Di susun oleh :
Nim 2001024
A. KONSEP DASAR
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Haryono,2013).
BPH adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertropi dari prostat. Kata-kata
hipertopi seringkali membuat kontroversi dikalangan klinik karna sering rancu dengan
hyperplasia. Hyperplasia merupakan pembesaran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kualitas) (Prabowo, 2014).
2. Etiologi BPH
Penyebab prostat hiplasia belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses menjadi tua (aging). Berikut ini beberapa
hipotesis menurut Purnomo (2011) yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia
prostate:
3. Patofisiologi BPH
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat
dengan Dehidrotestosteron (DHT). Hormone ini merupakan yang nantinya akan
mengoptimalkan fungsinya. Horman ini disinteis dalam kelenjar prostat dari hormone
testosterone dalam darah. Proses sintesis ini di bantu oleh 5areduktase tipe 2. Selain DHT
yang vsebagai proscursor, prostat seiring dengan penambahan usia, prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi normal, maka akan terjadi desakan
pada trakrus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi trakrus urinarius jarang menimbulkan
keluhan, karena dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m. detrusor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat
dekompesasi m. detrusor untuk berkontaksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi salura
kemih.
Keluhan yang biasa muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat
miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar),
palpasi rektal toucher menggambarkan hipertropi prosta, distensi vesika. Hipertropi
fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan prostat dan jaringan
sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilits inilah yang nantinya
akan menyebaban keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia.
Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya
hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebgainya. Oleh karena itu, kateterinisasi untuk tahap
awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan
transional. Hyperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi
fibromuskular untuk lepas dari jaringan eptel. Oleh karena itu, hyperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan
cabang dari pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal daru turunan duktus Wolffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui
mengapa BPH terjadi zona perifer. (Prabowo,2014).
4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala Pembesaran prostat jinak dikenal dengan Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) menurut Haryono (2013), yang dibedakan menjadi:
a) Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh otot destrussor buli- buli yang
memerukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu aliran kencing yang terputus-putus yang disebabkan
oleh ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu urin yang tetap menetes pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah yaitu kekuatan yang lemah karena otot destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi.
b) Gejala Iritasi
1) Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita buang air kecil lebih sering dari biasanya, dan
terjadi pada siang dan malam hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu buang air kecil.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien BPH adalah sebagai berikut:
a) Colok Dubur Colok dubur yang dilakukan pada pembesaran prostat benigna
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti ujung hidung, lobus kanan dan
kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
b) Laboratorium Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
c) Pencitraan Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak
disaluran kemih adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan
tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVU dapat menerangkan
kemungkinan adanya:
1) kelainan pada ginjal 14 maupun ureter,
2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
3) penyulit yang terjadi pada buli-buli. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
melalui trans abdominal atau trans abdominal ultrasonography (TAUS)
dan trans rektal atau trans uretral ultrasonography (TRUS).
2. Prostatektomi Perinneal
3. Prostatektomi Retropubik
Pada klien BPH post operasi dapat terjadi peningkatan frekuensi napas akibat
nyeri yang dirasakan klien (Brunner & Suddarth, 2013).
2. Sistem persyarafan
Pada klien BPH baik pre maupun post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat
dari obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran klien BPH Composmentis
(Brunner & Suddarth, 2013).
3. Sistem kardiovaskuler
Post operasi dapat terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi,
anemis, dan pucat jika pasien mengalami syok (Brunner & Suddarth, 2013).
4. Sistem pencernaan
Post operasi terjadi mual dan muntah akibat penekanan pada lambung (Brunner &
Suddarth, 2013).
5. Sistem perkemihan
Biasanya klien post operasi BPH 1-5 hari dipasang kateter dengan irigasi kandung
kemih kontinu (spooling) hari pertama 60 tetes permenit, hari kedua 30-40 tetes, hari
ketiga 20-30 tetes permenit, hari keempat intermiten dan hari kelima irigasi dilepas
(Brunner & Suddarth, 2013).
6. Sistem integument
Post operasi terdapat luka insisi jika dilakukan prostatektomi terbuka (Brunner &
Suddarth, 2013).
7. Sistem musculoskeletal
Post operasi dapat terjadi ketebatasan pergerakan dan imobilisasi akibat nyeri yang
dirasakan oleh klien (Brunner & Suddarth, 2013).
8. Sistem reproduksi
Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan
sampai terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat bercampur dengan
urine sehingga dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak megganggu fungsi seksual
(Brunner & Suddarth, 2013).
PATHWAY
C. KONSEP KEPERAWAAN
1. Pengkajian
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetic
f) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi Kesehatan
Ketidaktahuan klien tentang informasi dari penyakit yang
dideritanya. Secara umum,hipertiroid ini adalah akibat dari
hiperaktifnya kelenjar tiroid dalam mamproduksihormone tiroid.
Penyakit ini termasuk dalam autoimun yang menghasilkan antibody
yangdapat meningkatkan produksi hormone tiroid secara bebas.
Kurangnya pengetahuan kliententang penyebab dan factor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertiroid.
2) Pola Nutrisi Metabolik
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat,
makan banyak, kurus,makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
3) Pola Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, urin encer berwarna pucat dan
kuning, perubahan dalamfeses ( diare ), sering buang air besar dan
terkadang diare, keringat berlebihan, berkeringat dingin.
4) Pola Aktivitas
Latihan sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan koordinasi,
kelelahan berat, palpitasi, nyeridada, Bicaranya cepat dan parau,
gangguan status mental dan perilaku, seperti: bingung,disorientasi,
gelisah, peka rangsang, delirium, psikosis, stupor, koma, tremor halus
padatangan, tanpa tujuan, beberapa bagian tersentak sentak, hiperaktif
refleks tendon dalam(RTD). frekuensi pernafasan meningkat, takipnea,
dispnea, edema paru (pada krisistirotoksikosis), Jari tangan gemetar
(tremor), Jantung berdebar cepat, denyut nadi cepat,seringkali sampai
lebih dari 100 kali per menit Rasa capai, Otot lemas, terutama
lenganatas dan paha, Ketidaktoleranan panas Pergerakan-pergerakan
usus besar yang meningkatGemetaran Kegelisahan; agitasi.
5) Pola Istirahat Dan Tidur
Insomnia sehingga sulit untuk berkonsentrasi.
6) Pola Kognitif Perseptual
Ada kekhawatiran karena pusing, kesemutan, gangguan
penglihatan, penglihatan ganda,gangguan koordinasi, Pikiran sukar
berkonsentrasi.
7) Pola Persespi Diri
Gangguan citra diri akibat perubahan struktur anatomi, mata besar
(membelalak =exophthalmus), keluhan lain pada mata (spt nyeri,peka
cahaya,kelainan penglihatan danconjunctivitis), kelenjar gondok
membesar (struma nodosa), kurus., kulit yang seperti beludru halus,
rambut halus dan tipis, Rambut rontok.
8) Pola Peran-Hubungan
Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah tersinggung. Bila bias
menyesuaikan tidak akanmenjadi masalah dalam hubungannya dengan
anggota keluarganya.
9) Pola Seksualitas
Reproduksi penurunan libido, hipomenore, amenore dan impoten,
Haid menjadi tidak teratur dansedikit, Kehamilan sering berakhir
dengan keguguran, Bola mata menonjol, dapat disertaidengan
penglihatan ganda (double vision).
10) Pola Koping
Toleransi stressMengalami stres yang berat baik emosional
maupun fisik. Emosi labil (euforia sedangsampai delirium), depresi.
11) Pola Nilai Kepercayaan
Tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama yang
dianut oleh individutersebut. Nervus, tegang, gelisah, cemas
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keluhan utama:
a. Kesadaran klien : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis yang bergantung
pada klien
b. Kedaaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat. Tanda-tanda vital tidak
normal terdapat gangguan lokal, baik fungsi maupun
bentuk.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan,baik fungsi maupun
bentuk.
2) Pemeriksaan fisik secara Head To Toe:
a. Kepala
Inspeksi : Simetris, ada pergerakan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
b. Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada penonjolan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada
c. Wajah
Inspeksi :Simetris, terlihat menahan sakit,
Palpasi : Tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, dan
tidak ada oedema.
d. Mata
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada gangguan seperti kongjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
e. Telinga
Inspeksi :Normal, simetris,
Palpasi : Tidak ada lesi, dan nyeri tekan
f. Hidung
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
g. Mulut
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
h. Thoraks
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung I, II reguler
i. Paru.
Inspeksi :Pernafasan meningkat,regular atau tidak tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi:Pergerakan simetris, fermitus teraba sama.
Perkusi:Sonor, tidak ada suara tambahan.
Auskultasi : Suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara tambahan
lainnya.
j. Jantung
Inspeksi :tidak tampak iktus jantung
Palpasi :nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi:suara S1 dan S2 tunggal
k. Abdomen
Inspeksi : simetris,bentuk datar
Palpasi :turgor baik, tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi :suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : peristaltic usus normal ± 20 x/menit
l. Inguinal, genetalia, anus Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak
ada kesulitan BAB.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan diambil dari Bobak, Lowdemilk & jansen (2014) dan
standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017). Menurut SDKI, SLKI, SIKI
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya:
4. Intervensi Keperawatan
1) Nyeri Akut (D.0077)
SIKI: Manajemen Nyeri (I.08238)
1. Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respons nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan anlgetik
2. Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
b) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitas istiraht dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi ras nyeri
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
5. Implemtasi Keperawatan
DPP PPNI, T.P.S (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Nasional Indonesia
DPP PPNI, T.P.S (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Nasional Indonesia
DPP PPNI, T.P.S (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Amalia, R. (2010). Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi Kasus Di
RS. Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang). Thesis, 124.
Budaya, T. N., & Daryanto, B. (2019). A To Z BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) (I).
Universitas Brawijaya Press.
Mochtar, C. A., Umbas, R., Soebadi, D. M., Rsyid, N., Noegroho, B. S., Poernomo, B. B.,
Tjahjodjati, Danarto, H. ., Wijanarko, S., Warli, S. M., & Hamid, A. R. (2015). Ikatan Ahli
Urologi Indonesia (IAUI) : Pembesaran 44 Prostat Jinak ( Benign Prostatic Hyperplasia / BPH ).
Ikatan Ahli Urologi Indonesia