Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA(BPH)

Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah


Dosen Pengampu : Sukarmin, M.Kep.,Ns.Sp.Kep.MB

Disusun Oleh kelompok II


Evi Rovita
Titin Sumarsih
Sri Handayani
Dewi Sinta
Sri Nurchaeni
Eni Cholidah
Azrul Faiz

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat
(Yuliana Elin, 2011).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum


pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar


prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).

BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran


memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)..

B. Etiologi

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa


pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama
pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan
bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan
reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan
mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi
protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan
keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur
diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian
estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam
(bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti


penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen


pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu


pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang


mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :

Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi
hiperplasi kelenjar periuretral.

Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa


jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan
terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (Kahardjo, 1995).

C. Tanda dan Gejala

1. Gejala iritatif, meluputi:

a. Peningkaan frekuesnsi berkemih.

b. Nocturia (terbangun di malam hari untuk miksi)

c. Perasaan untuk ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat di tunda


(urgensi).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

2. Gejala obstruktif, meliputi:

a. Pancaran urin melemah.

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik.

c. Jika ingin miksi harus menunggulama.

d. Volume urin menurundan harus mengedan saat berkemih.

e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus.

f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan


inkontinensia karena pernumpukan berlebih.

g. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan etensi urun kronis dan volume
residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik.

a. Derajat 1, penderita merasakan lemahnya pancara berkemih, kencing


tidak puas, frekuensi kencing bertambah terutama di malam hari.
b. Derajat 2, adanya retensi urin mak timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh pada saat miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.

c. Derajat 3, timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluks ke atas, timbul infeksi askenden menjalar ke ginjal
dan dapat menyebabkan pielonefritis, hidronefrosis.

D. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar
ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya


perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.
ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
E. Pathway

F. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH adalah:

Seiring dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran


kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesiko
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme. Yang dapat
menyebabkan pyelonefritis(sjamsuhidrajat, 2005).

G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan


pada pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

H. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH


adalah:

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat
tanpa disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari : phitoterapi
(misalnya : hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi:

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut

b. Dengan residual urin >100 ml

c. Klien dengan pengulit

d. Terapi medika mentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan dapat dilakukan dengan:

1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).

2) Retropublic atau extravesical prostatectomy.

3) Perianal prostatectomy.

4) Suprapublic atau tranvesical prostatectomy.


4. Alternatif lain (misalnya kriyoterapi, hipertermia, termoterapi ,terapi
ultrasonic).

I. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis.
b. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
c. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
d. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
2) Keadaan umum
3) Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
4). Pemeriksaan fisik secara head to toe
e. Data psikologis
1). Pendidikan
2). hubungan siosial
3). gaya hidup
4). peran dalam keluarga
f. Data penunjang
g. Pengobatan
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
b. Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
3. Intervensi
Diagnosa I: Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada TURP.
a. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang
atau hilang, dengan kriteria hasil:
1) klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
2) ekspresi wajah klien tenang
3) tanda-tanda vital dalam batas normal
b. NIC
1) Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
2) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
3) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.
Diagnosa II: Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
a. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi adanya
tanda-tanda infeksi, dengan kriteria hasil:
1) Klien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda
shock.
b. NIC
1) Monitor tanda dan gejala infeksi
R/ mengetahui tanda dan gejala infeksi.
2) Ajarkan intake cairan yang cukup sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi.
R/meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi isk dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal .
3) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik .
R/ mencegah infeksi.
4. Evaluasi
1. Pasien dapat bergerak dengan baik.
2. Kebutuhan pasien terpenuhi.
3. Tingkat pengetahuan pasien bertambah.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Identitas pasien
Nama : Tn “S”
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Kali wadas - Adiwerna
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 03 Agustus 2022
Tanggal pengkajian : 04 Agustus 2022
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Ny “M”
Jenis kelamin : Perempuan
Hubungan dengan pasien : Istri

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan nyeri pinggang dan perut bawah, sulit BAK
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada bagian bekas luka operasi. Pasien
meringis kesakitan.
P : saat ditekan dan beraktivitas
Q : seperti ditusuk jarum
R : dibagian abdomen bawah (kandung kemih) luka operasi
S:4
T : intermitten
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit kronis sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita BPH.
e. Genogram

   

  


Keterangan :

 : Laki-laki

 :Laki-laki meninggal

 :Perempuan

 :Perempuan meninggal

: Pasien

: Tinggal dalam satu rumah


3. Data Biologis
a. Pola nutrisi
SMRS : Pasien makan 3x sehari dengan menu bervariasi.
MRS : Pasien makan 3x sehari, dengan porsi yang disediakan rumah
sakit.
b. Pola minum
SMRS : Pasien minum 1,5-2 liter/hari.
MRS : Pasien minum1-1,5 liter/hari.
c. Pola eliminasi
SMRS : Pasien BAB 1-2x/hari, BAK bisa lebih 10-15 x/hari dengan
keluhan urin keluar sedikit-sedikit.
MRS : Pasien BAB 1 kali setelah operasi, terpasang kateter triway no.
22 dengan karakteristik warna urin kuning jernih, 500 ml/hari,
kadang-kadang terasa nyei saat BAK. Pasien terpasang irigasi
30 tpm.
d. Pola istirahat/tidur
Waktu tidur
SMRS : Pasien tidur 7-8 jam/hari dan cemas terhadap penyakitnya.
MRS : Pasien tidur sekitar 6-8 jam/hari, dengan penerangan yang cukup.
e. Pola hygiene
Mandi
SMRS : Pasien mandi 2 x sehari.
MRS : Pasien mandi 1 x sehari dibantu oleh keluarga.
Cuci rambut
SMRS : Pasien cuci rambut setap hari saat mandi.
MRS : Pasien hanya membasahi rambut.
Gogok gigi
SMRS : Pasien gosok gigi dua kali sehari pagi dan malam.
MRS : Pasien tidak menggosok gigi.
f. Pola aktifitas
SMRS : Pasien melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri.
MRS : Pasien melakukan aktifitas dibantu oleh orang lain. Pasien
mengatakan tidak bisa melakukan aktifitas secara mandiri.
Pasien tampak lemah.
Pasien tampak kesakitan dalam melakukan aktifitas.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran : E4M6V5 (GCS = 15) Compos Mentis
TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 20 x/menit
S = 36,5 ºC
b. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala simetris, beruban, kulit kepala kering, tidak
ada ketombe.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
c. Mata
Inspeksi : Sklera putih, dapat melihat dengan jelas, bola mata simetris,
konjungtiva merah muda, ada reaksi terhadap cahaya (miosis)
tidak mengguakan alat bantu penglihatan, fungsi penglihatan
normal.
Palpasi : Tidak nyeri tekan.
d. Hidung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan dan pembengkakan.
e. Telinga
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada kelainan dikedua telinga, tidak ada
lesi dan serumen.
Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan.
f. Mulut
Inspeksi : Gigi tampak hitam, lidah bersih, mukosa mulut lembab, bibir
lembab, tidak ada gangguan menelan
Palpasi : Otot rahang kuat.
g. Leher
Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada
nyeri tekan.
h. Thoraks (paru-paru)
Inspeksi : Dada simetris, tidak ada lesi, respirasi 16 x/m, ada batuk
sedikit.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler.
Perkusi : Sonor..
i. Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi dan benjolan, pasien terlihat meringis saat di
tekan bagian abdomen bawah
Palpasi : adanya nyeri tekan di area perut bawah
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus 6 x/menit.
j. Genetalia
Keadaan umum genetelia dan reproduksi bersih terpasang kateter,
k. Ekstremitas atas dan bawah
Adanya keterbatasan gerak, terpasang infus RL 20tpm di tangan kanan.
Fungsi motorik (massa, tonus dari kekuatan otot) :

Kanan 5 5 5 5 5 5 5 5 Kiri

5 5 5 5 5 5 5 5

Keterangan:
0 : Kontraksi otot tidak terdeteksi
1 : Kontraksi yang lemah tanpa terlihat gerakan sendi
2 : Pergerakan aktif bagian tubuh dengan mengeliminasi gravitasi
3 : Pergerakan aktif hanya melawan gravitasi dan tidak melawan tahanan
4 : Pergerakan aktif melawan gravitasi dan sedikit tahanan
5 : Pergerakan aktif melawan tahanan penuh tanpa adanya kelelahan otot
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratiorium tgl 03 Agustus 2022
HB : 13,0
HT : 36.2
AT : 178
AE : 3.71
AL : 6.600
HBSAg : Negatif
HIV : Non Reaktif
2. Rontgen / USG
Dari hasil USG menunjukan adanya pembesaran prostat
3. Therapi
RL 20 tpm
Inj ceftriaxon 2x1
Inj keterolac 2x1
Inj ranitidine 2x1
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
Proses pembedahan
1. DS: Pasien mengatakan nyeri Nyeri akut
dibagian bekas luka operasi Luka insisi pembedahan
P : saat ditekan dan
beraktivitas
Q : seperti ditusuk jarum
R : dibagian abdomen bawah
(kandung kemih) luka operasi
S:4
T : intermitten
DO: Pasien tampak meringis
kesakitan
TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 20 x/menit
S = 36,5 ºC
Tindakkan pembedahan
2. DS: Resiko infeksi
DO: Terdapat luka post Proses inflamasi
operasi
pada abdomen bawah, Tidak
terdapat tanda infeksi (rubor,
dolor, kalor, tumor)
TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 20 x/menit
S = 36,5 ºC
C. ANALISA DATA

D. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b/d luka post operasi.

2. Resiko infeksi b/d kerusakan jaringan efek sekunder dari prosedur


pembedahan.
E. INTERVENSI KEPERAWATAN

No DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL


Nyeri akut b/d luka Setalah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji skala nyeri 1. Mengetahui skala nyeri
1.
post operasi 1x24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang 2. Kaji TTV setiap 6 jam 2. Mengetahui keadaan
atau hilang dengan kriteria hasil : 3. Berikan posisi yang nyaman umum pasien.
- Ds : pasien mengatakan nyeri untuk klien. 3. Memberikan rasa
berkurang dengan skala 1-3 4. Ajarkan manajemen nyeri
nyamann bagi pasien.
- Do : pasien tampak tenang, (teknik relaksasi napas dalam
4. Mengalihkan perhatian
TTV dalam batas normal dan teknik distraksi).
5. Ciptakan lingkungan yang nyeri.
nyaman dan tenang 5. Memberi suasana nyaman
6. Berikan analgetik sesuai bagi pasien.
instruksi dokter 6. Analgetik mengurangi rasa
nyeri.

2. Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji tanda tanda infeksi 1. Mengetahui adanya tanda
kerusakan jaringan 1x24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi 2. Observasi TTV setiap 6 jam. infeksi
efek sekunder dari dengan kriteria hasil : 3. Ganti balutan setiap hari 2. Mengetahui keadaan umum
prosedur pembeda- Do : tidak tampak adanya tanda tanda dengan teknik aseptik dan 3. Mencegah adanya infeksi
han infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor) steril
4. Mengajarkan pasien untuk
4. Ajarkan pasien dalam menjaga
mempertahankan kondisi
kebersihan pada daerah luka
post op. balutan luka.
5. Ciptakan lingkungan yang 5. Mencegah terjadnya infeksi
bersih. 6. Mempercepat penyembuhan
6. Berikan antibiotik sesuai luka
anjuran dokter.
F. CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI

NO. DX TANGGAL CATATAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN DAN PARAF


EVALUASI
1. 04 Agustus 2022 1. Mengkaji TTV
S : Pasien mengatakan nyeri pada bagian bekas
09.00 TD : 120/80, N : 80 x/m, RR: 20 x/m, S : 36,5oC
luka operasi dengan skala 4
2. Mengkaji skala nyeri O : Pasien terlihat meringis kesakitan ketika
P : saat ditekan dan beraktivitas bagian abdomen ditekan.
Q : seperti ditusuk jarum
A : Masalah belum teratasi.
R : dibagian abdomen bawah (kandung kemih)
luka operasi P : Intervensi dilanjutkan.
S:4
T : intermitten
3. Megajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Pasien mengikuti dengan baik.
4. Memberi terapi injeksi sesuai instruksi dokter.
keterolac 1 amp IV.
2. 04 Agustus 2022 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi.
S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
11.00 Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor,
panas, dan sakit.
tumor.
2. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik dan O : Tidak tampak adanya tanda-tanda
steril.perban tambak bersih, tidak terdapat tanda-tanda infeksi.Pasien terlihat tenang
A : Masalah masih resiko.
infeksi.
3. Memberikan penkes kepada pasien dalam menjaga P : Intervensi dilanjutkan.
kebersihan luka bekas operasi. pasien dan keluarga
mendengarkan dengan baik.
4. Memberikan terapi injeksi .
Ceftriaxon 1gr IV.
1. 05 Agustus 2022 1. Mengkaji TTV S : Pasien mengatakan nyeri sedikit berkurang.
09.00 TD : 130/80, N : 82 x/m, RR: 20 x/m, S : 36oC O : Pasien tampak lebih tenang.
A : Masalah teratasi sebagian.
2. Mengkaji skala nyeri
P : Intervensi dilanjutkan.
P : Saat ditekan dan saat beraktifitas.
Q : Seperti ditusuk-tusuk.
R : Di bagian abdomen (luka operasi).
S : 3
T : intermiten
3. Memberi terapi injeksi sesuai dengan resep dokter.
keterolac 1 amp IV.
4. Memberikan posisi nyaman bagi pasien.
Pasien tampak nyaman.
2. 05 Agustus 2022 1. Memberikan terapi injeksi . S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
11.00 Ceftriaxon 1gr IV. panas dan sakit.
2. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik O : Tidak ada tanda-tanda infeksi.
dan steril. A : Masalah masih resiko.
perban tambak bersih, tidak terdapat tanda-tanda
P : Intervensi dilanjutkan.
infeksi.
1. 06 Agustus 2022 1. Mengkaji TTV S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang.
09.00 TD : 120/70, N : 78 x/m, RR: 18x/m, S : 36oC O : Pasien tampak lebih tenang.
2. Mengkaji skala nyeri A : Masalah teratasi sebagian.
P = Saat ditekan dan saat beraktifitas. P : Intervensi dilanjutkan.
Q = Seperti ditusuk-tusuk.
R = Di bagian abdomen (luka operasi).
S=2
T = intermiten
3. Memberi terapi injeksi sesuai dengan resep dokter.
keterolac 1 amp IV.
2. 06 Agustus 2022 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi. S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
11.00 Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, panas dan sakit.
tumor). O : Tidak terlihat ada tanda-tanda infeksi.
A : Masalah masih resiko.
2. Memberikan terapi injeksi sesuai dengan anjuran
P : Intervensi dihentikan.
dokter.
Ceftriaxon 1gr IV. - Delegasikan rencana intervensi
kepada teman sejawat.
3. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik dan
steril.
perban tambak bersih, tidak terdapat tanda-tanda
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action
Publishing.

Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit
Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai