Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BPH POST PROSTATECTOMY

Di susun oleh :

NI KADEK AYU TRISNA MEILINDA

Nim 2001024

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

D III KEPERAWATAN SMESTER VI

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


I. LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian BPH ( Benigna Prostat Hiperplasia )

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Haryono,2013).

Penyakit pembesaran prostat atau lebih dikenal dengan Benigna Prostat


Hiperplasia (BPH) merupakan penyakit yang umum diderita oleh pria dewasa sampai
lansia (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Dalam definisi lain benigna prostate hyperplasia
adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang
paling sring untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Wijaya, 2013).

Sedangkan menurut Haryono (2013) BPH adalah pembesaran progresif dari


kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.

BPH adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertropi dari prostat. Kata-kata
hipertopi seringkali membuat kontroversi dikalangan klinik karna sering rancu dengan
hyperplasia. Hyperplasia merupakan pembesaran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kualitas) (Prabowo, 2014).

Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbgai darajat
obstruksi ureteral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2012).

2. Etiologi BPH

Penyebab prostat hiplasia belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses menjadi tua (aging). Berikut ini beberapa
hipotesis menurut Purnomo (2011) yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia
prostate:

a) Teori Dehidrotestosteron (DHT) Dehidrotestosteron


adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
b) Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosterone
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun sedangkan kadar
estrogen relatife tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relatife meningkat. Hormon estrogen didalam prostat beperan
dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
c) Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (Growth faktor) terentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth faktor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
d) Berkurangnya kematian sel prostat
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan
antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.
e) Teori sel stem
Selalu dibentuk sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel yang telah
mengalami apoptosis. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel
ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3. Patofisiologi BPH
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat
dengan Dehidrotestosteron (DHT). Hormone ini merupakan yang nantinya akan
mengoptimalkan fungsinya. Horman ini disinteis dalam kelenjar prostat dari hormone
testosterone dalam darah. Proses sintesis ini di bantu oleh 5areduktase tipe 2. Selain DHT
yang vsebagai proscursor, prostat seiring dengan penambahan usia, prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi normal, maka akan terjadi desakan
pada trakrus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi trakrus urinarius jarang menimbulkan
keluhan, karena dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m. detrusor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat
dekompesasi m. detrusor untuk berkontaksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi salura
kemih.
Keluhan yang biasa muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat
miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar),
palpasi rektal toucher menggambarkan hipertropi prosta, distensi vesika. Hipertropi
fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan prostat dan jaringan
sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilits inilah yang nantinya
akan menyebaban keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia.
Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya
hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebgainya. Oleh karena itu, kateterinisasi untuk tahap
awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan
transional. Hyperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi
fibromuskular untuk lepas dari jaringan eptel. Oleh karena itu, hyperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan
cabang dari pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal daru turunan duktus Wolffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui
mengapa BPH terjadi zona perifer. (Prabowo,2014).
4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala Pembesaran prostat jinak dikenal dengan Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) menurut Haryono (2013), yang dibedakan menjadi:
a) Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh otot destrussor buli- buli yang
memerukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu aliran kencing yang terputus-putus yang disebabkan
oleh ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu urin yang tetap menetes pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah yaitu kekuatan yang lemah karena otot destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi.
b) Gejala Iritasi
1) Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita buang air kecil lebih sering dari biasanya, dan
terjadi pada siang dan malam hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu buang air kecil.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien BPH adalah sebagai berikut:
a) Colok Dubur Colok dubur yang dilakukan pada pembesaran prostat benigna
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti ujung hidung, lobus kanan dan
kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
b) Laboratorium Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
c) Pencitraan Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak
disaluran kemih adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan
tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVU dapat menerangkan
kemungkinan adanya:
1) kelainan pada ginjal 14 maupun ureter,
2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
3) penyulit yang terjadi pada buli-buli. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
melalui trans abdominal atau trans abdominal ultrasonography (TAUS)
dan trans rektal atau trans uretral ultrasonography (TRUS).

Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai

1) perkiraan volume (besar) prostat;


2) panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP);
3) mungkin didapatkan kelainan pada buli-buli (massa, batu, atau bekuan
darah );
4) menghitung sisa (residu) urine pasca miksi; atau
5) hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat. Pada
pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan adanya fokus keganasan berupa
area hipoekoik dan kemudian sebagai penunjuk (guidance) dalam
melakukan biopsi prostat
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan menurut Haryono (2013) adalah sebagai
berikut:

a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP) TURP


adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop , dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan 15
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
b) Pembedahan Prostatektomi
1. Prostatektomi Suprapubis Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen, yaitu suatu insisi yang dibuat ke dalam kandung
kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan
untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat
terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak disbanding dengan metode
yang lain.
2. Prostatektomi Perineal Adalah mengangkat kelenjar melalui dalam
perineum. Cara ini lebih praktis disbanding cara yang lain, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Pada pasca operasi, luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi
inkontensia, impotensi, atau cedera rektal dapat terjadi dengan cara ini.
c) Prostatektomi Retropubik
Adalah suatu teknik yang lebih umum disbanding pendekatan prapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini
cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.

B. Post Open Prostatektomi


a. Pengertian
Operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin, yaitu
melakukan enukliasi kelenjar prostat melalui pendekatan bretropubik intravesika,
Freyer melalui pendekatan suprapubik tranvesika, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih di lakukan
saat ini, paling invasive, dan paling efisien sebgai terapi BPH. Prostatektomi
terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (> 100 gram) (Purnomo,
2013).

Post prostatektomi adalah adalah keadaan yang terjadi setelah operasi


prostatektom/ pasca prostatektomi (Dorlan, 2009). Dari beberapa pengertian di
atas penulis menyimpulkan bahwa post open prostatektomi adalah keadaan
setelah pengangkatan prostat yang di lakukan jika prostat membesar >100 gram.

b. Macam -macam prostatektomi


1. Prostatektomi Suprapubis

Adalah suatu metode mengangkat kelenjar melalui insisi


abdomen, yaitu suatu insisi yang di buat dalam kandung kemih dan
kelenjar prostat diangkat dari atas, ini dilakukan untuk kelenjar bebrbagai
ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah
lebih banyak di banding metode lain. (Brunner & Suddarth, 2013).

2. Prostatektomi Perinneal

Mengangkat kelenjar dari suatu insisi dalam perineum. Cara ini


lebih praktis dari cara yang lain dan sangat berguna untuk biopsi terbuka
(Brunner & Suddarth, 2013).

3. Prostatektomi Retropubik

Teknik yang lebih umum di banding pendektan suprapubik


dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar lebih besar yang
terletak tinggi dalam pubis, meskipun darah yang keluar dapat dikontrol
dengan baik dan letak bedah mudah dilihat, infeksi dapat terjadi dalam
ruang retropubis (Brunner & Suddarth, 2013).

c. Dampak post operasi prostatektomi


1. Sistem pernafasan

Pada klien BPH post operasi dapat terjadi peningkatan frekuensi napas akibat
nyeri yang dirasakan klien (Brunner & Suddarth, 2013).

2. Sistem persyarafan
Pada klien BPH baik pre maupun post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat
dari obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran klien BPH Composmentis
(Brunner & Suddarth, 2013).

3. Sistem kardiovaskuler

Post operasi dapat terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi,
anemis, dan pucat jika pasien mengalami syok (Brunner & Suddarth, 2013).

4. Sistem pencernaan

Post operasi terjadi mual dan muntah akibat penekanan pada lambung (Brunner &
Suddarth, 2013).

5. Sistem perkemihan

Biasanya klien post operasi BPH 1-5 hari dipasang kateter dengan irigasi kandung
kemih kontinu (spooling) hari pertama 60 tetes permenit, hari kedua 30-40 tetes, hari
ketiga 20-30 tetes permenit, hari keempat intermiten dan hari kelima irigasi dilepas
(Brunner & Suddarth, 2013).

6. Sistem integument

Post operasi terdapat luka insisi jika dilakukan prostatektomi terbuka (Brunner &
Suddarth, 2013).

7. Sistem musculoskeletal

Post operasi dapat terjadi ketebatasan pergerakan dan imobilisasi akibat nyeri yang
dirasakan oleh klien (Brunner & Suddarth, 2013).

8. Sistem reproduksi

Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan
sampai terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat bercampur dengan
urine sehingga dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak megganggu fungsi seksual
(Brunner & Suddarth, 2013).
PATHWAY
C. KONSEP KEPERAWAAN

1. Pengkajian

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode


proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

a. Pengumpulan Data

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetic
f) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi Kesehatan
Ketidaktahuan klien tentang informasi dari penyakit yang
dideritanya. Secara umum,hipertiroid ini adalah akibat dari
hiperaktifnya kelenjar tiroid dalam mamproduksihormone tiroid.
Penyakit ini termasuk dalam autoimun yang menghasilkan antibody
yangdapat meningkatkan produksi hormone tiroid secara bebas.
Kurangnya pengetahuan kliententang penyebab dan factor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertiroid.
2) Pola Nutrisi Metabolik
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat,
makan banyak, kurus,makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
3) Pola Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, urin encer berwarna pucat dan
kuning, perubahan dalamfeses ( diare ), sering buang air besar dan
terkadang diare, keringat berlebihan, berkeringat dingin.
4) Pola Aktivitas
Latihan sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan koordinasi,
kelelahan berat, palpitasi, nyeridada, Bicaranya cepat dan parau,
gangguan status mental dan perilaku, seperti: bingung,disorientasi,
gelisah, peka rangsang, delirium, psikosis, stupor, koma, tremor halus
padatangan, tanpa tujuan, beberapa bagian tersentak sentak, hiperaktif
refleks tendon dalam(RTD). frekuensi pernafasan meningkat, takipnea,
dispnea, edema paru (pada krisistirotoksikosis), Jari tangan gemetar
(tremor), Jantung berdebar cepat, denyut nadi cepat,seringkali sampai
lebih dari 100 kali per menit Rasa capai, Otot lemas, terutama
lenganatas dan paha, Ketidaktoleranan panas Pergerakan-pergerakan
usus besar yang meningkatGemetaran Kegelisahan; agitasi.
5) Pola Istirahat Dan Tidur
Insomnia sehingga sulit untuk berkonsentrasi.
6) Pola Kognitif Perseptual
Ada kekhawatiran karena pusing, kesemutan, gangguan
penglihatan, penglihatan ganda,gangguan koordinasi, Pikiran sukar
berkonsentrasi.
7) Pola Persespi Diri
Gangguan citra diri akibat perubahan struktur anatomi, mata besar
(membelalak =exophthalmus), keluhan lain pada mata (spt nyeri,peka
cahaya,kelainan penglihatan danconjunctivitis), kelenjar gondok
membesar (struma nodosa), kurus., kulit yang seperti beludru halus,
rambut halus dan tipis, Rambut rontok.
8) Pola Peran-Hubungan
Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah tersinggung. Bila bias
menyesuaikan tidak akanmenjadi masalah dalam hubungannya dengan
anggota keluarganya.
9) Pola Seksualitas
Reproduksi penurunan libido, hipomenore, amenore dan impoten,
Haid menjadi tidak teratur dansedikit, Kehamilan sering berakhir
dengan keguguran, Bola mata menonjol, dapat disertaidengan
penglihatan ganda (double vision).
10) Pola Koping
Toleransi stressMengalami stres yang berat baik emosional
maupun fisik. Emosi labil (euforia sedangsampai delirium), depresi.
11) Pola Nilai Kepercayaan
Tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama yang
dianut oleh individutersebut. Nervus, tegang, gelisah, cemas

2. Pemeriksaan Fisik
1) Keluhan utama:
a. Kesadaran klien : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis yang bergantung
pada klien
b. Kedaaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat. Tanda-tanda vital tidak
normal terdapat gangguan lokal, baik fungsi maupun
bentuk.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan,baik fungsi maupun
bentuk.
2) Pemeriksaan fisik secara Head To Toe:
a. Kepala
Inspeksi : Simetris, ada pergerakan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
b. Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada penonjolan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada
c. Wajah
Inspeksi :Simetris, terlihat menahan sakit,
Palpasi : Tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, dan
tidak ada oedema.
d. Mata
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada gangguan seperti kongjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
e. Telinga
Inspeksi :Normal, simetris,
Palpasi : Tidak ada lesi, dan nyeri tekan
f. Hidung
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
g. Mulut
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
h. Thoraks
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung I, II reguler
i. Paru.
Inspeksi :Pernafasan meningkat,regular atau tidak tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi:Pergerakan simetris, fermitus teraba sama.
Perkusi:Sonor, tidak ada suara tambahan.
Auskultasi : Suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara tambahan
lainnya.
j. Jantung
Inspeksi :tidak tampak iktus jantung
Palpasi :nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi:suara S1 dan S2 tunggal
k. Abdomen
Inspeksi : simetris,bentuk datar
Palpasi :turgor baik, tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi :suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : peristaltic usus normal ± 20 x/menit
l. Inguinal, genetalia, anus Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak
ada kesulitan BAB.

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan diambil dari Bobak, Lowdemilk & jansen (2014) dan
standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017). Menurut SDKI, SLKI, SIKI
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya:

1) Nyeri Akut (D.0077)


2) Resiko Infeksi (D.0142)
3) Resiko Aspirasi (D.0006)
4) Konstipasi (D.0049)

4. Intervensi Keperawatan
1) Nyeri Akut (D.0077)
SIKI: Manajemen Nyeri (I.08238)
1. Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respons nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan anlgetik
2. Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
b) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitas istiraht dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi ras nyeri
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2) Resiko Infeksi (D.0142)


SIKI : Pencegahan Infeksi (I.14539)
1. Observasi
a) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
2. Terapeutik
a) Batasi jumlah pengunjung
b) Berikan perawatan kulit pada area edema
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
d) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
3. Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) Ajarkan cara mencucitangan dengan benar
c) Ajarkan etika batuk
d) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
e) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
3) Resiko Aspirasi (D.0006)
SIKI : Manjemen Jalan Napas (I.01011)
1. Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-tift
(jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
b) Posisikan semi fowler atau fowler
c) Berikan minum hangat
d) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
g) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
h) Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
b) Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
4) Konstipasi (D.0049)
SIKI : Manajemen Eliminasi Fekal (I.04151)
1. Observasi
a) Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
b) Identifikasi pengobatan yang berefek pada kondisi gastrointestinal
c) Monitor buang air besar (mis. warna, frekuensi, konsistensi,
volume)
d) Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi, atau impaksi
2. Terapeutik
a) Berikan air hangat setelah makan
b) Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien
c) Sediakan makanan tinggi serat
3. Edukasi
a) Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatakan
keteraturan peristaltik usus
b) Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume feses
c) Anjurkan meningkatkan aktifitas fisik, sesuai toleransi
d) Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentuk gas
e) Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat
f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu

5. Implemtasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah tahap ketika


perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan kedalam
bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi
yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling
percaya dan saling bantu,kemampuan melakukan teknik
psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis,
kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,kemampuan
advokasi, dan kemampuan evaluasi (Heri, 2016 dalamPutri
2018)
6. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang


merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara
hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
bersinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, pasien bisa keluardari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, pasien akan masukkembali ke dalam siklus
tersebut mulai dari pengkajian ulang(reassessment) (Putri A,
2018)
DAFTAR PUSTAKA

DPP PPNI, T.P.S (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan

Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat

Nasional Indonesia

DPP PPNI, T.P.S (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan

Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat

Nasional Indonesia

DPP PPNI, T.P.S (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan

Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia

Amalia, R. (2010). Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi Kasus Di
RS. Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang). Thesis, 124.

Budaya, T. N., & Daryanto, B. (2019). A To Z BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) (I).
Universitas Brawijaya Press.

Mochtar, C. A., Umbas, R., Soebadi, D. M., Rsyid, N., Noegroho, B. S., Poernomo, B. B.,
Tjahjodjati, Danarto, H. ., Wijanarko, S., Warli, S. M., & Hamid, A. R. (2015). Ikatan Ahli
Urologi Indonesia (IAUI) : Pembesaran 44 Prostat Jinak ( Benign Prostatic Hyperplasia / BPH ).
Ikatan Ahli Urologi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai