Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH), karena hampir setiap laki-laki dengan usia rata 50 tahun mengalami
penyakit ini. Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu penyakit perbesaran atau
hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi
di kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna
bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah
(kualitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan
diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah
depan atau menekan vesika urinaria (Prabowo & Pranata, 2014)
Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perawat mempunyai peran yang
penting dalam pencegahan dan pengobatan BPH.Pencegahan BPH itu sendiri
diterapkan dengan membudidayakan pola hidup sehat serta melakukan
pemeriksaan secara berkala. Tidak semua pasien yang mengalami BPH harus
menjalani operasi. Sebagai perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien BPH dalam upaya kuratif yaitu pemberian obat,pemberian antikolinergik
mengurangi spasme kandung kemih. Dalam memenuhi kebutuhan seperti
gangguan eliminasi dengan cara pemantauan dalam pemasangan kateter. Dan
sangat diperlukan pula peran serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan
klien dengan post prostatektomi baik dirumah sakit maupun rumah rena ini
merupakan peran perawat sebagai Edukator. (Prabowo & Pranata, 2014,)
2

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Benigna Prostat Hiperpla ?


2. Apa Etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia ?
3. Apa Manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia ?
4. Bagaimana patofisiologi atau mengapa Benibna Prostat Hiperplasia dapat
terjadi ?
5. Apa klasifikasi dari Benigna Prosta Hiperplasia ?
6. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat Benigna Prostat Hiperplasia ?
7. Apa saja Diagnosa keperawatan dari Benigna Prostat Hiperplasia ?

C. Tujuan
Diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan dan menerapkan tentang
asuhan keperawatan pada Benigna Prostat Hiperplasia..
3

BAB II

PEMBAHASAN

Konsep medis Benigna Prostat Hiperplasia

A. Definisi
Benigna prostate hyperplasia(BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostate. (Nurarif
& Kusuma, 2015)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau
hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi
di kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna
bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah
(kualitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan
diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah
depan atau menekan vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014)
Jadi kesimpulannya penyakit BPH adalah penyakit yang disebabkan
karena ketidak seimbangan antara hormon estrogen dan testosteron yang diikuti
dengan pembesaran sel, sehingga terjadi pembesaran pada prostat.

B. Etiologi
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat,
namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa
hipotensi menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan :
4

1. Peningkatan DTH (dehidrotestosteron)


Peningkatan liam alfa reduktase dan reseptor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mangalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon
testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostate.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia
stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadi benigna prostat hyperplasia. (Prabowo & Pranata, 2014)

C. Manifestasi klinis
1. Retensi urin.
2. Kurang atau lemahnya pancaran urin dikarenakan pembesaran pada kelenjar
prostat sehingga saluran uretra terhimpit,dan membuat pancaran urin menjadi
lemah.
3. Miksi yang tidak puas, karena adanya pembesaran pada kelenjar prostat ini
membuat uretra menyempit dan maka dari itu dapat menghambat urine yang
akan dimiksikan sehinnga akan menimbulkan rasa miksi yang tidak puas,karena
ada sebagaian urin yang belum keluar dengan tuntas.
4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari, karena hambatan dari
korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
5

5. Terasa panas, nyeri atau sekitar saat miksi (disuria), karena adanya ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.(Wijaya A. S., 2013)

D. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang
sangat erat dengan dihidrotestoteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang
memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan
mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis dalam kelenjar prostat dari
hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5□-
reduktase tipe 2.
Selain DHT yang sebagai prekursor, estrogen juga memiliki pengaruh
terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia,maka
prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu
memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi dari
normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal,
obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan
mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu mengeluarkan urin
secara spontan. Namun obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari
m.detrusor untuk berkontraksi yang ahirnya menimbulkan obstruksi saluran
kemih. (Prabowo & Pranata, 2014).
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan
mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urin lemah,disuria (saat kencing terasa
terbakar), palpasi rektal toucher menggambarkan hipertrofo prostat,distensi vesika
n hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan iritasi
pada mukosa uretra. Iritabilitas ini lah nantinya akan menyebabkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nukturia. Obstruksi yang
berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar , misalnya
hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu kateterisasi untuk
6

tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria. (Prabowo &
Pranata, 2014)
Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral
dan transisional.Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat zona transsisional yang
posisinya proksimal dari spinter externus dikedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral.kedua zona tersebut hanya merupakan hanya dua persen dari
volume prostat.sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat.Hiperplasia ini terjadi
secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi fibro muskular untuk lepas dari
jaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona transisional ditandai oleh
banyaknya jaringan kelenjr yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari pada duktus.
Sebenarnya ploriferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari
turunan duktus Wolffi dan proliferasi zona periferberasal dari sinus urogenital.
Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa
BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada
zona perifer (Prabowo & Pranata, 2014)

E. Klasifikasi
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori : obstruktif
(terjadi ketika faktor dinamik dan faktor statik mengurangi pengosongan kandung
kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher
kandung kemih). Kategori keparahan BPH Menurut R. Sjamsuhidayat dan Wim de
Jong
1. Derajat I : biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif. Dengan menggunakan obat golongan reseptor alfa-
adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran
kemih akan lebih terbuka, seperti alfuzosin dan tamsulosin dan biasanya
dikombinasikan dengan finasteride.
2. Derajat II : merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasannya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur) .
7

3. Derajat III : reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila di perkirakan prostate


sudah cukup besar, reseksi tidak cukup satu jam sebaiknya dengan pembedahan
terbuka,melalui trans vesikal retropublik atau perianal.
4. Derajat IV : tindakan harus segera dilakukan membebaskan klient
dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.(Nurarif &
Kusuma, 2015)

F. Komplikasi
Komplikasi Benigna Prostat Hiperlasia kadang-kadang dapat mengarah pada
komplikasi akibat ketidak mampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin.
Beberapa komplikasi yang mungkin muncul antara lain :
1. Retensi kronik dapat menyebabkan reluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. Karena
produksi urin terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak lagi mampu
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan
sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence ). Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter dan dilatasi.
Ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak.
3. Hernia atau hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang meningkatkan pada tekanan intraabdomen yang
akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
4. Kerena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya
batu..(Wijaya A. S., 2013, hal. 102)
8

PENGKAJIAN

Konsep Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia

KASUS

Seorang laki-laki berusia 60 tahun dengan keluhan Nyeri pada supra pubic (daerah
operasi). Saat dilakukan pengkajian klien mengeluh nyeri pada daerah suprapubik
dirasakan sejak klien tidak bisa kencing 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Klien mengatakan nyerinya berlangsung terus-menerus, klien mengatakan
keluhan ini dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pernah menahan
kencing pada saat di kendaraan dan sejak itu klien mengalami masalah berkemih,
klien kencing dengan tidak puas dan diakhir kencingnya menetes-menetes. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan Kesadaran Composmentis, TD: 150/90 mmHg, P: 20
kali/menit, N: 72 kali/menit, suhu: 37 oc. Edema palpebra (-), moon face (-), edema
anasarka (-) terpsang kateter, nyeri tekan pada daerah suprapubis, klien mengeluh
nyeri pada daerah suprapubis.Nocturia (-),kencing batu (-).

Hasil pemeriksaan Penunjang:


Hematologi
Darah Rutin :
leukosit : 6,92 106/ mm3
neutrofil : 46,4 106/ mm3
Limfosit :41,2 106/ mm3
monosit : 9,7 106/ mm3
Eosinofil : 2,6 106/ mm3
Basofil : 0,1 106/ mm3
Eritrosit : 5,66 106/ mm3
Hemoglobin : 10,5 g /dl
Hematokrit : 36 %
9

MCV : 61,3
MCH :18,6
MCHC : 30,3
RDWCV :17,9
Trombosit : 310
Albumin : 3, 5 g/dl
Ureum : 18 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
SGOT : 23 U/L
SGPT : 22 U/L
Terapi/Pengobatan :

Ceptriaxon : 1 x 2
Kaltrofar :2x1
Kalneks :3x1
Vit K :3x1

1. Pengkajian
1. Identitas :
a. Nama : Tn.a
b. Umur : 60 th
c. Jenis kelamin : laki laki
2. Alasan masuk rumah sakit: Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic (
daerah operasi)
3. Keluhan utama: Nyeri saat miksi
4. Riwayat keluhan :
Dirasakan sejak klien tidak bisa kencing 3 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Klien mengatakan nyerinya berlangsung terus-menerus, klien
10

mengatakan keluhan ini dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit
pernah menahan kencing pada saat di kendaraan dan sejak itu klien mengalami
masalah berkemih, klien kencing dengan tidak puas dan diakhir kencingnya
menetes-menetes
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : -
b. Kesadaran : komposmentis
c. Tanda-tanda vital:
Td : 150/90 mmhg N : 72x/m
P : 20x/m S : 370C
d. Pemeriksaan body system
e. Sistem pernafasan

1. Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan


2. Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
3. Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas.
(Prabowo & Pranata, 2014)

f. Sistem kardiovaskular

1. Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak maupun


pemeriksaan pada inspeksi.
2. Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
3. Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang
didapatkan pada thorax adalah redup. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
11

g. Sistem perkemihan
2. Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih)
3. Palpasi : nyeri tekan padadaerah suprapubis
4. Perkusi :dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin terdapat suara
redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin). (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)
5. Sistem pencernaan
6. Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
7. Abdomen : datar (simetris)
8. Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
9. Auskultasi : biasanya bising usus normal.
10. Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan
halus.
11. Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
12. Sistem integumen
13. Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya
tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 137)
14. Sistem endokrin

Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen pada


usia lanjut. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)

1. Sistem reproduksi

Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan,
kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC (rectal
toucher) adalah pemeriksaan sederhana yangpaling mudah untuk menegakan BPH.
12

Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unut vesiko uretra
dan besarnya prostate. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)

1. Sistem muskuloskletal

Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Wijaya, 2013, p. 106)

1. Sistem pengindraan

Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami gangguan
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 137).

1. Sistem imun

Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. (Prabowo & Pranata, 2014, p.
137)

5. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan lainya yang bisa membantu penegakan diagnosis BPH adalah USG
ginjal( melihat komplikasi) dan vesika urinaria(tampak pembesaran jaringan prostat).
Pemeriksaan uroflowmetri sangat penting dengan melihat pancaran urin.berikut
penilaian dari pemeriksaan uroflowmwtri :

 Flow rate maksimal > 15ml/detik = non ostruktif


 Flow rate maksimal 10-15ml/detik = border line
 Flow rate maksimal < 15ml/detik = obstruktif. (Prabowo & Pranata, 2014, hal.
138)
13

1. Pemeriksaan penunjang antara lainnya :


2. BNO/ IVP : untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.
3. USG dengan Transuretral Ultrasonografi prostat (TRUS P) unruk menentukan
volume prostat.
4. Trans-abdomal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke
buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila
ada batu dalam vesika.
5. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.

(Wijaya A. S., 2013, hal. 101)

2. Pemeriksaan laboratorium
3. Hasil Pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan adanya kelainan, kecuali
disertai dengan urosepsis yaitu adnya peningkatan leukosit.
4. Pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada kultur
jika ada infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi reptur pada jaringan prostat.
5. Pada kondisi post operasi pemeriksaan PA dilakukan untuk keganasan/jinak
dari jaringan prostat yang hiperplasia.

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 138)

6. Penatalaksanaan

Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos atau dengan menurunkan kadar
hormonal yang mempengaruhi pembesaran prostat. Sehingga obstruksi akan
berkurang. Jika keluhan masih bersifat ringan maka observasi diperlukan dengan
pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi perkembangan klient. Jika telah terjadi
14

obstruksi/atau retensi urin, inveksi, vesikolithiasis,insufisiensi ginjal, maka harus


dilakukan pembedahan.

1. Terapi simptomatis

Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan


otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.obat golongan 5-alfa-
reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat,
sehingga dengan turunya kadar testosteron dalam plasma maka prostat akan
mengecil.

1. TUR-P (Transuretral Resection Prostatectomy)

Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non insisi yaitu pemotongan secara
elektis prostat melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang membesar dan
menghalangi jalanya urin akan dibuang melalui elektrokauter dan dikeluarkan melalui
irigasi dilator. Tindakan ini memiliki banyak keuntungan, yaitu meminimalisir
tindakan pembedahan terbuka, sehinnga masa penyembuhan semakin cepat dan
tingkat resiko infeksi bisa ditekan.

1. Pembedahan terbuka (Prostatectomy)

Tindakan ini bisa dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti dengan penyakit penyerta
lainnya, misal tumor vesika urinaria, vesikolithiasis, dan adanya adenoma yang besar.

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)

7. Pemeriksaan klinis

Untuk mengetahuin apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau malnigna
dan untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya:
15

1. Urinalisis dan kultur urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (red blood cell)
dalam urin yang memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.

1. DPL (Deep Peritoneal Lavage)

Digunakan untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam sbdomen. Sampel
yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

1. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin

Untuk menentukan status fungsi ginjal . hal ini digunakan sebagai data pendukung
untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung
kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat
fungsi ginjal dan pada ahirnya menjadi gagal ginjal.

1. PA (Patologi Anatomi )

Dilakukan dengan sempel jaringan pasca operasi. Sempel jaringan akan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau
malnigna, sehingga akam menjadi landasan untuk treatmen selanjutnya.

1. Catatan harian berkemih


16

Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin. Sehingga akan terlihat bagaimana
siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini digunakan sebagai bekal untuk
membandingkan dengan pola eliminasi urin yang normal.

1. Uroflowmetri

Demgan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada
obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini disebabkan
obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu volume residu urin
juga harus diukur. Normalresidual urin < 100ml. Namun residual tinggi membuktikan
bahwa vesika urinaria tidak mampu mengeluarkan urine secara baik karena adanya
obstruksi.

1. USG Ginjal dan Vesika Urinaria

USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya
hidronephrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambar
pembesaran kelenjar prostat. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 135)

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang biasanya sering muncul pada klient dengan Benigna
Prostat Hiperplasia (BPH).

1. Retensi urin

Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet

. (PPNI, 2017, hal. 115)


17

Batasan Karakteriksi :

Objek

1. Tidak ada haluaran urin.


2. Distensi kandung kemih.
3. Urin menetes.
4. Inkontinensia overlow
5. Residu urine
6. Haluaran urin sering dan sedikit atau tidak ada

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Subjek:

1. Sering berkemih.
2. Sensasi kandung kemih penuh

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Faktor yang berhubungan:

1. Sumbatan
2. Tekanan ureter tinggi
3. Inhibisi arkus reflek
4. Spingter yang kuat

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

2. Nyeri akut
18

Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan


jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan beritensitas
ringan hingga berat yang berlangsung hingga 3 bulan.

(PPNI, 2017, hal. 172)

Batasan karakteristik

Subjektif

1. Mengeluh nyeri

(PPNI, 2017, hal. 172)

Objektif

1. Tampak meringis
2. gelisah
3. Sulit tidur
4. Frejuensi nadi meningkat

(PPNI, 2017, hal. 172)

3. Inkontinensia urin fungsional

Definisi; pengeluaran urin tidak terkendali karena kesulitan dan tidak mampu
mencapai toilet pada waktu yang tepat

. (PPNI, 2017, hal. 104)

Batasan karakteristik:

Subjek
19

1. Mengompol sebelum mencapai toilet atau usaha mencapai toilet

(PPNI, 2017, hal. 104)

Mampu mengkosongkan kandung kemih secara tuntas lama waktu yang di perlukan
untuk mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara merasakan dorongan ingin
berkemih dan berkemih tanpa kendali, mengeluarkan urin sebelum mencapai toilet,
kemungkinan hanya inkontinensia di pagi hari,dan merasakan dorongan ingin
berkemih.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 460)

Faktor yang berhubungan

1. Perubahan faktor lingkungan


2. Gangguan koknisi
3. Gangguan penglihatan
4. Keterbatasan neuromuskular
5. Faktor psikologis

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 460)

4. Kerusakan integritas kulit

Definisi: kerusakan kulit (dermis/epidermis) atau jaringan (membran


mukosa,kornea,fasia,otot,tedon, tulang, kartilago, kapsul sendi, ligamen)

(PPNI, 2017, hal. 282)

Batasan karakteristik

Objektif
20

1. Kerusakan jaringan dan lapisan kulit


2. Kerusakan pada permukaan kulit (epidermis)
3. Infasi struktur tubuh

(PPNI, 2017, hal. 282)

Faktor yang berhubungan

1. Kelembapan
2. Obat
3. Kelembapan kulit
4. Mobilitas fisik
5. Perubahan pigmentasi
6. Perubahan turgor

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 397)

5. Disfungsi sexsualitas

Definisi; disfungsi sexsual selama fase respon sexsual berupa


hasrat,terangsang,orgasme, atau reaksi yang di rasakan tidak memuaskan, tidak
bermakna atau tidak adekuat.

(PPNI, 2017, hal. 156)

Batasan karakteristik

Subjektif

1. Mengunkapkan aktifitas seksual berubah


2. Mengungkapkan eksitasi seksual berubah
3. Merasa hubungan seksual tidak memuaskan
21

4. Mengungkapkan peran seksual berubah


5. Mengeluh hasrat seksual menurun
6. Mengungkapkan fungsi seksual berubah
7. Mengeluh nyeri saat berhubungan seksual

(PPNI, 2017, hal. 156)

Objektive

1. Pembatasan aktual akibat penyakit atau terapi.


2. Perubahan dalam pencapaian persepsi peran sexs.
3. Mencari penegasan tentang kemampuan respon gairah sexsual

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 391)

Faktor yang berhubungan

1. Perubahan struktur atau fungsi tubuh.


2. Perubahan biopsiko sexsualitas.
3. Konflik nilai

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 391)

3. Itervensi Keperawatan

Berikut ini adalah interfensi yang dirumuskan untuk mengatasimasalah keperawatan


pada klient dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).

1. Retensi urin berhubungan dengan tekanan intra vesika meningkat

Kriteria hasil:
22

1. Residu pasca berkemih > 100-200 ml.


2. Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan prosedur bersih.
3. Mendiskripsikan prosedur perawatan di rumah.
4. Melaporkan spasme kandung kemih.
5. Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam.
6. Mengosongkan kandung kemih secara tuntas.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

1. Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih.


2. Perawatan retensi urin.
3. Pantau drajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang harus di
laporkan.
2. Perawatan retensi urin: intruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat
haluaran urine bila di perlukan.(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)

Aktivitas lain

1. Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih


2. Bagi cairan dalm sehari untuk menjamin asupan yang adekuat tanpa
menyebabkan kandung kemih overdistensi (Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)
23

Aktivitas kolaborativ

1. Rujuk ke perawat terapi enterestoma untuk instruksi kateterisasi intermiten


mandiri menggunakan prosedur setiap 4-6jam saat terjaga
2. Perawatan retensi urin: rujuk pada sepesialis kontinensia urin jika di
perlukan.(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)
3. Nyeri akut berhubungan karena adanya sensitifitas yang meningkat.

Kriteria hasil

1. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk


mencapai kenyamanan.
2. Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang denganskala 0-10
3. Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan non-analgesik
secara tepatmelaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 296)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

1. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai
10 (0=tidak ada nyeri atau tidak kenyamanan, 10= nyeri berat)
2. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau pereda nyeri oleh analgesik dan
kemungkinan efek sampingnya.
3. Manajemen nyeri : lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik,
awitan dan durasi,frekuensi,kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan
faktor presipitasinya.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)


24

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Intruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan


nyeri tidak dapat dicapai.
2. Informasikan pada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri
dan tawarkan strategi koping yang didasarkan.
3. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau oipid (resiko
ketergantungan atau overdosis).
4. Managemen nyeri : berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidak nyamanan akibat
prosedur.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

Aktivitas lain

1. Bantu pasien untuk berfokus pada hal lain , bukan pada nyeri dan rasa tidak
nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi,radio,dan interaksi
dengan pengunjung.
2. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu
seperti distraksi relaksasi atau kompres hangat atau dingin
3. Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon pasien
terhadap analgesik.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

Aktivitas kolabiratif
25

1. Kelola nyeri paska bedah awal dengan pemberian obat yang terjadwal atau
PCA.
2. Management nyeri: gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri
menjadi lebih berat dan laporkan pada dokter jika tindakan tidak berhasil atau
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri
pasien di masa lalu

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

3. Inkontensia urin fungsional berhubungan dengan kehilangan kontrol miksi.

Kriteria hasi

1. Mengidentifikasi keinginan berkemih


2. Melakukan eliminasi secara mandiri
3. Mempertahankan pola eliminasi yang dapat didug

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 468)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

1. Pantau eliminasi urin ,termasuk frekuensi, bau, volume dan warna.


2. Kumpulkan spesimen urine prosi tengah untuk urinalis.
3. Identifikasi faktor yang menyebabkan episode inkontinensia .(Wilkinson J.
M., 2016, hal. 468)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga


26

1. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan kulit dan higine
untuk mencegah kerusakan kulit.
2. Lakukan strategi management kandung kemih selama melakukan aktivitas di
tempat yang jauh dari rumah.
3. Ajarkan pasien dan pemberi asuhan tentang tanda dan gejala infeksi saluran
kemih.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Aktivitas lain

1. Beri pakaian pelindung atau pengalas jika perlu.


2. Modifikasi pakaian yang mudah dan cepat di lepas.
3. Bantu pasien untuk eliminasi dan berkemih tepat waktu pada interval yang di
programkan.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Aktivitas kolaboratif

1. Konsultasikan dengan dokter dan ahli terapi okupasi untuk bantuan


ketangkasan manual.
2. Rujuk ke penyedia perawatan primer (minta pasien untuk menghubungi
penyedia ) jika tanda dan gejala infeksi kandung kemih terjadi.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan residual urine tinggi.

Kriteria hasil

1. Haluaran urin normal (0,5/kg/jam


27

2. Asupan dan haluaran cairan seimbang

Kulit hangat dan kering

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 397)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

1. Kaji kelembapan pada area genetalia.


2. Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda tanda dehisensi atau
efiserasi pada area insisi pada pos oprasi bph.
3. Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan,termasuk tanda dan gejala infeksi,


cara mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi, dan mengurangi
penekanan pada insisi tersebut.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Aktifitas lain

1. Evaluasi tindakan pengobatan atau pembalutan topikal yang dapat meliputi


balutan hydropoloid , balutan hydrofilik, balutan absorben dsb.
2. Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin.
3. Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip steril.
28

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Aktivitas kolaborati

1. Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral,kalori


dan vitamin.
2. Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan dan
nutrisi enteral atau parenteral untuk meningkatkan potensi penyembuhan luka.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

5. Disfungsi seksual berhubungan dengan fungsi seksual yang menurun.

Kriteria hasil

1. Menunjukan keinginan untuk mendiskusikan perubahan fungsi seksual


2. Mengungkapkan secara verbal cara untuk menghindari penyakit menular
seksual.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)

Aktifitas keperawatan

Pengkajian

1. Pantau asdanya indikator resolusi disfungsi seksual (misalnya meningkatnya


kapasitas ke intiman.
2. Konseling seksual.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga


29

1. Beri informasi yang di perlukan untuk meningkatkan fungsi seksual


2. Informasikan secara dini kepada pasien bahwa seksualitas merupakan bagian
penting dari kehidupan dan bahwa penyakit,obat dan stress sering kali
mengubah fungsi seksual.
3. Ajarkan kepada pasien hanya teknik yang sesuai dengan nilai dan keyakinan
(pasien).(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)

Aktifitas lainya

1. Beri waktu dan prifasi uintuk membahas permasalahan seksual pasien


2. Ingatkan pasien dan pasangan tentang kemungkinan ketidak tertarikan
terhadap penurunan kapasitas atau ketidak nyamanan dalam melakukan
aktivitas seksual.(Wilkinson J. M., 2016, hal. 393)

Aktivitas kolaboratif.

1. Dukung kelanjutan konseling setelah pemulangan.


2. Konseling seksual: lakukan perujukan atau konsultasikan dengan anggota tim
layanan kesehatan lain, jika perlu rujuk pasien kepada ahli terapi sexs jika di
perlukanl.(Wilkinson J. M., 2016, hal. 393)
30

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Benigna prostate hyperplasia(BPH) adalah suatu kondisi yang sering


terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon
prostate. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2. Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran
atau hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali
menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas
terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kualitas).
Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan
diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering
menyebabkan gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran
prostat yang cenderung kearah depan atau menekan vesika urinaria.
(Prabowo & Pranata, 2014)

3. SARAN

Mahasiswa harus lebih banyak belajar lagi dan memperbanyak


referensi.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
32

2. PPNI. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA.


JAKARTA SELATAN: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
3. Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
4. Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.
5. Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan :DIAGNOSIS NANDA-
1,INTERVENSI NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL
PUBLISHER.

Anda mungkin juga menyukai