31,5%. Proporsi
HIV/AIDS terbesar masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun) yang
dibagi dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%), 20-24 tahun (17,3%),
dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja (Kemenkes RI, 2017).

Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal
yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child
transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 5-
10%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-20%).
(IDAI,2010). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila
pasangan ibu dan anak menjalani program pencegahan/prevention of mother to
child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat anti
retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran. (IDAI,2010)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat


kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Penelitian di Amerika Serikat dan
Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 –
40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan
atau melalui ASI. (Wiknjosastro, 2006)

Faktor resiko terjadinya transmisi adalah jumlah virus, kadar CD4, adanya
infeksi lain (hepatitis, sitomegalovirus), ketuban pecah dini, kelahiran
spontan/melalui vagina, prematuritas, dan pemberian ASI atau mixed feeding
(pemberian ASI dan susu formula bersama-sama). (IDAI,2010)

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa definisi dari HIV/AIDS?
b. Bagaimana tanda dan gejala HIV pada anak?
c. Bagaimana pendekatan diagnosa HIV pada anak?
d. Bagaimana uji laboratorium pada pasien HIV?
e. Bagaimana penatalaksanaan medis pada pasien HIV?
f. Bagaimana pemantauan respon terhadap ARV?

C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari HIV/AIDS.
b. Untuk mengetahui dan memahami tanda dan gejala HIV pada anak.
c. Untuk mengetahui dan memahami pendekatan diagnosa HIV pada anak.
d. Untuk mengetahui dan memahami uji laboratorium pada pasien HIV.
e. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis pada pasien
HIV.
f. Untuk mengetahui dan memahami pemantauan respon terhadap ARV.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol. (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,


yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. (Zein, Umar,
dkk., 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
(Yatim, 2006).

B TANDA DAN GEJALA HIV PADA ANAK


Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi
penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau
kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.
Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan
3 tahun.Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada
penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik
"penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan sangat
mematikan adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC pada bayi
terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan batuk, takipnea,
dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke arah blokade kapiler
alveolar (mis ; proses radang interstisial). Roentgenogram dada
menunjukkan pneumonitis difus bilateral dengan diafragma datar.

Diagnosis biasanya diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel dan cuci


bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat untuk kista maupun tropozoit.
Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa banding pada bayi
termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes
simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi pernafasan terkait mengi.
Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin, tetapi prognosis jelek
dan tidak secara langsung dikorelasikan dengan jumlah limfosit CD4+..
Reaktivasi PPC tampak semakin bertambah pada anak yang lebih tua yang
mempunyai perjalanan klinis infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis
PPC (trimetropim-sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada
penderita pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka
absolut ).

Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah


esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan
diobati dengan amfoterisin B dan ketokonazol. Infeksi oportunistik penting
lain melibatkan ssstem saraf sentral, sepertii Toxoplasma gondii. Infeksi
Mycobacterium avium complex biasanya menimbulkan gejala saluran cerna,
dan herpes virus menimbulkan komplikasi retina, paru, hati, dan neurologist.
M. tuberculosis dan malaria yang tersebar di seluruh dunia adalah patogen
oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma relatif tidak sering pada
penderita terinfeksi HIV-1 pediatri. (Behrman,dkk,2002: 1129 ).Manifestasi
klinisnya antara lain :

1. Berat badan lahir rendah


2. Gagal tumbuh
3. Limfadenopati umum
4. Hepatosplenomegali
5. Sinusitis
6. Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7. Parotitis
8. Diare kronik atau kambuhan
9. Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10. Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11. Sariawan Orofaring
12. Trombositopenia
13. Infeksi bakteri seperti meningitis
14. Pneumonia Interstisial kronik

Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena


sarafnya yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif,
perkembangan yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.

C PENDEKATAN DIAGNOSA HIV PADA ANAK


Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar
dari pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang
tidak / kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus
dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan
serologisnya yang sering membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV
(IgG) pada darah bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari ibunya,
karena antibodi ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada
dalam darah si anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka
memerlukan pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya
infeksi bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi
sampai lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi.
Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang
lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas sampai 98%. Pada umumnya
diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.


2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio
T4:T8)
4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
5. Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.

Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM


maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste
Blot. Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa,
ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody
Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi dari darah bayi. WHO
telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut

1. Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :


a. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-
kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-
gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak
berkaitan dengan infeksi HIV.
b. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor
dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).

Gejala Mayor :

a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.

b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)


c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)

d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap


Gejala Minor :

a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali

b) Kandidiasis mulut dan faring

c) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis

d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)

e) Dermatitis yang menyelurh

f) Ensefalitis
Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas “positive
predictive value”nya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk
melakukan surveillance epidemiologi.Untuk keperluan pencatatan dalam
melaksanakan surveillance epidemiologi, CDC telah membuat klasifikasi
penderita AIDS pada anak sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun


menurut Center for Disease Control (CDC)

Klas Subklas / kategori

P-0 Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)

P1 Infeksi yang asimtomatik

Subklas A : Fungsi immun normal

Subklas B : Fungsi immun tak normal

Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa

P-2 Infeksi yang simtomatik

Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala


menetap lebih 2 bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip

Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis

Subklas D : Penyakit infeksi sekunder

Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana


tercantum dalam daftar definisi surveillance CDC
untuk AIDS

Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang

Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain

Subklas E : Kanker sekunder

Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam


daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS

Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan


karena infeksi AIDS

Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh


infeksi H HIV

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang


tidak sesuai dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut “AIDS Related
Complex (ARC)”. Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati,
peumonitis interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis
mulutyang menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi
oportunistik atau keganasan.

Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC


telah pula diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3
Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)

Kriteria Mayor :

- Pneumonitis interstitialis

- “Oral Thrush” yang menetap / berulang

- Pembesaran kelenjar parotis

Kriteria Minor :

- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)

- Pembesaran hepar dan lien

- Diare menahun / berulang

- Kegagalan pertumbuhan (“failure to thrive”)

- Ensefalopati idiopatik progresip

Kriteria Laboratorium :

- Peningkatan IgA / IgM dalam serum

- Perbandingan T4/T8 terbalik

- IVAP rendah

Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor.


Serta 2 kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.

D UJI LABORATORIUM HIV


1. Uji Virologis
a. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan
spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
b. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan
c. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA
dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma
EDTA.
d. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya.
e. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
f. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV

2. Uji Serologis
a. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99%
dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standarisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan
serologis dewasa.
Umur <18 bulan digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya
pajanan HIV
Umur >18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
b. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur
9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan
terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu
dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18
bulan.
c. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
d. Pada anak umur < 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif.
e. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
f. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak (Kemenkes RI,2014)

Kategori Tes yang Tujuan Aksi


diperlukan
Bayi sehat, ibu Uji Virologi Mendiagnosis Mulai ARV bila
terinfeksi HIV HIV terinfeksi HIV
umur 6 minggu
Bayi-pajanan Serologi ibu Untuk Memerlukan tes
HIV tidak atau bayi identifikasi atau virologi bila
diketahui memastikan terpajan HIV
pajanan HIV
Bayi sehat Serologi pada Untuk Hasil positif
terpajan HIV, imunisasi 9 mengidentifikasi harus diikuti
umur 9 bulan bulan bayi yang masih dengan uji
memiliki virologi dan
antibodi ibu atau pemantauan
seroreversi lanjut. Hasil
negatif, harus
dianggap tidak
terinfeksi, ulangi
test bila masih
mendapat ASI
Bayi atau anak Serologi Memastikan Lakukan uji
dg gejala dan infeksi virologi bila
tanda sugestif umur < 18 bulan
infeksi HIV
Bayi umur > 9 - Uji virologi Mendiagnosis Bila positif
< 18 bulan HIV terinfeksi segera
dengan uji masuk ke
serologi positif tatalaksana HIV
dan terapi ARV
Bayi yang sudah Ulangi uji Untuk Anak < 5tahun
berhenti ASI (serologi atau mengeksklusi terinfeksi HIV
virologi) setelah infeksi HIV harus segera
berhenti minum setelah pajanan mendapat
ASI 6 minggu dihentikan tatalaksana HIV
termasuk ARV

E PENATALAKSANAAN MEDIS PADA HIV


Penatalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV. Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala
cairan yang berasal dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya
segala tindakan terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk
tetap memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang
menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa
memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga
sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang menganjurkan
untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi
HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.

1. Diberikan obat-obatan antiretroviral (ARV)

Tabel 1. Macam-macam antiretroviral

Golongan obat Nama generik Singkatan


Nucleoside-reserve Azidotimidin/zidovudin AZT
Transcriptase
Didanosin DDI

Stavudin D4T

Zalbitabin DDC

Lamivudin 3TC

Protease Inhibitor (PI) Indinavir IDV


Ritonavir

Saquinavir
Non-Nucleoside-Reserve

Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai


indikator pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4
serta menghitung beban viral (viral load).

Tabel 2. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV

Keadaan klinis penyakit Pedoman terapi


Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu PI + (1 atau 2 NRTI)

setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus Didanosin

< 10.000/ml Kombinasi 2 NRTI


Simtomatik / asimtomatik PI + (1 atau 2 NRTI)

Dengan beban virus > 10.000/ml


Berlanjutnya penyakit setelah terapi Pindah ke terapi PI – NRTI

dengan 2 NRTI

Tujuan pemberian ART adalah diantaranya mengurangi morbiditas


dan mortalitas terkait HIV, memperbaiki mutu hidup, memulihkan dan
memelihara fungsi kesehatan, menekan replikasi virus semaksimal
mungkin dalam waktu yang lama.
ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi
(penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan
untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi
sangat rendah atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk
jangka waktu yang lama

2. Memberikan asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi)


ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui ASI adalah
sebanyak 15 %. Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat
diturunkan sampai 2-4% dengan menggunakan cara pencegahan seperti
pemberian antiretrovirus, persalinan secara seksio sesaria, maka sebaiknya
bayi tidak mendapat ASI. Bila bayi tidak mendapat ASI maka susu
formula yang dibutuhkan adalah: untuk 6 bulan pertama bayi
membutuhkan sekitar 92 liter atau 20 kg susu. Pada usia antara 6 –12
bulan apabila makanan bayi masih 1/2 diperoleh dari susu dan pada usia
12-24 bulan masih 1/3 diperoleh dari susu maka antara 6-24 bulan susu
formula yang dibutuhkan adalah 255 liter atau 43 kg. Jadi dari 0 sampai 24
bulan dibutuhkan sekitar 63 kg susu formula. Biaya tersebut cukup besar.
Maka apabila ibu bukan pengidap HIV/AIDS atau statusnya tidak
diketahui maka ibu tetap dianjurkan untuk memberikan ASI. Apabila ibu
diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat
diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu
didukung.
- Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan
makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar, misalnya
pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan dengan
pemberian melalui botol. Di negara berkembang sewajarnya makanan
alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan.
- Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI
secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi
diberikan makanan alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan
sampai luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula
diberikan ASI bersama susu formula karena susu formula akan
menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus dalam ASI
lebih mudah masuk.
3. Imunisasi
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui
transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons
imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu di negara-
negara berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada
bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurakan
untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya BCG,
polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio vaccine) dapat
digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang bukan merupakan
vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih dianjurkan oleh karena akibat
yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini lebih besar daripada
efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak.

F PEMANTAUAN RESPONS TERHADAP ARV


Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan
masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga
harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS). Beberapa anak gagal mencapai perbaikan dan bahkan
menunjukkan tanda deteriorasi klinis. Komplikasi yang terjadi pada minggu-
minggu pertama umumnya lebih banyak ditemukan pada anak defisiensi imun
berat. Meskipun demikian tidak selalu berarti respons yang buruk, karena untuk
mengontrol replikasi HIV dan terjadinya perbaikan sistim imun memerlukan
waktu. Juga diperlukan waktu untuk membalik proses katabolisme akibat
infeksi HIV yang sudah terjadi selama ini, terutama pada anak dengan
“wasting”. Selain itu ada anak yang menunjukkan eksaserbasi infeksi subklinis
yang selama ini sudah ada seperti contohnya TB, sehingga tampak seperti ada
deteriorasi klinis. Hal ini bukan karena kegagalan terapi tetapi karena
keberhasilan mengembalikan fungsi sistim imun (immune reconstitution). Oleh
karena itu penting untuk mengamati hasil terapi lebih lama sebelum menilai
efektivitas paduan pengobatan yang dipilih dan mempertimbangkan terjadinya
IRIS. Pada waktu penting ini yang perlu dilakukan adalah mendukung
kepatuhan berobat dan bukan mengganti obat.
BAB III
A. SIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Bayi
yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit berat
atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral
memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak dengan
infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun. Pendekatan diagnosa
HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari pada orang dewasa. Hal ini
di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang meyakinkan akibat
banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya,
juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering membingungkan.
Penatalaksaan pada bayi HIV diantaranya diberikan obat-obatan antiretroviral
(ARV), Memberikan asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi) dan Imunisasi.
Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan masa
penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga harus
diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS)
B. SARAN
Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus bayi dalam terapi ARV merupakan
masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga
harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 5. Jakarta: Depkes RI, p441-448.

Setiawan, I Made. 2009. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu


Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan. Majalah Kedokteran Indonesia,
Vol : 59, No : 10.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/690/
690. [Diakses pada 5 Juli 2019]

WHO. Progress Report on HIV. 2017.


https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 5 Juli
2019]

UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013.
Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS; 2013.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=2ahUKEwiWz8aWmq
PjAhVC6XMBHbvDB7IQFjABegQIARAC&url=https%3A%2F
%2Fwww.unaids.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fmedia_asset
%2F2017_data-
book_en.pdf&usg=AOvVaw3sVtM9UBSqUDS8_UE5MSdy [Diakses
pada 5 Juli 2019]

WHO. Progress Report on HIV. 2016.


https://www.who.int/hiv/pub/progressreports/en/ [Diakses pada 5 Juli
2019]

Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan HIV &
AIDS di Indonesia Triwulan IV Tahun 2016. Jakarta: Ditjen PP & PL
Kementrian Kesehatan RI; 2016.
http://www.depkes.go.id/article/view/13010100020/unit-kerja-eselon-2-
ditjen-pengendalian-penyakit-dan-penyehatan-lingkungan.html [Diakses
pada 5 Juli 2019]

Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta : EGC

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Program Pencegahan Transmisi HIV dari
Ibu ke Anak. 2010. http://p2p.kemkes.go.id/ [Diakses pada 5 Juli 2019]

Behrman, dkk.2009. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC

Betz, Cecily L. (2010). Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2.


Jakarta : EGC

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.
Jakarta : Depkes RI.

Komisi Penanggulangan AIDS, 2007. Gejala Orang-orang yang Terinfeksi HIV


menjadi AIDS.Diperoleh dari http://AIDSina.org/modules.php?
name=FAQ&MYFAQ=YES&idcat=1&categories=HIV-AIDS.
Rampengan & Laurentz. 2008. Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC

Robbins, dkk. 2008. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC

Syahlan, JH. 2007 . AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media

Wartono, JH. 2000. AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga


Pengembangan Informasi Indonesia

Yatim, Danny Irawan, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia; 5

Zein, Umar, dkk., 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda
Ketahui. Medan: USU press; 1-44.

Anda mungkin juga menyukai