Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran
kemih pada pria. Insidennya menunjukan peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka
yang berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang
mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik, keadaan ini
menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus urinarius memerlukan
tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari timbulnya gejala dan tanda ini
adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat.
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya
sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan
kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan
terjadinya BPH berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-
faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya menangani penatalaksanaan BPH
secara tepat dan terarah.
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kemih. Prostat normal beratnya kurang lebih 20 gr, didalamnya berjalan uretra
posterior kurang lebih 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum
dan sebelah inferior oleh diafragmaurogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra prostatika
tepat proksimal dari spingter uretra eksterna. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk
mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
2. Tujuan
A. Tujuan umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan pada klien BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia)
B. Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi definisi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
2. Mengidentifikasi etiologi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
3. Mengidentifikasi patofisiologi BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
4. Mengidentifikasi manifestasi klinis dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
5. Mengidentifikasi komplikasi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
6. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
7. Mengidentifikasi penatalaksanaan dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
8. Mengidentifikasi proses keperawatan dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)

B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 2002)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria
lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60
tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra,
menyebabkan gejala urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-buli.
( Nursalam, 2006 )
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar
50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100%
(Purnomo, 2011). Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011)
meliputi :

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada


pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam
inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan
bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya
saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone
relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad
jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi
sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat,
sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3. Faktor Predisposisi
1) Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan berkemih terlalu
lama, mengonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol
dan kopi) dan minuman air yang berlebihan.
2) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat.
3) Setelah mengonsumsi obat-obatan yang menurunkan kontraksi otot destruksor atau yang
dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau alfa
adrenergik.
4. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan
Dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat
sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini di sintesis
dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Selain DHT yang sebagai prekursor,
estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan
penambahan usia, maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan
estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi
normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus
urinarius jarang menimbulkan keluhan karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang
kuat dari detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah
kronis membuat dekompensasi dari detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan
obstruksi saluran kemih.

Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi
yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal
toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika. Hipertrofi fibromuskuler yang terjadi
pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar, sehingga
menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah nantinya akan menyebabkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia. Oleh karena itu, katerisasi untuk tahap
awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.

Pembesaran pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) terjadi secara bertahap mulai dari
zona periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan sering di iringi oleh
proliferasi fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari
sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa
BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca Prostat terjadi pada zona perifer.
5. Tanda dan Gejala
1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
Kondisi ini dikarenakan kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine
secara spontan dan reguler, sehingga volume urine masih sebagian besar tertinggal dalam
vesika.
2. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi hesistensi, urine menetes,
dorongan mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urine. Retensi urine sering dialami
oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi otot destrusor. Namun, obstruksi
yang berkepanjangan akan membuat beban kerja detrusor semakin berat dan pada
akhirnya mengalami dekompensasi.
3. Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsitensi jinak.
4. Inkontinensia
Inkontinensia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam melakukan
kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama, akan mengiritabilitas serabut syaraf
urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
5. Pada awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat, tidak ada gejala, sebab tekanan
otot dapat mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi urine.
6. Gejala obstruksi, hesitensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya
perasaan berkemih tidak tuntas, dan retensi urine.
7. Terdapat gejala iritasi, berkemih mendadak, sering dan nokturia.

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalis dan kultur urine
Untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang
memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.
2. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen.
3. Ureum, elektrolit dan Serum Kreatinin
Untuk menentukan status funsi ginjal.
4. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
5. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga akan terlihat bagaimana siklus
rutinitas miksi dari pasien.
6. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat ukur, maka akan terukur pancaran urine.
7. USG ginjal dan Vesika urinaria
Untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan
USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
7. Pathway
BPH

Obstruksi saluran Kronis Secondary effect


kencing bawah

Residual urine Iritabilitas Fungsi seksual


tinggi urinarius turun

Tekanan intravesika Kehilangan


meningkat kontrol miksi Disfungsi
seksual
BPH
Refleks berkemih
Inkontinensia
meningkat
v urinarius
fungsinoal

Urgensi Sensifitas
meningkat

Hambatan

Dekompesasi vesika
Retensi urine urinaria Nyeri akut

Aliran fistula urine

Kerusakan
integritas kulit
8. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut
Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat
dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran
ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi
BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan
preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya
perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang
dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke
dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan
makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada
abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi
gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah
awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama.
Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari
pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda
infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada
postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang
efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
h. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada
preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin,
asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar
hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berdasarkan patofisiologi dan pohon masalah, diagnosa keperawatan yang mungkin


muncul adalah :
1. Perubahan Pola Eliminasi Urin b/d resistensi kandung kencing (otot detrusor iritabel,
meregang dan menebal) serta obstruksi urethral yang ditandai dengan hesistency,
intermittency, incomplete emptying, disuria, nokturia dan urgensi.
2. Retensi Urine b/d pembesaran prostat, dekompensasi kelemahan otot destrusor sehingga
kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan adekuat, serta residu urine yang terus
meningkat. Ini ditandai dengan: keragu raguan dalam berkemih, dan ketidakmampuan
dalam mengosongkan kandung kemih.
3. Nyeri b/d distensi kandung kemih pada retensi urine, iritasi mukosa kandung kemih, yang
ditandai dengan adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian bawah, dan
wajah meringis kesakitan dan respon otonomik.
4. Risiko Tinggi Infeksi b/d stasis urine dalam kandung kemih, serta refluks urine ascendent
(vesico-ureteralis).

10. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Perubahan Pola NOC : NIC :


Eliminasi Urin 1. Urinary continence Urinary Chateterization
Definisi : 2. Urinary elimination 1. Jelaskan prosedur dasn
Pengosongan kandung rasional dari intervensi
kemih yang tidak Kriteria Hasil : 2. Sediakan peralartan
sempurna 1. Pengeluaran urin dapat kateterisasi
diprediksi 3. Pertahankan teknik
Batasan karakteristik : 2. Dapat secara sempurna dan aseptik yang ketat
- Distensi teratur mengeluarkan urin dari 4. Masukan secara
kandung kemih kandung kemih; mengukur langsung atau retensi
- Sedikit, sering volume residual urin < 150 kateter ke dalam bladder
kencing atau 200 ml atau 25 % dari total 5. Hubungkan kateter pada
tidak adanya kapasitas kandung kemih kantung drainase
urin yang keluar
3. Mengoreksi atau menurunkan 6. Amankan kateter pada
- Urin jatuh gejala obstruksi kulit
menetes 4. Klien bebas dari kerusakan 7. Pertaahankan sistem
- Disuria saluran kemih bagian atas. drainase tertutup
- Inkontinentia 8. Monitor intake dan input.
overflow
- Urin residual Urinary Retentiuon care
- Sensasi penuh 1. Monitor eliminasi urin
dari kandung 2. Monitor tanda dan gejala
kemih retensi urin
3. Ajarkan kepada klien
Faktor yang tanda dan gejala retensi
berhubungan : urin
- Infeksi traktus 4. Catat waktu setiap
urinarus eliminasi urin
- Obstruksi 5. Anjurkan klien/keluarga
anatomik untuk menmcatat outpout
- Penyebab urin
multiple 6. Ambil spesimen urin
- Kerusakan 7. Ajarkan klien meminum
sensori motorik 8 gelasa cairan sehari
8. Bantu klien dalam BAK
rutin

Fluid management
1. Timbang popok /
pembalut jika diperlukan
2. Pertahankan catatan
intake dan output yang
akurat
3. Monitor status hidrasi
(kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik),
jika diperlukan
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan
makanan / cairan dan
hitung intake kalori
harian
6. Lakukan terapi IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan
9. Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
10. Dorong masukan oral
11. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar)
14. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
15. Atur kemungkinan
tranfusi
16. Persiapan untuk tranfusi

2. Nyeri NOC : NIC :


1. Pain Level, Pain Management
Definisi : 2. Pain control, 1. Lakukan pengkajian
Sensori yang tidak 3. Comfort level nyeri secara
menyenangkan dan komprehensif termasuk
pengalaman emosional Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik,
yang muncul secara
1. Mampu mengontrol nyeri durasi, frekuensi,
aktual atau potensial (tahu penyebab nyeri, mampu kualitas dan faktor
kerusakan jaringan atau menggunakan tehnik presipitasi
menggambarkan adanya nonfarmakologi untuk 2. Observasi reaksi
kerusakan (Asosiasi mengurangi nyeri, mencari nonverbal dari
Studi Nyeri bantuan) ketidaknyamanan
Internasional): serangan
2. Melaporkan bahwa nyeri 3. Gunakan teknik
mendadak atau pelan berkurang dengan komunikasi terapeutik
intensitasnya dari ringan menggunakan manajemen nyeri untuk mengetahui
sampai berat yang dapat
3. Mampu mengenali nyeri pengalaman nyeri pasien
diantisipasi dengan (skala, intensitas, frekuensi dan 4. Kaji kultur yang
akhir yang dapat tanda nyeri) mempengaruhi respon
diprediksi dan dengan
4. Menyatakan rasa nyaman nyeri
durasi lebih dari 6 setelah nyeri berkurang 5. Evaluasi pengalaman
bulan. 5. Tanda vital dalam rentang nyeri masa lampau
normal 6. Evaluasi bersama pasien
Batasan karakteristik : dan tim kesehatan lain
- Laporan secara tentang ketidakefektifan
verbal atau non kontrol nyeri masa
verbal lampau
- Fakta dari observasi 7. Bantu pasien dan
- Posisi antalgic untuk keluarga untuk mencari
menghindari nyeri dan menemukan
- Gerakan melindungi dukungan
- Tingkah laku 8. Kontrol lingkungan
berhati-hati yang dapat
- Muka topeng mempengaruhi nyeri
- Gangguan tidur seperti suhu ruangan,
(mata sayu, tampak pencahayaan dan
capek, sulit atau kebisingan
gerakan kacau, 9. Kurangi faktor
menyeringai) presipitasi nyeri
- Terfokus pada diri 10. Pilih dan lakukan
sendiri penanganan nyeri
- Fokus menyempit (farmakologi, non
(penurunan persepsi farmakologi dan inter
waktu, kerusakan personal)
proses berpikir, 11. Kaji tipe dan sumber
penurunan interaksi nyeri untuk menentukan
dengan orang dan intervensi
lingkungan) 12. Ajarkan tentang teknik
- Tingkah laku non farmakologi
distraksi, contoh : 13. Berikan analgetik untuk
jalan-jalan, menemui mengurangi nyeri
orang lain dan/atau 14. Evaluasi keefektifan
aktivitas, aktivitas kontrol nyeri
berulang-ulang) 15. Tingkatkan istirahat
- Respon autonom 16. Kolaborasikan dengan
(seperti diaphoresis, dokter jika ada keluhan
perubahan tekanan dan tindakan nyeri tidak
darah, perubahan berhasil
nafas, nadi dan 17. Monitor penerimaan
dilatasi pupil) pasien tentang
- Perubahan manajemen nyeri
autonomic dalam
tonus otot (mungkin
dalam rentang dari Analgesic Administration
lemah ke kaku) 1. Tentukan lokasi,
- Tingkah laku karakteristik, kualitas,
ekspresif (contoh : dan derajat nyeri
gelisah, merintih, sebelum pemberian obat
menangis, waspada, 2. Cek instruksi dokter
iritabel, nafas tentang jenis obat, dosis,
panjang/berkeluh dan frekuensi
kesah) 3. Cek riwayat alergi
- Perubahan dalam 4. Pilih analgesik yang
nafsu makan dan diperlukan atau
minum kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih
Faktor yang dari satu
berhubungan : 5. Tentukan pilihan
- Agen injuri (biologi, analgesik tergantung tipe
kimia, fisik, dan beratnya nyeri
psikologis) 6. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

3. Retensi urine Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji sistem urinearia


b.d.tekanan uretra keperawatan selama 3x24 jam, secara komprehensif
yangtinggi klien menunjukkan eliminasi meliputi: urine output,
urine yang adekuat dengan pola pengeluaran urine,
indikator: masalah eliminasi urine
Indikator Target yang muncul.
Pola eliminasi urin 5 2. Stimulasi refleks
normal kandung kemih dengan
Keseimbangan 4 cara mendinginkan
intake dan output abdomen.
cairan 3. Minta keluarga untuk

Tidak ada distensi 4 melaporkan urine output

abdomen 4. Monitor intake dan

Pengeluaran urin 4 output cairan

tanpa nyeri 5. Pasang kateter urine


sesuai indikasi
Tidak ada darah 5
6. Ajarkan pada klien atau
dalam urin
keluarga untuk menjaga
Keterangan:
kebersihan kateter
1. Tidak adekuat
2. Sedikit adekuat
3. Moderat adekuat
4. Substansi adekuat
5. Total adekuat

4. Resiko Infeksi b/d NOC : NIC :


tindakan invasive 1. Immune Status Infection Control (Kontrol
Resiko Infeksi b/d 2. Knowledge : Infection infeksi)
tindakan invasive control 1. Bersihkan lingkungan
3. Risk control setelah dipakai pasien
Definisi : Peningkatan lain
resiko masuknya Kriteria Hasil : 2. Pertahankan teknik
organisme patogen 1. Klien bebas dari tanda dan isolasi
gejala infeksi 3. Batasi pengunjung bila
Faktor-faktor resiko : 2. Mendeskripsikan proses perlu
- Prosedur Infasif penularan penyakit, factor yang 4. Instruksikan pada
- Ketidakcukupan mempengaruhi penularan serta pengunjung untuk
pengetahuan untuk penatalaksanaannya, mencuci tangan saat
menghindari 3. Menunjukkan kemampuan berkunjung dan setelah
paparan patogen untuk mencegah timbulnya berkunjung
- Trauma infeksi meninggalkan pasien
- Kerusakan jaringan
4. Jumlah leukosit dalam batas 5. Gunakan sabun
dan peningkatan normal antimikrobia untuk cuci
paparan lingkungan5. Menunjukkan perilaku hidup tangan
- Ruptur membran sehat 6. Cuci tangan setiap
amnion sebelum dan sesudah
- Agen farmasi tindakan keperawatan
(imunosupresan) 7. Gunakan baju, sarung
- Malnutrisi tangan sebagai alat
- Peningkatan pelindung
paparan lingkungan 8. Pertahankan
patogen lingkungan aseptik
- Imonusupresi selama pemasangan
- Ketidakadekuatan alat
imum buatan 9. Ganti letak IV perifer
- Tidak adekuat dan line central dan
pertahanan sekunder dressing sesuai dengan
(penurunan Hb, petunjuk umum
Leukopenia, 10. Gunakan kateter
penekanan respon intermiten untuk
inflamasi) menurunkan infeksi
kandung kencing
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi
antibiotik bila perlu
Infection Protection
(proteksi terhadap infeksi)
1. Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan lokal
2. Monitor hitung
granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung
terhadap penyakit
menular
6. Partahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
7. Pertahankan teknik
isolasi k/p
8. Berikan perawatan
kuliat pada area
epidema
9. Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
11. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien
untuk minum antibiotik
sesuai resep
15. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
16. Ajarkan cara
menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan
infeksi
18. Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Huda dan Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi: Revisi. Jilid: 2
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purnama, Basuki B. 2008. Dasar-dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto.
Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnosis NANDA,
intervensi NIC, criteria hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai