PENDAHULUAN
TUJUAN
Kompetensi Dasar : Peserta didik/mahasiswa dapat menjelaskan konsep BPH dan asuhan keperawatan
pasien dengan BPH
B. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia prostat,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesi
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestostero,
(2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel
epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel (apoptosis) teori stem sel (Citra B, 2009).
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan dari reaksi perubahan testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5 alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berkaitan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relative tetap
sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relative meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-sel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada opoptosis terjadi kondensasi da fragmentasi
sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang menghambat proses
apotosis. Diduga hormone androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen
diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan factor pertumbuhan TGFβ
berperan dalam proses opoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami opotosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam
kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,menyebabkan
terjadinya opotosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun
sel epitel.
C. PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun) dimana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon
testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan / pembesaran prostat. Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Makrokospik dapat mencapai 60 - 100 gram dan kadang-kadang
lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih (Price S. A, 2005)
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai
bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior,
yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore). Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah.
Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup
lumen uretra (Price S. A, 2005)
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
- Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan
menetap dari BPH.
- Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi m.
- Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sanpai akhir miksi.
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak
dalam buli-buli.
- Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
- Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
- Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter.
- Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-
sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli
akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
D. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih (Ikatan ahli urologi Indonesia, 2009)
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding, storage,
dan pasca miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat system scoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. System scoring yang dianjurkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Intrnasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score).
System scoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS itu
dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor
8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa factor pencetus,
antara lain: (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, menglkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alcohol,
kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu
setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrussor atau yang dapat
mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergic alfa.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyakit hyperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering megejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada
colok dubur diperhatikan : (1)tonus sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan
adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rectum, dan (3) keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
Colok dubur pada pembesaran prostat benignamnunjukkan konsitensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul,
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistesi prostat keras/ teraba nodul dan mungkin di antara
lobus prostat tidak simetri.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisis
Pemeriksaan laboratorium yang penting pada evaluasi awal pasien yang suspek BPH adalah
urinalisis. Adanya hematuria harus dipertimbangkan secara tepat untuk dilakukan cystoscopy.
Adanya sel darah putih mungkin disebabkan oleh infeksi (cystitis atau prostatitis) (Sloane,
2008).
2. Kultur urine
3. Tes serum prostat spesifik antigen (PSA)
PSA merupakn pilihan pada laki-laki dengan LUTS yang diperkirakan menjadi sekunder dari
BPH. PSA merupakan evaluasi dari BPH untuk mengetahu level PSA atau penampilan dari
kanker prostat akan merubah penatalaksanaan. Pada 25% laki-laki dengan BPH terdapat
peningkatan PSA (Sloane, 2008).
4. Urine cytology
Urine cytology digunakan pada laki-laki yang memiliki gejala iritasi dimana pasien memiliki
riwayat merokok atau faktor resiko lain (Sloane, 2008).
5. Post Void Residual (PVR) Volume
6. Maximal Urinary Flow Rate
7. Tes Uroflow
Digunakan untuk estimasi volume urinasi serta durasi dan kecepatan dari urinasi (Sloane, 2008).
8. Imaging
Untuk mengkaji ukuran prostat, bentuk prostat, adanya karsinoma, dan karakter jaringan.
a. USG saluran ginjal
b. USG transrektal
c. Transabdominal ultrasound
Post void residual urine volume dihitung pada berat, panjang, dan tinggi bladder yang diperoleh
dengan cara transabdominal ultrasound
d. TRUS
TRUS lebih akurat dibandingkan dengan sistoskopi.
e. CT (computed tomography)
f. MRI
9. IVU: Kelainan Struktural
10. Sistoskopi
11. Urodinamika
Pressure flow untuk menetukkan kemungkinana adanya sumbatan, dimana dapat
mengkategorikan derajat dari obstruksi dan identifikasi pasien yang memiliki low flow rate
12. Creainine measurement
Terdapatnya BPH mungkin dapat menyebabkan hidronefrosis dan gagal ginjal. Pada pasien BPH
terjadi azotemia sekitar 15%-30% (Rosette, et al, 2001).
13. Digital rectal examination (DRE)
DRE merupakan pemeriksaan penting pada laki-laki dengan LUTS. Hal ini dapat menentukan
adanya kanker prostat dan untuk meningkatkan kapasitas untuk estimasi volume prostat serta
untuk menentukkan pengobatan yang tepat sesuai dengan ukuran prostat yang tampak (Rosette,
et al, 2001).
14. Urinary bladder voiding cyst urethrogram
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk diagnostik rutin pada lansia dengan LUTS
(Rosette, et al, 2001).
15. Endoskopi
Standa prosedur endoskopi adalah untuk evaluasi diagnosis pada daerah lower urinary tract.
Pemeriksaan ini untuk mngkonfirmasikan adanya penyebab dari obstruksi outflow (Rosette, et al,
2001).
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang
ditawarkan pada pasien memperhatikan derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi
obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya (Brunner & Suddart, 2002)
Klasifikasi hasil IPSS
Skor Kategori Tatalaksana
0-7 Ringan Watchfull waiting
8-18 Sedang Medikamentosa
19-35 Berat Operasi
G. KOMPLIKASI
Menurut Pierce A. Grance & Neil R. Borley (2005) komplikasi yang terjadi pada pasien BPH
post pembedahan:
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pasien dalam kondisi sadar. Pada pemeriksaan TTV, nadi biasanya meningkat pada keadaan
kesakitan, pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urine, serta urosepisi sampai
syok septik. Selain itu, akan ada peningkatan tekanan darah karena efek pembesaran ginjal.
b. Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis dan pyelonefrosis. Pada daerah supra-simfisis, keadaan retensi akan menonjol. Saat
palpasi terasa adanya ballotement dan klien akan merasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urine. Selain itu, akan ditemukan massa padat di bawah
abdomen bawah (ditensi kandung kemih) serta nyeri tekan kandung kemih.
c. Pemeriksaan Genitalia
Penis dan uretra diperiksa untuk mendeteksi adanya kemungkinan stenosis meatus, striktur
uretra, batu uretra, karsinoma, maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk mengetahui adanya
epididimitis.
Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistem
persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Pada palpasi akan ditemukan pembesaran dan nyeri tekan prostat.
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Makanan/Cairan
Pasien akan mengeluhkan kurangnya nafsu makan, anoreksia, mual, muntah hingga penurunan
berat badan. Serta kaji masukan cairan per oral.
b. Pola nyeri/kenyamanan
Pasien akan mengeluhkan nyeri suprapubis, panggul, atau punggung; terasa tajam dan kuat pada
prostatitis akut serta nyeri punggung bawah.
Untuk pengkajian nyeri ini harus terfokus dan spesifik. Dengan menggunakan metode PQRST: P
(Provocation): merujuk pada faktor-faktor yang memperhebat nyeri. Q (Quality): kualitas nyeri
penting dalam menentukan sifat. Seperti pada BPH akan ditemukan nyeri tumpul di daerah
perineum atau punggung.
c. Pola seksualitas
Pasien akan mengeluhkan gejala adanya masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual; adanya ketakutan inkontinensia/menetes selama hubungan intim serta penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi dengan tanda adanya pembesaran dan nyeri tekan prostat.
Klien dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena situasi
krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter). Dengan terjadinya
disfungsi seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status
kesehatan.
d. Pola Istirahat dan Tidur
Tanda dan gejala BPH antara lain nokturi dan frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien
maka tidur klien akan terganggu. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien akan
sering terbangun pada malam hari untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
e. Pola Persepsi dan Tatalaksana Hidup Sehat
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah
dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya
khususnya saat dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
5. Pemeriksaan per sistem
a. B1 (Breathing)
Untuk sistem pernapasan, tidak ada gangguan. Hanya saja, jika dalam keadaan nyeri akut maka
akan terjadi peningkatan pernapasan.
b. B2 (Blood)
Akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi seperti kulit kering, mukosa kering dan dan turgor kulit
jelek. Tekanan darah meningkat serta nadi juga meningkat.
c. B3 (Brain)
Pada B3 juga tidak ada gangguan. Tetapi, psikis klien akan terganggu dengan adanya cemas
untuk menghadapi perawatan lebih lanjut.
d. B4 (Bladder)
Akan didapatkan keluhan bahwa klien sering buang air kecil (poliuria), aliran air kemih yang
terhambat sehingga keluarnya aliran sedikit-sedikit, air kemih mengandung darah (hematuria),
retensi urin, sering berkemih di malam hari (nokturia)
e. B5 (Bowel)
Akan ditemukan konstipasi karena prostusi prostat kedalam rektum. Adanya anoreksia; mual
muntah serta penurunan berat badan.
f. B6 (Bone)
BPH ini tidak selalu mengganggu sistem B6 ini. Hanya saja akan ditemukan adanya perubahan
pad kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi seperti ruam, turgor kulit buruk, mukosa kering.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisa: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh;
pH 7 atau lebih besar yang menunjukkan infeksi;baktera, SDP, SDM mungkin ada secara
mikroskopis
2. Kultur urine; untuk mengesampingkan kecurigaan kanker kandung kemih
3. BUN/kreatini; akan meningkat jika fungsi ginjal terpengaruh
4. Asam fosfat serum/antigen khusus prostatik akan mengalami peningkatan karena pertumbuhan
seluer dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan adanya metatstase
tulang)
5. SDP: mungkin lebih dari 11.000 karen adanya infeksi pada pasien yang tidak imunosupresi
6. Penentuan kecepatan aliran urine untuk mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
7. IVP dengan film pasca berkemih: menunjukkan perlambatan pengosongan kandung
kemih,membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli
kandung kemiih dan penebalan abnormal otot kandung kemih
8. Sistometri untuk mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya
9. Ultrasound transektal untuk mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi
yang tak berhubungan dengan BPH
Diagnosa
1. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pembesaran prostat dan respon
pasca bedah
2. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius, tindakan pasca bedah
3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan,kehilangan status kesehatan
4. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan
pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya
informasi/informasi yang keliru
No.
1. Gangguan pola Setelah 1. Observasi pola Mengetahui
eliminasi urine dilakukan berkemih dan catat pengaruh iritasi
berhubungan dengan tindakan produksi urine tiap 6 kandung kemih
obstruksi pembesaran keperawatan jam dengan frekuensi
prostat dan respon selama 3x24 Motivasi klien untuk miksi
pasca bedah jam menghindari minum Mencegah oven
diharapkan banyak dalam waktu distensi kandung
pola singkat, hindari alcohol kemih akibat tonus
eliminasi dan diuretik otot detrusor
klien normal Intervensi pasca bedah : menurun.
dan tidak Observasi urine dan
mengalami sistem kateter/drainase,
retensi khususnya selama irigasi Retensi dapat terjadi
dengan kandung kemih karena edema area
kriteria : Perhatikan waktu, bedah, bekuan darah
- Klien jumlah berkemih dan dan spasme kandung
mampu ukuran aliran setelah kemih.
mengosong kateter dilepas. Kateter biasanya
kan Dorong pemasukan dilepas 2-5 hari
kandung cairan 3000 ml sesuai setelah bedah, tetapi
kemih 5- toleransi berkemih dapat
8x/24 jam berlanjut menjadi
- Respon masalah untuk
pasca bedah beberapa waktu
: kateter karena edema uretra
tetap dan kehilangan
kondisi tonus.
baik, tidak Mempertahankan
ada hidrasi adekuat dan
sumbatan perfusi ginjal untuk
aliran darah aliran urine.
melalui
kateter,
tidak terjadi
retensi pada
saat irigasi
2. Nyeri akut Setelah 1. 1.Observasi intensitas 1. Pengkajian nyeri
berhubungan dengan dilakukan nyeri dengan skala 1-10 adalah langkah
obstruksi traktus tindakan pertama dalam
urinarius, tindakan keperawatan 2. Fiksasi kateter membuat rencana
pasca bedah selama dengan cara yang manajemen nyeri
3x24jam tepat agar tetap2. Selang yang
diharapkan stabi sehingga tertekuk
nyeri klien tidak mengakibatkan
berkurang menimbulkan distensi dan
atau gesekan baru meningkatkan rasa
terkontrol pada mukosa nyeri
dengan urethra.
kriteria : 3. Fiksasi selang3. Mengurangi
- Klien dapat urine pada alat gesekan pada ureter
mengontrol tenun disamping
nyeri klien dengan 4. Penyesuaian ukuran
dengan menggunakan kateter agar tidak
menggunak klem yang telah menimbulkan iritasi
an skala tersedia pada set pada urethra.
nyeri 1 - 10 urine bag. 5. Mengurangi rasa
- Klien 4. Gunakan kateter nyeri
tampak menetap dengan 6. Teknik ini dapat
rileks. nomor atau meningkatkan
- Klien dapat ukuran yang konsentrasi untuk
beristirahat sesuai. tidak merasakan
dengan 5. Anjurkan pada stimulus nyeri
tenang. klien untuk
- TTV dbn tehnik relaksasi 7. Medikasi nyeri
dengan cara diabsorbsi dan
menarik napas dimetabolisme
panjang dan berbeda tergantung
menghembuskan klien, jadi
nya. efektivitasnya harus
6. Hindari gerakan di evaluasi secara
atau tarikan individual oleh klien.
mendadak pada Analgesik juga
selang kateter berefek samping
untuk mulai dari ringan
menghindari hingga mengancam
trauma baru pada jiwa.
urethra.
7. Kolaborasi
pemberian
analgetik dengan
medik bila
diperlukan.
5. Memungkinkan
klien untuk
menerima kenyataan
dan menguatkan
kepercayaan pada
pemberi perawatan
dan pemberi
informasi.
6. klien diajarkan
sebagai individu
dengan
mempertimbangkan
segala keunikan
ansietas kebutuhan
dan harapannya.
7. Intervensi untuk
meningkatkan
keinginan pasien
dalam pelaksanaan
prosedur
pengembalian fungsi
pasca bedah
kolostomi.
5. Kolaborasi awasi
elektrolit,
khususnya natrium.
6. Kolaborasi untuk
memberikan cairan
IV (garam faal
hipertonik) sesuai
kebutuhan.
Anda telah mempelajari kegiatan belajar 1 mengenai konsep BPH dan asuhan keperawatan
pasien dengan BPH terkait : pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang dapat dirangkum sebagai
berikut :
- Benigna prostat hiperplasia merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya. Ditandai
oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat
- Penyebab / faktor risiko BPH adalah peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesi yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hyperplasia prostat adalah: teori dihidrotestostero, adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya kematian sel
(apoptosis) teori stem sel.
- Manifestasi BPH berupa keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih
bagian atas, gejala di luar saluran kemih (tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus dll)
- Pada pasien BPH dilakukan urinalisis, kultur urin, tes serum prostat spesifik antigen (PSA), urin
cytology, post void residual (PVR) volume, maximal urinary flow rate, tes uroflow, Imaging
(USG, transbdominal ultrasound, TRUS, CT, MRI, IVU dll)
- Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan IPPS, skor 0-7 masuk kategori ringan penatalaksanaan
dengan watchfull waiting, 8-18 kategori sedang dengan medikamentosa, 19-35 berat dengan
operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Brunner dan Suddart. Alih
bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawata : Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta :
EGC.
Citra, B. D. (2009). Benigh Prostate Hiperplasy. File of DrsMed , 11.
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Dunphy, L. M. (2011). Primary Care The Art and Science of Advanced Practice Nursing.
Philadelphia: F.A Davis Company.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2009. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diakses dari
http://www.iaui.or.id/info/guid.php pada tanggal 27 Mei 2016
Madjid, Suharyanto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Muttaqin, 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Price S. A dan Wilson, Lorraine M. C. 2005. Patofisiologi Clinical Concepts of Desiase Process,
Edisi 6, Vol 2. Alih bahasa Brahm U. Jakarta: EGC
Purnomo, B. 2012. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto
Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto
Williams, L.S., Hopper, P.D. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing, Second edition.
Philadelphia : F.A Davis Company
Rosette, J. d. (2001). Guideline On Benign Prostatic Hyperplasia . European:
httpwww.uroweb.orgfileadminuser_upload.
Safitri, A. (2006). At a Glace Medicine. Jakarta: Erlangga.
Valey, L. (2004, november). Understanding Your PSA Level. health You , 1.
Sloane, P. D. (2008). Essentials of Family Medicine Fifth Edition. USA: Lippincot Williams &
Wilkins.
ASKEP Batu saluran kemih (UROLITHIASIS)
BAB 1
Pendahuluan
1.2.1 TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan
mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada
klien dengan Urolithiasis dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.2.2 TujuanKhusus
1. Untuk mengetahui definisi dari Urolithiasis
2. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Urolithiasis
3. Untuk mengetahui etiologi dari Urolithiasis
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Urolithiasis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari Urolithiasis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk Urolithiasis
7. Untuk mengetahui patofisiologi/ WOC Urolithiasis
8. Untuk mengetahui pencegahan dari Urolithiasis
9. Untuk mengetahui komplikasi Urolithiasis
10. Untuk mengetahi prognosis Urolithiasis
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Urolithiasis
1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis
untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan,
terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Urolithiasis
BAB 2
Tinjauan Pustaka
Sistem urogenitalia terdiri dari system organ reproduksi dan system urinaria. Keduanya
dijadikan satu kelompok system urogenitalia karena mereka saling berdekatan, berasal dari
embriologi yang sama dan menggunakan saluran yang sama sebagai alat pembuangan misalnya
uretra pada pria. System urinaria atau disebut juga sebagai system ekskretori yang merupakan
organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia normal organ ini
terdiri atas ginjal beserta system pelvikalises , ureter, kandung kemih, dan urtera. Pada umumnya
organ urogenitalia terletak dirongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang berada
disekitanya kecuali testis, epididimis, vas deferense, penis dan uretra. (Purnomo, 2011 ed. 3)
1. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga retroperitoneal bagian
atas. Beratnya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini
disebut sebagai hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain
yang merawat ginjal yakni pembuluh darah, system limfatik dan system saraf. Besar dan berat
ginjal sangat bervariatif, tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi
yang lain. Dalam hal ini ginjal laki-laki relative lebih besar dari perempuan. Pada autopsy klinis
didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm(panjang)x 6cm (Lebar) x
3.5cm (tebal) dengan berat bervariasi antara 120-170 gram ataukuranglebih 0.4% dari berat
badan. (Purnomo, 2011 ed. 3)
a. Struktur ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi atas 2 bagian yaitu korteks dan medulla ginjal . korteks ginjal
terletak lebih superficial dan didalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit
fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal terletak lebih profondus banyak terdapat duktuli atau
saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus,
tubulus kontrotus proksimal, loop of henle, tubulus kontrotus distal dan duktus kolegentes. Darah
yang membawa sisa hasil metabolism tubuh difiltrasi didalam glomerulus dan setelah sampai di
tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh direabsorbsi dan zat sisa yang tidak
diperlukan tubuh mengalami sekresi membentuk urin.
b. Vaskularisasi ginjal
Suplai darah ginjal di perankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang
langsung dari aorta abdomnalis dan vena renalis bermuara langsung ke dalam vena kafa inferior.
c. Persarafan
Ginjal mendapatkan persafaran melalui pleksus renalis yang seratnya bersama dengan arteri
renalis. Input dari system simpatik menyebabkan vasokontriksi yang menghambat aliran darah
ke ginjal. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju corda spinalis segmen T10-11 dan
memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa
nyeri didaerah pinggang bisa merupakan nyeri referral dari ginjal.
d. Fungsi ginjal
Ginjal memerankan beberapa fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan yakni menyaring
sisa metabolism dan toksin dari darah serta mempertahankan hemostasis cairan dan elektrolit
tubuh yang kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut diantaranya
1. Mengontrol sekresi hormone aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan tubuh
2. Mengatur metabolism ion kalsium dan vitamin D
3. Mengasilkan beberapa hormone diantaranya eritropoetin, rennin dan prostaglandin Sumber :
(Purnomo, 2011 ed. 3)
2. Ureter
Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urindari pielum (pelvis)
ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 25-35 cm dengan
diameter 3-4 mm.
3. Kandung Kemih (Vesika Urinaria)
Vesika urinaria terletak tepat di belakang os pubis. Bagian ini merupakan tempat untuk
menyimpan urin, berdinding otot kuat , bentuknya bervariasi sesuai dengan jumlah urin yang
dikandung. Vesika urinaria saat kosong terletak di apeks belakang tepi atas simfisis pubis.
Permukaan posterior berbentuk segitiga (H. Syaifuddin,2011 ed.4).
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari kandung kemih melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan anterior. Pada
pria, organ ini juga berfungsi untuk menyalurkan air mani.
5. Kelenjar prostat
Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli, didepan rectum
dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2.5cm dan
beratnya kurang lebih 20 gram. Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejaculator.
Fisiologi Pengisian dan Pengosongan Vesika Urinaria
Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam bekas spiral longitudinal dan
sirkuler. Kontraksi peristaltic teratur 1-5x/ menit menggerakkan urin dari pelvis renalis ke vesika
urinaria setiap gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika urinaria
untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltic dan mencegah urin tidak
kembali ke ureter. Kontraksi otot detrusor bertanggung jawab dalam proses pengosongan vesika
urinaria selama berkemih. Berkas otot berjalan pada sisi uretra yang disebut dengan sfingter
uretra interna. Sepanjang uretra terdapat sfingter uretra membranosa (Sfingter uretra eksterna).
(Syaifuddin, 2011 ed.4)
Secara teoritis batu dapat berbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin(statis urin) yaitu pada system kalises ginjal
atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises(stenosis uretero pelvis ), divertikel,
obstruksiinfravesika kronis seperti pada hyperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu
tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organic dan anorganik yang terlarut
dalam urin. (Purnomo, 2011)
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan
antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu.
Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja
mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal,
proses agregasi kristal hingga retensi kristal. (Purnomo 2011)
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau kalsium fosfat,
asam urat, magnesium-amonium-fosfat(MAP), Xanhyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya.
Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha
pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Jenis-jenis batu terdiri dari (Purnomo, 2011 ed. 3):
a. Batu kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaotu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran
kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat , kalsium fosfat, atau campuran
kedua unsure tersebut. Factor terjadinya batu kalsium adalah:
1. Hiperkalsiuria
2. Hiperoksaluri
3. Hiperurikosuria
4. Hipositraturia
5. Hipomagnesuria
b. Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu tersebut disebabkan oleh adanya
infeksi saluran kemih. Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan
urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amoniak
merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut.
c. Batu Asam Urat
5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam
urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat.
d. Batu jenis lain
Batu sistin, batu Xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sisten
terjadi karena kelainan metabolism sistin dalam absorbs sistin di mukosa usus, batu xanthin
terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis
hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Selain itu pemakaian silikat yang
berlebihan dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2011
ed.3).
Klasifikasi Batu Berdasarkan Lokasinya:
Klasifikasi batu lain berdasarkan X ray characteristic (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C.
Seitz, A. Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis) :
1. Radioopaque: calcium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, calcium fosfat
2. Poor radiopaque: magnesium ammonium fosfat, cystin
3. Radiolucent: asam urat, ammonium urate, Xanthin, 2.8 dihidroxiadenin, drug stone.
Berdasarkan Etiologi:
2.4 Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik). Secara epidemologi terdapat beberapa factor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Factor-faktor itu adalah factor intrinsic , yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor intrinsic yaitu pengaruh dari lingkungan
sekitarnya. (Purnomo,2011 ed.3)
a. Factor intrinsic
1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
2. Umur: sering pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan
4. Gangguan Metabolik : Hiperparatiroididsme, Hiperkalsiuria, Hiperuresemia.
b. Factor ekstrinsik
1. Geografi: beberapa daerah menunjukan kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal dengan stone belt (sabuk batu) sedangkan daerah bantu afrika
selatan tidak dijumpai batu saluran kemih
2. Iklim dan temperature
3. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
4. Diet: diet banyak purin , oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran
kemih
5. Pekerjaan: sering dijumpai pada klien dengan pekerjaan banyak duduk atau kurang activitas
atau sedentary life
Etiologi berdasarkan klasifikasi : (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C. Seitz, A. Skolarikos,
M. Straub, 2013 Urolithiasis):
1. Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2. Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3. Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4. Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir
2.5 Manifestasi Klinis
Batu di ginjal itu sendiri bersifat asimtomatik kecuali apabila batu tersebut menyebabkan
obstruksi atau timbul infeksi (J. Corwin, 2007). Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus
urinarius bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran
urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal
serta ureter proksimal. Iritasi batu yang terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya infeksi
(pielonefritis dan sistitis) yang sering disertai dengan keadaan demam, mengggil dan disuria.
b. Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya
mengandung darah akibat aksi abrasi batu.
a. Batu yang terdapat di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa benjolan keras
di uretra pars bulbosa maupun pendularis atau kadang-kadang tampak di meatus uretra eksterna
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui
adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut:
1. Uji Laboratorium
1) Analisa urin (Urinanalisis)
Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu juga
dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:
Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang normal. Hal
ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau
sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan
meningkatkan sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan
magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl,
pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang
bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal
yang mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran
pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin
Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki adalah
0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum tinggi dan atau urin
rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu
obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis.
Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis
tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin meningkat jika terdapat
gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan
kalsium urin).
2) Tes darah lengkap (DL)
Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya infeksi/septikemia, namun
berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal
bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau
anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju
endap darah.
3) Analisa batu
Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan
menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes
mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel dan benda
berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal
ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria,
hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang dijelaskan di bawah ini:
(1) Kalsium oksalat
Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH terutama
jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan tidak berwarna ini
dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu (seperti asparagus, kubis, dll)
serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal Ca-oxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per
LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan
abnormal.
(2) Triple fosfat
Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal ini dapat
ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi panjang (seperti tutup
peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini dapat muncul setelah
mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi saluran kemih dengan bakteri
penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal ini dengan
meningkatkan pH dan amonia bebas.
(3) Asam urat
Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta berwarna
kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat sampah atau sisa
metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa hal seperti: jenis makanan,
jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi urin.
Kristal berbentuk heksagonal dan tipis ini muncul akibat dari cacat genetik atau penyakit
hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam
dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering membingungkan dengan kristal asam urat.
Sistin Crystalluria merupakan indikasi cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme
bawaan yang melibatkan reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin.
(5) Leusin dan tirosin
Merupakan kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit hepar
kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris striations, sedangkan
tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan berwarna kuning. Kristal ini
sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis sendimen urin. Kristal ini dapat diamati
pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan Maple Syrup.
(6) Kristal kolesterol
Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi panjang.
Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies.
Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria.
Kristal lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sendimen urin, misalnnya
adalah:
a) Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul membentuk roset.
b) Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan berkumpul.
b. Kristal dalam urin alkali
a) Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular berduri atau
bertanduk.
b) Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk roset.
c) Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul.
d) Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter.
c. Kristal akibat sekresi obat dalam urin
a) Kristal sulfadiazin
Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya digunakan untuk obat
antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut dalam urin dan sangat asam sehingga dapat
menimbulkan kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien
dianjurkan minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis (Na-
Bikarbonat untuk menaikkan pH urin).
b) Kristal sulfonamida
Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Kristal ini dapat terjadi karena tidak
dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat (natrium sitrat) sehingga tidak dalam suasana alkalis
yang mengakibatkan sulfa-sulfa akan menghambur dalam saluran kemih secara bebas.
2. Tes Radiologi
Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik
pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung
kemih (KUB) hanya dapat mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada
batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling
mudah dideteksi oleh radiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik
pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien untuk
dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan.
Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal, dimana
ditentukan dari:
Gambar 2.5 Gambaran Plain Foto (Foto Polos Abdomen / BOF, KUB)
(Tanagho dan McAninch, 1976)
Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau panggul.
Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis
bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang terbatas dalam manajemen. IVU/IVP
menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi
Calyceal, derajat obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi.
IVU/IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP
memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari radiografi non-
urologi.
Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat, dan efek
ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa klien
terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan membutuhkan waktu dan sering tidak dapat
dicapai ketika kondisi klien dalam situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen
dan KUB radiografi, IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas
(92-94%) untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek
nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas secara singkat
untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan situasi di mana penggunaan
kontras masih di pertanyaan.
(1) Hematuria
(2) ISK yang berulang
(3) Batu saluran kemih
(4) Anomali anatomi sistem urinari
(5) Nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya
(6) Nyeri kolik ginjal
(7) Dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal, ureter, kandung
kemih, dan atau uretra
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menyarankan kepada klien agar
melakukan puasa selama 6-8 jam agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, selain itu juga
dilakukan lavage. Syarat-syarat pemeriksaan ini adalah klien tidak memiliki alergi kontras dan
fungsi ginjal baik.
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan dengan IVU/IVP
3) Sistoureteroskopi
Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan atau efek
obstruksi (Borley 2006).
4) CT-scan
Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi
batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain; ginjal, ureter, dan
distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi
untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari
pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain;
ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Borley 2006).
Indikasi:
Indikasi:
(1) Suspek urolithiasis
(2) Kolik ginjal
(3) Batu ginjal
(4) Hidronefrosis
(5) Obstruksi saluran kemih
(6) Batu asam urat
(7) Nyeri ginekologi
6) Sistoskopi
Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung kecil fleksibel
melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan yang membantu dokter untuk
melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk mengetahui kelainan dalam kandung
kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau uretra, dan
biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan zat kontras melalui
kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan selama sistoskopi. Dan berguna
untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009).
Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu
ginjal.
7) Uroflowmetry dan Urodinamik
Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan tekanan
abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat mengetahui ada tidaknya
kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya kelainan prostat (BPH) maupun kelainan
striktur uretra. Interpretasi yang bisa dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan
pengeluaran urin (minimal 100 cc urin) sebagai berikut:
(1) 0 – 10 ml/s : Obstruksi
(2) 10-15 ml/s : Border line
(3) >15 ml/s : Normal
Indikasi:
Urodinamik yaitu dengan dua kali tes uroflowmetry dengan volume urin <100cc.
(1) Hidronefrosis
(2) Batu saluran kemih (BSK)
(3) Obstruksi saluran kemih
(4) Striktur uretra
9) Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone. Berguna untuk
menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).
1) Terapi diet
Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi berperan penting
dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta menghindari makanan tertentu
dalam diet juga dapat mencegah pembentukan batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu
renal harus minum paling sedikit 8 gelas air (+ 2-3 liter) dalam sehari untuk mempertahankan
urin encer, kecuali dikontraindikasikan. Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam
mencegah batu kalsium.
2) Terapi farmakologi
(1) Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.
(2) Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada
pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat
dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan
batu berikutnya. Urin yang asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat (Chang 2009).
(3) Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (NSAID’s) seperti
ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.
3) Terapi kimiawi
(1) Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
a. NaCO3- : Membuat urin lebih alkali pada asam
b. Asam askorbat : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
(2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a. Diuretik (tiazid) : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan menurunkan kadar
parathormon. Efek samping gangguan metabolik, dermatitis, purpura.
b. Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan kadar asam urat plasma dan
ekskresi asam urat ke dalam urin. Efek samping mual, diare, vertigo, mengantuk, sakit kepala.
4) Herbal
Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh tanpa
menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami penghambat terjadinya
pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang telah terbentuk dengan sangat efektif.
Selain itu juga sebagai antioksidan yang sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan
tubuh serta dapat mencegah infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil
buangan akhir lebih sempurna). Serta banyak lagi kandungan daun sirsak seperti acetogenin,
annocatin, annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin, anomourine, anonol, caclourine,
gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid, muricapentosin yang sangat baik untuk penderita batu
ginjal.
Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit manggis
mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas.
Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh seperti batu ginjal, leburan batu ginjal
akan terbuang bersama aliran urin.
2. Terapi non invasif
1) Pelarutan Batu
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya terjadi pada
keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan pemberian Natrium
Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka batu akan larut bersama urin.
Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemberian NaCO3- bersamaan
Allopurinol akan memberikan hasil yang baik dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.
Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila diberikan
pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Bila terdapat kuman, harus
segera ditindaklanjuti. Akan tetapi, infeksi pada urolithiasis sukar dihilangkan karena kuman ini
berada di dalam batu yang tidak pernah dapat dicapai oleh antibiotik. Solutin G merupakan obat
yang dapat diberikan langsung ke batu di kandung kemih. Selain Solutin G. juga dipakai obat
Hemiasidrin untuk batu di ginjal dengan cara irigasi, tetapi hasilnya kurang memuaskan kecuali
untuk batu sisa pasca bedah yang dapat diberikan melalui nefrostomi yang terpasang.
Kemungkinan penyulit dengan pengobatan seperti ini adalah intoksikasi atau infeksi yang lebih
berat (Sjamsuhidajat 2004).
Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara mekanis melalui
sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau ultrasonik. Sedangkan untuk
batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat dihancurkan memakai gelombang ultrasonik,
elektrohidrolik, atau sinar laser. Beda halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi
dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke
batu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan.
Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal
dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut.
Terapi non-invasif ini membuat klien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22
kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL,
namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk
menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran
kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu
yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.
1) Elektrohidrolik
Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus
listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer
berisi air. Pengisian ini menghasilkan gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah,
membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi.
2) Pizoelektrik
Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo dirangsang dengan denyut
listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi atau perpindahan cepat dari kristal sehingga
menghasilkan gelombang kejut.
3) Elektromagnetik
Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada silinder berisi air. Lapangan magnetik
menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat
dari membran yang menghasilkan gelombang kejut.
Indikasi ESWL:
1. Ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang mengganggu.
2. Lokasi batu di kaliks ginjal atau ureter distal
3. Tidak adanya obstruksi ginjal distal dari batu
4. Kondisi kesehatan klien memenuhi syarat (lihat kontraindikasi ESWL)
5. Ukuran batunya tidak >10mm
6. Terfiksir di saluran kemih
Kontraindikasi ESWL:
1. Kontraindikasi Absolut
Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi
batu distal.
2. Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah:
1) Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur.
2) Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena
jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya
dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu
3) Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal
(meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai
untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran
fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
4) Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi.
5) Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan
pertimbangan khusus.
6) Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom
perirenal pasca terapi.
7) Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi
walaupun jarang terjadi.
1. Harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urin untuk melihat
fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan fisik klien
2. Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk menentukan lokasi batu dan
kemungkinan jenisnya.
3. Berikan analgesik untuk untuk sedatif ringan
4. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4 jam sebelumnya.
4. Metode endurologi
Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi, atau
nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan yang sering
dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran
kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka:
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada
individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara
berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal
yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup
mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu
sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi -
metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di
dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran
kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).
Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga terbentuk
kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu
karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh,
pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau
pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal (hidroureter). Ada pula
beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan.
Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah
mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi
akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien
sedang mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002).
Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di bagian
pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Gejala
gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks
renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik
ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat,
dingin dan lembab (Chang 2009).
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang nyeri
yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat dan
bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk mendorong
batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya
mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan batu yang kasar
dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul
demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika
batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al,
2002).
Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar,
dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu dengan
diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus
diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et.
al, 2002).
Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi”
mengenai teori pembentukan batu saluran kemih.
Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat
yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau
buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel,
obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu
tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut
dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya keseimbangan
antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu.
Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja
mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal,
proses agregasi kristal hingga retensi kristal.
Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran
kemih menurut Stoller (2000) di antaranya:
1) Teori Fisika Kimiawi
Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah prinsip
dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan
pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori
pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu:
(1) Teori nukleus atau supersaturasi
Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami
supersaturasi sehingga terjadi kristalisasi batu. Syarat terjadi pengendapan atau dasar terpenting
dalam pembentukan batu adalah supersaturasi urin dengan garam-garam pembentuk batu
(Manuputty 2011).
(2) Teori matriks
Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau protein-
protein urin yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis juga memberikan
kemungkinan terjadinya pengendapan kristal.
(3) Teori inhibitor kristaliasasi
Terdapat substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi. Substansi tersebut
meliputi peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida, sehingga
jika substansi tersebut berkurang maka akan mempengaruhi terjadinya kristalisasi yang
mengakibatkan terjadinya batu saluran kemih.
(4) Teori epitaksis
Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang berbeda
kemudian membesar. Proses ini disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang paling sering terjadi
adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam urat.
(5) Teori kombinasi
Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori yang ada.
(6) Teori infeksi
Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap pembentukan
batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya magnesium ammonium
fosfat (batu struvit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan molekul fosfat dan magnesium.
Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup dalam darah, ginjal, dan air kemih yang
tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk
cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu kemudian kristal kalsium
oksalat menempel dan lama kelamaan akan membesar.
2) Teori Vaskuler
Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan
kadar kolesterol darah yang tinggi.
(1) Hipertensi
Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari aliran luminar
menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla pada klien
hipertensi yang disebut kalsifikasi ginjal yang dapat berubah menjadi batu. Selain itu, pada
kondisi hipertensi juga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga berdampak pada
obstruksi pembuluh darah yang memicu agregasi batu.
(2) Diabetes mellitus (DM)
Penyakit DM juga bisa menyebabkan urolithiasis karena pada penyakit ini mengakibatkan
viskositas darah meningkat sehingga darah menjadi semakin kental. Hal ini yang mengakibatkan
mudahnya zat-zat asing mengalami kristalisasi sehingga terbentuk batu.
2.9 WOC
Infeksi
Zat Toksik
Vaskuler
Arteriosklerosis
Oksihemoglobin turun
Produksi Hb turun
Retensi Na
Perpospatemia
Sindrom Uremia
GGK
GFR turun
Anemia
Hematuria
Iritasi/Cidera Jaringan
Reaksi antigen
antibodi
Nausea, vomitus
Iritasi lambung
Infeksi
Perdarahan
Gastritis
-Hematemesis -Melena
Mual, muntah
Anemia
Preload naik
Edema paru
COP turun
RAA turun
Metab. anaerob
MK : Resiko Perdarahan
Retensi Urin
MK : Retensi Urin
MK : Resiko infeksi
Tertimbun Ginjal
2.10 Prognosis
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan,
baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami oleh pria dari pada
wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa negara Eropa prevelensi kejadian
urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya
infeksi. Semakin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007).
Prevelensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan
dewasa, dengan puncak usia dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu ginjal
berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah
sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Selain itu, jumlah
klien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang.
Setelah keluarnya batu baik secara spontan (konsevatif) maupun dengan tindakan (seperti;
bedah terbuka, ESWL,dll) perlu dilakukan tindakan pencegahan kekambuhan batu. Kekambuhan
batu saluran kemih ini dapat terjadi pada 20-30% klien dan pada beberapa klien yang
mengeluarkan batu secara spontan setiap tahun. Juga ada literatur yang mengatakan bahwa
secara umum hampir 50% klien mengalami batu kambuhan dalam 5 tahun. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan darah dan urinalisa untuk mencari/menemukan faktor resiko untuk pembentukan
batu (Stoller 2000).
Dalam kasus tertentu, IVU dapat dimanfaatkan untuk diagnosis urolithiasis pada
kehamilan. Tingginya paparan radiasi terhadap ibu dan janin menjadi perhatian dan karena itu
terbatas protokol 1-shot harus digunakan dengan radiograf diambil 10 menit setelah injeksi
kontras. Seperti disebutkan sebelumnya, masa depan mungkin memiliki peran untuk MRU.
Spencer et al. melaporkan bahwa MRU adalah modalitas yang sangat kuat dalam penyelidikan
hidronefrosis selama kehamilan. Selain itu juga digunakan mengidentifikasi tanda-tanda
obstruktif lainnya seperti hidronefrosis dan hidroureter (Pearl dan Nakada, 2009).
BAB 3
Asuhan Keperawatan Umum
3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
1) Data demografi
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama,
suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya.
2) Riwayat kesehatan
(1) Keluhan utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan penyulit yang ada.
Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni
berawal dari area renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung
kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik
atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan
aktivitas untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul
ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya
infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau
gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga kesehatan.
(2) Riwayat penyakit sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang dialami (oliguria, disuria,
hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri
mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya
gangguan gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan
manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan
tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah penting untuk
mengetahui riwayat perjalanan penyakit.
(3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan haluaran urin
sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun hiperkalsiuria, riwayat
hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker (berhubungan dengan adanya malignansi), dan
riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita
osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi.
(4) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat hipertensi, riwayat kalkulus
dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen
sebelumnya, hiperparatiroidisme.
3) Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda, antihipertensi,
natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
tidak a
2) da keterbatasan gerak leher.
3) Mata: Mata normal
4) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung.
5) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik.
6) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut, mulut dan
lidah bersih.
7) Dada
(1) Inspeksi: Dada klien simetris.
(2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya benjolan.
(3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di daerah paru.
(4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.
8) Abdomen
(1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
(2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
(3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
(4) Perkusi: -
9) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan adanya
keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
10) Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton seperti sopir bus.
11) Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit hangat dan
kemerahan, pucat.
12) Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus). Terjadi
penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar, oliguria, hematuria,
piuria, perubahan pola berkemih.
13) Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet
rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air
dengan cukup yang ditandai dengan distensi abdomen, penurunan suara bising usus.
14) Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada
lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan dapat menyebar ke
seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan
menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut,
hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi
demam dan menggigil.
1. B1 (breathing)
Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika
memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru
nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai akibat
dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi pada gagal
ginjal terminal.
2. B2 (blood)
Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal dapat
menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting diperiksa
pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem perkemihan.
3. B3 (brain)
Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen yang
menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di dalam saliva).
Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva sehingga memunculkan
risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai
koma karena retensi nitrogen atau toksik.
4. B4 (bladder)
a. Inspeksi
a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena adanya
hidronefrosis.
b) Pemeriksaan eliminasi urin
Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi pada
saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih.
d) Maturitas seksual
Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan tekstur
kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit yang menutup
genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi.
e) Penis
Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra untuk
mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi untuk mengkaji
adanya nyeri ataupun kondisi abnormal.
f) Skrotum
Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema.
b. Auskultasi
Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi kanan
atau sisi kiri garis tengah.
c. Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis, batu
ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri.
d. Palpasi
Ginjal teraba unilateral Ginjal teraba bilateral
Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan untuk
menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan adanya
benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba mungkin merupakan
kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang dialami.
5. B5 (bowel)
Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan anoreksia yang
berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus mukosa mulut dan
lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di abdomen akibat
berkumpulnya cairan karena sindrom nefrotik sebab hipoalbuminemia.
6. B6 (bone)
Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat
desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku klien
biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria berat (>3,5
gr/24jam), kadar albumin serum rendah (<30 g/l) dan edema karena kerusakan pada glomerulus.
Edema ekstremitas (pitting edema) juga mungkin ditemui.
NO DATA ETIOLOGI MK
Q: nyeri kolik
Distensi pada ureter proksimal
R: pinggang (S) sampai
meatus uretra
Frekuensi kontraksi ureter
S: skala nyeri 7 (dari 0-10)
meningkat
wajah meringis kesakitan
dan lutut menekuk untuk
menahan sakit
Trauma
Terputusnya saraf
Melepaskan reseptor nyeri
Nyeri
2. DS: klien mengatakan sulit Obstruksi pada traktus urinarius Retensi Urin
BAK dan hanya keluar
sedikit serta sering BAK
malam hari
DO:
Penurunan reabsorbsi dan
DO :
Hygiene kurang
Infeksi
1. Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih
2. Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih
3. Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)
3.3 Intervensi
Diagnosa Kepera
No NOC NIC
watan
4)
4) Intake cairan
5) Kejernihan urin
6) Bau urin
Penutup
4.1 Kesimpulan
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum
terungkap (idiopatik). Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya
obsrtuksi, infeksi, dan edema
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions 7 Classification 2015-2017 Tenth Edition. UK NANDA
International, Inc.
Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier: Saunders
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC
Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders
Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta:
EGC
Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s General Urology,ed.5. New
York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.
Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Syaifuddin,H. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Edisi ke tiga. Jakarta :EGC
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley. Jakarta: Penerbit
Erlangga
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami
perkembangannya di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang kesehatan
yaitu teknik transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan suatu teknologi medis untuk
penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu yang lain.
Sampai sekarang penelitian tentang transplantasi organ masih terus dilakukan.
Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien
gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat.
Permintaan untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan donor
yang ada. Sebagai contoh di Cina, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun
tahun 2000 jumlahnya mencapai 78 angka. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah 356.
Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi. Tidak hanya
hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat drastis. Setidaknya
telah terjadi 3 kali lipat melebihi Amerika Serikat. Ketidakseimbangan antara jumlah pemberi
organ dengan penerima organ hampir terjadi di seluruh dunia.
Sedangkan transplantasi organ yang lazim dikerjakan di Indonesia adalah pemindahan
suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan
pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh
ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi
ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima.
Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu
pertanyaan tentang relevansi antara Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang dimana Peraturan
Pemerintah diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang. (Binchoutan,2008)
Penulis mengambil tema makalah Transplantasi organ dikarenakan maraknya kasus
transplantasi di Indonesia serta masih adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun
dunia kesehaan tentang etis dan tidaknya praktek transplantasi organ.
B. Pokok Permasalahan
1. Apa pengertian Transplantasi Organ
2. Apa saja klasifikasi Transplantasi Organ
3. Apa penyebab Transplantasi Organ
4. Bagaimana pandangan agama mengenai transplantasi organ
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui praktek transplantasi organ di dunia pada umumnya dan praktek transplantasi
organ di Indonesia pada khususnya dilihat dari sudut dilema etik.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian transplantasi organ
2. Mengetahui Klasifikasi transplantasi organ
3. Mengetahui penyebab transplantasi organ
4. Mengetahui transplantasi organ dari segi agama
5. Mengetahui transplantasi organ dari segi hukum
6. Mengetahui transplantasi organ dari segi etika keperawatan
7. Mengetahui transplantasi organ dari segi norma masyarakat
D. Manfaat
1. Bagi penulis :
1. Makalah ini disusun sebagai syarat mengikuti Ujian Tengah Semester
2. Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai transplantasi organ
3. Bagi Pembaca :
Sebagai sarana mengetahui apa itu transplantasi organ
BAB II
KONSEP
4. Autograft
Transplantasi jaringan untuk orang yang sama. Kadang-kadang hal ini dilakukan dengan jaringan
surplus, atau jaringan yang dapat memperbarui, atau jaringan lebih sangat dibutuhkan di tempat
lain (contoh termasuk kulit grafts , ekstraksi vena untuk CABG , dll) Kadang-kadang autograft
dilakukan untuk mengangkat jaringan dan kemudian mengobatinya atau orang, sebelum
mengembalikannya (contoh termasuk batang autograft sel dan penyimpanan darah sebelum
operasi ).
5. Allograft
Allograft adalah suatu transplantasi organ atau jaringan antara dua non-identik anggota genetis
yang sama spesies . Sebagian besar jaringan manusia dan organ transplantasi yang allografts.
Karena perbedaan genetik antara organ dan penerima, penerima sistem kekebalan tubuh akan
mengidentifikasi organ sebagai benda asing dan berusaha untuk menghancurkannya,
menyebabkan penolakan transplantasi .
6. Isograft
Sebuah subset dari allografts di mana organ atau jaringan yang ditransplantasikan dari donor ke
penerima yang identik secara genetis (seperti kembar identik ). Isografts dibedakan dari jenis lain
transplantasi karena sementara mereka secara anatomi identik dengan allografts, mereka tidak
memicu respon kekebalan.
7. xenograft dan xenotransplantation
Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies yang lain. Sebuah contoh adalah transplantasi
katup jantung babi, yang cukup umum dan sukses. Contoh lain adalah mencoba-primata (ikan
primata non manusia)-transplantasi Piscine dari pulau kecil (yaitu pankreas pulau jaringan atau)
jaringan.
8. Transplantasi Split
Kadang-kadang organ almarhum-donor, biasanya hati, dapat dibagi antara dua penerima,
terutama orang dewasa dan seorang anak. Ini bukan biasanya sebuah pilihan yang diinginkan
karena transplantasi organ secara keseluruhan lebih berhasil.
9. Transplantasi Domino
Operasi ini biasanya dilakukan pada pasien dengan fibrosis kistik karena kedua paru-paru perlu
diganti dan itu adalah operasi lebih mudah secara teknis untuk menggantikan jantung dan paru-
paru pada waktu yang sama. Sebagai jantung asli penerima biasanya sehat, dapat dipindahkan ke
orang lain yang membutuhkan transplantasi jantung. (parsudi,2007).
Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan tubuh, maka transplantasi
dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke
orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor hidup
ini dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit, darah dan
sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal.
2. Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan atau organ tubuh
baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan atau organ tersebut, untuk
berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup
atau dari jenazah orang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang
otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit, ginjal, sumsum tulang dan darah
(tranfusi darah). Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah : jantung, hati, ginjal, kornea,
pancreas, paru-paru dan sel otak.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1981,
tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan
Tubuh Manusia. Pokok-pokok peraturan tersebut adalah :
1. Pasal 1
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis
sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan
tertentu.
e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh
manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat
dan jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk
keperluan kesehatan.
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yag berwenang bahwa
fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti.
2. Pasal 10
Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 Huruf a dan Huruf b, yaitu harus dengan persetujuan
tertulis penderita dan keluarga yang terdekat setelah penderita meninggal dunia.
3. Pasal 11
a. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh
mentri kesehatan.
b. Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat
atau mengobati donor yang bersangkutan.
4. Pasal 12
Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medic dengan
dokter yang melakukan transplantasi.
5. Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan dua
orang saksi.
6. Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari
korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga
terdekat.
7. Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon
donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang
merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan
yang dapat terjadi . dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang
bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
8. Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.
9. Pasal 17
Jika ditinjau dari segi etika keperawatan, transplantasi organ akan menjadi suatu hal
yang salah jika dilakukan secara illegal. Hal ini menilik pada kode etik keperawatan, Pokok etik
4 pasal 2 yang mengatur tentang hubungan perawat dengan teman sejawat. Pokok etik tersebut
berbunyi “ Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal ”. Seorang perawat dalam
meeeenjalankan profesinya juga diwajibkan untuk tetap mengingat tentang prinsip-prinsip etik,
antara lain :
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu
membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan
adalah seseoranhg melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun
dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah
dipertimbangkan secara matang.
Selain itu dalam praktek transplantasi organ juga tidak boleh melanggar nilai-nilai dalam
praktek perawat professional. Sebagai contoh nilai tersebut adalah, keyakinan bahwa setiap
individu adalah mulia dan berharga. Jika seorang perawat menjunjung tinggi nilai tersebut dalam
prakteknya, niscaya seorang perawat tidak akan begitu mudah membantu melaksanakan praktek
transplantasi organ hanya dengan motivasi komersiil.
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah donor hidup, jenazah
dan donor mati, keluarga dan ahli waris, resipien, dokter dan pelaksana lain, dan masyarakat.
Hubungan pihak-pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplatasi adalah :
1. Donor Hidup
Adalah orang memberikan jaringan atau organnya kepada orang lain (resipien). Sebelum
memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang
dihadapi, baik di bidang medis, pembedaan maupun resiko untuk pembedahannya lebih lanjut
sebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi
donor, seseorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan emosi harus
sudah difikirkan olehdonor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
2. Jenazah dan Donor Mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh-
sungguh untuk memberikan jaringan atau organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia
telah meninggal. Kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila
sebelum meninggal donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang
merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain
bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang
hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.
3. Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling
pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin ataupun tekanan psikis dan emosi di
kemudian hari. Dari keluarga resipien sebenarnya hanya dituntut suatu pengargaan kepada donor
dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah
timbulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
4. Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan atau organ orang lain. Pada dasarnya, seorang
penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau
meringankan penderitanya. Seorang resipien harus benar-benar mengerti semua hal yang
dijelaskan olah tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat
memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resipien.
Akan tetapi, is harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada keungkinan
gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan
yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
5. Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat persetujuan dari
donor, resipien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal-hal yang
mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di
kemudian hari dapat dihindarkan. Tanggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam
melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan-
pertimbangan kepentingan pribadi.
6. Masyarakat
Ketika kondisi D’Zhana sudaj cukup berhasil untuk menjalani operasi, tim dokter pun
akhirnya melakukan transplantasi kedua pada 29 Oktober lalu. “Saya benar-benar percaya bahwa
ini adalah sebuah keajaiban,” ungkap Twolla Anderson, ibunda D’Zhana. D’Zhana mengatakan
ia sangat senang karena bisa berkumpul dengan lima saudaranya dan menghabiskan lebih banyak
waktu di alam terbuka. “Sya bahagia bisa berjalan tanpa mesin,” ujar gadis yang akan merayakan
ulang tahun ke-15Nya itu
Kasus 5 : Jantung Bocor, Bayi 14 Bulan Butuh Transplantasi Jantung
Tangis Fahia Raihana (14 bulan) pecah manakala detak nafasnya sesak. Beberapa saat
kemudian, tubuhnya mulai membiru mulai dari jari tangan dan kakinya. Maklum, bayi
perempuan mungil anak pasangan Siti Aisiyah (27) dan Slamet Hariono (31) warga Desa Siman,
Kecamatan Kepung, Kediri didiagnosis mengalami kelainan jantung langka. Bila manusia
normal letak jantung berada di sisi kiri, pada bayi ini letak jantungnya di sisi kanan. Akibatnya,
beberapa organ tubuhnya pun tak dapat bekerja optimal.
Ironisnya, kelainan jantung ini baru diketahui orang tuanya sejak sang bayi berusia 4
bulan. Hal ini karena terbatasnya kemampuan ekonomi.
"Selama ini ya ke bidan desa, dan katanya hanya sesak-sesak biasa. Setelah semakin besar, kami
coba ke rumah sakit, dan tak tahunya ternyata penyakit anak saya berbahaya," kata ibunya, Siti
Aisiyah kepada detiksurabaya.com saat menunggu anaknya dalam perawatan tim dokter RSUD
Pelem Pare, Kamis (17/7/2008). Dia menjelaskan, beberapa ciri kelainan jantung anaknya dapat
diketahui bila bayi melakukan aktivitas berlebih, termasuk menangis. Bila menangis, sekujur
tubuhnya akan membiru, nafasnya sesak dan detak jantung berdetak cepat. "Pertama kali pasti di
jari-jari tangan dan kaki membiru. Kalau nangisnya terusan, ya menyebar ke sekujur tubuh," ujar
wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Saat ini, kata dia, dirinya kebingungan mencari
dana pengobatan anaknya. Padahal dokter menyebutkan, anaknya kemungkinan dapat
disembuhkan melalui tranplantasi jantung. "Suami saya hanya buruh pabrik kecil, dan terkadang
nyambi manjing lainnya. Pendapatannya tak menentu," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Sementara dari diagnosis dokter menunjukkan, pasien mengalami kelainan tata letak
jantung. Hal ini diketahui setelah dokter melakukan rontgen pada bayi.
"Jelas terlihat, jantung bayi ini ada di sebelah kanan dan tidak berada pada posisi semestinya,"
kata dokter anak RSUD Pelem Pare, dr Suryatmono SpA.
Dijelaskan oleh dia, akibat kelainan tata letak jantung terjadi kebocoran pada bilik kanan dan kiri
jantung sang bayi. Hal ini yang menyebabkan kondisinya sering membiru bila melakukan
aktivitas berlebih.
"Makin beraktivitas yang bisa memacu detak jantung, maka aliran darah semakin deras.
Dan hal itu akan tampak membiru di beberapa bagian tubuhnya," jelasnya. Rupanya, penderitaan
pasien tak berhenti sampai kelainan letak jantung. Dia menambahkan, pada jantungnya terdapat
komplikasi bawaan dextrocardia yaitu Ventrical Septal Defeck (VSD) tampak pada terdapatnya
lubang pada bilik kanan dan kiri dan Antrial Septal Defeck (ASD) yakni adanya lubang di
serambi kanan dan kiri jantung sang bayi.
"Kelainan bawaan ini juga mengakibatkannya mengalami gangguan dalam organ pompa
darah," imbuhnya. Pihaknya, jelas Suryatmono, hanya membuat langkah yakni tekanan darah
balik ke jantung akan diperkecil. Sehingga jantungnya tidak akan bekerja dengan beban yang
berat.
"Operasi pun hanya bisa menyembuhkannya dari kelainan bawaan, sedangkan letak
jantung tidak mungkin dapat dipindahkan," ujarnya. Sementara kasus kelainan tata letak jantung
di Indonesia, terakhir kali ditemukan pada bayi kembar siam Anggie dan Anjeli, tahun 2005
silam. Pada kasus tersebut, dokter juga gagal memberikan pertolongan pada sang bayi.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisa Kasus
Dari beberapa kasus diatas dapat kita analisa dari segi penyebab atau motivasi pelaku
melakukan transplantasi organ. Kasus pertama menyatakan bahwa kasus perdagangan anak
yang terjadi di Jember tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang diperjualbelikan bisa
saja organ tubuhnya dimanfaatkan juga. Mengingat kebutuhan organ di luar negeri masih
sangat tinggi sedangkan organ yang tersedia bisa dibilang kurang. Dari motivasi ini dapat
kita ambil kesimpulan bahwa kasus pertama dilakukan dengan motivasi uang. Sedangkan
sumber organ diperoleh dari anak-anak yang diperjualbelikan.
Kasus kedua mengungkapkan bahwa transplantasi organ harus dilakukan oleh
seseorang yang professional. Jika transplantasi organ tidak dilakukan oleh orang yang benar-
benar mengerti tentang transplantasi organ, maka resiko gagal lebih tinggi. Pada kasus ini,
sumber organ yang digunakan untuk transplantasi hampir sama dengan kasus pertama.
Seperti diungkapkan Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan anak, bahwa donor
organ pastilah dilakukan oleh professional. Sedangkan untuk pangsa pasar, kemungkinan
masih berada di dalam negeri karena untuk penjualan organ di luar negeri harus melalui jalur
legal, seprti contohnya di Singapura dan Jepang.
Kasus ketiga menyatakan bahwa trasnplantasi dua organ bisa memperpanjang
kesempatan hidup pengidab diabetes. Dikatakan seorang pasien bernama Tiffany Butcha
didiagnosis mendertia diabetes tipe 1 (diabetes remaja), penyakit ini dikarenakan sistem
imunitas mengalami hipersensitiv, ia menyerang dirinya sendiri. Sehingga imunitas merusak
sel-sel yang berada di pankreas, dan pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau terganggu
dalam produksi insulin. Dalam kasus ini Tiffany Butcha penderita diabetes 1, membutuhkan
suntikan insulin untuk bertahan hidup. Apalagi diabetes juga mempunyai pengaruh yang
buruk terhadap ginjal. Pada usia 30 tahun Tiffany divonis menderita gagl ginjal, karena
penyakitnya itu ia harus menjalani cuci darah 3 kali seminggu. Hal ini tentu saja sangat
mengganggu aktivitas Tiffany. Akhirnya Dr. Wellen yang merawat Tiffany menyarankan
untuk melakukan transplantasi organ. Tidak tanggung-tanggung, Tiffany disarankan
menjalani 2 operasi transplantasi. Yaitu transplantasi organ ginjal dan pankreas. Alasannya
adalah jika tiffany hanya melakukan transplantasi ginjal, maka penyakit diabetesnya akan
menyerang ginjalnya yang baru. Jika dilakukan transplantasi 2 organ (ginjal dan pankreas)
kemungkinan tersebut bisa dihindari. Karena kadar gula darah akan kembali normal dengan
adanya pankreas baru dan ginjal akan tetap berfungsi normal karena kemungkinan ginjal
terserang diabetes juga telah diminimalisir. Dengan dilakukannya transplantasi dua organ
kepada penderita diabetes, hal ini dapat meningkatkan kemungkinan hidup penderita dari 30
% menjadi 80 %.
Pada kasus keempat, dengan judul remaja berusia 14 tahun hidup tanpa jantung selama 4
bulan. Seorang gadis berusia 14 tahun, bernama D’zhana Simmons mengalami pebesaran
jantung dan dianjurkan untuk melakukan transplantasi organ jantung. Saat transplantasi yang
pertama dilakukan, jantung yang dicangkokkan tidak berfungsi maksimal, dan beresiko pecah.
Maka dokter mengharuskan D’zhana melakukan transplantasi untuk kedua kalinya. Sebelum
dilakukan trasnplantasi yang kedua, D’zhana dipasang alat pompa buatan untuk menggantikan
fungsi jantungnya. Selama empat bulan, gadis belia itu kerap mengalami kesulitan bernafas,
selain juga mengalami gagal jantung dan lever serta pendarahan pada system pencernaan. Dan
yang lebih mendebarkan lagi, perlu setidaknya empat orang untuk terus memantau kondisi
D’Zhana setiap waktu, dan setidaknya satu orang yang mengendalikan mesin yang menjadi
bagian terpisah dari alat pompa jantung tersebut. Akhirnya transplantasi jantung yang kedua
berhasil dilakukan setelah D’zhana haruus menggunakan alat pompa buatan selama 4 bulan dan
sekarang D’zhana bisa berkumpul dengan keluarganya lagi.
Pada kasus kelima, seorang bayi bernama Fahia Raihana mengalami kelainan tata letak
jantung. Jantung manusia yang biasanya berada di sebelah kiri, kali ini berada di sebelah kanan.
Akibatnya organ tubuh yang lain juga tidak berfungsi optimal. Selain itu akibat kelainan tata
letak jantung terjadi kebocoran pada bilik kanan dan kiri jantung sang bayi. Hal ini yang
menyebabkan kondisinya sering membiru bila melakukan aktivitas berlebih. Dokter yang dirujuk
oleh puskesmas yang merawat Raihana, manganjurkan Raihana melakukan transplantasi organ.
Kelainan bawaan yang dialami Raihana mengakibatkannya mengalami gangguan dalam organ
pompa darah. Karena kondisi orang tua Raihana yang tidak mampu, akhirnya tindakan yang
dilakukan terhadap Raihana hanya memperkecil tekanan darah balik ke jantung. Sehingga
jantungnya tidak akan bekerja dengan beban yang berat. Operasi pun hanya bisa
menyembuhkannya dari kelainan bawaan, sedangkan letak jantung tidak mungkin dapat
dipindahkan.
Pada kasus keenam, Angky Camaro direktur PT. Indofood Sumber Makmur, harus
melakukan transplantasi ginjal, karena penyakit diabetes yang dideritanya. Angky berulang kali
harus menjalani operasi karena abses dan nanah yang dikarenakan kadar kreatininnya berulang
kali tidak stabil meski telah melakukan diet kreatinin. Oleh dokter yang merawatnya, ia
dianjurkan untuk melakukan transplantasi ginjal atau cuci darah. Akhirnya Angky memutuskan
untuk transplantasi ginjal, karena cuci darah yang ditawarkan, tentu saja harus dilakukan
berulang kali dan menyita banyak waktu. Hal ini tentu akan sangat merugikan Angky yang
notabene seorang pebisnis.
B. Pembahasan
Dari analisa beberapa kasus diatas, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
motivasi atau penyebab seseorang melakukan transplantasi. Kasus pertama dan kedua
menyatakan bahwa transplantasi organ dilakukan oleh seorang yang telah professional serta
beberapa kasus penculikan anak, bisa saja berkembang menjadi kasus penjualan organ
tubuh. Pada kasus ini bisa dikatakan motivasinya adalah uang. Kasus ketiga dan keenam
serta keempat dan kelima, menyatakan bahwa pelaku melakukan transplantasi dikarenakan
faktor penyakit yang dideritanya. Penyakit tersebut jika tidak segera dilakukan transplantasi,
dikhawatirkan bisa menimbulkan komplikasi yang lebih berbahaya. Pada kasus ketiga dan
keenam dikarenakan penyakit diabetes. Pada kasus keempat dan kelima dikarenakan
penyakit jantung.
Jika dilihat dari segi hokum, kategori pertama jelas melanggar hokum. Dijelaskan
dalam UU. No 23 tahun 1992, pasal 34 ayat 2. Yang berbunyi “pengambilan organ dan atau
jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan
dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya”. Pada kasus pertama dan kedua,
diungkapkan sumber organ bisa berasal dari anak-anak korban penculikan. Hal ini tentu saja
tidak boleh dilakukan. Anak-anak korban penculikan tentu saja tidak akan tahu apa yang
dilakukan terhadap tubuh mereka. Apalagi jika pengambilan organ anak-anak yang diculik
dilakukan oleh orang yang tidak professional. Hal ini juga melanggar pasal 34 Ayat (1)
berbunyi “Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana
kesehatan tertentu”. Pada kategori kedua, transplantasi dilakukan untuk pencegahan
komplikasi penyakit yang lebih berbahaya. Jika dilihat dari Pasal 15 Undang-undang N0. 18
tahun 1981 yang berbunyi “Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan
tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih
dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat
operasi, akibat-akibat dan kemungkinan yang dapat terjadi . dokter yang merawatnya harus
yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut”, maka kategori kedua tidak melanggar hukum. Karena dokter yang
merawat pasien-pasien tersebut telah menjelaskan prosedur dan resiko-resiko yang terjadi.
Dokter juga telah memberikan alternative pengobatan, tindakan selanjutnya kembali kepada
keputusan pasien. Jadi jika pada dasarnya, transplantasi organ menurut hukum, boleh
dilakukan dengan ketentuan, transplantasi dilakukan dengan persetujuan pendonor dan
resipien serta pendonor maupun resipien paham betul bagaimana transplantasi akan
dilakukan serta resiko apa saja yang akan terjadi.
Agama memandang transplantasi organ berdasar motivasi yang mendasari dan
darimana organ diperoleh. Agama Islam memperbolehkan transplantasi organ jika donor
organ berasal dari orang yang masih hidup serta bukan organ tunggal yang dapat
menimbulkan kematian bagi pendonor. Hal tersebut tertulis di Al-Qur’an dalam beberapa
surat : yang pertama surat Al-Baqoroh ayat 195 yang artinya “dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan’, surat yang kedua adalah AnNisa ayat 29,
yang artinya “dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri”. Jika donor berasal dari organ
seseorang yang sudah meninggal, hal tersebut juga dilarang. Dalam sebuah hadist Imam
Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah
melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : “Janganlah
kamu menyakiti penghuni kubur itu !” Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa
mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar
kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan
menganiaya orang hidup. Pada kasus ketiga transplantasi dilakukan dengan sumber organ
dari seorang korban kecelakaan. Tentu saja hal tersebut melanggar hukum agama Islam.
Dalam agama kristen tidak dijelaskan secara signifikan mengenai aturan transplantasi
organ, tetapi menyatakan transplantasi organ boleh dilakukan dengan motivasi kemanusiaan,
bukan karena uang semata. Dalam agama hindu tidak melarang bahkan menganjurkan
umatnya unutk melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbanan
tulus ikhlas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia.
Dapat dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22 sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha
wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani
dehi” Artinya: seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian
lama, begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan
meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna.
Dalam agama budha dijelaskan donor adalah salah satu bentuk kamma baik, ketika
seseorang berdonor kornea mata, dipercaya dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan
mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki dalam kehidupan saat
ini. donor adalah salah satu bentuk kamma baik, ketika seseorang berdana kornea mata,
dipercaya dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat
dari pada mata yang ia miliki dalam kehidupan saat ini. Jika ditarik kesimpuan, maka
kategori pertama jelas dilarang karena dilakukan atas dasar komersiil bukan karena
kemanusiaan. Untuk kasus kategori kedua, boleh dilakukan karena dilakukan untuk
penyembuhan dan didasari kemanusiaan. Tetapi pada kasus ketiga, organ diperoleh dari
orang yang telah meninggal, oleh karena itu, dilarang menrut agama Islam.
Jika ditinjau dari segi etika keperawatan, transplantasi organ akan menjadi suatu hal yang
salah jika dilakukan secara illegal. Hal ini menilik pada kode etik keperawatan, Pokok etik 4
pasal 2 yang mengatur tentang hubungan perawat dengan teman sejawat.
Pokok etik tersebut berbunyi “ Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal ”. Selain itu
dalam prakteknya, seorang tenaga kesehatan khususnya perawat juga harus tetap menghargai
kehidupan manusia sebagai individu yang unik, serata harus dihargai sebagai seorang manusia.
Jika dalam praktek transplantasi organ, sumber organnya didapat dari seseorang secara paksa
seperti dalam penculikan, tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik keperawatan
pokok etik 1 alinea 2. Selain pokok etik 1 dan 4 ada juga pokok etik lain yang harus klita
perhatikan. Yaitu pokok etik 2 alinea 2 yang menjelaskan bahwa seorang perawat harus
memelihara mutu pelayanan yang tinggi serta kejujuran. Dalam praktek professionalnya, tentu
saja seorang perawat dilarang untuk berbohong. Apalagi mengenai kondisi pasien. Dalam
penerapannya di kasus transplantasi organ, seorang tenaga kesehatan khususnya perawat, harus
berkata yang sebenarnya, tentu saja menggunakan etiket-etiket yang berlaku.
Perawat dalam menjalankan profesinya juga diwajibkan untuk tetap mengingat tentang
prinsip-prinsip etik, antara lain :
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan
adalah seseorang melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun
dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah
dipertimbangkan secara matang.
b. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan
dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan
oleh diri dan orang lain. Kasus transplantasi organ yang didasari dengan prinsip untuk berbuat
baik, tentu saja tidak melanggar prinsip ini.
c. Keadilan (Justice)
Dalam praktek transplantasi tentu saja prinsip ini harus diperhatikan karena keadilan harus
diperoleh oleh kedua pihak yang mendonor dan pihak yang menerima donor. Kasus kategori
pertama tentu saja melanggar prinsip ini, karena oknum-oknum yang melakukan tentu saja sama
sekali tidak memperhatikan keadilan bagi para korban penculikan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan semaksimal mungkin
bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
e. Kejujuran (Veracity)
dari prinsip ini, seorang dokter harus menyampaikan kondisi yang ebenarnya bagi pihak
pendonor dan resipien. Hal sedetail apapun dalam proses transplantasi organ harus disampaikan
agar tidak terjadi kesalahan dalam proses yang akan dilakukan.
Dari prinsip-prinsip diatas berarti harus diperhatikan benar bahwa dalam memutuskan
untuk melakukan transplantasi organ harus disertai pertimbangan yang matang dan tidak ada
paksaan dari pihak manapun, adil bagi pihak pendonor maupun resipien, tidak meruguikan pihak
manapun serta berorientasi pada kemanusiaan.
Selain itu dalam praktek transplantasi organ juga tidak boleh melanggar nilai-nilai dalam
praktek perawat professional. Sebagai contoh nilai tersebut adalah, keyakinan bahwa setiap
individu adalah mulia dan berharga. Jika seorang perawat menjunjung tinggi nilai tersebut dalam
prakteknya, niscaya seorang perawat tidak akan begitu mudah membantu melaksanakan praktek
transplantasi organ hanya dengan motivasi komersiil.
Transplantasi menurut norma masyarakat terkait dengan beberapa pihak, antara lain, donor,
resipien, dokter dan tenaga ahli, keluarga dan masyarakat. Dalam suatu kasus pelaksanaan
tranplantasi tentu saja, semua pihak-pihak terkait harus mengerti bagaimana prosedur yang akan
dilaksanakan dan resikoresiko yang mungkin terjadi. Secara tidak sengaja masyarakat turut
menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan para cendekiawan,
pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan untuk mendidik masyarakat agar lebih
memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini
kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlukan, atas tujuan luhur akan terpenuhi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa transplantasi adalah suatu rangkaian
tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari
tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau
organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik atau mengalami suatu kerusakan. Transplantasi
dapat diklasifikasikan dalam beberapa faktor, seperti ditinjau dari sudut si penerima atau
resipien organ dan penyumbang organ itu sendiri. Jika dilihat dari si penerima organ meliputi
autotransplantasi, homotransplantasi, heterotransplantasi, autograft, allograft, isograft, xenograft
dan xenotransplantation, transplantasi split serta transplantasi domino. Sedangkan dilihat dari
sudut penyumbang meliputi transplantasi dengan donor hidup dan donor mati (jenazah). Banyak
sekali faktor yang menyebabkan sesorang melakukan transplantasi organ. Antara lain untuk
kesembuhan dari suatu penyakit (misalnya kebutaan, rusaknya jantung dan ginjal), Pemulihan
kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi
sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis (contoh: bibir sumbing).
Dalam agama Kristen, katolik, hindu, dan budha transplantasi boleh dilakukan dengan
alasan medis dan asalkan dengan niat tulus dan tujuannya untuk kebaikan menolong nyawa
seseorang tanpa membahayakan nyawa si pendonor organ tersebut. Sedangkan dalam agama
islam untuk melakukan transplantasi organ harus dilihat terlebih dahulu dari mana organ yang
akan ditransplantasikan tersebut berasal atau dilihat dari sumber organ. Dalam hukum,
transplantasi tidak dilarang jika dalam keadaan darurat dan ada alasan medis, tidak dilakukan
secara ilega, dilakukan oleh profesinal dan dilakukan secara sadar. Dari segi etika keperawatan
asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip etik seperti otonomi (Autonomy), Tidak merugikan
(Nonmaleficience), Berbuat baik (Beneficience), Keadilan (Justice), Kejujuran (Veracity) dan
Menepati janji (Fidelity) transplantasi organ diperbolehkan. Dari segi masyarakat, selama
transplantasi dilakukan atas dasar medis dan mendapat persetujuan dari anggota keluarga maka
diperbolehkan. Namun disisi lain transplantasi organ di kalangan masyarakat belum begitu
dipahami secara menyeluruh sehingga masih menimbulkan beberapa pertanyaan tentang
transplantasi.
B. Saran
Saran yang ingin disampaikan bagi pembaca adalah jika ingin melakukan transplantasi
organ, pahami betul dari mana organ terseebut berasal. Dari donor hidup ataukah dari
seseorang yang sudah meninggal. Usahakan untuk mencari upaya penyembuhan lain sebelum
memilih transplantasi organ sebagai alternatif pengobatan.
Untuk penulis, saran yang ingin disampaikan adalah, lakukan penulisan dengan
objektif dan gunakan bebagai macam referensi yang ada agar tulisan benar-benar terbukti
validitasnya.
TRANSPLANTASI ORGAN
( Tugas dari : Ibu Desak Parwati,S.Kep,Ns,M.Kes. )
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. ANI SULISTYAWATI
2. WIYATNO
3. WARTINI
4. KHOMSIATUN