2. Epidemologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai dengan
pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul pada > 50% pria
berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun (Davey, 2002). BPH
merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih 30% populasi kulit putih Amerika
yang berusia di atas 50 tahun dengan gejala sedang hingga berat (Mitchell et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria berusia
di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak ditemukan adalah hipertrofi
protat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun
mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa gejala obstruksi aliran keluar
kandung kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk BPH. Data menunjukkan bahwa
pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi tampaknya berada pada
status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50
persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup
mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5% pria
Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat
dari 200 juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria,
dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka dapat secara
umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH
(Heffner, 2005).
3. Etiologi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
6. Pathway
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Protastisme. Syndroma Protatisme dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Gejala Obstruktif yaitu:
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrusor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra protatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhir miksi
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
4) Pancaran lemah: Kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
b. Gejala Iritasi yaitu:
1) Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
mala hari (nokturia) dan pada siang hari
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing
Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
2) Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, L. dan Suddarth, D. (2002). Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series
McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto. (2008). Buku
Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta: EGC
Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal of
medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 3 Desember
2019
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
______. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC