Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

BPH (BENIGNA PROSTATE HIPERPLASIA)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar, memanjang
kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-
bukti menunjukkan adanya keterlibatan hormonal. Kondisi ini yang umum terjadi pada
pria diatas usia 50 tahun (Pierce & Neil, 2006).
BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi pertumbuhan
nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat; pertumbuhan tersebut di mulai
dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa dan pembesaran bagian periuretral akan menyebakan
obstruksi leher kandung kemih dan urertra pars prostatika yang mengakibatkankan
berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih (Price & Wilson, 2006)
BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan
bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada waktu
meningkatnya usia sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar
ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga menyulitkan
berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi
pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada leher
kandung kemih dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini umumnya terkait
dengan proses penuaan dan terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.

2. Epidemologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai dengan
pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul pada > 50% pria
berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun (Davey, 2002). BPH
merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih 30% populasi kulit putih Amerika
yang berusia di atas 50 tahun dengan gejala sedang hingga berat (Mitchell et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria berusia
di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak ditemukan adalah hipertrofi
protat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun
mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa gejala obstruksi aliran keluar
kandung kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk BPH. Data menunjukkan bahwa
pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi tampaknya berada pada
status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50
persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup
mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5% pria
Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat
dari 200 juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria,
dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka dapat secara
umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH
(Heffner, 2005).
3. Etiologi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)


Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-
reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam
sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT).
Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
kompleks. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel (Hardjowidjoto,
2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel yang telah
mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan didegradasi oleh enzim
lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal examination)
atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari
100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
5. Patofisologis
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone yang
merupakan mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone ini disintesis di
dalam kelenjar prostat dari hormone testosterone yang beredar dalam darah, dimana
proses tersebut terjadi melalui kerja enzim 5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT terlihat
sebagai factor trofik utama yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone
estrogen juga ikut terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis obstruksi traktus
urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat yang dimediasi oleh otot
polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos kelenjar prostat dimediasi oleh
adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell et al,
2008).
Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya nodul-nodul
dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah periuretral) (Mitchell et al, 2008).
Hiperplasia prostatika adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat. Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian
peri uretral akan menyebabkan obstruksi leher vesika urinaria dan uretra pars
prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran urine dari vesika urinaria.
Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan
hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun dan kadar esterogen serum
meningkat. Terdapat teori bahwa rasio esterogen/androgen yang lebih tinggi akan
merangsang hiperplasia jaringan prostat (Price and Wilson, 2005).

6. Pathway
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Protastisme. Syndroma Protatisme dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Gejala Obstruktif yaitu:
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrusor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra protatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhir miksi
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
4) Pancaran lemah: Kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
b. Gejala Iritasi yaitu:
1) Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
mala hari (nokturia) dan pada siang hari
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing
Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
2) Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

c. Gejala diluar saluran kemih


Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan
tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual
yang besar.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk menyingkirkan gagal
ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria dengan
hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan ini
dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau dicurigai mengidap
hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna BPH. Pada
pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran dilakukan. Pada
uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL, kemudian laju maksimal aliran
urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami hematuria
dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US atau
praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen spesifik-prostat
dalam serum dapat membantu memperkirakan perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,
abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat berkemih, aliran
urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa
seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60
ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada
pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya
 20 gram, derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram, derajat III = beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi dasar
kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan divertikulum
dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan kandung kemih.
IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang. Pemeriksaan
urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang dari 10 mL/detik,
pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung kemih yang signifikan.
(McPhee &Ganong, 2010).
10. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa
ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.
d)
11. Penatalaksanaan Medis
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung
kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat
menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan
pancaran urin:
1) Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Menurut Purnomo (2011) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita
BPH adalah :
- Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
- Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
- Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5
alfa reduktase, fitofarmaka.

- Penghambat adrenergenik alfa


Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin
atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat
golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini
akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek
samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah.
Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
- Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride
(proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun
obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya
jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat
ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
- Fitofarmaka/fitoterapi. Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa
repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan
dapat memperkecil volum prostat.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri,
tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada
prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang
dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
- Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar
dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian
lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
- Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang
mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera
rectal.
- Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan
cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat
tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah
darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
- Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan operasi yang
paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak
tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat
terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP
yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus
dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP
antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu
tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak
pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) adalah prosedur lain dalam
menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu
besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang
atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik
yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau
dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP
adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare,
2002).
- Terapi invasive minimal. Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal
dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan.
Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy
(TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau
prostatcatt.
a. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya
dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara
pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika,
yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara
lain prostat.
b. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi
(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon
yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan
prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan
gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang
jarang digunakan.
c. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi
retensi urine (Purnomo, 2011).
d. Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu
supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
12. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
13. Prognosis
Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah
prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka) (Grace and Borley, 2007). Lebih
dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5
tahun (Schwartz, 2000).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH
merujuk pada teori menurut Brunner & Suddarth (2002), meliputi :
a. Demografi/Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku, alamat, tanggal MRS, nama penanggung jawab. Kebanyakan
menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko lebih
besar dibanding dengan ras kulit putih. Status sosial ekonomi memili peranan
penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-
barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi (sulit memulai
miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan
akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat
mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat /
hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
BPH.
e. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan pembesaran
fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan
pembesaran kandung kemih
(McPhee & Ganong, 2010)
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal
insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
- Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan adanya retensi
urine
- Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
- Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi knee
chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah
untuk menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
f. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan pasien
biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit
yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu mengkaji
apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya? Dan apa penyebab
sakitnya saat ini?
2) Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3) Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi
berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas,
warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4) Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada
prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh
keluarga.
5) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan
oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat
mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien
tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/
selama dirawat?
6) Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
7) Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami
hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana
status neurologis klien, apakah ada gangguan?
8) Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita
nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan
lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan
keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien
sakit?
9) Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi
saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
10) Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien
menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan obat-obatan
untuk mengurangi stresnya?
11) Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan dalam
beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK yang sering
keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam
agama klien untuk proses pengobatan?
2. Diagnosa Keperawatan
Pre-operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, kurang terpapar informasi
d. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Post-operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
b. Risiko perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, L. dan Suddarth, D. (2002). Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Davey, P. (2002). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series

Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga

Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University Press

Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series

McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto. (2008). Buku
Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta: EGC

Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal of
medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 3 Desember
2019
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

______. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tidakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

______. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto

Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Sederhana Untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta: Gramedia.


http://books.google.co.id/books?
id=6GUZoTu03b4C&pg=PA112&dq=benign+prostatic+hyperplasia+adalah&hl=en&sa
=X&ei=lCd8VJaFFYLUuQS7nILQAg&redir_esc=y#v=onepage&q=benign
%20prostatic%20hyperplasia%20adalah&f=false (diakses pada tanggal 3 Desember
2019)

Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai