TINJAUAN TEORITIS
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
Kelenjar Prostat Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia
pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra
posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini menyumbat uretra
posterior dan buila pembesaran terjadi pada uretra pars prostatika dapat
mengakibatkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Secara
anatomis bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Menurut beberapa
ahli, kelenjar prostat dibagi dalam beberapa zona antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
zona periuretra.
Gambar 2.1
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron. Dalam sel-
sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh menjadi Dihidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim αreduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu mRNA dalam
sel-sel kelenjar prostat yaitu sejenis hormon yang memacu sintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami
pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun
dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pemebesaran kelenjar prostat
mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.
b. Fisiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:
1). Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat pentng
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel
prostat oleh 5αreduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-
RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek 9 klinis dengan pemberian 5α-
reduktase inhibitor yang menghambat perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron, dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume
prostat 20-30%.
2). Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap
rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat (apoptosis). Sehingga
meskipun rangsangan terbentuknya selsel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3) Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4) Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan jumlah
sel prostat seimbang dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat meningkat
sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
5). Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat 10
mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat bergantung pada
keberadaan hormone androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun
seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel
punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel
epitel.
6). Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)
menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan tanpa inflamasi.
3. Klasifikasi
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH disebut sebagai
syndroma prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destructor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikel guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intravesikel sampai berakhirnya miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
2. Gejala iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (nocturia) dan pada siang hari
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing
4. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan pertambahan usia.
Jika prostat membesar, maka akan meluas ke atas kandung kemih sehingga pada
bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran
urine. Keadaan tersebut dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih
berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-
menerus akan menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih.
Dimana tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-
ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).
5. Penatalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH
antara lain:
a) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat- 17 obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
a. Terapi medikamentosa
b. Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada
otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air
seni dan gejala-gejala berkurang
c. Penghambat enzim reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil
d. Terapi bedah Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut
untuk terapi bedah yaitu:
1. Retensi urine berulang
2. Hematuria
3. Tanda penurunan fungsi ginjal
4. Infeksi saluran kemih berulang
5. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
6. Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang dilakukan antara lain
sebagai berikut:
1). Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas mikro-gelombang
transuretra (Transurethral Microwave Heat Treatment /TUMT), kompres panas
ke jaringan prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral Needle
Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang ditempatkan di dalam kelenjar
prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk pasien retensi kemih dan untuk pasien
yang memiliki resiko bedah yang buruk).
2). Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP (Transurethral
Resection of The Prostate) yang merupakan standar terapi bedah, insisi prostat
transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of The Prostate), elektrovaporisasi
transuretra, terapi laser, dan prostatektomi terbuka.
3). Kateterisasi urine Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang
mengalami gangguan perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah
tindakan memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung
kemih. Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara continue pada
pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami
obstruksi pada saluran kemih
6. Pengkajian Fokus
a. Pengkajian Menurut Siregar (2021).
pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama dalam proses
keperawatanyang mencakup pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,
pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan dokumentasi data dan
dilakukan oleh perawat yang professional di bidang kesehatan.
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang berat pada
pasien. Secara umum gejala yang dikeluhkan pasien hanyalah sulit buang air kecil
dan beberapa waktu kemudian dapat berkurang dan baik lagi. Untuk mengkaji
berat/ringannya gejala BPH dapat menggunakan grading International Prostatic
Symptom Score (IPSS), sebagai berikut:
Tabel 2.1 Garding IPSS
1. Keluhan utama Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus diidentifikasi
dengan cermat. Perawat dapat menanyakan kepada pasien dan keluarga tentang
keluhan yang dirasakan seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual
muntah, dan sebagainya.
2. Persepsi dan manajemen kesehatan Kaji dan identifikasi pola penanganan
penyakit yang dilakukan pasien dan keluarga. Termasuk dalam hal apa yang
dilakukan jika keluhan muncul.
3. Pola eliminasi Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia, hesistensi,
frekuensi, urgensi, anuria, hematuria.
4. Pola aktivitas dan latihan Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan
masalah BAK, misalnya kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke kamar mandi,
dan sebagainya.
5. Pola tidur Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu istirahat
tidur.
6. Pola peran Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan
berkemih.
7. Pemeriksaan fisik Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic. Periksa
ada tidaknya gejala komplikasi seperti udem, hipertensi, dan sebagainya.
8. Pemeriksaan diagnostik Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil
laboratorium. Perhatikan adanya kesan pembesaran prostat, hidroureter,
hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin, leukosit, anemia, dan sebagainya.
9. Program terapi Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter,
monitoring laboratorium, dan sebagainya.
b. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
BPH adalah antara lain:
a. Sedimen urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi slauran kemih.
b. Kultur urin Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
c. Foto polos abdomen Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh
terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urine.
d. IVP (Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau
ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
e. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal) Untuk mengetahui
pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
f. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat prostat ke dalam rectum
c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan actual
atau potensial yang membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan
(Siregar, 2021).
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Risiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Risiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
d. Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan BPH adalah :
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
1. Observasi
a. Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan berkonsentrasi,
atau gejala lain yang mengganggu kemampuan kognitif
b. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
c. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya
d. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
e. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
2. Terapeutik
a. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan
dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
b. Berikan informasi tentang persiapan dan prosedur teknik relaksasi -
Gunakan pakaian longgar
c. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
d. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika perlu
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis. Music, meditasi, nafas dalam, relaksasi otot progresif)
b. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
c. Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
d. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
e. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
f. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. Nafas dalam,
peregangan, atau imajinasi terbimbing
2) Retensi urine b.d. peningkatan tekanan uretra
Intervensi : 1.04148 Kateterisasi Urine
1. Observasi
a. Periksa kondisi pasien (mis. Kesadaran, tandatanda vital, daerah perineal,
distensi kandung kemih, inkontinensia urine, refleks berkemih
2. Terapeutik
a). Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan
b). Siapkan pasien,: bebaskan pakaian bawah dan posisikan supine
c). Pasang sarung tangan
d). Bersihkan daerah preposium dengan cairan NaCl atau aquades
e). Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip aseptic
f). Sambungkan kateter urine dengan urine bag
g). Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai dengan anjuran pabrik
h). Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di paha
i). Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari kandung kemih
j). Berikan label waktu pemasangan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine - Anjurkan
menarik nafas saat insersi selang kateter
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis (preop), agen pencedera fisik
(prosedur operasi, post-op)
Intervensi : 1.08238 Manajemen Nyeri
a. Observasi
2. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
3. Identifikasi skala nyeri
4. Identifikasi respons nyeri non verbal
5. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
6. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
7. Identifikasi pengaruh dan nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis , akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pihat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis, suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
c. Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Intervensi mobilisasi dini
1. Melatih menarik nafas dan coughing dalam yang dapat dilakukan
sambil terletang pada 6 jam setelah operasi
2. Melakukan gerakan dorsalfleksi dan plantarfleksi pada kaki (gerakan
pompa betis) 6 jam paska operasi
3. Melakukan gerakan ekstensi dan fleksi lutut 6 jam paska operasi
4. Menaikkan dan menurunkan kaki secara bergantian dari permukaan
tempat tidur 6 jam pasca operasi
5. Melakukan gerakan miring ke kiri dan kanan secara bergantian 6
jam paska operasi
6. Meninggikan posisi kepala dan badan dengan menggunakan
bantal 10 jam pasca operasi
7. Melakukan gerakan ROM aktif setelah 16 jam pasca operasi
8. Duduk sendiri setelah 24 jam paska operasi
9. Mampu berjalan sendiri kesetelah 48 jam paska operasi
d. Kolaborasi:
a. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
3. Faktor Pencetus
Menurut hasil penelitian yang diteliti Wayan Sumberjaya adalah one group pra-
post test design dengan rancangan pra experimental, jumlah sampel sebanyak 12
responden menggunakan teknik purposive sampling. Instrument yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar panduan berupa Standar Operasional Prosedur
(SOP) dan alat ukur nyeri berupa Numeric Rating Scale (NRS). Skala nyeri sebelum
mobilisasi dini, 2 responden (16,7%) dengan skala nyeri 6 dan 3 responden (25%)
dengan skala nyeri 3. Setelah mobilisasi dini, 1 responden (8,3%) dengan skala nyeri 5
dan 3 responden (25%) dengan skala nyeri 2. Hasil uji wilcoxon didapatkan p-
value=0,0001 < 0,05, ini berarti bahwa pemberian tindakan mobilisasi dini
berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post operasi TURP
BPH di ruang Bima RSUD Sanjiwani Gianyar. Hasil penelitian disimpulkan ada
pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post operasi
TURP BPH.