TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan
menjadi empat, yaitu:
1) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis, masih terasa kira-kira 60-
150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan menjadi
nocturia.
3) Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan,
urine menetes secara periodic ontinen.
2.1.4 Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH
belum diketahui, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar dihidrotestoteron
(DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia
antara lain:
1. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat pentng pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan
reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek
klinis dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang
menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron,
dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume
prostat 20-30%.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan
pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat
(apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat
sampai dewasa, penambahan jumlah sel prostat seimbang
dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel
prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
5. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,
selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal
suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat
mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat
bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika
hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, akan menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel.
6. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms
(MTOPS) menunjukkan bahwa volume prostat dengan
inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
tanpa inflamasi.
2.1.5 Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan
pertambahan usia. Jika prostat membesar, maka akan meluas ke
atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran
urine. Keadaan tersebut dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot
detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat
memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus akan
menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula,
dan divertikel kandung kemih. Dimana tekanan intravesikel yang
tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).
Untuk mengkaji berat/ringannya gejala BPH dapat
menggunakan grading International Prostatic Symptom Score
(IPSS), sebagai berikut:
Tabel 2.1 Garding IPSS
Pertanyaan Skor Keterangan
Dalam satu bulan terakhir apakah Anda:
1. Merasakan BAK tidak
lampias
2. Merasa ingin BAK 30
menit setalah BAK 1 = tidak pernah
3. Aliran urine terhenti 2 = 1 dari 5 kali BAK
saat BAK 3 = < 50% dari BAK
4. Bila terasa BAK tidak 4 = > 50% dari BAK
dapat menahan 5 = selalu/setiap BAK
5. Merasa aliran urine
lemah saat BAK
6. Harus mengejan kuat
saat BAK
Medulla spinalis
Gejala obstruktif: Intermitten, Gejala iritatif:
hesitensi, terminal dribbling, Urgensi, frekuensi BAK sering
pancaran lemah, BAK (nokturia), dysuria
tidak puas Hipotalamus
Otak
Nyeri Akut
Prosedur pembedahan
Perdarahan
Tidak terkontrol
Resiko perdarahan
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu komplikasi pada traktus urinarius dan komplikasi di luar
traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH
meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi
saluran kemih berulang, batu kandung kemih, perubahan patologi
pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan
komplikasi di luar traktus urinarius adalah hernia dan hemoroid
(Budaya, 2019).
Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi
pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi
urine). Pasien memerlukan kateter yang dimasukkan ke
kandung kemih untuk menampung urine. Beberapa pria dengan
pembesaran prostat membutuhkan pembedahan untuk
meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk
mengososngkan kandung kemih dapat meningkatkan resiko
infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk sepenuhnya mengosongkan kandung kemih. Batu
kandung kemih daoat menyebabkan infeksi, iritasi kandung
kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak
dikosongkan sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring
waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi
berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine
langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi
kandung kemih mencapai ginjal.
2.1.10 Pentalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH
tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:
a) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan
biasanya pasien dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah
makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-
obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur.
b) Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin):
menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika,
prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang
b. Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil
c) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu:
a. Retensi urine berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang
dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas
mikro-gelombang transuretra (Transurethral Microwave
Heat Treatment /TUMT), kompres panas ke jaringan
prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral Needle
Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang ditempatkan di
dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk
pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki
resiko bedah yang buruk).
b. Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/
TURP (Transurethral Resection of The Prostate) yang
merupakan standar terapi bedah, insisi prostat transuretra/
TUIP (Transurethral Incision of The Prostate),
elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan
prostatektomi terbuka.
d) Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang
mengalami gangguan perkemihan karena retensi urine.
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan selang karet
atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.
Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara
continue pada pasien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih.
2.2.7 Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan
proses seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran
dari tindakan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan, membanduingkan hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses
keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau
pasien setelah diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan
objektif meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian
yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian
(perubahan dan perkembangan kesehatan hanya
sebagian dari kriteria pencapaian yang sudah
ditetapkan), masalah belum teratasi (sama sekali tidak
menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan
kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat
melakukan analisis.