PASIEN BPH
I. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin,
2011).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
B. ETIOLOGI
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai
dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan
bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi
peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian
dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
C. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence).
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal,
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian
atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada
miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,
stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
E. PEMERIKSAAN FISIK
F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN NON MEDIS
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2. Medika mentosa
Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari : phitoterapi (misalnya :
hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi:
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut
3) Perianal prostatectomy.
C. INTERVENSI
Diagnosa I:Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang atau
hilang, dengan kriteria hasil:
a) klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
b) ekspresi wajah klien tenang
c) tanda-tanda vital dalam batas normal
2. NIC
a) Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
b) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
c) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal
gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.
Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA
PASIEN DEKOMPENSASIO CORDIS
I. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung tidak
mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun
tekanan vena normal (Muttaqin, 2012).
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan
tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak nafas dan fatik saat istirahat atau saat
aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi pada jantung (Nurarif dan
Kusuma, 2013).
Gagal jantung adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam
memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan okseigen
secara adekuat (Udjiati, 2013).
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Gagal
jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit gagal
jantung merupakan suatu keadaan atau kondisi patofisiologis dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu lagi memompakan darahnya dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan dalam melakukan metabolisme sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik.
B. ETIOLOGI
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit
jantung congenital maupun didapat. Mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontratilitas miokardium. Sebab-sebab gagal pompa jantung secara
menyeluruh:
1. Kelainan mekanis
a. Peningkatan beban tekanan
1) Sentral (stenosis aorta dsb)
2) Periper (hipertensi sistemik)
b. Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, peningkatan beban awal, dsb)
c. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidalis)
d. Tamponade perikardium
e. Restriksi endokardium atau miokardium
f. Aneurisma ventrikel
g. Dis-sinergi ventrikel
2. Kelainan Miokardium
a. Primer
1) Kardiomiopati
2) Miokarditis
3) Kelainan metabolik
4) Toksisitas (alkohol dsb)
5) Presbikardia
b. Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis)
1) Kekurangan oksigen (penyakit jantung koroner)
2) Kelainan metabolik
3) Inflamasi
4) Penyakit sistemik
5) Penyakit PPOM
3. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi
1. Henti jantung
2. Fibrilasi
3. Takhikardi atau bradikardi yang berat
4. Gangguan konduksi
Decompensasi cordis terbagi atas dua macam meliputi :
1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri
Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada
akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal
sehingga pada masa diastol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan
tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium kiri
berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas normal pada atrium kiri (normal
10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan
pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompa
darah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan
hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18
mmHg dan terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru.
Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi
transudasi cairanin tertisiel bronkus mengakibatkan edema aliran udara menjadi
terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi eksspirasi dan menjadi lebih panjang
yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan
di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari
saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk, menampungnya (>25
mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yang makain lama
akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema
paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak
cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta
perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang
berakibat kematian.
Gagalnya khususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang
mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua antara lain :
- Tanda-tanda dan gejala penurunan cardiak output seperti dyspnea de effort
(sesak nafas pada akktivitas fisik, ortopnea (sesak nafas pada saat berbaring
dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri kemudian dispnea noktural
paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun).
- Kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang
bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikardia,
Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses
aktif yang tergantung pada energi ) dan kekakuan dinding ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan
Kegagalan ventrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa melawan
tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali
ke dalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong
cairan keintertisiel masuk kedalam (edema perier) .
Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanan
tidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan
venakapa superior dan inferior dan tampak gejala yang ada adalah udemaperifer,
hepatomegali, splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang
cepat, hal ini akibat vetrikel kanan pada saat sistol tidak mampu mempu darah
keluar sehingga saat berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin
meningkat demikin pula mengakibatkan tekanan dalam atrium meninggi diikuti
oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava inferior serta selruh
sistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis
eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan
bendungan-bedungan pada pada vena-vena perifer dan apabila tekanan hidrostatik
pada di pembuluh kapiler meningkat melampaui takanan osmotik plasma maka
terjadinya oedema perifer.
Faktor Pencetus
1. Kebiasaan merokok
Yaitu bahwa rokok mengandung nikotin dan zat beracun yang berbahaya dan
dapat merusak fungsi jantung. Nikotin pada rokok dapat meningkatkan faktor
resiko kerusakan pembuluh darah dengan mengendapnya kolesterol pada
pembuluh darah jantung koroner, sehingga jantung bekerja lebih keras.
2. Hipertensi
Yaitu meningkatnya tekanan darah sistolik karena pembuluh darah tidak
elastis serta naiknya tekanan diastolik akibat penyempitan pembuluh darah
tersebut, aliran darah pada pembuluh koroner juga naik.
3. Obesitas
Yaitu penumpukan lemak tubuh, sehingga menyebabkan kerja jantung tidak
normal dan menyebabkan kelainan.
4. Kolesterol tinggi
Yaitu mengendapnya kolesterol dalam pembuluh darah jantung koroner
menyebabkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh menjadi
lebih berat.
5. Diabetes Mellitus
Karena kadar glukosa yang berlebih bisa menimbulkan penyakit yang agak
berat dan bersifat herediter.
6. Ketegangan jiwa atau stres
Stres terjadi bias meningkatkan aliran darah dan penyempitan pada pembuluh
darah koroner.
7. Keturunan
8. Kurang makan sayur dan buah
C. PATOFISIOLOGI
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel
yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah
sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal
jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,
Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron,
dan
Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah
jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan
menjadi semakin kurang efektif. Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan
membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic
simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan
medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk
menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran
darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar
perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,
3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I,
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium
atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-
sel miokardium ; tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal
jantung, sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial. Respon miokardium
terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya tebal dinding.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misalnya : takhikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi
atau struktur katub atau penurunan kontraktilitas ventrikular.
3. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
4. Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan dan sisi kiri, dan stenosi katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam
ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi atau perubahan
kontrktilitas. (Wilson Lorraine M, 2001)
5. Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi
fleura yang menegaskan diagnosa CHF.
6. Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil
hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air. (Nursalam M, 2002)
E. PEMERIKSAAN FISIK
B3 (Brain)
Kesadaran composmetis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat, wajah meringis, menangis, merintih, dan mereganag
(Muttaqin, 2012).
B4 (Bladder)
Adanya oliguria yang merupakan tanda syok kardiogenik dan adanya edema
ekstremitas merupakan tanda adanya retensi cairan yang parah (Muttawin,
2012).
B5 (Bowel)
Pasien biasanyanmual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan
statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan. Selain itu
dapat terjadi hepatomegali akibat pembesaran vena di hepar dan pada
akhirnya menyebabkan asites (Muttaqin, 2012).
B6 (Bone)
Pada pengkajian B6 di dapatkan kulit dingin dan mudah lelah (Muttaqin,
2012).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan: perubahan kontraktilitas miokardial
atau perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik,
perubahan struktural
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan: ketidakseimbangan antar suplai oksigen,
kelemahan umum, tirah baring lama atau immobilisasi.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan: menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium
atau air.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan: perubahan kontraktilitas miokardial
atau perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik,
perubahan struktural, ditandai dengan:
a. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola
EKG
b. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
c. Bunyi ekstra (S3 & S4)
d. Penurunan keluaran urin
e. Nadi perifer tidak teraba
f. Kulit dingin kusam
g. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien dapat menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima
(disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung,
melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, ikut serta dalam aktivitas
yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi:
a. Auskultasi nadi apical: kaji frekuensi, iram jantung
Rasional: Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk
mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
b. Catat bunyi jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama
Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah keserambi yang
disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi atau stenosis katup.
c. Palpasi nadi perifer
Rasional: Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial,
popliteal, dorsalis pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.
d. Pantau Tekanan Darah
Rasional: Pada gagal jantung kronis, dini, ataupun sedang, tekanan darah dapat
meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi dan
hipotensi tidak dapat norml lagi.
e. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional: Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap
tidak adekutnya curah jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapat terjadi
sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atau belang
karena peningkatan kongesti vena.
f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
Rasional: Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk
melawan efek hipoksia atau iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan
kongesti.
Doenges Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien). Edisi 3. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA
PASIEN HIPERTENSI
B. ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-
perubahan pada :
Elastisitas dinding aorta menurun
Katub jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur
20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya
hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
2. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a. Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr)
b. Kegemukan atau makan berlebihan
c. Stress
d. Merokok
e. Minum alcohol
f. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit-penyakit seperti Ginjal,
Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor, Vascular,
Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol, Vaskulitis,
Kelainan endokrin, DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme, Saraf, Stroke, Ensepalitis.
Selain itu dapat juga diakibatkan karena Obat–obatan Kontrasepsi oral Kortikosteroid.
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh
darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup)
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Rahmawati, 2012).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu”
disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff
sphygmomanometer (Darmojo, 2010).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viscositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti hipokoagulabilitas,
anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal.
3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di akibatkan
oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan adanya
DM.
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. RKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan ginjal.
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
E. PEMERIKSAAN FISIK
Pengkajian Persistem
1. Sirkulasi
a. Riwayat hipertensi, ateroskleorosis, penyakit jantung koroner atau katup dan
penyakit cerebro vaskuler.
b. Episode palpitasi,perspirasi.
2. Eleminasi
a. Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu seperti infeksi atau obtruksi atau riwayat
penyakit ginjal masa lalu.
3. Neurosensori
a. Keluhan pusing.
b. Berdenyut, sakit kepala subokspital (terjadi saat bangun dan menghilang secara
spontan setelah beberapa jam).
4. Pernapasan
a. Dispnea yang berkaitan dengan aktifitas/kerja
b. Takipnea, ortopnea, dispnea noroktunal paroksimal.
c. Batuk dengan/tanpa pembentukan sputum.
d. Riwayat merokok
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular Cerebral
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
3. Curah Jantung, resiko tinggi terhadap hipertensi berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi
4. Nutrisi , perubahan lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan
metabolic
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan system pendukung yang tidak
adekuat
6. Kurang pengetahuan berhubungnya dengan kurang informasi atau keterbatasan
kognitif
C. Intervensi
Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular Cerebral
1. Intervensi : Mempertahankan tirah baring selama fase akut
R/ Meminimalkan stimulasi/meningkatkan relaksasi
2. Intervensi: Berikan tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit
kmepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, tenang,
redupkan lampu kamar, tekhnik relaksasi.
R/ tindakan yang menurunkan tekanan vascular serebral dan yang memperlambat
atau memblok respons simpatis efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan
komplikasinya
3. Intervensi : Hilangkan atau minimalkan aktivitas fase kontriksi yang dapat
meningkatkan sakit kepala, misalnya mengejam saat bab, batuk panjang,
membungkuk
R/ aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala pada
adanya peningkatan tekanan vascular cerebral
Huda Nurarif & Kusuma H,. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogja: Medi Action.
I. Latar Belakang
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (graduil)
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti serta
mempertahankan fungsi secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk
adanyainfeksi (Santoso, 2009).Proses menua merupakan proses yang terus-
menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
pada semua makhluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan
baik dari dalam maupun dari luar tubuh. Walaupun demikian harus diakui
bahwa ada berbagai penyakit yang sering menyerang lanjuut usia (Nugroho,
2000).
Berdasarkan hasil survey dan pengkajian pada tanggal18 Mei s.d. 19 Mei
2020 didapatkan data lansia di Panti Werda Oepura berjumlah 55 orang.Dari
jumlah tersebut terdapat 34 lansia yang memiliki riwat penyakit.Riwayat
penyakit yang paling banyak diderita lansia di Unit Pelayan Terpadu Pelayan
Sosial Lanjut Usia Panti Werda adalah hipertensi. Untuk membina kesehatan
lanjut usia tersebut, maka diperlukan kerjasama untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan seperti pengontrolan dan pemeriksaan vital sign.
II. Tujuan
1) Tujuan Umum
Setelah mengikuti pelatihan diharapkan Tim Kader Pante Werdah
Kelurahan Oepura dapat melakukan pengukuran tekanan darah dengan
benar
2) Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pelatihan diharapkan peserta Pante Werda dapat
a. Menjelaskan nilai normal dan Abnormal Tekanan Darah
b. Menentukan tempat pengukuran Tekanan Darah
c. Melakukan pengukuran Tekanan Darah
7) Setting Tempat
M
E
Keterangan :
= pemimpin
= fasilitator
= peserta
Mengetahui,
PJMA Keperawatan Gerontik
Program Studi Ners STIKES Nusantara
Kupang
A. DEFENISI
Pemeriksaan fisik tekanan darah adalah salah satu pemeriksaan vital sign
pada tubuh manusia dengan menggunakan tensi meter dengan Tujuan agar
bisa menegakkan diagnose.
Tekanan darah adalah tenaga yang digunakan oleh darah terhadap satuan
pembuluh darah.
B. MANFAAT
Manfaat pemeriksaan fisik tekanan darah adalah :
1. Mengenal secara dini penyakit darah tinggi
2. Mengenal secara dini penyakit darah rendah
3. Mudah bagi perawat untuk menetukan diagnosa
4. Untuk pemeriksaan fisik atau control
D. CARA PENGUKURAN
1. Persiapan pasien
Pasien diberitahu
Pasien dianjurkan berbaring
Pasien boleh dalam keadaan duduk
2. Persiapan alat
Tensi meter
Stetoscop
3. Pelaksanaan
Tetapkan tempat untuk mengukur tekanan darah
Lengan baju dibuka atau digulung
Pasang manset spigmanometer pada lengan atas pasien 2,5 cm di atas
lipatan siku dengan pipa karet berada di sisi dalam
Membalut tidak boleh terlalu kuat atau terlalu longgar
Carilah atau raba denyut nadi pada lipatan siku bagian dalam dengan
menggunakan tiga (jari telunjuk,jari tengah,jari manis)jari telunjuk
dan jari manis digunakan untuk menekan dan jari tengah untuk merasa
denyut nadi.
Pasang stetoskop letakan tepat diatas denyut nadi yang telah diraba
POmpa manset sampai tidak terdengar suara denyut nadi stetoskop
Longgarkan katub balon dengan memutar berbalik dengan arah jarum
jam jarum di spigmanometer
Dengarkan suara denyut nadi pertama dan terahir
Longgarkan katub balon sampai jarum di spigmanometer menunjukan
nol
Lepaskan manset,catat dan beritahu hasilnya kepada pasien
.
DAFTAR PUSTAKA