Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KELOMPOK

TURP/TUIP

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perioperatif

Dosen Mata Ajar: Rudi Haryono S.Kep.,Ns.M.Kep

Di Susun Oleh:

Prahesti Ayu Gusmiarni ( 2820173073 )

Rosita Hutami ( 2820173082 )

3B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nya yang
telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas laporan “Makalah TURP/TUIP” dapat diselesaikan tepat waktu. Selama
penyusunan makalah ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak dalam bentuk informasi, motivasi serta dorongan moral dan spiritual,
sehingga makalah tersusun dengan baik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi


penyusun bahasaya maupun segalanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki makalah saya di kemudian
hari.

Yogyakarta,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benigna Prostatic Hypertrophy(BPH) adalah pembesaran prostat
yang jinak, pembesaran prostat menyebabkan penyempitan saluran
kencing dan tekanan dibawah kandung kemih (Mary,dkk 2014). Kelainan
kelenjar prostate merupakan penyakit yang sering ditemukan khususnya di
negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Prevalensi BPH di dunia menurut data WHO, memperkirakan
terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH,
dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara
berkembang sebanyak 5,35% kasus, yang ditemukan pada pria dengan
usia lebih dari 65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap tahunnya.
(WHO, 2013). Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah menempatkan
BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah
penyakit batu pada saluran kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2
juta kasus BPH, diantaranya diderita pada pria berusia di atas 60 tahun
(Riskesdas, 2013).Data dari rekam medik Rumah SakitDr. Moewardi
Surakarta pada tahum 2013 terdapat 360 pasien, tahun 2014 terdapat 453
pasien, dan pada tahun 2015 terdapat 80 pasien yang mengalami Benigna
Prostat Hiperplasia (Rekam Medik RS. Dr. Moewardi, 2015).
Penatalaksanaan jangka panjang yang terbaik pada pasien BPH
adalah dengan pembedahan, karena pemberian obat-obatan terapi non
invasive lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melihat
keberhasilan.
Salah satu tindakan pembedahan yang paling banyak dilakukan
pada pasien BPH adalah pembedahan Transuretal Resection of The
Prostate(TUR Prostat), Tur Prostat merupakan prosedur pembedahan
dengan memasukkan resektoskopi melalui uretra untuk mengeksisi dan
mengkauterisasi atau mereksesi kelenjar prostat yang obstruksi. Prosedur
pembedahan Turprostat menimbulkan luka bedah yang akan
mengeluarkan mediator nyeridan menimbulkan nyeri pasca bedah
(Purnomo, 2010). Penatalaksanaan pengurangan nyeri dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik farmakologis dan non farmakologis. Menurut
hasilpenelitian Datak dkk (2008), menyatakan bahwaintervensi teknik non
famakologisrelaksasi Bensonefektif untuk mengurangi nyeri pascabedah.
Relaksasi Benson dikembangkan dari metode respons relaksasi dengan
melibatkan faktor keyakinan (faith factor).Pasien melakukan relaksasi
dengan mengulang kata atau kalimat yang sesuai dengan keyakinan
responden sehingga menghambat impuls noxius pada system kontrol
descending(gate control theory) dan peningkatkan kontrol terhadap nyeri.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengetahui penyakit BPH dan mengetahui
asuhan keperawatan post TURP/TUIP
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui drfinisi BPH
b. Untuk mengetahui etiologi BPH
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis BPH
d. Untuk mengetahui patofiologi BPH
e. Untuk mengetahui kontraindikasi BPH
f. Untuk mengetahui perawatan post TURP
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan post TURP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit


pembesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi sering kali
menimbulkan kontroversi dikalangan klinik karena sering rancu dengan
hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi
pembesaran sel namun tidak diikuti oleh jumlah (kualitas) dan diikuti
penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang
cenderung kearah depan menekan vesika urinaria (Baugman, 2000).
Hyperplasia noduler ditemukan pada sekita 20 % laki-laki dengan
usia 4o tahun, meningkat 70 % pada usia 60 tahun dan menjadi 90 % pada
usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat, karena
konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis, sebenarnya
kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulat yanf membantu
menyemprotkan sperma dari saluran (duktus). Pada waktu melakukan
ejakulasi, secara fisiologi prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus
menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus
urinarius internus) (Mitchell, 2009).

B. Etiologi
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia
prostat, namun factor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya
BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat
erat kaitanya dengan (purnomo, 2010)
1. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)
Peningkatan lima alfa reduktase dan reseptor androgen aka
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasia.
2. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degenerative. Pada
proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormone estrogen dan
penurunan hormone testosterone. Ha iini yang memicu terjadinya
hiperplasia stroma dan prostat.
3. Interaksi Antara sel stoma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasia stroma epitel, sehingga akan terjadi epitel.
4. Berkurangnya kematian sel
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
stoma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit
dan memicu terjadi benigna prostat hyperplasia.

C. Manifestasi klinis
BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rat-rata
lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sekunder dari dampak
obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut
ini adalah gambaran klinis dari klien BPH (Grace 2010):
1. Gejala prostatismus (nokturia, uegency, penurunan daya aliran urine).
Kondisi ini dikarena oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spomtan dan regular, sehingga volume urin
masih sebagai besar tertinggal dalam vesika.
2. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjandi
hesistansi, intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat
saat miksi, dan retensi urine. Retensi urine sangat sering dialami oleh
klien yang mengalami BPH kronis. Secara fiologis, vesika urinaria
memiliki kemampuan untuk mampu mengeluarkan urin melalui
kontraksi otot detrusor. Namun, obstruksi yang berkepanjangan akan
membuat beban kerja m. destrusor semakin berat dan pada akhirnya
mengalami dekompensasi.
3. Pembesaran prostat
Hak ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior.
Biasanya didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan
konsistensi jinak.
4. Inkontinensia
Inkontinensia yang terjadi menunjukan bahwa m. destrusor gagal
dalam melakukan kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama
akan mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga kontrol untuk
miksi hilang.

D. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis
yang sangat erat dengan dihidrotestosteron (DHT). Hormone ini
merupakan hormone yang memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar
ejakulasi yang natinya akan mengobtimalkan fungsinya. Hormone ini
disintesis dalam kelenjar prostat dari hormone testosterone dalam darah.
Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5 -reduktase tipe 2. Selain DHT
yang sebagai precursor, esrogen juga memiliki pengaruh terhadap
pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia, maka
prostat akan lebih sensitif pada stimulasi androgen, sedangkan estrofgen
mampu meberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang
sudah melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius.
Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan kluhan
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.
detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi
yang sangat kuat membuat dekompensasi dari m. destrusor untuk
berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih
(Mitchell, 2009).
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan
mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urine lamah / menetes, dysuria
(saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal toucher menggambarkan
hipertrofi prostat, distensi vesika. n Hipertrovi fibromuskular yang terjadi
pada klien BPH menimbulakan penekanan pada prostat dan jaringan
sekitar, sehingga menibulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas ini
nantinya akan menyebakan keluhan frekuensi urgensi, inkontinensia
urgensi, dan nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan akan
menimbualkan komplikasi yang lebih besar, misalnya hidronefrosis, gagal
ginjal dan lain sebagainya. oleh karena itu, kateterisasi kateterisasi untuk
tahap awal sangat efektif unruk mengurangi distensi vesika urinaria
(Mitchell, 2009).
Pembesaran pada BPH (Hiperpasia Prostat) terjadi secara bertahap
mulai dari zona periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara
nodular dan sering diiringi oleh proliferasi fibromuskular untuk lepas dari
jaringanepitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona transisional ditandai oleh
banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona perifer berasal dari turunan
duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal dari turunan duktus wolffii dan proliferasi zona perifer
berasal dari sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang
embriologis inilah bias diketahui mengapa BPH terjadi pada Zona
transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer
(Heffner, 2010).

E. Kontra Indikasi Pembedahan


1. Decompensasi kordis
2. Infark jantung baru
3. Diabetes militus
4. Malnutrisi berat
5. Dalam keadaan koma
6. Tekanan darah sistol 200-260 mmHg

F. Perawatan Post OP
1. Monitor Drainase urine, meliputi: kelancaran, warna, jumlah, cloting
2. Kebutuhan cairan: minum adekuat ( ± 3 liter/hari )
3. Program bladder training yaitu latihan kontraksi otot-otot parineal
selama 10menit, dilakukan 4 kali sehari
4. Menentukan jadwal pengosongan kandung keih : bokong pasien
diletakan diatas stekpan/pispot atau pasien diminta ke toilet selama 30
menit-2 jam untuk berkemih
5. Diskusikan pemakaian kateter intermiten
6. Monitor timbul tanda-tanda infeksi ( kalor, dolor, rubor, tumor,
fungsiolaesa )
7. Rawat kateter secara steril setiap hari. Pertahankan posisi kateter
jangan sampai tertekuk
8. Jelaskan perubahan pola eliminasi dan pola seksual
9. Fungsi normal kandung kemih akan kembali dalam waktu 2-3 minggu,
namun dapat juga sampai 8 bulan yang perlu dut oleh lathn pernel/egel
exercise.
G. Pathway

Degeneratif
Peningkatan
eoidermal
Grrowth
Dehidrotestosteron Estrogen Testosteron factor
meningkat meningkat turun
Penurunan
Transforming
Growth
Hioerplasia epitel Factor Beta
Peningkatan sel stem & stroma prostat

Proliferasi sel

BPH

Obstruksi sal kronis Secondary Effecx


kencing bawah

Iritabilitas. N Fungsi
Residual urine Urinarius seksual
tinggi
turun
Disfungsi seksual
Kehilangan
Tekanan intravesika
kontrol
meningkat
miksi
Inkontinensi
Urinarius
Reflex berkemih
Fungsional
meningkat
Sensitifitas
meningkat
urgensi
Hambatan Nyeri akut
Retensi urine

Dekompensa
si vasika
urinaria
Aliran
fistula
urine
Kerusakan integritas
klulit
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

Pengkajian dilakukan pada tanggal 30 April 2019. Jam 08.00 WIB diruang
Dahlia RSU Banyudono Boyolali. Pengkajian didapat melalui wawancara dengan
klien, keluarga, dan data status klien.
1. Identitas Identitas Klien
Nama : Tn.D
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Kawin
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Swasta
Suku : Jawa
No. RM : 070 xxx
Tanggal masuk : 27 April 2019
Tanggal pengkajian : 30 April 2019
Diagnosa Medis : Benigna Prostat Hiperplasi
Alamat : Jetis, Gagak Sipat – Ngemplak
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Sdr.T
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : STM
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan klien : Anak
Alamat : Jetis, Gagak Sipat – Ngemplak
Keluhan Utama Klien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi
pada perut bagian bawah dan nyeri saat BAK. Nyeri seperti tertusuk-tusuk,
skala nyeri 6, nyeri terasa terus-menerus.
Riwayat Penyakit Sekarang Klien mengatakan ± 1 minggu yang lalu
mengeluh nyeri pada saat BAK, baru pada tanggal 27 April 2019 klien
dibawa oleh keluarga ke RSU Banyudono di UGD oleh dokte rdiagnosa
BPH dan harus dilakukan operasi, dan pada tanggal 29 April 2019
dilakukan operasi oleh dokter. Setelah dioperasi dokter klien mengeluh
BAK nya terasa sakit. Dan terganggu.
TTV: TD: 140/90 mmHg, RR: 18 x/ menit, N: 86 x/ menit, S: 36 .Bagian
Abdomen terdapat luka pembedahan daerah suprapubis,panjang luka ± 5
cm dan terdapat ± 5 jahitan, luka bersih, tidak ada pus, tidak bengkak,
tampak warna kemerahan, tidak ada edema, terpasang drainase. Peristaltik
10x/ menit Suara tympani ,tidak terdapat nyeri tekan. Genetalia Terpasang
kateter sejak tanggal 30 April 2019, keadaan kateter bersih, genetalia
bersih.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

A. Data focus
1. Data subjektif : Klien mengatakan nyeri pada perut bagian bawah
bekas luka operasi, nyeri saat BAK, nyeri seperti tertusuk-tusuk, skala
nyeri 6, terus-menerus Klien mengatakan terdapat luka bekas operasi
pada perut bagian bawah. Setelah dioperasi klien mengeluh BAK
terasa sakit dan terganggu
2. Data objektif :
- Wajah klien tampak tegang menahan sakit
- Terpasang kateter sejak tanggal 30 April 2019
- urine tampak kemerahan serta keruh dan ada sedikit stosel
- Tampak ada luka post op prostatectomy didaerah suprapubic
dengan panjang luka ± 5cm, dan terdapat ± 5 jahitan, luka bersih,
tampak kemerahan, tidak ada pus, tidak bengkak
B. ANALISA DATA
S: klien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi bagian bawah perut,
nyeri saat BAK, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 6, terus-menerus
O: - wajah klien tampak tegang menahan sakit
- N: 86x/ menit, RR: 18x/ menit
- Klien meringis menahan nyeri

S: klien mengatakan pada luka bekas operasi terasa panas

O: - terlihat panjang luka ± 5 cm dan terdapat ± 5 jahitan, luka bersih,


tampak kemerahan , tidak ada pus, tidak bengkak
S: Klien mengatakan pipis menjadi lumayan sakit dan terganggu
O: - klien terpasang kateter
- Warna urine klien keruh
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (pembedahan)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive trauma,
pembedahan
3. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruks sekunder
dari TURP
D. Nursing Care Planning
No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi

1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri secara


berhubungan tindakan keperawatan komperhensif
dengan agen 3x24 jam masalah nyei 2. Monitor reaksi
cidera fisik ( akut dapat teratasi dengan obat dan efek
pembedahan ) kriteria hasil : samping obat
1. Mengontrol nyeri 3. Atur posisi
( mengenal faktor nyaman klien
penyebab nyeri, 4. Ajarkan teknik
onset nyeri, relaksasi nafas
tindakan dalam
pencegahan ) 5. Ciptakan
2. Menunjukan lingkungan yang
tingkat nyeri tenang
( frekuensi nyeri 6. Kolaborasi
berkurang dengan dokter
menjadi 2-3, untuk pemberian
ekspresi wajah obat analgesik
rileks )
3. Tidak ada
perubahan
respirasi dan nadi
4. Ekspresi wajah
tenang,
kegelsahan
berkurang
2. Perubahan pola Setelah dilakukan 1. Kaji output dan
eliminasi urine tindakan keperawatan karakteristik
berhubungan 3x24 jam diharapkan urine
dengan obstruksi masalah perubahan 2. Pantau eliminasi,
sekunder dari eliminasi urine tertasi meliputi
TURP bekuan dengan kriteria hasil: frekuensi,
darah, edema 1. Klien mampu konsistensi, bau,
menunjukan volume dan
eliminasi urine warna jika perlu
yang tidak 3. Jelaskan pada
terganggu: bau, klien tentang
jumlah, dan perubahan dari
warna urine pola eliminasi
dalam batas 4. Pertahankan
normal kandung kemih
2. Klien yang konstan
menunjukan selama 24jam
pengeluaran pertama
urine tanpa nyeri 5. Pertahankan
3. Klien dapat posisi kateter dan
berkemih dalam irigasi kateter
jumlah nnormal, 6. Anjurkan intake
tanpa retensi cairan 2500-3000
4. Klien dapat ml sesuai
berkemih toleransi
volunter 7. Kolaborasi
5. Klien dengan dokter
menunjukan untuk pemberian
perilaku yang obat analgesik
meningkatkan
kontrol kandung
kemih
6. Tidak terdapat
bekuan darah
sehingga urine
lancar lewat
kateter
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Kaji tanda-tanda
berhubungan tindakan keperawatan infeksi ( rubor,
dengan prosedur selama 3x24 jam masalah kalor, dolor,
invasif: alat resiko infeksi dapat tumor dan
selama teratasi dengan kriteria fungsiolaesa )
pembedahan, hasil: 2. Observasi tanda-
kateter, irigasi 1. Klien tidak tanda vital,
kandung kemih mengalami laporkan tanda-
infeksi tanda shock dan
2. Tanda-tanda vital kejang
klien dalam batas 3. Pertahankan
normal sistem kateter
3. Leukosit klien steril, berikan
dalam batas perawatan kateter
normal dengan steril
4. Klien tidak 4. Ajarkan klien dan
menunjukan keluarga cuci
adanya tanda- tangan yang tepat
tanda syok 5. Ajarkan klien dan
keluarga tentang
tanda-tanda
infeksi
6. Anjurkan intake
cairan yang
cukup ( 2500-
3000 ) sehingga
dapat
menurunkan
potensial infeksi
7. Batasi
pengunjung
sesuai kebutuhan
8. Kolaborasi
dengan dokter
untuk pemberian
antibiotik
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran
kelenjar prostat secara progresif yang dapat menyebabkan
obstruksi dan ritriks pada jalan urine (urethra). BPH disebabkan
oleh beberapa factor seperti peningkatan DHT
(dehidrotestosteron), ketidakseimbangan estrogen-testosteron,
interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya
kematian sel (apoptosis), teori stem sel.
Penyakit BPH sendiri dapat ditangani dengan proses
pembedahan, seperti pembedahan terbuka. Namun pembedahan
terbuka ini dilakukan jika prostat terlalu besar dan diikuti penyakit
seperti tumor, vesika urinaria, dll. Namun juga bisa dengan
beberapa terapi meskipun bersifat simptomatis. Contohnya dengan
pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenegik inhibitor mampu
merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih
terbuka.

B. Saran
Agar terhindar dari penyakit BPH sebaiknya pria yang sudah lanjut
usia harus bisa menjaga diri supaya bisa terhindar dan mencegah
penyakit BPH. Jika ada tanda-tanda seperti : sering buang air kecil,
tergesa-gesa untuk buang air kecil, buang air kecil pada malam hari
lebih dari satu kali, pancaran melemah, akhir buang air kecil belum
terasa kosong, menunggu lama pada permulaan buang air kecil,
harus mengedan saat buang air kecil, segeralah periksa kedokter
untuuk peninjauan lebih lanjut agar penyakit tidak semakin parah.
Kemudian kita sebagai tenaga keperawatan juga hendaknya
dapat memberikan asuhan keperawatan secara professional agar
kita juga mendapat perawatan yang baik dan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Aspirani, reny yuli. 2015 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Aplikasi NANDA, NIC dan
NOC; Jakarta:Cv trans media
Baughman, D, Hackley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku Saku
Dari Brunner & Suddart (Terjemahan). Jakarta : EGC
Kaharani Pebria. 2014. Pasien Benign Prostat Hyperplasia Pasca
Operasi Transvesica Prostatectomy; StikesMuhGo
Prabowo, Eko. 2014. Asuhan Keperawatan System Perkemihan.
Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai