Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA

PASIEN BPH

MERCI MASURU LODIAY


1490119030R

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NUSANTARA


PROFESI NERS
KUPANG 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin,
2011).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat


(secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000,
hal 671).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,


disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra
pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang


keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).

B. ETIOLOGI
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai
dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan
bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi
peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian
dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti


penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasi prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada


usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan


stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :


Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral.

Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa


jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan
terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (Kahardjo, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya


perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi
yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi
resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis,
sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal
setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada
leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus
(mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran
lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence).
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal,
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian
atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada
miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,
stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

E. PEMERIKSAAN FISIK
F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN NON MEDIS
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari : phitoterapi (misalnya :
hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi:

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut

b. Dengan residual urin >100 ml

c. Klien dengan pengulit

d. Terapi medika mentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan dapat dilakukan dengan:

1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).

2) Retropublic atau extravesical prostatectomy.

3) Perianal prostatectomy.

4) Suprapublic atau tranvesical prostatectomy.

4. Alternatif lain (misalnya kriyoterapi, hipertermia, termoterapi ,terapi ultrasonic).


II. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
- Keadaan umum
- Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
5. Data psikologis
a. pendidikan
b. hubungan siosial
c. gaya hidup
d. peran dalam keluarga
6. Data penunjang
7. Pengobatan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
2. Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses
penyakit dan pengobatanya

C. INTERVENSI
Diagnosa I:Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang atau
hilang, dengan kriteria hasil:
a) klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
b) ekspresi wajah klien tenang
c) tanda-tanda vital dalam batas normal
2. NIC
a) Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
b) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
c) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal
gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.

Diagnosa II:Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.


1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi adanya tanda-
tanda infeksi, dengan kriteria hasil:
a) Klien tidak mengalami infeksi.
b) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c) Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda shock.
2. NIC
a) Monitor tanda dan gejala infeksi
R/ mengetahui tanda dan gejala infeksi.
b) Ajarkan intake cairan yang cukup sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
R/meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi isk dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal .
c) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik .
R/ mencegah infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.

Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.

Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA
PASIEN DEKOMPENSASIO CORDIS

MERCI MASURU LODIAY


1490119030R

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NUSANTARA


PROFESI NERS
KUPANG 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung tidak
mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun
tekanan vena normal (Muttaqin, 2012).
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan
tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak nafas dan fatik saat istirahat atau saat
aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi pada jantung (Nurarif dan
Kusuma, 2013).
Gagal jantung adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam
memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan okseigen
secara adekuat (Udjiati, 2013).
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Gagal
jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit gagal
jantung merupakan suatu keadaan atau kondisi patofisiologis dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu lagi memompakan darahnya dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan dalam melakukan metabolisme sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik.

B. ETIOLOGI
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit
jantung congenital maupun didapat. Mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontratilitas miokardium. Sebab-sebab gagal pompa jantung secara
menyeluruh:
1. Kelainan mekanis
a. Peningkatan beban tekanan
1) Sentral (stenosis aorta dsb)
2) Periper (hipertensi sistemik)
b. Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, peningkatan beban awal, dsb)
c. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidalis)
d. Tamponade perikardium
e. Restriksi endokardium atau miokardium
f. Aneurisma ventrikel
g. Dis-sinergi ventrikel
2. Kelainan Miokardium
a. Primer
1) Kardiomiopati
2) Miokarditis
3) Kelainan metabolik
4) Toksisitas (alkohol dsb)
5) Presbikardia
b. Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis)
1) Kekurangan oksigen (penyakit jantung koroner)
2) Kelainan metabolik
3) Inflamasi
4) Penyakit sistemik
5) Penyakit PPOM
3. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi
1. Henti jantung
2. Fibrilasi
3. Takhikardi atau bradikardi yang berat
4. Gangguan konduksi
Decompensasi cordis terbagi atas dua macam meliputi :
1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri
Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada
akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal
sehingga pada masa diastol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan
tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium kiri
berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas normal pada atrium kiri (normal
10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan
pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompa
darah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan
hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18
mmHg dan terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru.
Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi
transudasi cairanin tertisiel bronkus mengakibatkan edema aliran udara menjadi
terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi eksspirasi dan menjadi lebih panjang
yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan
di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari
saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk, menampungnya (>25
mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yang makain lama
akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema
paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak
cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta
perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang
berakibat kematian.
Gagalnya khususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang
mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua antara lain :
- Tanda-tanda dan gejala penurunan cardiak output seperti dyspnea de effort
(sesak nafas pada akktivitas fisik, ortopnea (sesak nafas pada saat berbaring
dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri kemudian dispnea noktural
paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun).
- Kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang
bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikardia,
Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses
aktif yang tergantung pada energi ) dan kekakuan dinding ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan
Kegagalan ventrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa melawan
tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali
ke dalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong
cairan keintertisiel masuk kedalam (edema perier) .
Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanan
tidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan
venakapa superior dan inferior dan tampak gejala yang ada adalah udemaperifer,
hepatomegali, splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang
cepat, hal ini akibat vetrikel kanan pada saat sistol tidak mampu mempu darah
keluar sehingga saat berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin
meningkat demikin pula mengakibatkan tekanan dalam atrium meninggi diikuti
oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava inferior serta selruh
sistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis
eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan
bendungan-bedungan pada pada vena-vena perifer dan apabila tekanan hidrostatik
pada di pembuluh kapiler meningkat melampaui takanan osmotik plasma maka
terjadinya oedema perifer.
Faktor Pencetus
1. Kebiasaan merokok
Yaitu bahwa rokok mengandung nikotin dan zat beracun yang berbahaya dan
dapat merusak fungsi jantung. Nikotin pada rokok dapat meningkatkan faktor
resiko kerusakan pembuluh darah dengan mengendapnya kolesterol pada
pembuluh darah jantung koroner, sehingga jantung bekerja lebih keras.
2. Hipertensi
Yaitu meningkatnya tekanan darah sistolik karena pembuluh darah tidak
elastis serta naiknya tekanan diastolik akibat penyempitan pembuluh darah
tersebut, aliran darah pada pembuluh koroner juga naik.
3. Obesitas
Yaitu penumpukan lemak tubuh, sehingga menyebabkan kerja jantung tidak
normal dan menyebabkan kelainan.
4. Kolesterol tinggi
Yaitu mengendapnya kolesterol dalam pembuluh darah jantung koroner
menyebabkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh menjadi
lebih berat.
5. Diabetes Mellitus
Karena kadar glukosa yang berlebih bisa menimbulkan penyakit yang agak
berat dan bersifat herediter.
6. Ketegangan jiwa atau stres
Stres terjadi bias meningkatkan aliran darah dan penyempitan pada pembuluh
darah koroner.
7. Keturunan
8. Kurang makan sayur dan buah

C. PATOFISIOLOGI
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel
yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah
sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal
jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
 Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,
 Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron,
dan
 Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah
jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan
menjadi semakin kurang efektif. Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan
membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic
simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan
medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk
menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran
darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar
perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,
3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I,
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium
atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-
sel miokardium ; tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal
jantung, sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial. Respon miokardium
terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya tebal dinding.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misalnya : takhikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi
atau struktur katub atau penurunan kontraktilitas ventrikular.
3. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
4. Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan dan sisi kiri, dan stenosi katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam
ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi atau perubahan
kontrktilitas. (Wilson Lorraine M, 2001)
5. Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi
fleura yang menegaskan diagnosa CHF.
6. Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil
hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air. (Nursalam M, 2002)

E. PEMERIKSAAN FISIK

F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN NON MEDIS


Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk
menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang
potentially curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
1. Non medikamentosa.
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat,
dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar
dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif
meningkat. Sering tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan
istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah
kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan
tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari
dengan maksimal 1500 ml/hari.
2. Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral
maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal
jantung, sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik
sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai
setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau
SVT lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah
kekuatan dan kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan
hasil yang memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek
diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang
menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Pemakaian
obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac
Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-
Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung
akibat iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan
kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard,
masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan
penelitian lanjut.
3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a. Revaskularisasi (perkutan, bedah)
b. Operasi katup mitral
c. Aneurismektomi
d. Kardiomioplasti
e. External cardiac support
f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular
g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD)
h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart
i. Ultrafiltrasi, hemodialysis

II. ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
a. Biodata
Gagal jantung dapat terjadi pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa dengan defek
kongenital dan defek jantung akuisita (di dapat). Kurang lebih 1% penduduk pada
usia 50 tahun dapat terjadi gagal jantung, sedangkan 10% penduduk berusia lebih
dari 70 tahun berisiko gagal jantung (Kowalak, 2011).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering menjadi alasan pasien untuk meminta
pertolongan kesehatan meliputi dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik
(Muttaqin, 2012).
c. Riwayat kesehatan
1. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang di dapat dengan adanya gejala-gejala kongestif vaskular
pulmonal adalah dyspnea, ortopnea, dyspnea nokturnal paroksimal, batuk, dan
edema pulmonal akut. Pada pengkajian dyspnea (dikarakteristikkan oleh
pernafasan cepat, dangakal, dan sensasi sulit dalam mendapatkan udara yang
cukup dan menekan pasien) menyebabkan insomnia, gelisah, dan kelemahan
(Muttaqin, 2012).
2. Riwayat penyakit dahulu
Pada pasien gagal jantung biasanya pasien pernah menderita infark miokardium,
hipertensi, DM, atau hiperlipidemia (Muttaqin, 2012).
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbul pada usia muda
merupakan faktor risiko utama penyakit jantung iskemik pada keturunannya
sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung (Muttaqin, 2012).
4. Riwayat kebiasaan
Pada penyakit gagal jantung pola kebiasaan biasanya merupakan perokok aktif,
meminum alkohol, dan obat-obatan tertentu (Muttaqin, 2012).
5. Psikososial
Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stres
akibat kesulitan bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
dengan baik (Muttaqin, 2012)
d. Pengkajian primer
A (Airway)
Pada pengkajian airway kaji ada tidaknya sumbatan jalan nafas (Tabrani, 2007).
B (Breathing)
Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oksimeter, untuk mempertahnkan
saturasi > 92 %. Pada pasien decompensasi cordis ditemukan adanya sesak nafas
sehingga memerlukan oksigen, bisa dengan nasal kanul, simple mask, atau non
rebrithingmask sesuai dengan kebutuhan oksigen (Mediana, 2012).
C (Circulation)
Pada pasien decompensasi cordis terdengar suara gallop. Pada pasien
decompensasai cordis berikan cairan melalui IV dan pemasangan kateter untuk
mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh karena pada pasien dengan
decompensasi cordis mengalami kelebihan volume cairan (Mediana, 2012)
D (Disability)
Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVP atau GCS. Jika pasien
mengalami penurunan kesadaran menunjukkan pasien masuk kondisi ekstrim dan
membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di ICCU
(Mediana, 2012).
E (Exposure)
Jika pasien stabil lakukan pemerksaan riwayat kesehatan dan fisik lainnya
(Mediana, 2012).
e. Pengkajian sekunder
Five intervensi atau full of vital sign
Pada pasien dengan decompensasi cordis intervensi yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan EKG, dan pemesangan kateter untuk mengetahui adanya kelebihan
volume cairan (Mediana, 2012).
Give comfort
Pada pasien dengan decompensasi cordis harus diberi posisi senyaman mungkin
untuk mengurangi rasa sesak pasien.
f. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Keadaan umum pasien gagal jantung biasanya di dapatkan kesadaran yang baik
atau composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat (Muttaqin, 2012).
2. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
 B1 (Breathing)
Pengkajian yang didapatkan dengan adanya tanda kongesti vaskular pulmonal
adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk dan edema
pulmonal akut. Crackles atau ronkhi basah halus secara umum terdengar pada
dasar posterior paru. Hal ini dikenalsebagai bukti kegagalan ventrikel kiri
(Muttaqin, 2012).
 B2 (Blood)
Inspeksi
Pasien dapat mengeluh lemah, mudah lelah, dan apatis. Gejala ini merupakan
tanda dari penurunan curah jantung. Selain itu sulit berkonsentrasi, defisit
memori, dan penurunan toleransi latihan juga merupakan tanda dari
penurunan cuah jantung. Pada inspeksi juga ditemukan distensi vena jugularis
akibat kegagalan ventrikel ventrikel kanan dalam memompa darah. Dan tanda
yang terakhir adalah edema tungkai dan terlihat pitting edema (Muttaqin,
2012).
Palpasi
Adanya perubahan nadi, dapat terjadi takikardi yang mencerminkan respon
terhadap perangsangan saraf simpatis. Penurunan yang bermakna dari curah
sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer menyebabkan bradikardi.
Hipertensi sistolik dapat ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.
Selain itu pada gagal jantung kiri dapat timbul pulsus alternans (perubahan
kekuatan denyut arteri) (Muttaqin, 2012).
Auskultasi
Tekanan darah biasanay menurun akibat penurunan isi sekuncup. Tanda fisik
yang berakitan dengan gagal jantung kiri adalah adanya bunyi jantung ke 3
dan ke empat (S3, S4) serta cracles pada paru-paru (Muttaqin, 2012).
Perkusi
Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi jantung
atau kardiomegali (Muttaqin, 2012).

 B3 (Brain)
Kesadaran composmetis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat, wajah meringis, menangis, merintih, dan mereganag
(Muttaqin, 2012).

 B4 (Bladder)
Adanya oliguria yang merupakan tanda syok kardiogenik dan adanya edema
ekstremitas merupakan tanda adanya retensi cairan yang parah (Muttawin,
2012).

 B5 (Bowel)
Pasien biasanyanmual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan
statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan. Selain itu
dapat terjadi hepatomegali akibat pembesaran vena di hepar dan pada
akhirnya menyebabkan asites (Muttaqin, 2012).

 B6 (Bone)
Pada pengkajian B6 di dapatkan kulit dingin dan mudah lelah (Muttaqin,
2012).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan: perubahan kontraktilitas miokardial
atau perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik,
perubahan struktural
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan: ketidakseimbangan antar suplai oksigen,
kelemahan umum, tirah baring lama atau immobilisasi.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan: menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium
atau air.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan: perubahan kontraktilitas miokardial
atau perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik,
perubahan struktural, ditandai dengan:
a. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola
EKG
b. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
c. Bunyi ekstra (S3 & S4)
d. Penurunan keluaran urin
e. Nadi perifer tidak teraba
f. Kulit dingin kusam
g. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien dapat menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima
(disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung,
melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, ikut serta dalam aktivitas
yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi:
a. Auskultasi nadi apical: kaji frekuensi, iram jantung
Rasional: Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk
mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
b. Catat bunyi jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama
Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah keserambi yang
disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi atau stenosis katup.
c. Palpasi nadi perifer
Rasional: Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial,
popliteal, dorsalis pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.
d. Pantau Tekanan Darah
Rasional: Pada gagal jantung kronis, dini, ataupun sedang, tekanan darah dapat
meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi dan
hipotensi tidak dapat norml lagi.
e. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional: Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap
tidak adekutnya curah jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapat terjadi
sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atau belang
karena peningkatan kongesti vena.
f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
Rasional: Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk
melawan efek hipoksia atau iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan
kongesti.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan: ketidakseimbangan antar suplai oksigen,


kelemahan umum, tirah baring lama atau immobilisasi. Ditandai dengan :
kelemahan, kelelahan, perubahan tanda vital, adanya disrirmia, dispnea, pucat,
berkeringat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
klien dapat berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi
perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang
dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi:
a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien
menggunakan vasodilator, diuretik dan penyekat beta.
Rasional: Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat
(vasodilasi), perpindahan cairan (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung.
b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia,
dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional: Penurunan atau ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan
volume sekuncup selama aktivitas dapat menyebabkan peningkatan segera
frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan.
c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional: Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada
kelebihan aktivitas.
d. Implementasi program rehabilitasi jantung atau aktivitas (kolaborasi)
Rasional: Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung atau
konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah
stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi


glomerulus (menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan
retensi natrium atau air. Ditandai dengan : ortopnea, bunyi jantung S3, oliguria,
edema, peningkatan berat badan, hipertensi, distres pernapasan, bunyi jantung
abnormal.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien mampu mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan
keseimbangan masukan dan pengeluaran, bunyi nafas bersih dan jelas,
tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak
ada edema. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan
individual.
Intervensi :
a. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Rasional: Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan
perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine
dapat ditingkatkan selama tirah baring.
b. Pantau atau hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional: Terapi diuretik dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba atau
berlebihan (hipovolemia) meskipun edema atau asites masih ada.
c. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Rasional: Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi
ADH sehingga meningkatkan diuresis.
d. Pantau Tekanan Darah dan CVP
Rasional: Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan
dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
e. Kaji bisisng usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
Rasional: Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi
gaster atau intestinal
f. Konsul dengan ahli diet.
Rasional: Perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi
kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
DAFTAR PUSTAKA

Kowalak, M.W. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Doenges Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien). Edisi 3. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA
PASIEN HIPERTENSI

MERCI MASURU LODIAY


1490119030R

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NUSANTARA


PROFESI NERS
KUPANG 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian dalam arteri
saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah. Tekanan darah tidak pernah
konstan. Tekanan darah dapat berubah drastis dalam hitungan detik dan menyesuaikan
diri dengan tuntutan pada saat itu (Herbert Benson,dkk,2012). Hipertensi atau yang
lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah
yang berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh
kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya
tekanan pada arterial sistemik baik diastolik maupun sistolik atau kedua-duanya secara
terus-menerus (Sutanto,2010).
Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh
angka bagian atas (systolic) dan angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah
menggunakan alat pengukur tekanan darah baik berupa cuff air raksa
(Spygmomanometer) ataupun alat digital lainnya (Herlambang, 2013).
Tensi (tekanan darah) adalah banyaknya darah yang dipompakan jantung
dikalikan tahanan di pembuluh darah perifer. Adapun hipertensi (tekanan darah tinggi)
adalah keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal
atau tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg dan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Wijoyo, 2011).
Hipertensi adalah keadaan seseorang yang mengalami peningkatan tekanan darah
diatas normal sehingga mengakibatkan peningkatan angka morbiditas maupun
mortalitas, tekanan darah fase sistolik 140 mmHg menunjukkan fase darah yang
sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 mmHg menunjukkan fase darah
yang kembali ke jantung (Triyanto,2014).
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko
tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit
saraf, ginjal dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar
resikonya (Sylvia A. Price, 2015).
Tekanan darah tinggi atau yang juga dikenal dengan sebutan hipertensi ini
merupakan suatu meningkatnya tekanan darah di dalam arteri atau tekanan systole >
140 mmhg dan tekanan diastole sedikitnya 90 mmHg.
Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, di mana tekanan
yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap
stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal.

B. ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-
perubahan pada :
 Elastisitas dinding aorta menurun
 Katub jantung menebal dan menjadi kaku
 Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur
20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya.
 Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
 Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya
hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
2. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
 Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
 Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
 Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
 Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a. Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr)
b. Kegemukan atau makan berlebihan
c. Stress
d. Merokok
e. Minum alcohol
f. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit-penyakit seperti Ginjal,
Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor, Vascular,
Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol, Vaskulitis,
Kelainan endokrin, DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme, Saraf, Stroke, Ensepalitis.
Selain itu dapat juga diakibatkan karena Obat–obatan Kontrasepsi oral Kortikosteroid.

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh
darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup)
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Rahmawati, 2012).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu”
disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff
sphygmomanometer (Darmojo, 2010).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viscositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti hipokoagulabilitas,
anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal.
3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di akibatkan
oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan adanya
DM.
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. RKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan ginjal.
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).

E. PEMERIKSAAN FISIK

F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN NON MEDIS


Penalaksanaan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Penatalaksanaan secara farmakologi
Pemberian obat deuretik, betabloker, antagonis kalsium, golongan penghambat
konversi rennin angiotensi(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
b. Penatalaksanaan secara non-farmakologi
1) Pemijatan untuk pelepasan ketegangan otot, meningkatkan sirkulasi darah,
dan inisiasi respon relaksasi. Pelepasan otot tegang akan meningkatkan
keseimbangan dan koordinasisehingga tidur bisa lebih nyenyak dan sebagai
pengobat nyeri secara non-farmakologi.
2) Menurunkan berat badan apabila terjadi gizi berlebih (obesitas).
3) Meningkatkan kegiatan atau aktifitas fisik.
4) Mengurangi asupan natrium.
5) Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol (Widyastuti, 2015).

II. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian secara Umum
1. Identitas Pasien
Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara lain: Nama, Umur, Jenis
Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Agama, Status Mental, Suku, Keluarga/orang
terdekat, alamat, nomor registrasi.
2. Riwayat atau adanya factor resiko
a. Riwayat garis keluarga tentang hipertensi
b. Penggunaan obat yang memicu hipertensi
3. Aktivitas / istirahat
a. Kelemahan,letih,napas pendek,gaya hidup monoton.
b. Frekuensi jantung meningkat
c. Perubahan irama jantung
d. Takipnea
4. Integritas ego
a. Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria atau marah kronik.
b. Faktor faktor stress multiple (hubungan, keuangan yang berkaitan dengan
pekerjaan).
5. Makanan dan cairan
a. Makanan yang disukai, dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak,
tinggi kolesterol (seperti makanan yang digoreng,keju,telur)gula-gula yang
berwarna hitam, kandungan tinggi kalori.
b. Mual, muntah.
c. Perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat atau menurun).
6. Nyeri atau ketidak nyamanan
a. Angina (penyakit arteri koroner /keterlibatan jantung)
b. Nyeri hilang timbul pada tungkai.
c. Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
d. Nyeri abdomen.

Pengkajian Persistem
1. Sirkulasi
a. Riwayat hipertensi, ateroskleorosis, penyakit jantung koroner atau katup dan
penyakit cerebro vaskuler.
b. Episode palpitasi,perspirasi.
2. Eleminasi
a. Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu seperti infeksi atau obtruksi atau riwayat
penyakit ginjal masa lalu.
3. Neurosensori
a. Keluhan pusing.
b. Berdenyut, sakit kepala subokspital (terjadi saat bangun dan menghilang secara
spontan setelah beberapa jam).
4. Pernapasan
a. Dispnea yang berkaitan dengan aktifitas/kerja
b. Takipnea, ortopnea, dispnea noroktunal paroksimal.
c. Batuk dengan/tanpa pembentukan sputum.
d. Riwayat merokok

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular Cerebral
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
3. Curah Jantung, resiko tinggi terhadap hipertensi berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi
4. Nutrisi , perubahan lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan
metabolic
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan system pendukung yang tidak
adekuat
6. Kurang pengetahuan berhubungnya dengan kurang informasi atau keterbatasan
kognitif

C. Intervensi
 Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular Cerebral
1. Intervensi : Mempertahankan tirah baring selama fase akut
R/ Meminimalkan stimulasi/meningkatkan relaksasi
2. Intervensi: Berikan tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit
kmepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, tenang,
redupkan lampu kamar, tekhnik relaksasi.
R/ tindakan yang menurunkan tekanan vascular serebral dan yang memperlambat
atau memblok respons simpatis efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan
komplikasinya
3. Intervensi : Hilangkan atau minimalkan aktivitas fase kontriksi yang dapat
meningkatkan sakit kepala, misalnya mengejam saat bab, batuk panjang,
membungkuk
R/ aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala pada
adanya peningkatan tekanan vascular cerebral

 Dx 2 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum


1. Intervensi : kaji respon pasien terhadap aktivitas, perhatikan frequency nadi lebih
dari 20 kali per menit diatas frequency istirahat : peningkatan tekan darah yang
nyata selama atau sesudah aktivitas ( tekanan sistolik meningkat 40 mmhg atau
tekanan diastolic meningkat 20 mmhg) dispnea atau nyeri dada : kelemahan dan
keletihan yang belebihan :pusing atau pingsan.
R/ menyebutkan parameter membantu dalam mengkaji respon fisiologi terhadap
stress, aktivitas bila ada merupakan indikator dari kelebihan kerja yang berkaitan
dengan tingkat aktivitas.
2. Intervensi : instruksikan pasien tentang teknik penghematan energy, misalnya
menggunakan kursi saat mandi,duduk saat menyisir rambut atau menyikat
gigi,melakukan aktivitas dengan perlahan.
R/ teknik memghemat energy mengurangi penggunaan energy, juga membantu
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

 DX 3 : Curah Jantung, resiko tinggi terhadap hipertensi berhubungan dengan


peningkatan afterload, vasokontriksi
1. Intervensi: pantau TD.ukur pad kedua tangan atau paha untuk evaluasi
awal.gunakan ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat.
R/ perbandingan dari tekanan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang
keterlibatan/bidang masalah vascular. Hipertensi berat diklasifikasikan pada orang
dewasa sebagai peningkatan tekanan diastolic sampai 130, hasil pengukuran
diastolic diatas 130 dipertimbangkan sebagai penigkatan pertama, kemudian
maligna. Hipertensi sistolik juga merupakan faktor resiko yang di tentukan untuk
penyakit cerebrovaskular dan penyakit iskemi jantung bila tekanan diastolic 90-
115.

 DX 4 : Nutrisi , perubahan lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kebutuhan metabolic
1. Intervensi : kaji pemahaman pasien tentang hubungan langsung antara hipertensi
dan kegemukan.
R/ kegemukan adalah resiko tambahan pada tekanan darah tinggi karena
disproporsi antara kapasitas aorta dan peningkatan curah jangtung berkaitan
dengan peningkatan masa tubuh.
2. Intervensi : bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan membatasi
masukan lemak,garam,dan sesuai indikasi.
R/ kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya ateroskelorosis dan
kegemukan yang merupakan predesposisi untuk hipertensi dan komplikasinya
misalnya stroke,penyakit ginjal,gagal jantung. Kelebihan memasukkan garam
memperbanyak volume cairan intravascular dan dpat merusak ginjal yang lebih
memperburuk hipertensi.

 DX 5 : Koping individu tidak efektif berhubungan dengan system pendukung


yang tidak adekuat
1. Intervensi : Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku,
misalnya kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan
berpartisipasi dalam rencana pengobatan
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang, mengatasi
hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan ke dalam
kehidupan sehari-hari
2. Intervensi : Bantu pasien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan
kemungkinan strategi untuk mengatasinya
R/ Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respons
seseorang terhadap stressor
3. Intervensi : Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan
partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan
R/ Keterlibatan memberikan pasien perasaan control diri yang berkelanjutan,
memperbaiki keterampilan koping, dan dapat meningkatkan kerja sama dalam
regimen terapeutik
4. Intervensi : Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala ketidakmampuan
untuk mengatasi/menyelesaikan masalah
R/ Menifestasi mekanisme koping maladaptive mungkin merupakan indicator
marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic

 DX 6 : Kurang pengetahuan berhubungnya dengan kurang informasi atau


keterbatasan kognitif
1. Intervensi : Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar, termasuk orang terdekat
R/ Kesalahan konsep dan menyangkal diagnose karena perasaan sejahtera yang
sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk
mempelajari penyakit, kemajuan, dan prognosis. Bila pasien tidak menerima
realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka perubahan perilaku tidak
akan dipertahankan.
2. Intervensi : Tetapkan dan nyatakan batas TD normal. Jelaskan tentang hipertensi
dan efeknya pada jantung, pembuluh darah, ginjal dan otak
R/ Memberikan dasar untuk pemahaman tentang peningkatan TD dan
mengklarifikasi istilah medis yang sering digunakan. Pemahaman bahwa TD
tinggi dapat terjadi tanpa gejala adalah ini untuk memungkinkan pasien
melanjutkan pengobatan meskipun ketika merasa sehat
3. Intervensi : Hindari mengatakan TD “normal” dan gunakan istilah “terkontrol
dengan baik” saat menggambarkan TD pasien dalam batas yang diinginkan
R/ Karena pengobatan untuk hipertensi adalah sepanjang kehidupan, maka dengan
penyampaian ide “terkontrol” akan membantu pasien untuk memahami kebutuhan
untuk melanjutkan pengobatan/medikasi
4. Intervensi : Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko
kardiovaskular yang dapat diubah misalnya obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan
kolesterol, pola hidup monoton, merokok, dan minum alcohol( lebih dari
60cc/hari dengan teratur), pola hidup penuh stress.
R/ Faktor-faktor resiko ini telah menunjukkan hubungan dalam menunjang
hipertensi dan penyakit kardiovaskular serta ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif & Kusuma H,. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogja: Medi Action.

Herdman, Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009/2011.Jakar


ta : EGC
TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK
”PRE PLANNING TEKANAN DARAH”

Merci Masuru Lodiay


1490119030R

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


NUSANTARA
PROFESI NERS
KUPANG 2020
PRE PLEANING
PENYULUHAN TEKANAN DARAH

Tanggal/ Waktu : 19 Mei 2020


Tempat : Panti Werda Oepura
Nama Kegiatan : Penyuluhan Tekanan Darah

I. Latar Belakang
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (graduil)
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti serta
mempertahankan fungsi secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk
adanyainfeksi (Santoso, 2009).Proses menua merupakan proses yang terus-
menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
pada semua makhluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan
baik dari dalam maupun dari luar tubuh. Walaupun demikian harus diakui
bahwa ada berbagai penyakit yang sering menyerang lanjuut usia (Nugroho,
2000).
Berdasarkan hasil survey dan pengkajian pada tanggal18 Mei s.d. 19 Mei
2020 didapatkan data lansia di Panti Werda Oepura berjumlah 55 orang.Dari
jumlah tersebut terdapat 34 lansia yang memiliki riwat penyakit.Riwayat
penyakit yang paling banyak diderita lansia di Unit Pelayan Terpadu Pelayan
Sosial Lanjut Usia Panti Werda adalah hipertensi. Untuk membina kesehatan
lanjut usia tersebut, maka diperlukan kerjasama untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan seperti pengontrolan dan pemeriksaan vital sign.

II. Tujuan
1) Tujuan Umum
Setelah mengikuti pelatihan diharapkan Tim Kader Pante Werdah
Kelurahan Oepura dapat melakukan pengukuran tekanan darah dengan
benar
2) Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pelatihan diharapkan peserta Pante Werda dapat
a. Menjelaskan nilai normal dan Abnormal Tekanan Darah
b. Menentukan tempat pengukuran Tekanan Darah
c. Melakukan pengukuran Tekanan Darah

III. Plan Of Action


1. Rencana Strategi
a) Berkoordinasi dengan pengurus Unit Pelayan Terpadu Pelayan
Sosial Lanjut Usia Magetanmengenai pelaksanaan kegiatan
penyuluhan pemeriksaan fisik Tekanan Darah sebagai salah satu
kegiatan Program Pendidikan Profesi Ners Stikes Nusantara Kupang.
b) Membuat jadwal pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan
c) Melaksanakan kegiatan sesuai jadwal yang telah dibuat
2. Tindakan
a) Menghubungi dan berkoordinasi dengan pengurus Panti Jompo
Werda
b) Menyiapkan tempat dan media yang akan digunakan
3. Pengorganisasian Kelompok
Penanggung jawab : Maria Dewa
PJ Kegiatan : Nepa Lay Lado
Pemimpin : Ketua masing-masing wisma
Fasilitator : Semua mahasiswa Program Pendidikan Profesi
Ners Stikes Nusantara Kupang yang sedang
melakukan praktek keperawatan Gerontik.
Sie Perlengkapan : Marnia Holi Buku
Sie Dokumentasi : Merci Lodiay
Sie Humas : Martinus Nunu
4. Sasaran
Seluruh Kader dan Lansia di Panti Werda Oepura
5. Metode
Ceramah
6. Setting Waktu
No. WAKTU KEGIATAN PELAKSANA
1. 08.45 – 09.00 Persiapan tempat Merci Lodiay
2. 09.00 – 09.50 Pembukaan Ketua masing-masing wisma
Pelaksanaan dan tanya Pemimpin masing-masing
3. 09.50 – 10.10
jawab wisma
4. 10.10 – 10.20 Penutup Ketua masing-masing wisma

7) Setting Tempat

M
E

Keterangan :
= pemimpin
= fasilitator
= peserta

IV. Evaluasi Kegiatan


1. Evaluasi Struktur
a) Panitia mampu menjalankan kegiatan sesuai dengan tugasnya
masing-masing
b) Peserta berada di tempat dan waktu yang telah ditentukan
2. Evaluasi Proses
a) Kegiatan dilaksanakan tepat waktu
b) Peserta antusias mengikuti kegiatan pemeriksaan fisik tekanan darah
c) Peserta tidak meninggalkan tempat sebelum kegiatan selesai
3. Evaluasi Hasil
a) Peserta antusias terhadap kegiatan yang dilaksanakan
b) Peserta mampu menjawab pertanyaaan pengertian hipertensi, tanda
dan gejala hipertensi, faktor resiko yang menyebabkan hipertensi,
akibat dari hipertensi, dan cara mencegah timbulnya hipertensi.
c) Peserta yang datang 50 % atau lebih
d) Acara dimulai tepat waktu
e) Peserta dapat mengikuti kegiatan sesuai dengan yang telah
dijelaskan

Kupang, 18 Mei 2020


Ketua Kelompok
PJ Kegiatan Kesehatan
Keperawatan Gerontik

Merci Masuru Lodiay Nepa Lay Lado

Mengetahui,
PJMA Keperawatan Gerontik
Program Studi Ners STIKES Nusantara
Kupang

Anna Mariance Taeleti, S.Kep., Ns.,M. Kep


PEMERIKSAAN FISIK TEKANAN DARAH

A. DEFENISI
Pemeriksaan fisik tekanan darah adalah salah satu pemeriksaan vital sign
pada tubuh manusia dengan menggunakan tensi meter dengan Tujuan agar
bisa menegakkan diagnose.
Tekanan darah adalah tenaga yang digunakan oleh darah terhadap satuan
pembuluh darah.

B. MANFAAT
Manfaat pemeriksaan fisik tekanan darah adalah :
1. Mengenal secara dini penyakit darah tinggi
2. Mengenal secara dini penyakit darah rendah
3. Mudah bagi perawat untuk menetukan diagnosa
4. Untuk pemeriksaan fisik atau control

C. JENIS TEKANAN DARAH


1. Tekanan darah sistolik
Adalah Tekanan darah maksimum dinding arteri pada saat kontraksi
ventrikel kiri
2. Tekanan darah diastolic
Adalah tekanan minimum dinding arteri pada saat relaksasi ventrikel kiri
3. Tekanan darah arteri atau tekanan nadi
Adalah selisih antara tekanan sistolik dan diastolic.

D. CARA PENGUKURAN
1. Persiapan pasien
 Pasien diberitahu
 Pasien dianjurkan berbaring
 Pasien boleh dalam keadaan duduk
2. Persiapan alat
 Tensi meter
 Stetoscop
3. Pelaksanaan
 Tetapkan tempat untuk mengukur tekanan darah
 Lengan baju dibuka atau digulung
 Pasang manset spigmanometer pada lengan atas pasien 2,5 cm di atas
lipatan siku dengan pipa karet berada di sisi dalam
 Membalut tidak boleh terlalu kuat atau terlalu longgar
 Carilah atau raba denyut nadi pada lipatan siku bagian dalam dengan
menggunakan tiga (jari telunjuk,jari tengah,jari manis)jari telunjuk
dan jari manis digunakan untuk menekan dan jari tengah untuk merasa
denyut nadi.
 Pasang stetoskop letakan tepat diatas denyut nadi yang telah diraba
 POmpa manset sampai tidak terdengar suara denyut nadi stetoskop
 Longgarkan katub balon dengan memutar berbalik dengan arah jarum
jam jarum di spigmanometer
 Dengarkan suara denyut nadi pertama dan terahir
 Longgarkan katub balon sampai jarum di spigmanometer menunjukan
nol
 Lepaskan manset,catat dan beritahu hasilnya kepada pasien

E. HASIL TEKANAN DARAH


 Tekanan darah 140/90 mmHg batas
 Stress/emosi/aktivitas : sistolik meningkat 50 mmHg,diastole meningkat
20 mmHg
 Tekanan darah diastole meningkat atau menurun dapat menunjukan
terjadinya hipertensi
 Tekanan darah diastolic :
 -90 -105 mmHg : hipertensi ringan
 105-115 mmHg : hipertensi sedang
 115-125 mmHg : hipertensi berat
 >125 mmHg : kedaruratan
 Tekanan darah 90/60 Hipotensi
 Penilayan tekanan darah berdasarkan The Join National Komite VII (JNC
VII) adalah :
Tekanan Tekanan
Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik(mmHg Diastolik(mmHg)
Normal <120 atau <80
Pre hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 >160 atau >100

.
DAFTAR PUSTAKA

Bate’s Guide to Physical Examination and History Tking Elektonik Versin

Cemeron J.R .,Skofronic J .G.,Grant R,M.2006.Fisika Tubuh Manusia.ED.2.


Jakarta
Guiton And Hall.2007. Fisiologi kedokteran .ED.9.Jakarta: EGC,pp: 221-222
Aaronson, P & Ward Jeremy, 2007, The Cardio Vascular System at a Glance,
Erlangga.
Gray & Dankins, 2005, Lecture Notes Kardiologi, Ed.4, Erlangga
LEMBAR OBSERVASI PELAKSANAAN KEGIATAN MAHASISWA “PENYULUHAN HIPERTENSI”
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN B-14
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kriteria Struktur Kriteria Proses Kriteria Hasil
a. Kontrak waktu dan tempat Pembukaan a. Peserta antusias terhadap kegiatan
diberikan 1 hari sebelum acara a. Pemimpin mengucapkan salam dan yang dilaksanakan ( )
dilaksanakan ( ) memperkenalkan diriserta b. Peserta mempraktikkan kegiatan
b. Peserta berada di tempat yang memperkenalkan fasilitator ( ) penyuluhan hipertensi ( )
telah ditentukan ( ) b. Pemimpin menyampaikan tujuan dan c. Peserta yang datang 50 % atau
c. Pengorganisasian maksud dari kegiatan ( ) lebih ( )
penyelenggaraan kegiatan c. Pemimpin menjelaskan kontrak waktu d. Acara dimulai tepat waktu ( )
dilaksanakan sebelum dan saat dan mekanisme kegiatan ( ) e. Peserta dapat mengikuti kegiatan
kegiatan berlangsung ( ) d. Pemimpin menyebutkan kegiatan yang sesuai dengan yang telah
akan dilaksanakan ( ) dijelaskan ( )
Pelaksanaan
a. Menyajikan materi
b. Menjawab pertanyaan
c. Pemimpin memberikan
reinforcementkepada para peserta ( )
DAFTAR HADIR PESERTA
PENYULUHAN PEMERIKSAAN FISIK TEKANAN DARAH

No. NAMA WISMA TANDA TANGAN


DAFTAR HADIR PANITIA
PENYULUHAN PEMERIKSAAN FISIK TEKANAN DARAH

No. NAMA WISMA TANDA TANGAN

Anda mungkin juga menyukai