A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran
kemih pada pria. Insidennya menunjukan peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka
yang berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang
mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik, keadaan ini
menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus urinarius memerlukan
tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari timbulnya gejala dan tanda ini
adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat.
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya
sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan
kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan
terjadinya BPH berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-
faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya menangani penatalaksanaan BPH
secara tepat dan terarah.
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kemih. Prostat normal beratnya kurang lebih 20 gr, didalamnya berjalan uretra
posterior kurang lebih 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum
dan sebelah inferior oleh diafragmaurogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra prostatika
tepat proksimal dari spingter uretra eksterna. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk
mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
2. Tujuan
A. Tujuan umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan pada klien BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia)
B. Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi definisi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
2. Mengidentifikasi etiologi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
3. Mengidentifikasi patofisiologi BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
4. Mengidentifikasi manifestasi klinis dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
5. Mengidentifikasi komplikasi dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
6. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
7. Mengidentifikasi penatalaksanaan dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
8. Mengidentifikasi proses keperawatan dari BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 2002)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria
lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60
tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra,
menyebabkan gejala urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-buli.
( Nursalam, 2006 )
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar
50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100%
(Purnomo, 2011). Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011)
meliputi :
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone
relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad
jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi
sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat,
sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
3. Faktor Predisposisi
1) Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan berkemih terlalu
lama, mengonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol
dan kopi) dan minuman air yang berlebihan.
2) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat.
3) Setelah mengonsumsi obat-obatan yang menurunkan kontraksi otot destruksor atau yang
dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau alfa
adrenergik.
4. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan
Dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat
sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini di sintesis
dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Selain DHT yang sebagai prekursor,
estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan
penambahan usia, maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan
estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi
normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus
urinarius jarang menimbulkan keluhan karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang
kuat dari detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah
kronis membuat dekompensasi dari detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan
obstruksi saluran kemih.
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi
yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal
toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika. Hipertrofi fibromuskuler yang terjadi
pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar, sehingga
menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah nantinya akan menyebabkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia. Oleh karena itu, katerisasi untuk tahap
awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) terjadi secara bertahap mulai dari
zona periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan sering di iringi oleh
proliferasi fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari
sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa
BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca Prostat terjadi pada zona perifer.
5. Tanda dan Gejala
1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
Kondisi ini dikarenakan kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine
secara spontan dan reguler, sehingga volume urine masih sebagian besar tertinggal dalam
vesika.
2. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi hesistensi, urine menetes,
dorongan mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urine. Retensi urine sering dialami
oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi otot destrusor. Namun, obstruksi
yang berkepanjangan akan membuat beban kerja detrusor semakin berat dan pada
akhirnya mengalami dekompensasi.
3. Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsitensi jinak.
4. Inkontinensia
Inkontinensia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam melakukan
kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama, akan mengiritabilitas serabut syaraf
urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
5. Pada awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat, tidak ada gejala, sebab tekanan
otot dapat mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi urine.
6. Gejala obstruksi, hesitensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya
perasaan berkemih tidak tuntas, dan retensi urine.
7. Terdapat gejala iritasi, berkemih mendadak, sering dan nokturia.
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalis dan kultur urine
Untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang
memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.
2. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen.
3. Ureum, elektrolit dan Serum Kreatinin
Untuk menentukan status funsi ginjal.
4. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
5. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga akan terlihat bagaimana siklus
rutinitas miksi dari pasien.
6. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat ukur, maka akan terukur pancaran urine.
7. USG ginjal dan Vesika urinaria
Untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan
USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
7. Pathway
BPH
Urgensi Sensifitas
meningkat
Hambatan
Dekompesasi vesika
Retensi urine urinaria Nyeri akut
Kerusakan
integritas kulit
8. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut
Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat
dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran
ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi
BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan
preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya
perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang
dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke
dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan
makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada
abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi
gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah
awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama.
Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari
pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda
infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada
postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang
efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
h. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada
preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin,
asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar
hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Fluid management
1. Timbang popok /
pembalut jika diperlukan
2. Pertahankan catatan
intake dan output yang
akurat
3. Monitor status hidrasi
(kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik),
jika diperlukan
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan
makanan / cairan dan
hitung intake kalori
harian
6. Lakukan terapi IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan
9. Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
10. Dorong masukan oral
11. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar)
14. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
15. Atur kemungkinan
tranfusi
16. Persiapan untuk tranfusi
Amin, Huda dan Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi: Revisi. Jilid: 2
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purnama, Basuki B. 2008. Dasar-dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto.
Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnosis NANDA,
intervensi NIC, criteria hasil NOC. Jakarta : EGC