Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


DI RUMAH SAKIT R.W MONGINSIDI MANADO
RUANGAN ICU

CLINICAL TEACHER :
Ns. Heyni F Kereh, S.Kep, M.M, M.Kes

Di Susun Oleh :
Nama : Suci Taraswati Batalipu
Nim : 19180072

AKADEMI KEPERAWATAN RUMKIT TK III MANADO


T.A 2021 / 2022
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


1. Definisi
BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut Hipertrofi Prostat Jinak merupakan
kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar
periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan
menyebabkan gejala uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017). Selain itu menurut Budaya (2019),
BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel prostat di area
periuretra yang merupakan suatu hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara etiologi pada
BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat dari proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat atau terjadi
penurunan kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner (2013) kelenjar prostat
membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih
yang tidak tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat menyebabkan hidronefrosis,
hidroureter, dan infeksi saluran kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut tidak dipahami dengan
baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. BPH sering terjadi pada pria berusia lebih
dari 40 tahun.

2. Anatomi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini menyumbat uretra
posterior dan buila pembesaran terjadi pada uretra pars prostatika dapat mengakibatkan terhambatnya
aliran urine keluar dari buli-buli. Secara anatomis bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Menurut beberapa ahli, kelenjar
prostat dibagi dalam beberapa zona antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan zona periuretra. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron. Dalam sel-sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh menjadi Dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim α- reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu mRNA dalam sel-sel
kelenjar prostat yaitu sejenis hormon yang memacu sintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Pemebesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan
gangguan miksi.

3. Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan menjadi empat, yaitu:

a. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.

b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis, masih
terasa kira-kira 60- 150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan menjadi nocturia.

c. Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan, urine menetes secara periodic
ontinen.

4. Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar dihidrotestoteron
(DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:

a. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat pentng pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-
reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek klinis dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang
menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron, dalam waktu 3-6 bulan akan
membuat pengurangan volume prostat 20-30%.

b. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron


Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan pada
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitiviras sel –sel
prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat (apoptosis). Sehingga meskipun
rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih
besar.

c. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

d. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat


Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan kematian sel.
Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan jumlah sel prostat seimbang dengan
sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.

e. Teori sel punca


Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
Kehidupan sel ini sangat bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika hormone
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga
terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.

f. Teori inflamasi kronis


Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)
menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan tanpa inflamasi.

5. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan pertambahan usia. Jika prostat
membesar, maka akan meluas ke atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan tersebut dapat
meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot
detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi
yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih. Dimana tekanan
intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).

6. Manifestasi Klinis
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH disebut sebagai syndroma
prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:

a. Gejala obstruktif
Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destructor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikel guna mengatasi adanya tekanan
dalam uretra prostatika Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan
tekanan intravesikel sampai berakhirnya miksi

b. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing


Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra Rasa tidak puas setelah
berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas

c. Gejala iritasi
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahanFrequency
yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(nocturia) dan pada siang hari Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien BPH adalah antara lain:

a. Sedimen urin
Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi slauran kemih.

b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.

c. Foto polos abdomen


Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urine.

d. IVP (Intra Vena Pielografi)


Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

e. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)


Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

f. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra parsprostatika dan melihat prostat
ke dalam rectum

8. Komplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu komplikasi pada traktus
urinarius dan komplikasi di luar traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH
meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung
kemih, perubahan patologi pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan komplikasi di luar traktus urinarius adalah
hernia dan hemoroid (Budaya, 2019).

Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi pembesaran prostat meliputi:

a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine). Pasien memerlukan
kateter yang dimasukkan ke kandung kemih untuk menampung urine. Beberapa pria
dengan pembesaran prostat membutuhkan pembedahan untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk mengososngkan kandung kemih
dapat meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk sepenuhnya
mengosongkan kandung kemih. Batu kandung kemih daoat menyebabkan infeksi, iritasi
kandung kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya dapat
meregang dan melemah seiring waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi
berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine langsung dapat merusak
ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih mencapai ginjal.
9. Pentalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:

a. Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-
obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak
terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan
colok dubur.

b. Terapi medikamentosa
1.) Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada otot polos di
leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan tekanan pada uretra
pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang
2.) Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil
a) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu:
a. Retensi urine berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang
dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi
panas mikro-gelombang transuretra (Transurethral
Microwave Heat Treatment /TUMT), kompres panas ke
jaringan prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral
Needle Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang
ditempatkan di dalam kelenjar prostat, sten prostat
(tetapi hanya untuk pasien retensi kemih dan untuk
pasien yang memiliki resiko bedah yang buruk).

b. Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/


TURP (Transurethral Resection of The Prostate) yang
merupakan standar terapi bedah, insisi prostat
transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of The
Prostate), elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan
prostatektomi terbuka.
b) Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang
mengalami gangguan perkemihan karena retensi urine.
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan selang karet
atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.
Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara
continue pada pasien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih.

A. Konsep Asuhan Keperawatan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan yang dilakukan
perawata untuk memberikan asuhan keperawatan secara professional
(Siregar, 2021). Proses keperawatan meliputi antara lain:
1. Pengkajian
Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan
langkah pertama dalam proses keperawatanyang mencakup
pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,
pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan
dokumentasi data dan dilakukan oleh perawat yang professional
di bidang kesehatan. Menurut Diyono (2019), pengkajian
keperawatan meliputi antara lain:
2. Riwayat keperawatan
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang
berat pada pasien. Secara umum gejala yang dikeluhkan
pasien hanyalah sulit buang air kecil dan beberapa waktu
kemudian dapat berkurang dan baik lagi.

3. Keluhan utama

Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus


diidentifikasi dengan cermat. Perawat dapat menanyakan
kepada pasien dan keluarga tentang keluhan yang dirasakan
seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual
muntah, dan sebagainya.
4. Persepsi dan manajemen kesehatan
Kaji dan identifikasi pola penanganan penyakit yang
dilakukan pasien dan keluarga. Termasuk dalam hal apa
yang dilakukan jika keluhan muncul.

5. Pola eliminasi
Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia,
hesistensi, frekuensi, urgensi, anuria, hematuria.
6. Pola aktivitas dan latihan
Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan masalah
BAK, misalnya kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke
kamar mandi, dan sebagainya.
7. Pola tidur
Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu
istirahat tidur.
8. Pola peran
Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat
gangguan berkemih.
9. Pemeriksaan fisik
Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic.
Periksa ada tidaknya gejala komplikasi seperti udem,
hipertensi, dan sebagainya.
10. Pemeriksaan diagnostik
Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil
laboratorium. Perhatikan adanya kesan pembesaran prostat,
hidroureter, hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin,
leukosit, anemia, dan sebagainya.
11. Program terapi
Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter,
monitoring laboratorium, dan sebagainya.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang
respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan actual atau potensial yang
membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar,
2021). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:

a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
3. Prinsip Keperawatan
Prinsip keperawatan menurut Diyono (2019) antara lain:
1. Identifikasi tingkat keparahan dari obstruksi (IPSS)
2. Jika IPSS <7 belum perlu terapi,
cukup beri pengetahuan tentang:
a. Hindarkan minum kopi dan/atau alcohol
b. Kurangi konsumsi coklat dan kopi
c. Hindarkan obat: fenilpropanolamin
d. Kurangi makanan pedas dana sin
e. Hindarkan sering menahan kencing
3. Segera atasi retensi urine berat
dengan pemasangan kateter, kalua
perlu lakukan cystotomy
4. Hati-hati saat pemasangan kateter:
a. Pilih kateter dengan ukuran lebih kecil dari standar
untuk pasien normal
b. Bila ada tahanan, jangan dipaksakan. Tambah lubrikasi
atau pilih kateter dengan ukuran yang lebih kecil
5. Kelola pemberian terapi: fenoksibenzamin, prazosin
6. Jelaskan perlunya tindakan pembedahan bila:
a. Tidak ada perubahan dengan obat
b. Retensi urine berat sampai hidronefrosis
c. ISK berulang, nefrolithiasis
d. Hematuria
e. Gagal ginjal

4. Kelola Pembedahan
Pengelolaan pembedahan menurut Diyono (2019) antara lain:
1. Informed consent
2. Persiapan pre-operasi rutin
3. Perawatan post-operasi yang meliputi:
a. Anjurkan klien untuk bed rest minimal 2 hari
b. Jaga kepatenan fiksasi kateter, hindarkan perubahan
posisi dari fiksasi minimal 2 hari
c. Monitor kepatenan irigasi, hati-hati dengan
adanya obstruksi dan perdarahan
d. Pertahankan irigasi kontinu dengan mengatur kecepatan
tetesan berdasar warna urine yang keluar
e. Pantau urine dan catat tamping, hitung keseimbangan
yang masuk dan keluar
f. Pertimbangkan urine murni (500 cc) saat menghitung
balance cairan di irigasi
g. Lakukan blass spoelen bila ada obstruksi
h. Monitor dan atasi komplikasi: blooding
i. Kelola terapi obat: analgetik, anti perdarahan

5. Rencana Asuhan Keperawatan


Perencanaan keperawatan merupakan tahapan ketiga dalam
proses keperawatan, dimana perencanaan adalah fase dalam
proses keperwatan yang melibatkan pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah yang mengacu dari hasil pengkajian dan
diagnosis keperawatan (Siregar, 2021).

6. Implementasi
Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan
pelaksanaan rencana asuhan keperawatan yang dikembangkan
selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup penyelesaian
tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan
dari kriteria hasil pada diagnosa keperawatan. Implementasi
bertujun untuk membantu pasien mencapai kesehatan yang
optimal dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi pasien mengatasi fungsi
tubuh yang berubah dalam berbagai fasilitas kesehatan seperti
pelayanan kesehatan di rumah, klinik, rumah sakit, dan
lainnya. Implementasi juga mencakup pendelegasian tugas dan
pendokumentasian tindakan keperawatan.

7. Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil
dan proses seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai
keluaran dari tindakan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan,
membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap
pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga
atau pasien setelah diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan
objektif meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku
dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria
pencapaian.

yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan


dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria
pencapaian yang sudah ditetapkan), masalah belum teratasi
(sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan
perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan
analisis.

Anda mungkin juga menyukai