Anda di halaman 1dari 107

Asuhan Keperawatan BPH

KONSEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

PENDAHULUAN

Benigna prostat hiperplasia merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya,


beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging. Beberapa teori penyebab timbulnya BPH yaitu teori
dihidrotestosteron, adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel
stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori stem sel. Hal tersebut
menyebabkan pembesaran prostat, retensi pada leher buli buli dan daerah prostat meningkat dan
otot detrusor menebal. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang lama maka dapat mengakibatkan
retensio urin kemudian hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Untuk itu perlu bagi
mahasiswa untuk memahami asuhan keperawatan pasien dengan BPH agar mampu memberikan
asuhan keperawatan yang baik serta mencegah timbulnya komplikasi.

TUJUAN
Kompetensi Dasar : Peserta didik/mahasiswa dapat menjelaskan konsep BPH dan asuhan keperawatan
pasien dengan BPH

Sub pokok bahasan : Peserta didik/mahasiswa dapat Menjelaskan


1. Pengertian BPH
2. Etiologi BPH
3. Patofisiologi BPH
4. Manifestasi Klinis BPH
5. Pemeriksaan penunjang BPH
6. Penatalaksanaan BPH
7. Komplikasi BPH
8. Asuhan Keperawatan pasien dengan BPH
URAIAN MATERI

A. PENGERTIAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini dapat
menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. McNeal (1976)
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar hyperplasia prostat
terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona
perifer (Purnomo b, 2012).
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormone testosterone, yang di dalam sel
kelenjar prostat, hormone ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim 5α-reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan dan proliferasi sel kelenjar prostat (Baughman D. C, 2000)
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan tergangunya aliran urine sehingga menimbulkan
gangguan miksi (Mansjoer Arif, 2000).

B. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia prostat,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesi
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestostero,
(2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel
epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel (apoptosis) teori stem sel (Citra B, 2009).
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan dari reaksi perubahan testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5 alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berkaitan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relative tetap
sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relative meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-sel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada opoptosis terjadi kondensasi da fragmentasi
sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang menghambat proses
apotosis. Diduga hormone androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen
diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan factor pertumbuhan TGFβ
berperan dalam proses opoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami opotosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam
kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,menyebabkan
terjadinya opotosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun
sel epitel.

C. PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun) dimana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon
testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan / pembesaran prostat. Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Makrokospik dapat mencapai 60 - 100 gram dan kadang-kadang
lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih (Price S. A, 2005)
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai
bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior,
yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore). Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah.
Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup
lumen uretra (Price S. A, 2005)
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
- Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan
menetap dari BPH.
- Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi m.
- Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sanpai akhir miksi.
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak
dalam buli-buli.
- Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
- Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
- Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter.
- Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-
sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli
akan cepat naik melebihi tekanan spingter.

D. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih (Ikatan ahli urologi Indonesia, 2009)
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding, storage,
dan pasca miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat system scoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. System scoring yang dianjurkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Intrnasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score).
System scoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS itu
dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor
8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa factor pencetus,
antara lain: (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, menglkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alcohol,
kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu
setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrussor atau yang dapat
mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergic alfa.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyakit hyperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering megejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada
colok dubur diperhatikan : (1)tonus sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan
adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rectum, dan (3) keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
Colok dubur pada pembesaran prostat benignamnunjukkan konsitensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul,
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistesi prostat keras/ teraba nodul dan mungkin di antara
lobus prostat tidak simetri.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisis
Pemeriksaan laboratorium yang penting pada evaluasi awal pasien yang suspek BPH adalah
urinalisis. Adanya hematuria harus dipertimbangkan secara tepat untuk dilakukan cystoscopy.
Adanya sel darah putih mungkin disebabkan oleh infeksi (cystitis atau prostatitis) (Sloane,
2008).
2. Kultur urine
3. Tes serum prostat spesifik antigen (PSA)
PSA merupakn pilihan pada laki-laki dengan LUTS yang diperkirakan menjadi sekunder dari
BPH. PSA merupakan evaluasi dari BPH untuk mengetahu level PSA atau penampilan dari
kanker prostat akan merubah penatalaksanaan. Pada 25% laki-laki dengan BPH terdapat
peningkatan PSA (Sloane, 2008).
4. Urine cytology
Urine cytology digunakan pada laki-laki yang memiliki gejala iritasi dimana pasien memiliki
riwayat merokok atau faktor resiko lain (Sloane, 2008).
5. Post Void Residual (PVR) Volume
6. Maximal Urinary Flow Rate
7. Tes Uroflow
Digunakan untuk estimasi volume urinasi serta durasi dan kecepatan dari urinasi (Sloane, 2008).
8. Imaging
Untuk mengkaji ukuran prostat, bentuk prostat, adanya karsinoma, dan karakter jaringan.
a. USG saluran ginjal
b. USG transrektal
c. Transabdominal ultrasound
Post void residual urine volume dihitung pada berat, panjang, dan tinggi bladder yang diperoleh
dengan cara transabdominal ultrasound
d. TRUS
TRUS lebih akurat dibandingkan dengan sistoskopi.
e. CT (computed tomography)
f. MRI
9. IVU: Kelainan Struktural
10. Sistoskopi
11. Urodinamika
Pressure flow untuk menetukkan kemungkinana adanya sumbatan, dimana dapat
mengkategorikan derajat dari obstruksi dan identifikasi pasien yang memiliki low flow rate
12. Creainine measurement
Terdapatnya BPH mungkin dapat menyebabkan hidronefrosis dan gagal ginjal. Pada pasien BPH
terjadi azotemia sekitar 15%-30% (Rosette, et al, 2001).
13. Digital rectal examination (DRE)
DRE merupakan pemeriksaan penting pada laki-laki dengan LUTS. Hal ini dapat menentukan
adanya kanker prostat dan untuk meningkatkan kapasitas untuk estimasi volume prostat serta
untuk menentukkan pengobatan yang tepat sesuai dengan ukuran prostat yang tampak (Rosette,
et al, 2001).
14. Urinary bladder voiding cyst urethrogram
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk diagnostik rutin pada lansia dengan LUTS
(Rosette, et al, 2001).
15. Endoskopi
Standa prosedur endoskopi adalah untuk evaluasi diagnosis pada daerah lower urinary tract.
Pemeriksaan ini untuk mngkonfirmasikan adanya penyebab dari obstruksi outflow (Rosette, et al,
2001).

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang
ditawarkan pada pasien memperhatikan derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi
obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya (Brunner & Suddart, 2002)
Klasifikasi hasil IPSS
Skor Kategori Tatalaksana
0-7 Ringan Watchfull waiting
8-18 Sedang Medikamentosa
19-35 Berat Operasi

1. Tanpa terapi (watchful waiting)


Pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakit dan keadaannya tetap
diawasi oleh dokter. Watchful waiting ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas pasien sehari-hari. Namun
beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan
skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS >7), pancaran
urine melemah (Qmax <12mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak
banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pasien diberi penjelasan mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
a. Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam
b. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
coklat)
c. Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
d. Kurangi makanan pedas dan asin
e. Jangan menahan kencing terlalu lama
Pasien diminta untuk kontrol setiap 6 bulan, diperiksa tentang perubahan keluhan yang
dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Apabila
keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipertimbangkan untuk
memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Medikamentosa direkomendasikan pada pasien BPH apabila BPH mulai menyebabkan perasaan
mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya. Pemberian medikamentosa perlu
mempertimbangkan beberapa hal yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat
yang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi selama pemberian obat. Tujuan dari terapi
medikamentosa adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen
dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan
antara lain:
a. antagonis adrenergik reseptor α berupa:
a) preperat non selektif: fenoksibenzamin
b) preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c) preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
b. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
c. Fitofarmaka
a) antagonis adrenergik reseptor α
Bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik α non selektif
yang mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini
dapat menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan seperti hipotensi postural dan
menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Golongan obat antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek
diantaranya adalah prozasin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu terazosin,
doksazosin dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik reseptor α terbukti dapat
memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas
hidup, dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor
gejala miksi hingga 30-40% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan
dengan sebelum terapi. Sejak 48 jam setelah pemberian obat, perbaikan gejala meliputi keluhan
iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan. Golongan obat ini dapat diberikan dalam
jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai
pemberian 6-12 bulan.
Berbagai jenis antagonis adrenergik α menunjukkan efek yang hampir sama dalam
memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun masing-
masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek
tersebut antara lain hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan
pasien menghentikan pengobatan. Setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, sebanyak 5-
20% pasien mengeluh dizzines, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah
pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau
terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo. Pada tamsulosin tidak
tampak nyata penyulit sistem kardiovaskuler karena obat ini merupakan antagonis adrenergik α
yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik α1A.
Efektifitas obat golongna antagonis adrenergik α tergantung pada dosis yang diberikan,
yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin nyata, namun komplikasi yang timbul pada
sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis
obat yang akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkatkannya secara
perlahan-lahan (titrasi), sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Salah satu kelebihan
dari tamsulosin adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Obat ini
masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.
b) Inhibitor 5 α redukstase
Finasteride bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT)
dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α redukstase di dalam sel-sel prostat. Obat ini
mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau
skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaran urine. Pada penelitian yang dilakukan oleh
mcConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan
bahwa pemberian finasteride 5 mg/hari selama 4 tahun mampu menurunkan volume prostat,
meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan
kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride diberikan bila volume prostat lebih dari 40 cm3. Efek samping yang
ditimbulkan oleh finasteride diantaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride juga menurunkan kadar
PSA sampai 50% dari harga normal yang semestinya, sehingga perlu diperhitungkan pada saat
deteksi dini kanker prostat.
c) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuhan dapat dipakai sebagai fitoterapi untuk memperbaiki gejala
akibat obstruksi prostat, meskipun sampai saat ini belum ada data-data farmakologik tentang
kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerjanya. Fitoterapi yang banyak dipasarkan
adalah Serenoa repens, Pygeum africanum, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan lain-lain.
Fitoterapi tersebut kemungkinan bekerja sebagai anti edrogen, anti estrogen,
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor
(EGF), efek anti inflamasi, mengacaukan metabolisme prostaglandin, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat.
3. Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan:
a. Teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan
Pembedahan dengan mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi, dapat
memberikan perbaikan pada skor IPSS dan meningkatkan laju pancaran urine secara obyektif.
Indikasi dari pembedahan yaitu pada BPH yang mengalami komplikasi, diantaranya adalah
retensi urine karena BPO, infeksi saluran kemih berulang karena BPO, hematuria makroskopik
karena BPE, batu buli-buli karena BPO, gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO, dan
divertikulum buli-buli yang cukup besar karena BPO. Selain itu pembedahan diindikasikan pada
BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
1) Prosterektomi terbuka
Prosterektomi terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.
Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang hingga saat ini sering
dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang
besar, dan hernia inguinalis. Pendekatan lainnya adalah pendekatan retropubik yang
dipopulerkan oleh Milin. Prosterektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktur uretra dan
inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP.
2) Endourologi
 TURP (reseksi Prostat Trasuretra)
TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga
100%. Komplikasi yang sering terjadi saat operasi adalah perdarahan sehingga membutuhkan
tranfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia
lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Penyulit yang timbul
setelah operasi adalah inkontinensia stress maupun inkontinensia urge, striktur uretra, kontraktur
leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat berukuran kecil, dan disfungsi ereksi.
Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif yang lebih baik, pada dekade
terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur
menurun.
 TUIP
Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi
mempergunakan pisau colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli sampai ke verumotanum.
Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Keuntungan dari TUIP adalah waktu yang dibutuhkan
lebih cepat, dan menimbulkan lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP atau
insisi leher buli-buli direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3),
tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma
prostat.
 Elektrovaporasi
Cara elektrovaporasi prostat hampir mirip dengan TURP, yang membedakan adalah teknik ini
menggunakan roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatemi yang cukup kuat, sehingga
mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan
perdarahan saat operasi dan masa rawat inap yang lebih singkat. Namun teknik ini hanya
diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50gram) dan membutuhkan waktu yang
lebih lama.
b. Invasif minimal
1) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC sehingga menimbulkan nekrosis
koagulasi jaringan prostat. Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik
yang didapatkan, namun juga makin banyak menimbulkan efek samping. Pada umumnya terapi
ini lebih efektif daripada terapi medikamentosa tetapi kurang efektif dibandingkan dengan
TURP. Terapi ini diindikasikan pada pasien yang memakai terapi antikoagulansia karena tidak
banyak menimbulkan perdarahan.
2) TUMT (transuretral microwave thermotheraphy)
TUMT menghasilkan energi yang berasal dari gelombang mikro yang disalurkan melalui kateter
ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat merusak kelenjar prostat yang diinginkan. Jaringan lain
dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari dari kerusakan selama proses pemansan
berlangsung. TUMT terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT energi rendah
diperuntukkan bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi
untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT energi tinggi menimbulkan
morbiditas yang lebih besar daripada energi rendah, namun menghasilkan respon terapi yang
lebih baik.
3) HIFU (high intensity focused ultrasound)
HIFU menimbulkan nekrosis dari energi panas yang berasal dari gelombang ultrasonografi dari
transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui
alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan
anastesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perubahan gejala klinis 50-60% dan Qmax rata-
rata meningkat 40-50%. Kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun dan sementara efek
lebih lanjut belum diketahui.
4) TUNA (transuretral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai
100oC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA
yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490
kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal
xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien
sering kali mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine, dan epididimo-orkitis.
TUNA dapat memperbaiki gejala hingga 50-60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50%.
5) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran
prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Stent temporer dipasang selama 6-36 bulan dan
terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini
dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent permanen terbuat dari anyaman berbahan logam super alloy, nikel, atau titanium.
Pemasngan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalankan operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra
posterior atau mengalami enkrustasi. Setelah pemasangan kateter pasien biasanya masih
merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah
penis.
Pengawasan/kontrol Berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting perlu
mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan
penyakitnya sehingga mungkin memerlukan pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang,
jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS,
uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang menjalani tindakan
intervensi perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi
saluran kemih akibat tindakan itu. Jadawal pemeriksaan tergantung dari terapi yang dijalani
pasien seperti terlihat pada tabel berikut

Modalitas Terapi 1 tahun setelah terapi Evaluasi


6 minggu 12 minggu 6 bulan tahunan
Watchful waiting - - v V
Antagonis adrenergik α - V v V
Inhibitor 5- α reduktase V - v V
Operasi V V v V
Invasif minimal V V v V

G. KOMPLIKASI
Menurut Pierce A. Grance & Neil R. Borley (2005) komplikasi yang terjadi pada pasien BPH
post pembedahan:

1. Perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah


2. ISK
3. Ejakulasi retrograd, impotensi
4. Sindrom TURP pada 2% pasien penyerapan cairan irigasi melalui sinus venna pada prostat
menyebabkan hiponatremia, hipotensi, dan asidosisi metabolik
5. Inkontinensia
6. Striktur uretra
H. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
Pengkajian pada Benigna Prostat Hiperplasia (Madjid S, 2009)
1. Identitas
Pada pengkajian identitas biodata (nama, jenis kelamin, umur, suku, gama, status perkawinan,
pekerjaan, pendidikan), tanggal MRS, No. Register, diagnosa medis.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji berapa lama keluhan hesistansi (mengejan untuk memulai urine), keluhan intermitensi
(miksi berhenti dan kemudian memancar lagi), pancaran miksi yang melemah, keluhan miksi
tidak puas, keluhan miksi menetes, keluhan peningkatan frekuensi miksi, keluhan miksi sering
pada malam hari, keluhan sangat ingin miksi dan keluhan rasa sakit sewaktu miksi mulai
dirasakan.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit kanker, hipertensi, batu kandung kemih, infeksi saluran kemih
berulang. Serta kaji penggunaan obat-obatan anti hipertensif atau antidpresan, natibiotik urianria
atau agen antibiotik, obat yang dijul bebas untuk flu atau adanya alergi obat yang megandung
simpatomimetik.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya riwayat keluarga yang menderita kanker, hipertensi dan penyakit ginjal seperti
nefritis herediter, batu ginjal; diabetes mellitus serta penyakit kardiovaskuler.
d. Riwayat Psiko, Sosio, Kultural
Kaji pengaruh gangguan miksi pada respons psikologis dan perencanaan pembedahan. Pada
pengkajian sering ditemukan adanya kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) yang
merupakan respons dari adanya penyakit dan rencana untuk dilakukan pembedahan.
Kaji juga kemampuan koping dan pengetahuan tentang penyakit.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pasien dalam kondisi sadar. Pada pemeriksaan TTV, nadi biasanya meningkat pada keadaan
kesakitan, pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urine, serta urosepisi sampai
syok septik. Selain itu, akan ada peningkatan tekanan darah karena efek pembesaran ginjal.
b. Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis dan pyelonefrosis. Pada daerah supra-simfisis, keadaan retensi akan menonjol. Saat
palpasi terasa adanya ballotement dan klien akan merasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urine. Selain itu, akan ditemukan massa padat di bawah
abdomen bawah (ditensi kandung kemih) serta nyeri tekan kandung kemih.
c. Pemeriksaan Genitalia
Penis dan uretra diperiksa untuk mendeteksi adanya kemungkinan stenosis meatus, striktur
uretra, batu uretra, karsinoma, maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk mengetahui adanya
epididimitis.
Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistem
persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Pada palpasi akan ditemukan pembesaran dan nyeri tekan prostat.
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Makanan/Cairan
Pasien akan mengeluhkan kurangnya nafsu makan, anoreksia, mual, muntah hingga penurunan
berat badan. Serta kaji masukan cairan per oral.
b. Pola nyeri/kenyamanan
Pasien akan mengeluhkan nyeri suprapubis, panggul, atau punggung; terasa tajam dan kuat pada
prostatitis akut serta nyeri punggung bawah.
Untuk pengkajian nyeri ini harus terfokus dan spesifik. Dengan menggunakan metode PQRST: P
(Provocation): merujuk pada faktor-faktor yang memperhebat nyeri. Q (Quality): kualitas nyeri
penting dalam menentukan sifat. Seperti pada BPH akan ditemukan nyeri tumpul di daerah
perineum atau punggung.
c. Pola seksualitas
Pasien akan mengeluhkan gejala adanya masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual; adanya ketakutan inkontinensia/menetes selama hubungan intim serta penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi dengan tanda adanya pembesaran dan nyeri tekan prostat.
Klien dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena situasi
krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter). Dengan terjadinya
disfungsi seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status
kesehatan.
d. Pola Istirahat dan Tidur
Tanda dan gejala BPH antara lain nokturi dan frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien
maka tidur klien akan terganggu. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien akan
sering terbangun pada malam hari untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
e. Pola Persepsi dan Tatalaksana Hidup Sehat
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah
dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya
khususnya saat dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
5. Pemeriksaan per sistem
a. B1 (Breathing)
Untuk sistem pernapasan, tidak ada gangguan. Hanya saja, jika dalam keadaan nyeri akut maka
akan terjadi peningkatan pernapasan.
b. B2 (Blood)
Akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi seperti kulit kering, mukosa kering dan dan turgor kulit
jelek. Tekanan darah meningkat serta nadi juga meningkat.
c. B3 (Brain)
Pada B3 juga tidak ada gangguan. Tetapi, psikis klien akan terganggu dengan adanya cemas
untuk menghadapi perawatan lebih lanjut.
d. B4 (Bladder)
Akan didapatkan keluhan bahwa klien sering buang air kecil (poliuria), aliran air kemih yang
terhambat sehingga keluarnya aliran sedikit-sedikit, air kemih mengandung darah (hematuria),
retensi urin, sering berkemih di malam hari (nokturia)
e. B5 (Bowel)
Akan ditemukan konstipasi karena prostusi prostat kedalam rektum. Adanya anoreksia; mual
muntah serta penurunan berat badan.
f. B6 (Bone)
BPH ini tidak selalu mengganggu sistem B6 ini. Hanya saja akan ditemukan adanya perubahan
pad kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi seperti ruam, turgor kulit buruk, mukosa kering.

MADSEN Score Uroflowmetri


Stream 1. Bagaimana pancaran air kencing bapak?
0 lancar dan besar
1 tidak tentu
3 lemah, kecil
4 menetes
Voiding 2. Apakah disertai mengejan waktu kencing?
0 tidak
2 ya, mengejan
Hesitancy 3. Jika terasa akan kencing, apakah segera ataukan harus menunggu
lama dulu baru air kencing keluar?
0 sesudah di WC. langsung dapat keluar
2 harus menunggu dulu baru air kencing keluar
Intermitency 4. Apakah aliran kencing keluar sekaligus atau terputus-putus?
0 sekaligus
3 terputus-putus
Bladder Emptying 5. Sesudah selesai kencing apakah merasa lampias/tuntas?
0 lampias
1 kadang-kadang kurang lampias
2 selalu tidak lampias
3 pernah sekali dipasang catheter baru dapat kencing kembali
4 sudah lebih dari satu kali dipasang catheter baru dapat kencing biasa
lagi
Incontinence 6. Pernah mengalami kecing tidak terasa, seperti ngompol?
0 tidak pernah sama sekali
2 ya, pernah seperti ngompol
2 sesudah selesai kencing, tak terasa air kencing keluar lagi
Urge 7. Untuk pergi ke tempat kecing, saat sudah ingin kencing, apakah?
tidak pernah sangat terburu-buru, yakin dapat ditahan
0 harus buru-buru, rasanya sukar ditahan lagi
1 kadang air kencing keburu keluar sebelum sampai di WC
2 selalu air kencing keluar dulu sebelum siap di WC
2
Nocturia 8. Berapa kali bapak terbangun malam hari untuk pergi kencing?
0 tak pernah atau kadang-kadang saja sekali semalam
1 sampi dua kali semalam terbangun
2 tiga atau bahkan empat kali semalam
3 lebih dari empat kali terbangun malam untuk kencing di WC
Diuria 9. Pada siang hari seberapa sering Bapak buang air kecil?
0 > 3 jam sekali baru kencing, atau 3-4 kali selama siang hari
1 setelah antara 2-3 jam sekali baru kencing, atau 5-6 kali sehari
2 tiap 1-2 jam sekali sudah kencing, 7-8 kali selama siang hari
3 sebentar-sebentar, tak ada satu jam sudah harus kencing lagi
Obstruktif = .....
Iritasi = .....
Madsen = .....
Gejala obstruktif dan iritatif pada BPH1
Obstruktif Iritatif
Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) Peningkatan frekuensi miksi (frequency)
Miksi terputus (intermittency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari
(nocturia)
Urin menetes pada akhir miksi (terminal Miksi sulit ditahan (urgency)
dribbling)
Pancaran miksi lemah Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)

h. Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisa: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh;
pH 7 atau lebih besar yang menunjukkan infeksi;baktera, SDP, SDM mungkin ada secara
mikroskopis
2. Kultur urine; untuk mengesampingkan kecurigaan kanker kandung kemih
3. BUN/kreatini; akan meningkat jika fungsi ginjal terpengaruh
4. Asam fosfat serum/antigen khusus prostatik akan mengalami peningkatan karena pertumbuhan
seluer dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan adanya metatstase
tulang)
5. SDP: mungkin lebih dari 11.000 karen adanya infeksi pada pasien yang tidak imunosupresi
6. Penentuan kecepatan aliran urine untuk mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
7. IVP dengan film pasca berkemih: menunjukkan perlambatan pengosongan kandung
kemih,membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli
kandung kemiih dan penebalan abnormal otot kandung kemih
8. Sistometri untuk mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya
9. Ultrasound transektal untuk mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi
yang tak berhubungan dengan BPH

Diagnosa
1. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pembesaran prostat dan respon
pasca bedah
2. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius, tindakan pasca bedah
3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan,kehilangan status kesehatan
4. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan
pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya
informasi/informasi yang keliru

Diagnosa keperawatan post operasi


1. Resiko defisit cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entre luka pasca bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional

No.
1. Gangguan pola Setelah 1. Observasi pola Mengetahui
eliminasi urine dilakukan berkemih dan catat pengaruh iritasi
berhubungan dengan tindakan produksi urine tiap 6 kandung kemih
obstruksi pembesaran keperawatan jam dengan frekuensi
prostat dan respon selama 3x24 Motivasi klien untuk miksi
pasca bedah jam menghindari minum Mencegah oven
diharapkan banyak dalam waktu distensi kandung
pola singkat, hindari alcohol kemih akibat tonus
eliminasi dan diuretik otot detrusor
klien normal Intervensi pasca bedah : menurun.
dan tidak Observasi urine dan
mengalami sistem kateter/drainase,
retensi khususnya selama irigasi Retensi dapat terjadi
dengan kandung kemih karena edema area
kriteria : Perhatikan waktu, bedah, bekuan darah
- Klien jumlah berkemih dan dan spasme kandung
mampu ukuran aliran setelah kemih.
mengosong kateter dilepas. Kateter biasanya
kan Dorong pemasukan dilepas 2-5 hari
kandung cairan 3000 ml sesuai setelah bedah, tetapi
kemih 5- toleransi berkemih dapat
8x/24 jam berlanjut menjadi
- Respon masalah untuk
pasca bedah beberapa waktu
: kateter karena edema uretra
tetap dan kehilangan
kondisi tonus.
baik, tidak Mempertahankan
ada hidrasi adekuat dan
sumbatan perfusi ginjal untuk
aliran darah aliran urine.
melalui
kateter,
tidak terjadi
retensi pada
saat irigasi
2. Nyeri akut Setelah 1. 1.Observasi intensitas 1. Pengkajian nyeri
berhubungan dengan dilakukan nyeri dengan skala 1-10 adalah langkah
obstruksi traktus tindakan pertama dalam
urinarius, tindakan keperawatan 2. Fiksasi kateter membuat rencana
pasca bedah selama dengan cara yang manajemen nyeri
3x24jam tepat agar tetap2. Selang yang
diharapkan stabi sehingga tertekuk
nyeri klien tidak mengakibatkan
berkurang menimbulkan distensi dan
atau gesekan baru meningkatkan rasa
terkontrol pada mukosa nyeri
dengan urethra.
kriteria : 3. Fiksasi selang3. Mengurangi
- Klien dapat urine pada alat gesekan pada ureter
mengontrol tenun disamping
nyeri klien dengan 4. Penyesuaian ukuran
dengan menggunakan kateter agar tidak
menggunak klem yang telah menimbulkan iritasi
an skala tersedia pada set pada urethra.
nyeri 1 - 10 urine bag. 5. Mengurangi rasa
- Klien 4. Gunakan kateter nyeri
tampak menetap dengan 6. Teknik ini dapat
rileks. nomor atau meningkatkan
- Klien dapat ukuran yang konsentrasi untuk
beristirahat sesuai. tidak merasakan
dengan 5. Anjurkan pada stimulus nyeri
tenang. klien untuk
- TTV dbn tehnik relaksasi 7. Medikasi nyeri
dengan cara diabsorbsi dan
menarik napas dimetabolisme
panjang dan berbeda tergantung
menghembuskan klien, jadi
nya. efektivitasnya harus
6. Hindari gerakan di evaluasi secara
atau tarikan individual oleh klien.
mendadak pada Analgesik juga
selang kateter berefek samping
untuk mulai dari ringan
menghindari hingga mengancam
trauma baru pada jiwa.
urethra.
7. Kolaborasi
pemberian
analgetik dengan
medik bila
diperlukan.

3. Cemas berhubungan Setelah 1. Bina hubungan saling


1. Memberikan dasar
dengan rencana dilakukan
percaya dengan klien / pengetahuan dimana
pembedahan,kehilangan tindakan
status kesehatan keperawatan orang terdekat. klien dapat membuat
selama 3x24
jam 2. Berikan informasi pilihan informasi
diharapkan
tentang prosedur dan tes terapi.
klien adaptif
dengan khusus dan apa yang
kriteria : 2. Membantu klien
akan terjadi, contoh
- Klien memahami tujuan
menyatakan kateter, urin darah,
cemas dari apa yang
iritasi kandung kemih,
berkurang dilakukan, dengan
atau hilang. ketahui berapa banyak
- Wajah klien mengurangi masalah
informasi yang
tampak karena
rileks diinginkan klien.
- TTV dbn ketidaktahuan.
3. Dorong klien / orang
terdekat 3.
untuk Mendefinisikan
menyatakan masalah / masalah,
perasaan. memberikan
4. Pertahankan perilaku kesempatan untuk
nyata dalam melakukan menjawab
prosedur / menerima pertanyaan,
klien, lindungi privasi memperjelas
klien. kesalahan konsep
5. Beri penguatan dan solusi
informasi klien yang pemecahan masalah.
telah diberikan
4. Menyatakan
sebelumnya.
penerimaan dan
menghilang-kan rasa
malu klien

5. Memungkinkan
klien untuk
menerima kenyataan
dan menguatkan
kepercayaan pada
pemberi perawatan
dan pemberi
informasi.

4. Kurang pengetahuan Setelah 1. Observasi tingkat 1. Tingkat


tentang sifat penyakit, dilakukan pengetahuan klien pengetahuan
tujuan tindakan yang keperawatan tentang prosedur dipengaruhi oleh
diprogramkan dan selama 3x24 diagnostik, intervensi kondisi sosial
pemeriksaan diagnostik jam bedah, dan prosedur ekonomi klien.
berhubungan dengan diharapkan pengobatan lainnya. Perawat
kurangnya informasi pengetahuan menggunakan
/terbatasnya klien pendekatan yang
informasi/informasi bertambah 2. Cari sumber yang sesuai dengan
yang keliru dengan meningkatkan kondisi individu.
kriteria : penerimaan informasi. Dengan mengetahui
- Klien Jelaskan dan lakukan tingkat pengetahuan
menyatakan pemenuhan atau klien tersebut
faham persiapan pembedahan perawat dapat lebih
tentang meliputi : terarah dalam
proses, 3. Diskusikan jadwal memberikan
diagnostic, pembedahan pendidikan yang
pengobatan sesuai dengan
dan 4. Persiapan administrasi pengetahuan pasien
perawatan dan informed consent. secara efisien dan
selanjutnya. efektif.
2. Keluarga terdekat
5. Konfirmasi kepada dengan klien perlu
klien tentang penjelasan dilibatkan dalam
yang telah dijelaskan pemenuhan
oleh ahli bedah. informasi untuk
menurunkan risiko
6. Lakukan pendidikan mis interpretasi
kesehatan preoperatif. terhadap informasi
yang diberikan.

7. Berikan motivasi dan 3. klien dan keluarga


dukungan moral. harus diberitahu
waktu dimulainya
pembedahan.
4. klien sudah
mendapatkan
penjelasan tentang
pembedahan oleh tim
bedah dan
menandatangani
informed consent.
5. Perawat
mengkonfirmasi
penjelasan ahli besah
tentang dilakukannya
pembedahan.

6. klien diajarkan
sebagai individu
dengan
mempertimbangkan
segala keunikan
ansietas kebutuhan
dan harapannya.

7. Intervensi untuk
meningkatkan
keinginan pasien
dalam pelaksanaan
prosedur
pengembalian fungsi
pasca bedah
kolostomi.

Diagnosa keperawatan post operasi


No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Resiko defisit Setelah 1. Awasi keluaran1. Diuresis cepat dapat
cairan tubuh dilakukan menyebabkan
dengan hati-hati,
berhubungan tindakan kekurangan volume
dengan keperawatan tiap jam bila total cairan
perdarahan selama 3x24
diindikasikan,
jam diharapkan
klien perhatikan keluaran2. Pasien dibatasi
mengalami pemasukan
100 – 200 ml/jam.
keseimbangan oral dalam upaya
cairan tubuh 2. Dorong mengontrol gejala
dengan kriteria urinaria hemostatik
peningkatan
: pengaturan, cadangan
- Turgor kulit pemasukan oral dan peningkatan resiko
baik dehidrasi/hipovolemia.
berdasarkan
- Membrane 3. Memampukan deteksi
mukosa lembab kebutuhan dini / intervensi
- TTV dbn hipervolemik sistemik.
individu.
4. Menurunkan kerja
jantung, memudahkan
3. Awasi tekanan
hemostatik sirkulasi.
5.
darah, nadi dengan Bila pengumpulan
cairan terkumpul dari
sering, evaluasi
area estra seluler,
pengisian kapiler natrium dapat
mengikuti perpindahan,
dan membran
menyebabkan
mukosa oral. hiponatremia.
6. Menggantikan
4. Tingkatkan tirah
kehilangan cairan dan
baring dengan natrium untuk
mencegah memperbaiki
kepala tinggi.
hipovolemia.

5. Kolaborasi awasi
elektrolit,
khususnya natrium.
6. Kolaborasi untuk
memberikan cairan
IV (garam faal
hipertonik) sesuai
kebutuhan.

2. Resiko infeksi Setelah 1. Cuci tangan sebelum 1. Standar precaution


berhubungan dilakukan menangani lubang atau untuk menguurangi
dengan port de tindakan drainase infeksi pathogen
entre luka keperawatan
pasca bedah selama 3x24 2. Lakukan perawatan luka 2. Standar precaution
jam diharapkan dan gunakan teknik aseptik untuk menghindari
klien terhindar risiko infeksi pada luka
dari infeksi 3. Bersihkan atau ganti
3. Untuk mencegah
dengan kriteria kantung urin secara
akumulasi pathogen
: berkala
yang menyebabkan
- TTV dbn
infeksi
- WBC dbn 4. Monitor WBC
- Tak ada tanda 4. Peningkatan nilai WBC
infeksi lokal 5. Monitor urine output merupakan tanda
infeksi
6. Monitor temperature
5. Pengurangan jumlah
urine output pasien
7. Ajarkan klien tentang yang menggunakan
gejala dan tanda infeksi, illeal conduit mungkin
serta instruksikan untuk mengindikasikan
melaporkannya(nyeri, tertumpahnya urine ke
demam atau panas dingin) dalam rongga peritoneal
6. Salah satu indikasi
8. Kelola pemberian
peningkatan imun
antibiotik sesuai program
respon yang mungkin
menjadi tanda infeksi
7. Pasien harus
melaporakan tanda
infeksi sejak dini untuk
mencegah terjadinya
kemungkinan yang
lebih parah
8. Mencegah penyebaran
infeksi
KESIMPULAN

Anda telah mempelajari kegiatan belajar 1 mengenai konsep BPH dan asuhan keperawatan
pasien dengan BPH terkait : pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang dapat dirangkum sebagai
berikut :
- Benigna prostat hiperplasia merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya. Ditandai
oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat
- Penyebab / faktor risiko BPH adalah peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesi yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hyperplasia prostat adalah: teori dihidrotestostero, adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya kematian sel
(apoptosis) teori stem sel.
- Manifestasi BPH berupa keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih
bagian atas, gejala di luar saluran kemih (tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus dll)
- Pada pasien BPH dilakukan urinalisis, kultur urin, tes serum prostat spesifik antigen (PSA), urin
cytology, post void residual (PVR) volume, maximal urinary flow rate, tes uroflow, Imaging
(USG, transbdominal ultrasound, TRUS, CT, MRI, IVU dll)
- Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan IPPS, skor 0-7 masuk kategori ringan penatalaksanaan
dengan watchfull waiting, 8-18 kategori sedang dengan medikamentosa, 19-35 berat dengan
operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Brunner dan Suddart. Alih
bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawata : Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta :
EGC.
Citra, B. D. (2009). Benigh Prostate Hiperplasy. File of DrsMed , 11.
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Dunphy, L. M. (2011). Primary Care The Art and Science of Advanced Practice Nursing.
Philadelphia: F.A Davis Company.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2009. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diakses dari
http://www.iaui.or.id/info/guid.php pada tanggal 27 Mei 2016
Madjid, Suharyanto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Muttaqin, 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Price S. A dan Wilson, Lorraine M. C. 2005. Patofisiologi Clinical Concepts of Desiase Process,
Edisi 6, Vol 2. Alih bahasa Brahm U. Jakarta: EGC
Purnomo, B. 2012. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto
Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto
Williams, L.S., Hopper, P.D. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing, Second edition.
Philadelphia : F.A Davis Company
Rosette, J. d. (2001). Guideline On Benign Prostatic Hyperplasia . European:
httpwww.uroweb.orgfileadminuser_upload.
Safitri, A. (2006). At a Glace Medicine. Jakarta: Erlangga.
Valey, L. (2004, november). Understanding Your PSA Level. health You , 1.
Sloane, P. D. (2008). Essentials of Family Medicine Fifth Edition. USA: Lippincot Williams &
Wilkins.
ASKEP Batu saluran kemih (UROLITHIASIS)

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Batu saluran kemih adalah batu yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu uretra, dan batu
kandung kemih. Komposisi dari batu saluran kemih ini bisa terdiri dari batu kalsium, batu
struvit, batu asam urat dan batu jenis lainnya yang didalamnya terkandung batu sistin, batu
Xanthin, dan batu silikat. Penyebab tersering terjadinya batu saluran kemih ini adalah adalah
sumbatan pada saluran kemih baik itu terjadi secara herediter maupun karena factor dari luar.
(Purnomo, 2011 ed.3)
Penyakit batu saluran kemih ini sudah dikenal sejak zaman babilonia dan zaman mesir kuno.
Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukannnya batu pada kandung kemih seorang mumi.
Penyakit ini dapat menyerang penduduk diseluruh dunia tidak terkecuali penduduk di
Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak diberbagai belahan dunia. Dinegara-negara
berkembang banyak dijumpai pasien dengan batu kandung kemih sedangkan dinegara majulebih
banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas, hal ini dapat disebabkan oleh
pengaruh status gizi da aktivitas pasien sehari-hari. (Purnomo, 2011 ed.3)
Di Amerika Serikat, 5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan diseluruh dunia
rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih. Selain infeksi saluran
kemih dan Pembesaran prostat benigna, penyakit batu saluran kemih juga merupakan tiga
penyakit terbanyak pada system urologi sehingga perlu untuk dipahami terkait penjelaskan
maupun factor resiko terjadinya batu saluran kemih agar penyakit ini dapat dicegah sedini
mungkin. (Purnomo, 2011 ed.3)

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan
mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada
klien dengan Urolithiasis dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

1.2.2 TujuanKhusus
1. Untuk mengetahui definisi dari Urolithiasis
2. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Urolithiasis
3. Untuk mengetahui etiologi dari Urolithiasis
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Urolithiasis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari Urolithiasis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk Urolithiasis
7. Untuk mengetahui patofisiologi/ WOC Urolithiasis
8. Untuk mengetahui pencegahan dari Urolithiasis
9. Untuk mengetahui komplikasi Urolithiasis
10. Untuk mengetahi prognosis Urolithiasis
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Urolithiasis
1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis
untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan,
terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Urolithiasis
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Fisiologi System Urogenitalia

Sistem urogenitalia terdiri dari system organ reproduksi dan system urinaria. Keduanya
dijadikan satu kelompok system urogenitalia karena mereka saling berdekatan, berasal dari
embriologi yang sama dan menggunakan saluran yang sama sebagai alat pembuangan misalnya
uretra pada pria. System urinaria atau disebut juga sebagai system ekskretori yang merupakan
organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia normal organ ini
terdiri atas ginjal beserta system pelvikalises , ureter, kandung kemih, dan urtera. Pada umumnya
organ urogenitalia terletak dirongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang berada
disekitanya kecuali testis, epididimis, vas deferense, penis dan uretra. (Purnomo, 2011 ed. 3)

Gambar 1.( Sumber: apotekerbercerita.wordpress.com)

1. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga retroperitoneal bagian
atas. Beratnya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini
disebut sebagai hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain
yang merawat ginjal yakni pembuluh darah, system limfatik dan system saraf. Besar dan berat
ginjal sangat bervariatif, tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi
yang lain. Dalam hal ini ginjal laki-laki relative lebih besar dari perempuan. Pada autopsy klinis
didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm(panjang)x 6cm (Lebar) x
3.5cm (tebal) dengan berat bervariasi antara 120-170 gram ataukuranglebih 0.4% dari berat
badan. (Purnomo, 2011 ed. 3)
a. Struktur ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi atas 2 bagian yaitu korteks dan medulla ginjal . korteks ginjal
terletak lebih superficial dan didalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit
fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal terletak lebih profondus banyak terdapat duktuli atau
saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus,
tubulus kontrotus proksimal, loop of henle, tubulus kontrotus distal dan duktus kolegentes. Darah
yang membawa sisa hasil metabolism tubuh difiltrasi didalam glomerulus dan setelah sampai di
tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh direabsorbsi dan zat sisa yang tidak
diperlukan tubuh mengalami sekresi membentuk urin.
b. Vaskularisasi ginjal
Suplai darah ginjal di perankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang
langsung dari aorta abdomnalis dan vena renalis bermuara langsung ke dalam vena kafa inferior.
c. Persarafan
Ginjal mendapatkan persafaran melalui pleksus renalis yang seratnya bersama dengan arteri
renalis. Input dari system simpatik menyebabkan vasokontriksi yang menghambat aliran darah
ke ginjal. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju corda spinalis segmen T10-11 dan
memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa
nyeri didaerah pinggang bisa merupakan nyeri referral dari ginjal.
d. Fungsi ginjal
Ginjal memerankan beberapa fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan yakni menyaring
sisa metabolism dan toksin dari darah serta mempertahankan hemostasis cairan dan elektrolit
tubuh yang kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut diantaranya
1. Mengontrol sekresi hormone aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan tubuh
2. Mengatur metabolism ion kalsium dan vitamin D
3. Mengasilkan beberapa hormone diantaranya eritropoetin, rennin dan prostaglandin Sumber :
(Purnomo, 2011 ed. 3)
2. Ureter
Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urindari pielum (pelvis)
ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 25-35 cm dengan
diameter 3-4 mm.
3. Kandung Kemih (Vesika Urinaria)
Vesika urinaria terletak tepat di belakang os pubis. Bagian ini merupakan tempat untuk
menyimpan urin, berdinding otot kuat , bentuknya bervariasi sesuai dengan jumlah urin yang
dikandung. Vesika urinaria saat kosong terletak di apeks belakang tepi atas simfisis pubis.
Permukaan posterior berbentuk segitiga (H. Syaifuddin,2011 ed.4).
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari kandung kemih melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan anterior. Pada
pria, organ ini juga berfungsi untuk menyalurkan air mani.
5. Kelenjar prostat
Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli, didepan rectum
dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2.5cm dan
beratnya kurang lebih 20 gram. Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejaculator.
Fisiologi Pengisian dan Pengosongan Vesika Urinaria

Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam bekas spiral longitudinal dan
sirkuler. Kontraksi peristaltic teratur 1-5x/ menit menggerakkan urin dari pelvis renalis ke vesika
urinaria setiap gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika urinaria
untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltic dan mencegah urin tidak
kembali ke ureter. Kontraksi otot detrusor bertanggung jawab dalam proses pengosongan vesika
urinaria selama berkemih. Berkas otot berjalan pada sisi uretra yang disebut dengan sfingter
uretra interna. Sepanjang uretra terdapat sfingter uretra membranosa (Sfingter uretra eksterna).
(Syaifuddin, 2011 ed.4)

2.2 Definisi Urolithiasis


Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk
pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system perkemihan.
Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh
kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin. (Nursalam, 2006)

Teori proses pembentukan batu

Secara teoritis batu dapat berbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin(statis urin) yaitu pada system kalises ginjal
atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises(stenosis uretero pelvis ), divertikel,
obstruksiinfravesika kronis seperti pada hyperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu
tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organic dan anorganik yang terlarut
dalam urin. (Purnomo, 2011)

Penghambat Pembentukan Batu Saluran Kemih

Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan
antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu.
Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja
mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal,
proses agregasi kristal hingga retensi kristal. (Purnomo 2011)

2.3 Klasifikasi Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau kalsium fosfat,
asam urat, magnesium-amonium-fosfat(MAP), Xanhyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya.
Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha
pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Jenis-jenis batu terdiri dari (Purnomo, 2011 ed. 3):

a. Batu kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaotu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran
kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat , kalsium fosfat, atau campuran
kedua unsure tersebut. Factor terjadinya batu kalsium adalah:
1. Hiperkalsiuria
2. Hiperoksaluri
3. Hiperurikosuria
4. Hipositraturia
5. Hipomagnesuria

b. Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu tersebut disebabkan oleh adanya
infeksi saluran kemih. Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan
urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amoniak
merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut.
c. Batu Asam Urat
5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam
urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat.
d. Batu jenis lain
Batu sistin, batu Xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sisten
terjadi karena kelainan metabolism sistin dalam absorbs sistin di mukosa usus, batu xanthin
terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis
hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Selain itu pemakaian silikat yang
berlebihan dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2011
ed.3).
Klasifikasi Batu Berdasarkan Lokasinya:

A. Batu Ginjal dan Batu Ureter


Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada dikaliks infudibulum, pelvis
ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan
lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu
staghorn. Kelainan atau obstruksi pada system pelvikalis ginjal akan mempermudah timbulnya
batu saluran kemih. Selain itu, batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltic otot-otot
system pelvikalis dan turun ke ureter menjadi batu ureter (Purnomo, 2011 ed.3).

B. Batu Kandung Kemih


Batu kandung kemih sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan miksi atau
terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada pasien dengan hyperplasia prostat,
striktura uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli neurogenik. Selain itu, batu kandung kemih
juga bisa disebabkan oleh batu ginjal atau batu ureter yang turun ke kandung kemih. Jika
penyebabnya infeksi, biasanya komposisi batu kandung kemih ini terdiri atas asam urat atau
struvit.
C. Batu Uretra
Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu
ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan pasien
adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi urin yang mungkin sebelumnya didahului
nyeri pinggang.

Klasifikasi batu lain berdasarkan X ray characteristic (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C.
Seitz, A. Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis) :
1. Radioopaque: calcium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, calcium fosfat
2. Poor radiopaque: magnesium ammonium fosfat, cystin
3. Radiolucent: asam urat, ammonium urate, Xanthin, 2.8 dihidroxiadenin, drug stone.
Berdasarkan Etiologi:

1. Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat


2. Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3. Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4. Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir

2.4 Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik). Secara epidemologi terdapat beberapa factor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Factor-faktor itu adalah factor intrinsic , yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor intrinsic yaitu pengaruh dari lingkungan
sekitarnya. (Purnomo,2011 ed.3)

a. Factor intrinsic
1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
2. Umur: sering pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan
4. Gangguan Metabolik : Hiperparatiroididsme, Hiperkalsiuria, Hiperuresemia.
b. Factor ekstrinsik
1. Geografi: beberapa daerah menunjukan kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal dengan stone belt (sabuk batu) sedangkan daerah bantu afrika
selatan tidak dijumpai batu saluran kemih
2. Iklim dan temperature
3. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
4. Diet: diet banyak purin , oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran
kemih
5. Pekerjaan: sering dijumpai pada klien dengan pekerjaan banyak duduk atau kurang activitas
atau sedentary life
Etiologi berdasarkan klasifikasi : (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C. Seitz, A. Skolarikos,
M. Straub, 2013 Urolithiasis):
1. Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2. Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3. Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4. Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir
2.5 Manifestasi Klinis
Batu di ginjal itu sendiri bersifat asimtomatik kecuali apabila batu tersebut menyebabkan
obstruksi atau timbul infeksi (J. Corwin, 2007). Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus
urinarius bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran
urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal
serta ureter proksimal. Iritasi batu yang terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya infeksi
(pielonefritis dan sistitis) yang sering disertai dengan keadaan demam, mengggil dan disuria.

1. Batu di piala ginjal (Purnomo, 2011)


a. Menyebabkan rasa sakit yang dalam dan terus-menerus di area kostovertebral.
b. Dapat dijumpai hematuria dan piuria.
c. Kolik renal : Nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di seluruh area kostovertebral,
nyeri pinggang, biasanya disertai mual dan muntah
2. Batu di ureter (Purnomo, 2011)
a. Nyeri luar biasa, akut, kolik yang menyebar ke paha & genitalia

b. Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya
mengandung darah akibat aksi abrasi batu.

3. Batu di kandung kemih (Purnomo, 2011)


a. Nyeri kencing/disuria hingga stranguri
b. Perasaan tidak enak sewaktu kencing
c. Kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan perubahan posisi
tubuh
d. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang,
sampai kaki.
4. Batu di uretra (Purnomo, 2011)
a. Miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin
Nyeri dirasakan pada glans penis atau pada tempat batu berada. Batu yang berada pada
uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum atau rektum

a. Batu yang terdapat di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa benjolan keras
di uretra pars bulbosa maupun pendularis atau kadang-kadang tampak di meatus uretra eksterna
2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui
adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut:

1. Uji Laboratorium
1) Analisa urin (Urinanalisis)

Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu juga
dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:

(1) Tes urin lengkap


Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP,
kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam
(meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat
amonium, atau batu kalsium fosfat) (Borley 2006).
Pemeriksaan ini dikenal dengan pemeriksaan urin rutin dan lengkap yaitu suatu pemeriksaan
makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin
yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar dan
nitrit. Warna urin, adanya eritrosit, bakteri yang ada di dalam urin
(2) Kultur urin
Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan adanya ISK karena
berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun infeksi saluran kemih (ISK) akibat
adanya pertumbuhan kuman pemecah vena seperti (Stapilococus aureus, Proteus, Klebsiela,
Pseudomonas).
(3) Tes urin 24 jam

Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang normal. Hal
ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau
sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan
meningkatkan sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan
magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl,
pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang
bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal
yang mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran
pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin
Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki adalah
0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum tinggi dan atau urin
rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu
obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis.

(4) Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid

Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis
tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin meningkat jika terdapat
gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan
kalsium urin).
2) Tes darah lengkap (DL)

Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya infeksi/septikemia, namun
berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal
bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau
anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju
endap darah.

3) Analisa batu

Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan
menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes
mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel dan benda
berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal
ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria,
hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang dijelaskan di bawah ini:
(1) Kalsium oksalat
Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH terutama
jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan tidak berwarna ini
dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu (seperti asparagus, kubis, dll)
serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal Ca-oxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per
LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan
abnormal.
(2) Triple fosfat

Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal ini dapat
ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi panjang (seperti tutup
peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini dapat muncul setelah
mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi saluran kemih dengan bakteri
penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal ini dengan
meningkatkan pH dan amonia bebas.
(3) Asam urat

Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta berwarna
kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat sampah atau sisa
metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa hal seperti: jenis makanan,
jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi urin.

(4) Sistin (Cystine)

Kristal berbentuk heksagonal dan tipis ini muncul akibat dari cacat genetik atau penyakit
hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam
dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering membingungkan dengan kristal asam urat.
Sistin Crystalluria merupakan indikasi cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme
bawaan yang melibatkan reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin.
(5) Leusin dan tirosin

Merupakan kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit hepar
kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris striations, sedangkan
tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan berwarna kuning. Kristal ini
sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis sendimen urin. Kristal ini dapat diamati
pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan Maple Syrup.
(6) Kristal kolesterol

Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi panjang.
Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies.
Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria.

(7) Kristal lain

Kristal lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sendimen urin, misalnnya
adalah:

a. Kristal dalam urin asam

a) Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul membentuk roset.
b) Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan berkumpul.
b. Kristal dalam urin alkali
a) Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular berduri atau
bertanduk.
b) Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk roset.
c) Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul.
d) Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter.
c. Kristal akibat sekresi obat dalam urin
a) Kristal sulfadiazin
Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya digunakan untuk obat
antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut dalam urin dan sangat asam sehingga dapat
menimbulkan kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien
dianjurkan minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis (Na-
Bikarbonat untuk menaikkan pH urin).
b) Kristal sulfonamida

Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Kristal ini dapat terjadi karena tidak
dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat (natrium sitrat) sehingga tidak dalam suasana alkalis
yang mengakibatkan sulfa-sulfa akan menghambur dalam saluran kemih secara bebas.

2. Tes Radiologi

1) Foto polos abdomen (BOF, KUB)

Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik
pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung
kemih (KUB) hanya dapat mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada
batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling
mudah dideteksi oleh radiografi.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik
pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien untuk
dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan.

Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal, dimana
ditentukan dari:

(1) Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak.


(2) Bentuk ginjal.
(3) Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent.
(4) Garis M. Psoas simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi ginjal.

Gambar 2.5 Gambaran Plain Foto (Foto Polos Abdomen / BOF, KUB)
(Tanagho dan McAninch, 1976)

2) IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography)

Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau panggul.
Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis
bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang terbatas dalam manajemen. IVU/IVP
menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi
Calyceal, derajat obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi.
IVU/IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP
memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari radiografi non-
urologi.

Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat, dan efek
ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa klien
terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan membutuhkan waktu dan sering tidak dapat
dicapai ketika kondisi klien dalam situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen
dan KUB radiografi, IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas
(92-94%) untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek
nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas secara singkat
untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan situasi di mana penggunaan
kontras masih di pertanyaan.

Indikasi pemeriksaan ini yaitu pada klien dengan:

(1) Hematuria
(2) ISK yang berulang
(3) Batu saluran kemih
(4) Anomali anatomi sistem urinari
(5) Nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya
(6) Nyeri kolik ginjal
(7) Dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal, ureter, kandung
kemih, dan atau uretra

Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah:

(1) Kadar kreatinin >1,5


(2) Alergi terhadap kontras (Aziz 2008).

Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menyarankan kepada klien agar
melakukan puasa selama 6-8 jam agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, selain itu juga
dilakukan lavage. Syarat-syarat pemeriksaan ini adalah klien tidak memiliki alergi kontras dan
fungsi ginjal baik.
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan dengan IVU/IVP

(Tanagho dan McAninch, 1976)

3) Sistoureteroskopi

Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan atau efek
obstruksi (Borley 2006).

4) CT-scan

Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi
batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain; ginjal, ureter, dan
distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi
untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari
pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain;
ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Borley 2006).

Indikasi:

(1) Obstruksi saluran kemih


(2) BSK (Batu saluran kemih)
(3) Trauma urinari
(4) Kalkuli ureter
(5) Distensi bladder

Gambar 2.7 Gambaran CT-scan

(Tanagho dan McAninch, 1976)

5) Ultrasound ginjal (USG)

Ultrasonografi Doppler berwarna transabdomen untuk mendeteksi hilangnya “daya


pancaran” ureter ke dalam kandung kemih juga dianjurkan sebagai pemeriksaan diagnostik pada
klien dengan suspek urolithiasis (Leveno 2009).
USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu. Namun Saat
ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis urolithiasis dan stone of lower
urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat membaca dengan cepat yang memiliki
sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang
mengalami kolik ginjal akut terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG,
temuan ini dapat diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%.
Meskipun peran untuk diagnostis terbatas, USG dapat memainkan peran penting untuk
manajemen dan tindak lanjut untuk klien dengan urolithiasis. USG sangat sensitif terhadap
hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari obstruksi saluran kemih. Selain itu,
ultrasonografi abdomen adalah modalitas penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi,
yang lebih umum daripada urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak
serta klien dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi
dengan USG (Pearl dan Nakada, 2009).

Indikasi:
(1) Suspek urolithiasis
(2) Kolik ginjal
(3) Batu ginjal
(4) Hidronefrosis
(5) Obstruksi saluran kemih
(6) Batu asam urat
(7) Nyeri ginekologi

Gambar 2.8 Gambaran USG Doppler


(Tanagho dan McAninch, 2008)

6) Sistoskopi

Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung kecil fleksibel
melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan yang membantu dokter untuk
melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk mengetahui kelainan dalam kandung
kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau uretra, dan
biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan zat kontras melalui
kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan selama sistoskopi. Dan berguna
untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009).
Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu
ginjal.
7) Uroflowmetry dan Urodinamik

Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan tekanan
abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat mengetahui ada tidaknya
kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya kelainan prostat (BPH) maupun kelainan
striktur uretra. Interpretasi yang bisa dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan
pengeluaran urin (minimal 100 cc urin) sebagai berikut:
(1) 0 – 10 ml/s : Obstruksi
(2) 10-15 ml/s : Border line
(3) >15 ml/s : Normal

Gambar 2.9 Mekanisme Uriflowmetry

Indikasi:

(1) BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)


(2) Striktur uretra
(3) Kelainan saluran kencing bagian bawah

Urodinamik yaitu dengan dua kali tes uroflowmetry dengan volume urin <100cc.

Gambar 2.10 Mekanisme Urodinamik

8) Magnetic Resonance Urography (MRU)


Magnetic resonance urography (MRU) memiliki peran minimal dalam diagnosis dan
manajemen urolithiasis. MRU memberikan alternatif untuk NCCT dalam pengaturan klinis
tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. MRU memberikan gambaran yang luar biasa
dari saluran kemih dan telah terbukti memiliki akurasi diagnosis batu dari 92,8%. Peran sekarang
dari MRU masih berkembang dan belum dianggap sebagai standar perawatan (Pearl dan Nakada,
2009).
Indikasi:

(1) Hidronefrosis
(2) Batu saluran kemih (BSK)
(3) Obstruksi saluran kemih
(4) Striktur uretra
9) Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone. Berguna untuk
menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).

2.7 Penatalaksanaan Urolithiasis


Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk menghilangkan batu, mencegah
kerusakan nefron, dan mengendalikan infeksi, serta mengurangi obstruksi yang terjadi.
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu diantaranya:
1. Terapi konservatif

1) Terapi diet

Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi berperan penting
dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta menghindari makanan tertentu
dalam diet juga dapat mencegah pembentukan batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu
renal harus minum paling sedikit 8 gelas air (+ 2-3 liter) dalam sehari untuk mempertahankan
urin encer, kecuali dikontraindikasikan. Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam
mencegah batu kalsium.

Adapun makanan yang harus dihindari atau dibatasi antara lain:

(1) Makanan kaya vitamin D meningkatkan reabsorbasi kalsium;


(2) Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na+ bersaing dengan Ca2+ dalam
reabsorbasinya diginjal.
(3) Makanan yang banyak mengandung purin penyebab asam urat adalah JAS BUKET (Jerohan,
Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping, dan Tape), maupun BENJOL (Bebek,
Emping, Nangka, Jerohan, Otak, dan Lemak).
Menurut Brunner And Suddarth (2002) Daftar makanan dan minuman yang harus dihindari
adalah sebagai berikut:
1) Produk susu : Semua jenis keju, susu dan produk susu lainnya, krim asam.
2) Daging, ikan.
3) Sayuran : Lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
4) Buah : Kismis, semua jenis beri, anggur.
5) Roti : Roti murni, gandum, catmeal, beras merah, jagung giling,
sereal.
6) Minuman : Teh, coklat, minuman berkarbonat, bir, semua
minuman yang dibuat dari susu atau produk susu.

2) Terapi farmakologi
(1) Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.

(2) Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada
pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat
dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan
batu berikutnya. Urin yang asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat (Chang 2009).

(3) Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (NSAID’s) seperti
ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.
3) Terapi kimiawi
(1) Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
a. NaCO3- : Membuat urin lebih alkali pada asam
b. Asam askorbat : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
(2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a. Diuretik (tiazid) : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan menurunkan kadar
parathormon. Efek samping gangguan metabolik, dermatitis, purpura.
b. Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan kadar asam urat plasma dan
ekskresi asam urat ke dalam urin. Efek samping mual, diare, vertigo, mengantuk, sakit kepala.
4) Herbal
Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh tanpa
menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami penghambat terjadinya
pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang telah terbentuk dengan sangat efektif.
Selain itu juga sebagai antioksidan yang sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan
tubuh serta dapat mencegah infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil
buangan akhir lebih sempurna). Serta banyak lagi kandungan daun sirsak seperti acetogenin,
annocatin, annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin, anomourine, anonol, caclourine,
gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid, muricapentosin yang sangat baik untuk penderita batu
ginjal.
Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit manggis
mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas.
Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh seperti batu ginjal, leburan batu ginjal
akan terbuang bersama aliran urin.
2. Terapi non invasif
1) Pelarutan Batu

Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya terjadi pada
keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan pemberian Natrium
Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka batu akan larut bersama urin.
Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemberian NaCO3- bersamaan
Allopurinol akan memberikan hasil yang baik dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.

Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila diberikan
pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Bila terdapat kuman, harus
segera ditindaklanjuti. Akan tetapi, infeksi pada urolithiasis sukar dihilangkan karena kuman ini
berada di dalam batu yang tidak pernah dapat dicapai oleh antibiotik. Solutin G merupakan obat
yang dapat diberikan langsung ke batu di kandung kemih. Selain Solutin G. juga dipakai obat
Hemiasidrin untuk batu di ginjal dengan cara irigasi, tetapi hasilnya kurang memuaskan kecuali
untuk batu sisa pasca bedah yang dapat diberikan melalui nefrostomi yang terpasang.
Kemungkinan penyulit dengan pengobatan seperti ini adalah intoksikasi atau infeksi yang lebih
berat (Sjamsuhidajat 2004).

2) Penghancuran batu (Litotripsi)

Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara mekanis melalui
sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau ultrasonik. Sedangkan untuk
batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat dihancurkan memakai gelombang ultrasonik,
elektrohidrolik, atau sinar laser. Beda halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi
dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke
batu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan.

Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal
dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut.
Terapi non-invasif ini membuat klien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22
kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL,
namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk
menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran
kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu
yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.

Menurut Sjamsuhidajat (2004) Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan


gelombang kejut, yaitu:

1) Elektrohidrolik

Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus
listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer
berisi air. Pengisian ini menghasilkan gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah,
membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi.

2) Pizoelektrik
Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo dirangsang dengan denyut
listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi atau perpindahan cepat dari kristal sehingga
menghasilkan gelombang kejut.

3) Elektromagnetik

Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada silinder berisi air. Lapangan magnetik
menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat
dari membran yang menghasilkan gelombang kejut.

Indikasi ESWL:

1. Ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang mengganggu.
2. Lokasi batu di kaliks ginjal atau ureter distal
3. Tidak adanya obstruksi ginjal distal dari batu
4. Kondisi kesehatan klien memenuhi syarat (lihat kontraindikasi ESWL)
5. Ukuran batunya tidak >10mm
6. Terfiksir di saluran kemih

Kontraindikasi ESWL:

1. Kontraindikasi Absolut
Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi
batu distal.
2. Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah:
1) Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur.
2) Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena
jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya
dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu
3) Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal
(meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai
untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran
fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
4) Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi.
5) Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan
pertimbangan khusus.
6) Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom
perirenal pasca terapi.
7) Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi
walaupun jarang terjadi.

Persiapan sebelum ESWL:

1. Harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urin untuk melihat
fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan fisik klien
2. Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk menentukan lokasi batu dan
kemungkinan jenisnya.
3. Berikan analgesik untuk untuk sedatif ringan
4. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4 jam sebelumnya.

Tindakan pasca ESWL:


1) Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray dan atau USG
2) Hidrasi yang baik untuk memperlancar keluarnya batu yaitu minimal 2 liter air sehari.
3) Berikan Health Education mengenai keadaan nyeri saat post tindakan karena pecahan batu
keluar spontan bersama urin terkadang sedikit tidak nyaman waktu kencing.
4) Jika dianjurkan untuk analisa maka pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa dalam melihat
komposisi batu dengan cara disaring untuk mencegah relaps.
3. URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi)
Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur menjadi bentuk
teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter atau bahkan dengan
ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam ginjal. Ureteronoskopi (URS) atau
ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi ureter sampai pelvis renalis dengan menggunakan
alat ureteroskop atau ureterorenoskop, dan digunakan untuk tujuan diagnostik dan intervensi
terapetik. Sebenarnya URS merupakan pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat
dimasukkan secara retrograde lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui trek
nefrotomi.
URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power ultrasonik atau
pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal. Geratan yang digunakan high
frequency sehingga hanya akan merusak batu namun aman bagi jaringan lunak. URS ini berguna
untuk pemeriksaan batu yang letaknya di saluran kemih bagian bawah ureter dan kandung
kemih. Cara penggunaan alat ini dimasukkan melalui penis.
Pada prosedur URS suatu endoskopi semi rigid atau fleksibel dimasukkan ke dalam ureter
bagian lewat buli-buli di bawah anastesi umum atau regional. Dengan ureteroskop yang flaksibel
dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat diambil atau dihancurkan dengan semua
elektrohidroulik atau laser.

Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm.

4. Metode endurologi

Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk


mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan dilakukan dan nefroskopi
dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim renal. Batu dapat
diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung dari ukurannya.

5. Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka

Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi, atau
nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan yang sering
dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran
kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka:

1) Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal


2) Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.
3) Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria
4) Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.
2.8 Patofisiologis
Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang meliputi
kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat, maka batu dapat
terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti
magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam
pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal mencegah kristalisasi
dalam urin (Smeltzer et. al, 2002).

Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada
individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara
berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal.

Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal
yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup
mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu
sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi -
metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di
dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran
kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).

Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga terbentuk
kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu
karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh,
pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau
pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal (hidroureter). Ada pula
beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan.
Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah
mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi
akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien
sedang mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002).

Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di bagian
pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Gejala
gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks
renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik
ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat,
dingin dan lembab (Chang 2009).

Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang nyeri
yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat dan
bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk mendorong
batu turun (Chang 2009).

Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya
mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan batu yang kasar
dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul
demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika
batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al,
2002).

Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar,
dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu dengan
diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus
diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et.
al, 2002).
Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi”
mengenai teori pembentukan batu saluran kemih.

Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat
yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau
buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel,
obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu
tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut
dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya keseimbangan
antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu.
Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja
mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal,
proses agregasi kristal hingga retensi kristal.

Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran
kemih menurut Stoller (2000) di antaranya:
1) Teori Fisika Kimiawi
Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah prinsip
dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan
pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori
pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu:
(1) Teori nukleus atau supersaturasi
Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami
supersaturasi sehingga terjadi kristalisasi batu. Syarat terjadi pengendapan atau dasar terpenting
dalam pembentukan batu adalah supersaturasi urin dengan garam-garam pembentuk batu
(Manuputty 2011).
(2) Teori matriks
Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau protein-
protein urin yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis juga memberikan
kemungkinan terjadinya pengendapan kristal.
(3) Teori inhibitor kristaliasasi
Terdapat substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi. Substansi tersebut
meliputi peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida, sehingga
jika substansi tersebut berkurang maka akan mempengaruhi terjadinya kristalisasi yang
mengakibatkan terjadinya batu saluran kemih.
(4) Teori epitaksis
Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang berbeda
kemudian membesar. Proses ini disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang paling sering terjadi
adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam urat.
(5) Teori kombinasi
Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori yang ada.
(6) Teori infeksi
Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap pembentukan
batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya magnesium ammonium
fosfat (batu struvit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan molekul fosfat dan magnesium.
Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup dalam darah, ginjal, dan air kemih yang
tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk
cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu kemudian kristal kalsium
oksalat menempel dan lama kelamaan akan membesar.
2) Teori Vaskuler
Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan
kadar kolesterol darah yang tinggi.
(1) Hipertensi
Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari aliran luminar
menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla pada klien
hipertensi yang disebut kalsifikasi ginjal yang dapat berubah menjadi batu. Selain itu, pada
kondisi hipertensi juga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga berdampak pada
obstruksi pembuluh darah yang memicu agregasi batu.
(2) Diabetes mellitus (DM)
Penyakit DM juga bisa menyebabkan urolithiasis karena pada penyakit ini mengakibatkan
viskositas darah meningkat sehingga darah menjadi semakin kental. Hal ini yang mengakibatkan
mudahnya zat-zat asing mengalami kristalisasi sehingga terbentuk batu.
2.9 WOC
Infeksi

Zat Toksik

Obstruksi Saluran kemih

Vaskuler

Arteriosklerosis

MK : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Suplai nutrisi dalam darah turun

MK : Gangguan Perfusi Jaringan

MK: Intoleransi Aktivitas

Suplai O2 kasar turun

Oksihemoglobin turun

Produksi Hb turun

Sekresi Eritropoitis turun

Edema (kelebihan volume cairan)

vol. interstitial naik

Tek. Kapiler naik

Total CES naik

Retensi Na

Perubahan warna kulit

Urokrom tertimbun di kulit


Gang. Keseimbangan asam-basa

Perpospatemia

Sindrom Uremia

Sekresi protein terganggu

GGK

GFR turun

Anemia

Hematuria

Iritasi/Cidera Jaringan

Menekan saraf perifer

Batu besar dan kasar

Suplai Darah Ginjal turun

Reaksi antigen

antibodi

MK : Gangguan Integritas Kulit

Produksi asam naik

Asam lambung naik

Nausea, vomitus

Iritasi lambung

MK : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Infeksi

Perdarahan

Gastritis

-Hematemesis -Melena
Mual, muntah

Anemia

Preload naik

Beban jantung naik

Hipertrofi ventrikel kiri

Payah jantung kiri

Bendungan atrium kiri naik

Tekanan vena pulmonalis

Kapiler paru naik

Edema paru

MK : Gangguan pertukaran gas

COP turun

Aliran darah ginjal turun

RAA turun

Retensi Na &H2O naik

MK : Kelebihan volume cairan

Suplai O2 jaringan turun

Metab. anaerob

Timb. Asam laktat naik

-fatigue -nyeri sendi

MK : Gangguan rasa nyaman: nyeri

Suplai O2 ke otak turun

Syncope (kehilangan kesadaran)

MK : Resiko Perdarahan

Retensi Urin
MK : Retensi Urin

MK : Resiko infeksi

Tertimbun Ginjal
2.10 Prognosis

Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan,
baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami oleh pria dari pada
wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa negara Eropa prevelensi kejadian
urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya
infeksi. Semakin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007).
Prevelensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan
dewasa, dengan puncak usia dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu ginjal
berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah
sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Selain itu, jumlah
klien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang.
Setelah keluarnya batu baik secara spontan (konsevatif) maupun dengan tindakan (seperti;
bedah terbuka, ESWL,dll) perlu dilakukan tindakan pencegahan kekambuhan batu. Kekambuhan
batu saluran kemih ini dapat terjadi pada 20-30% klien dan pada beberapa klien yang
mengeluarkan batu secara spontan setiap tahun. Juga ada literatur yang mengatakan bahwa
secara umum hampir 50% klien mengalami batu kambuhan dalam 5 tahun. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan darah dan urinalisa untuk mencari/menemukan faktor resiko untuk pembentukan
batu (Stoller 2000).
Dalam kasus tertentu, IVU dapat dimanfaatkan untuk diagnosis urolithiasis pada
kehamilan. Tingginya paparan radiasi terhadap ibu dan janin menjadi perhatian dan karena itu
terbatas protokol 1-shot harus digunakan dengan radiograf diambil 10 menit setelah injeksi
kontras. Seperti disebutkan sebelumnya, masa depan mungkin memiliki peran untuk MRU.
Spencer et al. melaporkan bahwa MRU adalah modalitas yang sangat kuat dalam penyelidikan
hidronefrosis selama kehamilan. Selain itu juga digunakan mengidentifikasi tanda-tanda
obstruktif lainnya seperti hidronefrosis dan hidroureter (Pearl dan Nakada, 2009).
BAB 3
Asuhan Keperawatan Umum

3.1 Pengkajian

1. Anamnesa
1) Data demografi
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama,
suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya.
2) Riwayat kesehatan
(1) Keluhan utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan penyulit yang ada.
Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni
berawal dari area renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung
kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik
atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan
aktivitas untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul
ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya
infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau
gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga kesehatan.
(2) Riwayat penyakit sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang dialami (oliguria, disuria,
hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri
mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya
gangguan gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan
manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan
tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah penting untuk
mengetahui riwayat perjalanan penyakit.
(3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan haluaran urin
sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun hiperkalsiuria, riwayat
hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker (berhubungan dengan adanya malignansi), dan
riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita
osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi.
(4) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat hipertensi, riwayat kalkulus
dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen
sebelumnya, hiperparatiroidisme.
3) Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda, antihipertensi,
natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
tidak a
2) da keterbatasan gerak leher.
3) Mata: Mata normal
4) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung.
5) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik.
6) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut, mulut dan
lidah bersih.
7) Dada
(1) Inspeksi: Dada klien simetris.
(2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya benjolan.
(3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di daerah paru.
(4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.
8) Abdomen
(1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
(2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
(3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
(4) Perkusi: -
9) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan adanya
keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
10) Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton seperti sopir bus.
11) Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit hangat dan
kemerahan, pucat.
12) Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus). Terjadi
penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar, oliguria, hematuria,
piuria, perubahan pola berkemih.
13) Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet
rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air
dengan cukup yang ditandai dengan distensi abdomen, penurunan suara bising usus.
14) Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada
lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan dapat menyebar ke
seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan
menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut,
hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi
demam dan menggigil.

Pemeriksaan fisik dengan metode ROS:

1. B1 (breathing)
Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika
memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru
nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai akibat
dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi pada gagal
ginjal terminal.
2. B2 (blood)
Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal dapat
menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting diperiksa
pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem perkemihan.
3. B3 (brain)
Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen yang
menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di dalam saliva).
Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva sehingga memunculkan
risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai
koma karena retensi nitrogen atau toksik.
4. B4 (bladder)
a. Inspeksi
a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena adanya
hidronefrosis.
b) Pemeriksaan eliminasi urin
Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi pada
saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih.

c) Pemeriksaan genitalia eksterna


Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya kelainan pada
penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada
meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretrokutan, ulkus, tumor, dan keganasan penis.

d) Maturitas seksual

Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan tekstur
kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit yang menutup
genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi.

e) Penis

Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra untuk
mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi untuk mengkaji
adanya nyeri ataupun kondisi abnormal.

f) Skrotum

Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema.

b. Auskultasi
Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi kanan
atau sisi kiri garis tengah.
c. Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis, batu
ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri.
d. Palpasi
Ginjal teraba unilateral Ginjal teraba bilateral

Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal) Karsinoma sel ginjal bilateral

Hidronefrosis atau pionefrosis


Hidronefrosis atau pionefrosis
bilateral

Ginjal polikistik (dengan pembesaran


Ginjal polikistik
yang asimetris)

Ginjal kanan normal/ginjal soliter Sindrom nefrotik, nefropati diabetika

Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan untuk
menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan adanya
benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba mungkin merupakan
kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang dialami.

5. B5 (bowel)
Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan anoreksia yang
berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus mukosa mulut dan
lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di abdomen akibat
berkumpulnya cairan karena sindrom nefrotik sebab hipoalbuminemia.

6. B6 (bone)
Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat
desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku klien
biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria berat (>3,5
gr/24jam), kadar albumin serum rendah (<30 g/l) dan edema karena kerusakan pada glomerulus.
Edema ekstremitas (pitting edema) juga mungkin ditemui.

3.2 Analisa Data

NO DATA ETIOLOGI MK

1. DS: klien mengeluh nyeri Urolithiasis Nyeri Akut


pada pinggang (S) menjalar
sampai meatus uretra
Obstruksi pada traktus urinarius
DO: wajah klien meringis
kesakitan.

P: nyeri timbul karena Tekanan hidrostatik meningkat


adanya distensi pada ureter

Q: nyeri kolik
Distensi pada ureter proksimal
R: pinggang (S) sampai
meatus uretra
Frekuensi kontraksi ureter
S: skala nyeri 7 (dari 0-10)
meningkat
wajah meringis kesakitan
dan lutut menekuk untuk
menahan sakit

T: nyeri hilang timbul dan


nyeri hebat saat berkemih Peningkatan tekanan pada
dinding ureter

Trauma

Terputusnya saraf
Melepaskan reseptor nyeri

Nyeri

2. DS: klien mengatakan sulit Obstruksi pada traktus urinarius Retensi Urin
BAK dan hanya keluar
sedikit serta sering BAK
malam hari

DO:
Penurunan reabsorbsi dan

1. BAK output 1000 cc/hari sekresi turbulensi ginjal

berwarna kuning jernih dan


intake cairan 1500 cc/hari.
2. Distensi abdomen bagian
bawah (daerah simpisis)
Gangguan fungsi ginjal
3. Disuria
4. Hesistensi
5. Retensi urin

Penurunan produksi urin

(tertahan di kandung kemih)

3. DS : Suhu tubuh px meningkat Urolithiasis Risiko Infeksi

DO :

- Hematuria Adanya batu di uretra

- Px menggunakan alat bantu


kateter
Batu terdorong oleh urin dan
melukai uretra
Pemasangan alat bantu kateter

Hygiene kurang

Infeksi

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih
2. Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih
3. Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)

3.3 Intervensi

Diagnosa Kepera
No NOC NIC
watan

1. Nyeri akut Tujuan: MANAJEMEN NYERI (KONTROL


b.d peningkatan NYERI)
Setelah dilakukan perawatan 2x24
frekuensi
jam klien melaporkan nyeri 1. Kaji nyeri secara komprehensif
dorongan gesekan
berkurang atau hilang. meliputi lokasi, karakteristik, onset,
pada saluran
frekuensi, kualitas, intensitas atau
kemih
beratnya nyeri dan faktor presipitasi
Kriteria hasil:
2. Observasi ekspresi klien secara non
1. Nyeri terkontrol yang dilihat dari verbal agar mengetahui tingkat nyeri
indikator:
3. Kolaborasi pemberian analgesik
1) Klien menuliskan gejala nyeri sesuai advis dokter dan monitoring
berkurang (skala 1-5) respon klien

2) Klien dapat menjelaskan faktor 4. Kaji pengetahuan dan perasaan klien


penyebab nyeri mengenai nyerinya

3) Klien dapat mengetahui intervensi 5. Kaji dampak nyeri terhadap kualitas


yang dilakukan untuk mengurangi hidup klien (ADL)
nyeri (farmaka dan non farmaka)
6. Ajak klien untuk mengkaji faktor
4) Klien melaporkan perubahan gejala yang dapat memperburuk nyeri
nyeri yang terkontrol pada tim
7. Kontrol faktor lingkungan yang dapat
medis
mempengaruhi ketidaknyamanan
5) Klien mengetahui onset nyeri klien

2. Level nyeri 8. Ajarkan teknik nonfarmakologi


(relaksasi, terapi musik, distraksi,
1) Laporan nyeri
terapi aktifitas, masase)
2) Durasi nyeri

3) Ekspresi wajah klien

4) Tidak terjadi diaporesis

3. TTV dalam batas normal (TD:


120/80 mmHg, Nadi: 16-
20x/menit)

4)

2. Retensi urin Tujuan: 1. Urinary Retention Care


b.d obstruksi 1) Monitor intake dan output
Setelah dilakukan tindakan
saluran kemih
keperawatan 3x24 jam retensi urin2) Monitor penggunaan obat
klien dapat teratasi. antikolinergik

3) Monitor derajat distensi bladder

Kriteria Hasil: 4) Instruksikan pada klien dan keluarga


untuk mencatat output urine
1. Kandung kemih kosong secara
penuh 5) Sediakan privasi untuk eliminasi

2. Tidak ada residu urin >100-200 cc 6) Stimulasi refleks bladder dengan


kompres dingin pada abdomen.
3. Intake cairan dalam rentang
normal 7) Kateterisaai jika perlu

4. Bebas dari ISK 8) Monitor tanda dan gejala ISK (panas,


hematuria, perubahan bau dan
5. Tidak ada spasme bladder
konsistensi urine)
6. Balance cairan seimbang 2. Monitoring kadar albumin, protein
7. Level nyeri total
1) Laporan nyeri 3. Lakukan perawatan perineal dan
perawatan selang kateter
2) Durasi nyeri
4. Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4
3) Ekspresi wajah klien jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
5. Ajarkan serta demonstrasikan
4) Tidak terjadi diaporesis
kepada klien dan anggota keluarga
8. Eliminasi urin optimal dilihat dari tentang teknik berkemih yang akan
indikator: digunakan di rumah. Sehingga klien
1) Pola berkemih dan keluarga mampu melakukannya
dengan mandiri.
2) Jumlah urin
6. Kolaborasikan obat diuretik
3) Warna urin

4) Intake cairan

5) Kejernihan urin

6) Bau urin

3. Risiko infeksi b.d Tujuan: KONTROL INFEKSI


prosedur invasif
Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik aseptif
(Sistoskopi atau
keperawatan selama 1x24 jam
penggunaan 2. Cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi pada klien dapat terkontrol
kateter) sesudah tindakan keperawatan

3. Gunakan baju, sarung tangan sebagai


Kriteria Hasil: alat pelindung
Faktor-faktor
4. Gunakan kateter intermiten untuk
1. Klien bebas dari tanda dan gejala
risiko : menurunkan infeksi kandung kemih
infeksi (tumor, dolor, rubor, kolor,
5. Tingkatkan intake nutrisi
1. Prosedur fungsio laesa)
6. Dorong klien untuk memenuhi intake
Invasif 2. Menunjukkan kemampuan untuk cairan
mencegah timbulnya infeksi 7. Berikan terapi antibiotik
2. Inadekuat
pertahanan 3. Jumlah leukosit dalam batas
PROTEKSI TERHADAP INFEKSI
sekunder normal (4000 10.000/mm3)
1. Monitoring tanda dan gejala infeksi
(penurunan Hb, 4. Status imunitas baik dilihat dari
sistemik dan lokal
Leukopenia, indikator:
2. Inspeksi kulit dan membran mukosa
penekanan respon1) Suhu tubuh terhadap kemerahan, panas,
inflamasi) drainase
2) Fungsi respirasi
3. Monitoring adanya luka
c)
3) Fungsi gastrointestinal 4. Batasi pengunjung bila perlu
5. Dorong klien untuk istirahat
4) Fungsi genitourinaria
6. Ajarkan klien dan keluarga tanda dan
5) Integritas kulit gejala infeksi
7. Kaji suhu badan pada klien
6) Integritas mukosa
neutropenia setiap 4 jam
8. Laporkan kecurigaan infeksi
BAB 4

Penutup

4.1 Kesimpulan

Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk


pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system perkemihan.

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum
terungkap (idiopatik). Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya
obsrtuksi, infeksi, dan edema

Untuk penatalaksanaan Urolithiasis menggunakan beberapa teori, yaitu Konserfatif, terapi


farmakologi dan terapi kimiawi
Daftar Pustaka

Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions 7 Classification 2015-2017 Tenth Edition. UK NANDA
International, Inc.

Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga

Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier: Saunders

Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC

Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders

Nursalam .2006. Sistem Perkemihan.Jakarta : Salemba Medika

Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK

Purnomo, Basuki.2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto

Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta:
EGC

Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s General Urology,ed.5. New
York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.

Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media

Syaifuddin,H. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Edisi ke tiga. Jakarta :EGC

Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley. Jakarta: Penerbit
Erlangga

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami
perkembangannya di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang kesehatan
yaitu teknik transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan suatu teknologi medis untuk
penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu yang lain.
Sampai sekarang penelitian tentang transplantasi organ masih terus dilakukan.
Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien
gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat.
Permintaan untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan donor
yang ada. Sebagai contoh di Cina, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun
tahun 2000 jumlahnya mencapai 78 angka. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah 356.
Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi. Tidak hanya
hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat drastis. Setidaknya
telah terjadi 3 kali lipat melebihi Amerika Serikat. Ketidakseimbangan antara jumlah pemberi
organ dengan penerima organ hampir terjadi di seluruh dunia.
Sedangkan transplantasi organ yang lazim dikerjakan di Indonesia adalah pemindahan
suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan
pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh
ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi
ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima.
Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu
pertanyaan tentang relevansi antara Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang dimana Peraturan
Pemerintah diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang. (Binchoutan,2008)
Penulis mengambil tema makalah Transplantasi organ dikarenakan maraknya kasus
transplantasi di Indonesia serta masih adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun
dunia kesehaan tentang etis dan tidaknya praktek transplantasi organ.

B. Pokok Permasalahan
1. Apa pengertian Transplantasi Organ
2. Apa saja klasifikasi Transplantasi Organ
3. Apa penyebab Transplantasi Organ
4. Bagaimana pandangan agama mengenai transplantasi organ

5. Bagaimana aturan transplantasi Organ dari Segi Hukum


6. Bagaimana Transplantasi Organ dari dilihat dari Segi Etika Keperawatan
7. Bagaimana Transplantasi Organ dilihat dari Segi Norma Masyarakat

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui praktek transplantasi organ di dunia pada umumnya dan praktek transplantasi
organ di Indonesia pada khususnya dilihat dari sudut dilema etik.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian transplantasi organ
2. Mengetahui Klasifikasi transplantasi organ
3. Mengetahui penyebab transplantasi organ
4. Mengetahui transplantasi organ dari segi agama
5. Mengetahui transplantasi organ dari segi hukum
6. Mengetahui transplantasi organ dari segi etika keperawatan
7. Mengetahui transplantasi organ dari segi norma masyarakat

D. Manfaat
1. Bagi penulis :
1. Makalah ini disusun sebagai syarat mengikuti Ujian Tengah Semester
2. Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai transplantasi organ
3. Bagi Pembaca :
Sebagai sarana mengetahui apa itu transplantasi organ

BAB II
KONSEP

A. Definisi Transplantasi Organ


Donor organ atau lebih sering disebut transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan
atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh
orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Syarat tersebut melipui kecocokan organ dari
donor dan resipen.
Donor organ adalah pemindahan organ tubuh manusia yang masih memiliki daya hidup
dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik
apabila diobati dengan teknik dan cara biasa, bahkan harapan hidup penderitan hampir tidak ada
lagi. Sedangkan resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari orang lain
atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang ditansplantasikan biasa adalah
organ vital seperti ginjal, jantung, dan mata. namun dalma perkembangannya organ-organ tubuh
lainnya pun dapat ditransplantasikan untuk membantu ornag yang sangat memerlukannya.
Menurut pasal 1 ayat 5 Undang-undang kesehatan,transplantasi organ adalah rangkaian
tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari
tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan
atau jaringan tubuh. Pengertian lain mengenai transplantasi organ adalah berdasarkan UU No. 23
tahun 1992 tentang kesehatan, transplantasi adalah tindakan medis untuk memindahkan organ
dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam
rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan
baik.
Jika dilihat dari fungsi dan manfaatnya transplantasi organ dapat dikategorikan sebagai
‘life saving’. Live saving maksudnya adalah dengan dilakukannya transplantasi diharapkan bisa
memperpanjang jangka waktu seseorang untuk bertahan dari penyakit yang dideritanya.
B. Klasifikasi Transplantasi Organ
Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi:
1. Autotransplantasi: pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu
sendiri.
2. Homotransplantasi : pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang
lain.
3. Heterotransplantasi : pemindahan organ atau jaringan dari satu spesies ke spesies lain.

4. Autograft
Transplantasi jaringan untuk orang yang sama. Kadang-kadang hal ini dilakukan dengan jaringan
surplus, atau jaringan yang dapat memperbarui, atau jaringan lebih sangat dibutuhkan di tempat
lain (contoh termasuk kulit grafts , ekstraksi vena untuk CABG , dll) Kadang-kadang autograft
dilakukan untuk mengangkat jaringan dan kemudian mengobatinya atau orang, sebelum
mengembalikannya (contoh termasuk batang autograft sel dan penyimpanan darah sebelum
operasi ).
5. Allograft
Allograft adalah suatu transplantasi organ atau jaringan antara dua non-identik anggota genetis
yang sama spesies . Sebagian besar jaringan manusia dan organ transplantasi yang allografts.
Karena perbedaan genetik antara organ dan penerima, penerima sistem kekebalan tubuh akan
mengidentifikasi organ sebagai benda asing dan berusaha untuk menghancurkannya,
menyebabkan penolakan transplantasi .
6. Isograft
Sebuah subset dari allografts di mana organ atau jaringan yang ditransplantasikan dari donor ke
penerima yang identik secara genetis (seperti kembar identik ). Isografts dibedakan dari jenis lain
transplantasi karena sementara mereka secara anatomi identik dengan allografts, mereka tidak
memicu respon kekebalan.
7. xenograft dan xenotransplantation
Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies yang lain. Sebuah contoh adalah transplantasi
katup jantung babi, yang cukup umum dan sukses. Contoh lain adalah mencoba-primata (ikan
primata non manusia)-transplantasi Piscine dari pulau kecil (yaitu pankreas pulau jaringan atau)
jaringan.
8. Transplantasi Split
Kadang-kadang organ almarhum-donor, biasanya hati, dapat dibagi antara dua penerima,
terutama orang dewasa dan seorang anak. Ini bukan biasanya sebuah pilihan yang diinginkan
karena transplantasi organ secara keseluruhan lebih berhasil.
9. Transplantasi Domino
Operasi ini biasanya dilakukan pada pasien dengan fibrosis kistik karena kedua paru-paru perlu
diganti dan itu adalah operasi lebih mudah secara teknis untuk menggantikan jantung dan paru-
paru pada waktu yang sama. Sebagai jantung asli penerima biasanya sehat, dapat dipindahkan ke
orang lain yang membutuhkan transplantasi jantung. (parsudi,2007).
Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan tubuh, maka transplantasi
dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke
orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor hidup
ini dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit, darah dan
sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal.

b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah


Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau jaringan dari tubuh
jenazah ke tubuh orang lain yang masih hidup. Jenis organ yang biasanya didonorkan adalah
organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal dan
pankreas.

C. Penyebab Transplantasi Organ


Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu:
1. Eksplantasi : usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hiudp atau yang sudah
meninggal.
2. Implantasi : usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri
atau tubuh orang lain.
Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan
transplantasi, yaitu :
1. Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil
jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan
jaringan atau organ. (anonim,2006)

2. Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan atau organ tubuh
baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan atau organ tersebut, untuk
berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup
atau dari jenazah orang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang
otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit, ginjal, sumsum tulang dan darah
(tranfusi darah). Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah : jantung, hati, ginjal, kornea,
pancreas, paru-paru dan sel otak.

D. Transplantasi Organ dari Segi Agama


1. Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam
Didalam syariat Islam terdapat 3 macam hukum mengenai transplantasi organ dan donor
organ ditinjau dari keadaan si pendonor. Adapun ketiga hukum tersebut, yaitu :
a. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup
Dalam syara seseorang diperbolehkan pada saat hidupnya mendonorkan sebuah organ
tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti
ginjal. Akan tetapi mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si
pendonor, seperti mendonorkan jantung, hati dan otaknya. Maka hukumnya tidak
diperbolehkan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Al – Qur’an :

1) surat Al – Baqorah ayat 195


” dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan ”
2) An – Nisa ayat 29
” dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri ”
3) Al – Maidah ayat 2
” dan jangan tolong – menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “
b. Transplantasi Organ dari Donor yang Sudah meninggal
Sebelum kita mempergunakan organ tubuh orang yang telah meninggal, kita harus
mendapatkan kejelasan hukum transplantasi organ dari donor tersebut. Adapun beberapa hukum
yang harus kita tahu, yaitu :
1. Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah
dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang
lainnya.
2. Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang
menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada
pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas
penyumbang.
3. Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan
dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
4. Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis
bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
5. Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang
identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.
Seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh
seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang
membutuhkannya.Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah
SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara
sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap
kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah
menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.
Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia
berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu
bersabda : “Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !” Hadits-hadits di atas secara jelas
menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula
melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan
menganiaya orang hidup.

2. Transplantasi Organ dari Segi Agama Kristen


Di alkitab tidak dituliskan mengenai mendonorkan organ tubuh, selama niatnya tulus dan
tujuannya kebaikan itu boleh-boleh saja terutama untuk membantu kelangsungan hidup suatu
nyawa (nyawa orang yang membutuhkan donor organ) bukan karena mendonorkan untuk
mendapatkan imbalan berupa materi, uang untuk si pendonor organ. Akan lebih baik lagi bila si
pendonor sudah mati dari pada saat si pendonor belum mati karena saat kita masih hidup organ
tubuh itu bagaimanapun penting, sedangkan saat kita sudah mati kita tidak membutuhkan organ
tubuh jasmani kita.
3. Transplantasi Organ dari Segi Agama Katolik
Gereja menganjurkan kita untuk mendonorkan organ tubuh sekalipun jantung kita, asal
saja sewaktu menjadi donor kita sudah benar-benar mati artinya bukan mati secara medis yaitu
otak kita yang mati, seperti koma, vegetative state atau kematian medis lainnya. Tentu kalau kita
dalam keadaan hidup dan sehat kita dianjurkan untuk menolong hidup orang lain dengan menjadi
donor.
Kesimpulannya bila donor tidak menuntut kita harus mati, seperti donor darah, sum-sum,
ginjal, kulit, mata, rambut, lengan, jari, kaki atau urat nadi, tulang maka kita dianjurkan untuk
melakukannya. Sedangkan menjadi donor mati seperti jantung atau bagian tubuh lainnya dimana
donor tidak bisa hidup tanpa adanya organ tersebut, maka kita sebagai umat Katolik wajib untuk
dinyatakan mati oleh ajaran GK. Ingat, kematian klinis atau medis bukan mati sepenuhnya, jadi
kita harus menunggu sampai si donor benar-benar mati untuk dipanen organ, dan ini terbukti
tidak ada halangan bagi kebutuhan medis dalam pengambilan organ.

4. Transplantasi Organ dari Segi Agama Budha


Dalam pengertian Budhis, seorang terlahir kembali dengan badan yang baru. Oleh karena
itu, pastilah organ tubuh yang telah didonorkan pada kehidupan yang lampau tidak lagi
berhubungan dengan tubuh dalam kehidupan yang sekarang. Artinya, orang yang telah
mendanakan anggota tubuh tertentu tetap akan terlahir kembali dengan organ tubuh yang
lengkap dan normal. Ia yang telah berdonor kornea mata misalnya, tetap akan terlahir dengan
mata normal, tidak buta. Malahan, karena donor adalah salah satu bentuk kamma baik, ketika
seseorang berdana kornea mata, dipercaya dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan mempunyai
mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki dalam kehidupan saat ini.
5. Transplantasi Organ dari Segi Agama Hindu
Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dengan alasan, bahwa
pengorbanan (yajna) kepada orang yang menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan dapat
menikmati kesehatan dan kebahagiaan, jauh lebih penting, utama, mulia dan luhur, dari keutuhan
organ tubuh manusia yang telah meninggal. Perbuatan ini harus dilakukan diatas prinsip yajna
yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatkan
keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22
sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha sarirani
wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi”

Artinya: seperti halnya seseorang mengenakan


pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani
yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna.
Ajaran Hindu tidak melarang bahkan menganjurkan umatnya unutk melaksanakan
transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengirbanan tulus ikhlas dan tanpa pamrih) untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Demikian pandangan agama hindu
terhadap transplantasi organ tubuh sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna
terutama Manusa Yajna.
E. Transplantasi Organ dari Segi Hukum
Dasar hukum dilaksanakannya transplantasi organ sebagai suatu terapi adalah Pasal 32
ayat (1), (2), (3) tentang hak pasien untuk memperoleh kesembuhan dengan pengobatan dan
perawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan :
Pasal 32 ayat (1) berbunyi: Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi
badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.
asal 32 ayat (2) berbunyi: Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.
Pasal 32 ayat (3) berbunyi: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan untuk prosedur pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah
Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.
Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi
diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi:
Pasal 34 Ayat (1): Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana
kesehatan tertentu.
Pasal 34 Ayat (2): Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris
atau keluarganya.
Pasal 34 Ayat (3): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1981,
tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan
Tubuh Manusia. Pokok-pokok peraturan tersebut adalah :
1. Pasal 1

c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis
sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan
tertentu.
e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh
manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat
dan jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk
keperluan kesehatan.
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yag berwenang bahwa
fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti.
2. Pasal 10

Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 Huruf a dan Huruf b, yaitu harus dengan persetujuan
tertulis penderita dan keluarga yang terdekat setelah penderita meninggal dunia.
3. Pasal 11

a. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh
mentri kesehatan.

b. Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat
atau mengobati donor yang bersangkutan.

4. Pasal 12

Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medic dengan
dokter yang melakukan transplantasi.
5. Pasal 13

Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan dua
orang saksi.
6. Pasal 14

Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari
korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga
terdekat.

7. Pasal 15

Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon
donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang
merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan
yang dapat terjadi . dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang
bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
8. Pasal 16

Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.
9. Pasal 17

Dilarang memperjual-belikan alat atau jaringan tubuh manusia.


10. Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan
dari luar negri

F. Transplantasi Organ dari Segi Etika Keperawatan

Jika ditinjau dari segi etika keperawatan, transplantasi organ akan menjadi suatu hal
yang salah jika dilakukan secara illegal. Hal ini menilik pada kode etik keperawatan, Pokok etik
4 pasal 2 yang mengatur tentang hubungan perawat dengan teman sejawat. Pokok etik tersebut
berbunyi “ Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal ”. Seorang perawat dalam
meeeenjalankan profesinya juga diwajibkan untuk tetap mengingat tentang prinsip-prinsip etik,
antara lain :
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu
membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan
adalah seseoranhg melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun
dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah
dipertimbangkan secara matang.

b. Berbuat baik (Beneficience)


Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan
dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan
oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
c. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan semaksimal mungkin
bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
e. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien
sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan
kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya
kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani
perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk
kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka
memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan
dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
f. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang
lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan
bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah
penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
Dari prinsip-prinsip diatas berarti harus diperhatikan benar bahwa dalam memutuskan
untuk melakukan transplantasi organ harus disertai pertimbangan yang matang dan tidak ada
paksaan dari pihak manapun, adil bagi pihak pendonor maupun resipien, tidak meruguikan pihak
manapun serta berorientasi pada kemanusiaan.

Selain itu dalam praktek transplantasi organ juga tidak boleh melanggar nilai-nilai dalam
praktek perawat professional. Sebagai contoh nilai tersebut adalah, keyakinan bahwa setiap
individu adalah mulia dan berharga. Jika seorang perawat menjunjung tinggi nilai tersebut dalam
prakteknya, niscaya seorang perawat tidak akan begitu mudah membantu melaksanakan praktek
transplantasi organ hanya dengan motivasi komersiil.

G. Transplantasi Organ dari Segi Norma Masyarakat

Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah donor hidup, jenazah
dan donor mati, keluarga dan ahli waris, resipien, dokter dan pelaksana lain, dan masyarakat.
Hubungan pihak-pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplatasi adalah :
1. Donor Hidup
Adalah orang memberikan jaringan atau organnya kepada orang lain (resipien). Sebelum
memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang
dihadapi, baik di bidang medis, pembedaan maupun resiko untuk pembedahannya lebih lanjut
sebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi
donor, seseorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan emosi harus
sudah difikirkan olehdonor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
2. Jenazah dan Donor Mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh-
sungguh untuk memberikan jaringan atau organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia
telah meninggal. Kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila
sebelum meninggal donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang
merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain
bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang
hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.
3. Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling
pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin ataupun tekanan psikis dan emosi di
kemudian hari. Dari keluarga resipien sebenarnya hanya dituntut suatu pengargaan kepada donor
dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah
timbulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
4. Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan atau organ orang lain. Pada dasarnya, seorang
penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau
meringankan penderitanya. Seorang resipien harus benar-benar mengerti semua hal yang
dijelaskan olah tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat
memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resipien.

Akan tetapi, is harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada keungkinan
gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan
yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
5. Dokter dan tenaga pelaksana lain

Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat persetujuan dari
donor, resipien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal-hal yang
mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di
kemudian hari dapat dihindarkan. Tanggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam
melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan-
pertimbangan kepentingan pribadi.
6. Masyarakat

Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi.


Kerjasama tim pelaksana dengan para cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama
diperlukan untuk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha
transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera
diperlukan, atas tujuan luhur akan terpenuhi.
BAB III
ARTIKEL

Artikel 1 : Ketika Organ Tubuh Mulai Diperdagangkan Secara Ilegal


Jember - Maraknya kasus penculikan bayi dan anak sering dikaitkan dengan dugaan
perdagangan organ tubuh, seperti ginjal, kornea mata, hati, dan jantung. Kendati demikian, isu
tersebut masih perlu ditelusuri lagi kebenarannya. Aktivis Pusat Perlindungan Perempuan dan
Anak (P3A) di Kabupaten Jember, Jatim, Dewi Masyitah membenarkan kemungkinan
perdagangan organ tubuh anak dengan perdagangan anak ke luar negeri. Namun kasus itu belum
pernah ditemukan di sejumlah daerah seperti di Kabupaten Jember.
Organ tubuh yang diperdagangkan tersebut tentu berkaitan dengan dunia kedokteran,
karena sejumlah negara di Asia dan Eropa telah berhasil melakukan transplantasi organ tubuh
seperti kornea mata, hati dan ginjal. Di Indonesia tidak semua rumah sakit bisa melaksanakan
transplantasi sejumlah organ tubuh karena keterbatasan sarana kesehatan dan tenaga medis yang
menguasai hal tersebut.
Penjualan organ tubuh dilarang keras oleh agama Islam atau haram hukumnya karena hal
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Sementara itu, Pengamat Sosial dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Uned), Drs Hadi Prayitno
M.Kes, mengaemukakan, banyaknya kasus penculikan anak dan balita di Indonesia diduga
berkaitan dengan perdagangan organ tubuh manusia.
Jember merupakan 'kantong' tenaga kerja Indonesia (TKI), sehingga kemungkinan
pahlawan devisa Jember bisa jadi menjadi korban perdagangan organ tubuh melalui sindikat
internasional. Kasus perdagangan anak yang terjadi di Jember, bukan tidak mungkin menjadi
peluang sejumlah pihak yang ingin menikmati keuntungan besar dengan melakukan transaksi
jual beli organ tubuh anak tersebut kepada seseorang yang kaya dan mampu membeli organ
tubuh itu dengan harga mahal.
Jurnal kesehatan "The Lancet" menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai 15.000
dolar AS. Sepotong hati manusia harganya mencapai 130.000 dolar AS, sama dengan harga
sebuah jantung. Sedangkan harga paru-paru bisa mencapai 150.000 dolar AS. Tinggi rendahnya
harga sejumlah organ tubuh manusia sesuai dengan mekanisme pasar, yakni semakin besar
permintaan, harganya semakin mahal. Diperkirakan jutaan orang mengantre untuk mendapatkan
transplantasi organ tubuh, seperti jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000
penderita gagal ginjal kronis yang membutuhkan cangkok ginjal. Sedangkan di Jepang terdapat
11.000-an penderita gagal ginjal.
Kasus 2 : Kasus Pengambilan Organ Tubuh Anak Dilakukan oleh Profesional
Republika.co.id, Jakarta, dari pantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA) kasus penculikan anak yang dilanjutkan dengan pengambilan organ tubuh dilakukan oleh
kalangan profesional. ‘Kasus-kasus pengambilan organ tubuh yang terjadi kurun waktu 2008-
2009 dilakukan oleh orang-orang profesional,’ ungkap Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait,
kepada Republika, Rabu (24/8).
Karena, menurut Arist, tidak mungkin pengambilan organ tersebut dilakukan oleh orang
biasa. Butuh keahlian khusus untuk mengambil organ pada tubuh manusia. ‘Saya tidak menunjuk
pihak mana yang mungkin melakukan ini, tapi yang jelas mereka profesional,’ ujarnya.
Organ yang berhasil diambil dari anak-anak yang diculik ini bisa jadi dipasarkan di
dalam maupun luar negeri. Tapi indikasi untuk menjualnya ke luar negeri, kata Arist, sulit
terjadi. Karena pencangkokkan organ pada tubuh manusia di luar negeri sangat ketat dan
biasanya melalui jalur legal.Ia mencontohkan seperti di Singapura maupun Jepang. ‘Jadi
kemungkinan kuat organ tubuh dijual di dalam negeri,’ tuturnya.
Kasus 3 : Transplantasi Dua Organ Tubuh Bisa Perpanjang Hidup Pengidap Diabetes
Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes. Kasus terbanyak terjadi di
India, Tiongkok dan America. Penyakit tersebut bisa menyebabkan komplikasi yang mengancam
jiwa. Tetapi transplantasi dua organ tubuh dipercaya bisa dapat memperpanjang harapan hidup
para pengidap diabetes.
Suatu hari pukul 05.30 waktu setempat di ruang bedah Rumah Sakit Barnesh-Jewish di St Louis,
Dokter Jason Wellen yang tengah melakukan pembedahan, menunjuk ke rongga perut pasiennya
yang di bedah dan pankreasnya yang baru di transplantasi. Sang pasien bernama Tiffany Buchta.
Ia mengidap diabetes tipe 1 dan didiagnosa ketika berusia 15 tahun.
Dikenal sebagai diabetes usia remaja, diabetes tipe 1 ini terjadi ketika system imunitas
menyerang dirinya sendiri, menghancurkan sel-sel yang memproduksi insulin di dalam pancreas.
Sekitar 10 persen penderita sakit gula mengidap diabetes tipe 1. Penyebab pasti diabetes tipe ini
tidak diketahui tetapi para periset meyakini kombinasi factor genetic dan lingkungan hidup
adalah penyebabnya. Berbeda dengan penderita diabetes tipe 2 yang seringkali mengontrol
penyakit mereka dengan diet, olah raga dan obat-obatan yang diminum. Orang yang diabetes tipe
1 membutuhkan suntikan insulin untuk bertahan hidup. Belum lagi diabetes bisa berakibat buruk
pada ginjal.
Tiffany mengatakan “Sekitar tiga atau empat athun lalu ginjal saya hanya berfungsi 45
persen dan saya tidak menyadari ini bias terjadi begitu cepat”.
Hal itu terjadi ketika ia berusia 30-an. Oktober tahun lalu, Butcha mengalami gagal ginjal. Tiga
kali seminggu ia harus pergi ke klinik setempat. Disna selama 3,5 jam ia terhubung dengan
mesin dialysis. Mesin tersebut mencuci darahnya. Pekerjaan yang tidak lagi bias dilakukan
ginjalnya. Lalu Butcha ditawari transplantasi. Tidak hanya ginjal baru tapi juga pancreas baru.
Dr. Wellen menjelaskan “Jika saya hanya memberi transplantasi ginjal kepada penderita
diabetes tipe 1, lama kelamaan waktu diabetes mereka akan menyerang ginjal baru tersebut
seperti yang terjadi pada ginjal mereka sendiri. Jadi, dengan menawarkan mereka transplantasi
ginjal dan pancreas dari donor yang sama, kita tidak hanya meningkatkan secara drastic kualitas
hidup mereka. Gula darah mereaka menjadi normal dan tidak lagi membutuhkan insulin serta
membuat ginjal itu lebih tahan lama”.
Dengan pancreas dan ginjal baru dari sang donor yaitu korban kecelakaan mobil usia 23
tahun, Butcha kemungkinan akan hidup lebih lama. “Pembedahan ini akan memberinya harapan
hidup sekitar 85 persen. Jadi dari harapan hidup 30 persen menjadi 85 persen ini merupakan
perbedaan yang sangat besar”, demikian tambah Dr. Wellen dan bagi Tiffany Butcha, kini ia bisa
hidup normal lagi.

Kasus 4 : Remaja 14 tahun Hidup Tanpa Jantung Selama 4 Bulan


Melewati hidup tanpa detak jantung bukan hal yang mudah bagi D’Zhana Simmons. Ia
merasa aneh walaupun tetap yakin bahwa ia belum mati. “Saya tahu, saya masih disini saya bisa
hidup tanpa jantung,”ungkap gadis berusia 14 tahun itu. Namun kini ia bisa bernafas lega, hari
ini (kamis) D’Zhana bisa bernafas lega dan mulai menjalani hidup normal. Ia meninggalkan
sebuah rumah sakit di Miami untuk pertama kalinya sejak Juli lalu setelah melewati dua kali
operasi transplantasi jantung. Gadis pemalu itu sempat bertahan hidup tanpa kehadiran organ
jantung sama sekali selama empat bulan dan hanya dibantu dengan pompa jantung buatan.
Diagnosa Pembesaran Jantung :
Musim semi lalu D’Zhana di diagnose mengalami pembesaran jantung sehingga organ
vitalnya tersebut terlalu lemah untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Gadis yang tinggal di
Clinton, South Caroline itu lalu dirujuk ke RS Anak Holt Miami untuk transplantasi. Celakanya,
jantung baru D’Zhan tidak bekerja optimal dan beresiko pecah sehingga dokter mencabut
jantung tersebut dua hari kemudian. Pertaruhan nyawa D’Zhana pun dimulai ketika para dokter
lalu mananamkan sepasang alat pompa buatan untuk menggantikan fungsi organ jantung.
Ini adalah tindakan medis yang tidak biasa, terutama bagi pasien semuda D’Zhana.
Dokter sepertinya tak punya pilihan lain dan harus menggunakan alat ini hingga pasien siap
melakukan transplantasi kedua. Dr. Peter Wearden, ahli bedah Cardiothoracic di RS Anak
Pittsburgh, yang pernah menggunakan alat pompa jantunh sejenis, mengatakan apa yang
dilakukan tim medis di Miami sungguh sebuah pertaruhan besar. “Untuk lebih dari 100 hari,
tanpa adanya jantung dalam tubuh seorang gadis ? ini sungguh luar biasa,” kata Wearden.
Pompa jantung yang berfungsi sebagai alat bantu ventricular, biasanya digunakan pada
pasien yang masih memiliki jantung guna membantu bilik mensirkulasikan darah. Dengan
kondisi D’Zhana yang dicopot, tim dokter di RS Anak membuat bilik jantung pengganti
menggunakan sejenis alat yang terhubung pada dua pompa. Meskipun penggunaan jantung
buatan telah disetujui untuk pasien dewasa, tetapi pemerintah federal belum memberikan izin
bagi pasien anak.
Sejauh ini, memang hanya ada sedikit pilihan bagi pasien anak-anak atau balita karena
kondisi yang yang mengancam jiwa seperti ini masih terbilang jarang. Belum banyak perusahaan
yang mau menginvestasikan alat atau teknologi jantung yang dapat membantu anak-anak, kata
Dr. Marco Ricci, ahli bedah jantung anak di Universitas Miami.
Ricci mengatakan, kasus usus member pelajaran bagaimana para dokter saat ini punya
banyak pilihan. “Di masa lalu, situasi ini bisa sangat mematikan,” tegas Ricci. Kenyataanya,
nyawa D’Zhana pun nyaris melayang. Selama empat bulan, gadis belia itu kerap mengalami
kesulitan bernafas, selain juga mengalami gagal jantung dan lever serta pendarahan pada system
pencernaan. Dan yang lebih mendebarkan lagi, perlu setidaknya empat orang untuk terus
memantau kondisi D’Zhana setiap waktu, dan setidaknya satu orang yang mengendalikan mesin
yang menjadi bagian terpisah dari alat pompa jantung tersebut.

Ketika kondisi D’Zhana sudaj cukup berhasil untuk menjalani operasi, tim dokter pun
akhirnya melakukan transplantasi kedua pada 29 Oktober lalu. “Saya benar-benar percaya bahwa
ini adalah sebuah keajaiban,” ungkap Twolla Anderson, ibunda D’Zhana. D’Zhana mengatakan
ia sangat senang karena bisa berkumpul dengan lima saudaranya dan menghabiskan lebih banyak
waktu di alam terbuka. “Sya bahagia bisa berjalan tanpa mesin,” ujar gadis yang akan merayakan
ulang tahun ke-15Nya itu
Kasus 5 : Jantung Bocor, Bayi 14 Bulan Butuh Transplantasi Jantung
Tangis Fahia Raihana (14 bulan) pecah manakala detak nafasnya sesak. Beberapa saat
kemudian, tubuhnya mulai membiru mulai dari jari tangan dan kakinya. Maklum, bayi
perempuan mungil anak pasangan Siti Aisiyah (27) dan Slamet Hariono (31) warga Desa Siman,
Kecamatan Kepung, Kediri didiagnosis mengalami kelainan jantung langka. Bila manusia
normal letak jantung berada di sisi kiri, pada bayi ini letak jantungnya di sisi kanan. Akibatnya,
beberapa organ tubuhnya pun tak dapat bekerja optimal.
Ironisnya, kelainan jantung ini baru diketahui orang tuanya sejak sang bayi berusia 4
bulan. Hal ini karena terbatasnya kemampuan ekonomi.
"Selama ini ya ke bidan desa, dan katanya hanya sesak-sesak biasa. Setelah semakin besar, kami
coba ke rumah sakit, dan tak tahunya ternyata penyakit anak saya berbahaya," kata ibunya, Siti
Aisiyah kepada detiksurabaya.com saat menunggu anaknya dalam perawatan tim dokter RSUD
Pelem Pare, Kamis (17/7/2008). Dia menjelaskan, beberapa ciri kelainan jantung anaknya dapat
diketahui bila bayi melakukan aktivitas berlebih, termasuk menangis. Bila menangis, sekujur
tubuhnya akan membiru, nafasnya sesak dan detak jantung berdetak cepat. "Pertama kali pasti di
jari-jari tangan dan kaki membiru. Kalau nangisnya terusan, ya menyebar ke sekujur tubuh," ujar
wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Saat ini, kata dia, dirinya kebingungan mencari
dana pengobatan anaknya. Padahal dokter menyebutkan, anaknya kemungkinan dapat
disembuhkan melalui tranplantasi jantung. "Suami saya hanya buruh pabrik kecil, dan terkadang
nyambi manjing lainnya. Pendapatannya tak menentu," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Sementara dari diagnosis dokter menunjukkan, pasien mengalami kelainan tata letak
jantung. Hal ini diketahui setelah dokter melakukan rontgen pada bayi.
"Jelas terlihat, jantung bayi ini ada di sebelah kanan dan tidak berada pada posisi semestinya,"
kata dokter anak RSUD Pelem Pare, dr Suryatmono SpA.
Dijelaskan oleh dia, akibat kelainan tata letak jantung terjadi kebocoran pada bilik kanan dan kiri
jantung sang bayi. Hal ini yang menyebabkan kondisinya sering membiru bila melakukan
aktivitas berlebih.
"Makin beraktivitas yang bisa memacu detak jantung, maka aliran darah semakin deras.
Dan hal itu akan tampak membiru di beberapa bagian tubuhnya," jelasnya. Rupanya, penderitaan
pasien tak berhenti sampai kelainan letak jantung. Dia menambahkan, pada jantungnya terdapat
komplikasi bawaan dextrocardia yaitu Ventrical Septal Defeck (VSD) tampak pada terdapatnya
lubang pada bilik kanan dan kiri dan Antrial Septal Defeck (ASD) yakni adanya lubang di
serambi kanan dan kiri jantung sang bayi.
"Kelainan bawaan ini juga mengakibatkannya mengalami gangguan dalam organ pompa
darah," imbuhnya. Pihaknya, jelas Suryatmono, hanya membuat langkah yakni tekanan darah
balik ke jantung akan diperkecil. Sehingga jantungnya tidak akan bekerja dengan beban yang
berat.
"Operasi pun hanya bisa menyembuhkannya dari kelainan bawaan, sedangkan letak
jantung tidak mungkin dapat dipindahkan," ujarnya. Sementara kasus kelainan tata letak jantung
di Indonesia, terakhir kali ditemukan pada bayi kembar siam Anggie dan Anjeli, tahun 2005
silam. Pada kasus tersebut, dokter juga gagal memberikan pertolongan pada sang bayi.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisa Kasus

Dari beberapa kasus diatas dapat kita analisa dari segi penyebab atau motivasi pelaku
melakukan transplantasi organ. Kasus pertama menyatakan bahwa kasus perdagangan anak
yang terjadi di Jember tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang diperjualbelikan bisa
saja organ tubuhnya dimanfaatkan juga. Mengingat kebutuhan organ di luar negeri masih
sangat tinggi sedangkan organ yang tersedia bisa dibilang kurang. Dari motivasi ini dapat
kita ambil kesimpulan bahwa kasus pertama dilakukan dengan motivasi uang. Sedangkan
sumber organ diperoleh dari anak-anak yang diperjualbelikan.
Kasus kedua mengungkapkan bahwa transplantasi organ harus dilakukan oleh
seseorang yang professional. Jika transplantasi organ tidak dilakukan oleh orang yang benar-
benar mengerti tentang transplantasi organ, maka resiko gagal lebih tinggi. Pada kasus ini,
sumber organ yang digunakan untuk transplantasi hampir sama dengan kasus pertama.
Seperti diungkapkan Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan anak, bahwa donor
organ pastilah dilakukan oleh professional. Sedangkan untuk pangsa pasar, kemungkinan
masih berada di dalam negeri karena untuk penjualan organ di luar negeri harus melalui jalur
legal, seprti contohnya di Singapura dan Jepang.
Kasus ketiga menyatakan bahwa trasnplantasi dua organ bisa memperpanjang
kesempatan hidup pengidab diabetes. Dikatakan seorang pasien bernama Tiffany Butcha
didiagnosis mendertia diabetes tipe 1 (diabetes remaja), penyakit ini dikarenakan sistem
imunitas mengalami hipersensitiv, ia menyerang dirinya sendiri. Sehingga imunitas merusak
sel-sel yang berada di pankreas, dan pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau terganggu
dalam produksi insulin. Dalam kasus ini Tiffany Butcha penderita diabetes 1, membutuhkan
suntikan insulin untuk bertahan hidup. Apalagi diabetes juga mempunyai pengaruh yang
buruk terhadap ginjal. Pada usia 30 tahun Tiffany divonis menderita gagl ginjal, karena
penyakitnya itu ia harus menjalani cuci darah 3 kali seminggu. Hal ini tentu saja sangat
mengganggu aktivitas Tiffany. Akhirnya Dr. Wellen yang merawat Tiffany menyarankan
untuk melakukan transplantasi organ. Tidak tanggung-tanggung, Tiffany disarankan
menjalani 2 operasi transplantasi. Yaitu transplantasi organ ginjal dan pankreas. Alasannya
adalah jika tiffany hanya melakukan transplantasi ginjal, maka penyakit diabetesnya akan
menyerang ginjalnya yang baru. Jika dilakukan transplantasi 2 organ (ginjal dan pankreas)
kemungkinan tersebut bisa dihindari. Karena kadar gula darah akan kembali normal dengan
adanya pankreas baru dan ginjal akan tetap berfungsi normal karena kemungkinan ginjal
terserang diabetes juga telah diminimalisir. Dengan dilakukannya transplantasi dua organ
kepada penderita diabetes, hal ini dapat meningkatkan kemungkinan hidup penderita dari 30
% menjadi 80 %.
Pada kasus keempat, dengan judul remaja berusia 14 tahun hidup tanpa jantung selama 4
bulan. Seorang gadis berusia 14 tahun, bernama D’zhana Simmons mengalami pebesaran
jantung dan dianjurkan untuk melakukan transplantasi organ jantung. Saat transplantasi yang
pertama dilakukan, jantung yang dicangkokkan tidak berfungsi maksimal, dan beresiko pecah.
Maka dokter mengharuskan D’zhana melakukan transplantasi untuk kedua kalinya. Sebelum
dilakukan trasnplantasi yang kedua, D’zhana dipasang alat pompa buatan untuk menggantikan
fungsi jantungnya. Selama empat bulan, gadis belia itu kerap mengalami kesulitan bernafas,
selain juga mengalami gagal jantung dan lever serta pendarahan pada system pencernaan. Dan
yang lebih mendebarkan lagi, perlu setidaknya empat orang untuk terus memantau kondisi
D’Zhana setiap waktu, dan setidaknya satu orang yang mengendalikan mesin yang menjadi
bagian terpisah dari alat pompa jantung tersebut. Akhirnya transplantasi jantung yang kedua
berhasil dilakukan setelah D’zhana haruus menggunakan alat pompa buatan selama 4 bulan dan
sekarang D’zhana bisa berkumpul dengan keluarganya lagi.
Pada kasus kelima, seorang bayi bernama Fahia Raihana mengalami kelainan tata letak
jantung. Jantung manusia yang biasanya berada di sebelah kiri, kali ini berada di sebelah kanan.
Akibatnya organ tubuh yang lain juga tidak berfungsi optimal. Selain itu akibat kelainan tata
letak jantung terjadi kebocoran pada bilik kanan dan kiri jantung sang bayi. Hal ini yang
menyebabkan kondisinya sering membiru bila melakukan aktivitas berlebih. Dokter yang dirujuk
oleh puskesmas yang merawat Raihana, manganjurkan Raihana melakukan transplantasi organ.
Kelainan bawaan yang dialami Raihana mengakibatkannya mengalami gangguan dalam organ
pompa darah. Karena kondisi orang tua Raihana yang tidak mampu, akhirnya tindakan yang
dilakukan terhadap Raihana hanya memperkecil tekanan darah balik ke jantung. Sehingga
jantungnya tidak akan bekerja dengan beban yang berat. Operasi pun hanya bisa
menyembuhkannya dari kelainan bawaan, sedangkan letak jantung tidak mungkin dapat
dipindahkan.
Pada kasus keenam, Angky Camaro direktur PT. Indofood Sumber Makmur, harus
melakukan transplantasi ginjal, karena penyakit diabetes yang dideritanya. Angky berulang kali
harus menjalani operasi karena abses dan nanah yang dikarenakan kadar kreatininnya berulang
kali tidak stabil meski telah melakukan diet kreatinin. Oleh dokter yang merawatnya, ia
dianjurkan untuk melakukan transplantasi ginjal atau cuci darah. Akhirnya Angky memutuskan
untuk transplantasi ginjal, karena cuci darah yang ditawarkan, tentu saja harus dilakukan
berulang kali dan menyita banyak waktu. Hal ini tentu akan sangat merugikan Angky yang
notabene seorang pebisnis.
B. Pembahasan

Dari analisa beberapa kasus diatas, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
motivasi atau penyebab seseorang melakukan transplantasi. Kasus pertama dan kedua
menyatakan bahwa transplantasi organ dilakukan oleh seorang yang telah professional serta
beberapa kasus penculikan anak, bisa saja berkembang menjadi kasus penjualan organ
tubuh. Pada kasus ini bisa dikatakan motivasinya adalah uang. Kasus ketiga dan keenam
serta keempat dan kelima, menyatakan bahwa pelaku melakukan transplantasi dikarenakan
faktor penyakit yang dideritanya. Penyakit tersebut jika tidak segera dilakukan transplantasi,
dikhawatirkan bisa menimbulkan komplikasi yang lebih berbahaya. Pada kasus ketiga dan
keenam dikarenakan penyakit diabetes. Pada kasus keempat dan kelima dikarenakan
penyakit jantung.
Jika dilihat dari segi hokum, kategori pertama jelas melanggar hokum. Dijelaskan
dalam UU. No 23 tahun 1992, pasal 34 ayat 2. Yang berbunyi “pengambilan organ dan atau
jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan
dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya”. Pada kasus pertama dan kedua,
diungkapkan sumber organ bisa berasal dari anak-anak korban penculikan. Hal ini tentu saja
tidak boleh dilakukan. Anak-anak korban penculikan tentu saja tidak akan tahu apa yang
dilakukan terhadap tubuh mereka. Apalagi jika pengambilan organ anak-anak yang diculik
dilakukan oleh orang yang tidak professional. Hal ini juga melanggar pasal 34 Ayat (1)
berbunyi “Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana
kesehatan tertentu”. Pada kategori kedua, transplantasi dilakukan untuk pencegahan
komplikasi penyakit yang lebih berbahaya. Jika dilihat dari Pasal 15 Undang-undang N0. 18
tahun 1981 yang berbunyi “Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan
tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih
dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat
operasi, akibat-akibat dan kemungkinan yang dapat terjadi . dokter yang merawatnya harus
yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut”, maka kategori kedua tidak melanggar hukum. Karena dokter yang
merawat pasien-pasien tersebut telah menjelaskan prosedur dan resiko-resiko yang terjadi.
Dokter juga telah memberikan alternative pengobatan, tindakan selanjutnya kembali kepada
keputusan pasien. Jadi jika pada dasarnya, transplantasi organ menurut hukum, boleh
dilakukan dengan ketentuan, transplantasi dilakukan dengan persetujuan pendonor dan
resipien serta pendonor maupun resipien paham betul bagaimana transplantasi akan
dilakukan serta resiko apa saja yang akan terjadi.
Agama memandang transplantasi organ berdasar motivasi yang mendasari dan
darimana organ diperoleh. Agama Islam memperbolehkan transplantasi organ jika donor
organ berasal dari orang yang masih hidup serta bukan organ tunggal yang dapat
menimbulkan kematian bagi pendonor. Hal tersebut tertulis di Al-Qur’an dalam beberapa
surat : yang pertama surat Al-Baqoroh ayat 195 yang artinya “dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan’, surat yang kedua adalah AnNisa ayat 29,
yang artinya “dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri”. Jika donor berasal dari organ
seseorang yang sudah meninggal, hal tersebut juga dilarang. Dalam sebuah hadist Imam
Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah
melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : “Janganlah
kamu menyakiti penghuni kubur itu !” Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa
mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar
kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan
menganiaya orang hidup. Pada kasus ketiga transplantasi dilakukan dengan sumber organ
dari seorang korban kecelakaan. Tentu saja hal tersebut melanggar hukum agama Islam.
Dalam agama kristen tidak dijelaskan secara signifikan mengenai aturan transplantasi
organ, tetapi menyatakan transplantasi organ boleh dilakukan dengan motivasi kemanusiaan,
bukan karena uang semata. Dalam agama hindu tidak melarang bahkan menganjurkan
umatnya unutk melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbanan
tulus ikhlas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia.
Dapat dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22 sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha
wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani
dehi” Artinya: seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian
lama, begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan
meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna.
Dalam agama budha dijelaskan donor adalah salah satu bentuk kamma baik, ketika
seseorang berdonor kornea mata, dipercaya dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan
mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki dalam kehidupan saat
ini. donor adalah salah satu bentuk kamma baik, ketika seseorang berdana kornea mata,
dipercaya dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat
dari pada mata yang ia miliki dalam kehidupan saat ini. Jika ditarik kesimpuan, maka
kategori pertama jelas dilarang karena dilakukan atas dasar komersiil bukan karena
kemanusiaan. Untuk kasus kategori kedua, boleh dilakukan karena dilakukan untuk
penyembuhan dan didasari kemanusiaan. Tetapi pada kasus ketiga, organ diperoleh dari
orang yang telah meninggal, oleh karena itu, dilarang menrut agama Islam.
Jika ditinjau dari segi etika keperawatan, transplantasi organ akan menjadi suatu hal yang
salah jika dilakukan secara illegal. Hal ini menilik pada kode etik keperawatan, Pokok etik 4
pasal 2 yang mengatur tentang hubungan perawat dengan teman sejawat.
Pokok etik tersebut berbunyi “ Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal ”. Selain itu
dalam prakteknya, seorang tenaga kesehatan khususnya perawat juga harus tetap menghargai
kehidupan manusia sebagai individu yang unik, serata harus dihargai sebagai seorang manusia.
Jika dalam praktek transplantasi organ, sumber organnya didapat dari seseorang secara paksa
seperti dalam penculikan, tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik keperawatan
pokok etik 1 alinea 2. Selain pokok etik 1 dan 4 ada juga pokok etik lain yang harus klita
perhatikan. Yaitu pokok etik 2 alinea 2 yang menjelaskan bahwa seorang perawat harus
memelihara mutu pelayanan yang tinggi serta kejujuran. Dalam praktek professionalnya, tentu
saja seorang perawat dilarang untuk berbohong. Apalagi mengenai kondisi pasien. Dalam
penerapannya di kasus transplantasi organ, seorang tenaga kesehatan khususnya perawat, harus
berkata yang sebenarnya, tentu saja menggunakan etiket-etiket yang berlaku.
Perawat dalam menjalankan profesinya juga diwajibkan untuk tetap mengingat tentang
prinsip-prinsip etik, antara lain :
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan
adalah seseorang melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun
dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah
dipertimbangkan secara matang.
b. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan
dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan
oleh diri dan orang lain. Kasus transplantasi organ yang didasari dengan prinsip untuk berbuat
baik, tentu saja tidak melanggar prinsip ini.
c. Keadilan (Justice)
Dalam praktek transplantasi tentu saja prinsip ini harus diperhatikan karena keadilan harus
diperoleh oleh kedua pihak yang mendonor dan pihak yang menerima donor. Kasus kategori
pertama tentu saja melanggar prinsip ini, karena oknum-oknum yang melakukan tentu saja sama
sekali tidak memperhatikan keadilan bagi para korban penculikan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan semaksimal mungkin
bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
e. Kejujuran (Veracity)
dari prinsip ini, seorang dokter harus menyampaikan kondisi yang ebenarnya bagi pihak
pendonor dan resipien. Hal sedetail apapun dalam proses transplantasi organ harus disampaikan
agar tidak terjadi kesalahan dalam proses yang akan dilakukan.
Dari prinsip-prinsip diatas berarti harus diperhatikan benar bahwa dalam memutuskan
untuk melakukan transplantasi organ harus disertai pertimbangan yang matang dan tidak ada
paksaan dari pihak manapun, adil bagi pihak pendonor maupun resipien, tidak meruguikan pihak
manapun serta berorientasi pada kemanusiaan.
Selain itu dalam praktek transplantasi organ juga tidak boleh melanggar nilai-nilai dalam
praktek perawat professional. Sebagai contoh nilai tersebut adalah, keyakinan bahwa setiap
individu adalah mulia dan berharga. Jika seorang perawat menjunjung tinggi nilai tersebut dalam
prakteknya, niscaya seorang perawat tidak akan begitu mudah membantu melaksanakan praktek
transplantasi organ hanya dengan motivasi komersiil.
Transplantasi menurut norma masyarakat terkait dengan beberapa pihak, antara lain, donor,
resipien, dokter dan tenaga ahli, keluarga dan masyarakat. Dalam suatu kasus pelaksanaan
tranplantasi tentu saja, semua pihak-pihak terkait harus mengerti bagaimana prosedur yang akan
dilaksanakan dan resikoresiko yang mungkin terjadi. Secara tidak sengaja masyarakat turut
menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan para cendekiawan,
pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan untuk mendidik masyarakat agar lebih
memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini
kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlukan, atas tujuan luhur akan terpenuhi.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa transplantasi adalah suatu rangkaian
tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari
tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau
organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik atau mengalami suatu kerusakan. Transplantasi
dapat diklasifikasikan dalam beberapa faktor, seperti ditinjau dari sudut si penerima atau
resipien organ dan penyumbang organ itu sendiri. Jika dilihat dari si penerima organ meliputi
autotransplantasi, homotransplantasi, heterotransplantasi, autograft, allograft, isograft, xenograft
dan xenotransplantation, transplantasi split serta transplantasi domino. Sedangkan dilihat dari
sudut penyumbang meliputi transplantasi dengan donor hidup dan donor mati (jenazah). Banyak
sekali faktor yang menyebabkan sesorang melakukan transplantasi organ. Antara lain untuk
kesembuhan dari suatu penyakit (misalnya kebutaan, rusaknya jantung dan ginjal), Pemulihan
kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi
sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis (contoh: bibir sumbing).
Dalam agama Kristen, katolik, hindu, dan budha transplantasi boleh dilakukan dengan
alasan medis dan asalkan dengan niat tulus dan tujuannya untuk kebaikan menolong nyawa
seseorang tanpa membahayakan nyawa si pendonor organ tersebut. Sedangkan dalam agama
islam untuk melakukan transplantasi organ harus dilihat terlebih dahulu dari mana organ yang
akan ditransplantasikan tersebut berasal atau dilihat dari sumber organ. Dalam hukum,
transplantasi tidak dilarang jika dalam keadaan darurat dan ada alasan medis, tidak dilakukan
secara ilega, dilakukan oleh profesinal dan dilakukan secara sadar. Dari segi etika keperawatan
asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip etik seperti otonomi (Autonomy), Tidak merugikan
(Nonmaleficience), Berbuat baik (Beneficience), Keadilan (Justice), Kejujuran (Veracity) dan
Menepati janji (Fidelity) transplantasi organ diperbolehkan. Dari segi masyarakat, selama
transplantasi dilakukan atas dasar medis dan mendapat persetujuan dari anggota keluarga maka
diperbolehkan. Namun disisi lain transplantasi organ di kalangan masyarakat belum begitu
dipahami secara menyeluruh sehingga masih menimbulkan beberapa pertanyaan tentang
transplantasi.
B. Saran
Saran yang ingin disampaikan bagi pembaca adalah jika ingin melakukan transplantasi
organ, pahami betul dari mana organ terseebut berasal. Dari donor hidup ataukah dari
seseorang yang sudah meninggal. Usahakan untuk mencari upaya penyembuhan lain sebelum
memilih transplantasi organ sebagai alternatif pengobatan.
Untuk penulis, saran yang ingin disampaikan adalah, lakukan penulisan dengan
objektif dan gunakan bebagai macam referensi yang ada agar tulisan benar-benar terbukti
validitasnya.
TRANSPLANTASI ORGAN
( Tugas dari : Ibu Desak Parwati,S.Kep,Ns,M.Kes. )

Disusun Oleh :
Kelompok 3

1. ANI SULISTYAWATI
2. WIYATNO
3. WARTINI
4. KHOMSIATUN

PROGRAM STUDY D – III KEPERAWATAN KELAS RPL


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2018 / 2019

Anda mungkin juga menyukai