1211007
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
A. PENGERTIAN
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan.
Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung.
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan.
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi)
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya
C. RENTANG RESPON
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
a. Aktualisasi diri
Gootama Catur Wicaksono
1211007
Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman
nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif
Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan
menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari dirinya
c. Harga diri rendah
Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa rendah dari orang lain.
d. Kerancuan identitas
Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak
kedalam kematangan aspek psikososial kepribadi an pada masa dewasa yang
harmonis.
e. Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan
kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan orang
tua yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan jenis
kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada
anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.
E. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota
tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya
produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional
maupun kronik.
a. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa
disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi,
mengalami kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga
harus masuk penjara. Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan
rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu
yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk
dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
b. Kronik
Gootama Catur Wicaksono
1211007
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak
lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki
pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
F. AKIBAT (EFFECT)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan
dengan orang lain. Isosial sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori: halusinasi
yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan.
Tanda dan gejala isolasi sosial:
a. Rasa bersalah
b. Adanya penolakan
c. Marah, sedih dan menangis
d. Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
e. Mengungkapkan tidak berdaya
f. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
g. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
h. Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/perawat
i. Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
j. Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
k. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi
jika diajak bercakap-cakap
l. Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka panjang
serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang menyakitkan.
a. Pertahanan jangka pendek
Gootama Catur Wicaksono
1211007
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi (higiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK (Toileting).
Kurang perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu mengalami
kegagalan kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas kebersihan diri.
membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar
kecil.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor yang cukup
berat dan sulit diatangani oleh klien (Klien bisa mengalami harga diri rendah),
sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal
mandi, berpakaian, berhias, makan maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan
intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko
tinggi isolasi sosial.
D. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket
Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung : RSJP.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. PENGERTIAN
Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehingan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk
berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap
memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang
lain.
Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan maupun komunikasi dengan orang lain.
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa,
pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan
orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup berbagi pengalaman.
Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam.
normal (koping individu tidak efektif). Peranan keluarga cukup besar dalam mendorong klien
agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak baik
(koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang memiliki harga diri rendah.
C. RENTANG RESPONS
Respons Adaptif Respons Maladaptif
D. ETIOLOGI
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi.
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi dan stressor
presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi
perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya
Gootama Catur Wicaksono
1211007
diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap
hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan
dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi
dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
kegiatan sendiri terabaikan.
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan
masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
Masa Bermain
mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
Masa Prasekolah
jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah
berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
Masa Praremaja
jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja
bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara orangtua dan
Masa Dewasa Muda teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak.
Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
Masa Tengah Baya
dilalui.
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Masa Dewasa Tua
perasaan keterikatan dengan budaya.
2. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah
dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind)
yaitu suatu keadaan di mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang
saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi
dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di
luar keluarga.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.
Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI
A. PENGERTIAN
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar.
Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari
kehidupan mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasarr-dasar
organik fungsional, psikotik, maupun histerik.
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal). Disertai dengan suatu pengurangan
berlebih-lebihan atau kelainan berespon terhadap stimulus.
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar.
Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu tersebut
penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima
rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Gootama Catur Wicaksono
1211007
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh dari klien atau
keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
a. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu,
maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
b. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkarkan,
sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami
stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat
bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).
d. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda bertentangan
yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan kecemasan yang
tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
e. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.
E. FAKTOR PRESIPITASI
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan
yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu
seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada
dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi
karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
a. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah
dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur
bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal
yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-
Gootama Catur Wicaksono
1211007
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam
waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga
jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien
yang mengalami halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan penngalaman interpersonal yang memuaskan,
serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan
keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
b. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan.
Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial
dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman
yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
c. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
d. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Gootama Catur Wicaksono
1211007
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan
Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
Tersenyum atau tertawa sendiri
Menggerakkan bibir tanpa suara
Pergerakan mata yang cepat
Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipasti.
Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
Mulai merasa kehilangan kontrol
Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
Perhatian terhadap lingkungan menurun
Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan
berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :
Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
Isi halusinasi menjadi atraktif
Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
Klien menuruti perintah halusinasi
Sulit berhubungan dengan orang lain
Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic
Perilaku yang muncul :
Resiko tinggi menciderai
Agitasi atau kataton
Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seseorang
yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila
Gootama Catur Wicaksono
1211007
klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada
kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM
A. PENGERTIAN
Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun tidak diyakini
oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas social.
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien.
Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan,
kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya.
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan knyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapay diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari
pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol.
C. RENTANG RESPON
R espon Respon aptif
-Pikiran logis -Kadang proses piker - Gg. Isi piker
-Persepsi akurat terganggu halusinasi
-Emosi konsisten dng -Ilusi - Perubahan proses
pengalaman -Emosi berlebih emosi
-Perilaku sesuai -Berperilaku yg tidak - Perilaku tidak
-Hubungan social biasa terorganisasi
harmonis -Menarik diri - Isolasi sosial
Gootama Catur Wicaksono
1211007
a. Faktor predisposisi
1. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets yang berakhir dengan
gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi yang tidak efektif.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
3. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
4. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.
5. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
6. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
7. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
8. Virus paparan virus influensa pada trimester III
b. Faktor Presipitasi
1. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
2. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
3. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
a. Waham agama
Keyakinan seseorang bahwa ia dipilih oleh Yang Maha Kuasa atau menjadi utusan
Yang Maha Kuasa.
b. Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya sakit atau terganggu.
c. Waham kebesaran
Keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kekuatan yang istimewa.
d. Waham paranoid
Kecurigaan seseorang yang berlebihan atau tidak rasional dan tidak mempercayai
orang lain, ditandai dengan waham yang sistematis bahwa orang lain “ingin
menangkap “ atau memata-matainya.
e. Waham depresif
Kepercayaan tidak mendasar serta cenderung menyalahkan diri sendiri akibat
perbuatan-perbuatannya yang melanggar kesusilaan atau kejahatan, sering dirasakan
sebagai waham sakit dan waham bersalah
f. Waham nihilistik
Suatu pikiran bahwa dirinya atau orang lain sudah meninggal atau dunia sudah hancur
g. Waham pengaruh
Keyakinan bahwa dirinya merupakan subjek pengaruh dari orang lain
h. Siar pikir, waham tentang pikiran yang disiarkan ke dunia luar.
i. Sisip pikir, waham tentang pikiran yang ditempatkan ke dalam benak orang lain atau
pengaruh luar.
F. MEKANISME KOPING
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
a. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
b. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
d. Pada keluarga ; mengingkari
Gootama Catur Wicaksono
1211007
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa
Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif.
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik.
a. Fisik
Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan mengepal, otot tegang, rahang
mengatup, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar
dan ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, ngamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan, berdebat, kasar, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tak bermoral, kreativitas
terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran, memperlihatkan
permusuhan, mendekati orang lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman
dengan rencana melukai, menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan,
mempunyai rencana untuk melukai.
C. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Gootama Catur Wicaksono
1211007
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku
kekerasan diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teori Biologik
Gootama Catur Wicaksono
1211007
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang
melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut :
1. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons
agresif
2. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetil
kolin dan serotinin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta
penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku
agresif pada
seseorang.
3. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana)
4. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak,
penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak
kekerasan merupakan pengungkapan secra terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
2. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-
anak tanpa factor predisposisi biologic.
c. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat ,erupakan factor predisposisi
terjadinya perilaku kekerasan
E. FAKTOR PRESIPITASI
Gootama Catur Wicaksono
1211007
F. MEKANISME KOPING
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga
diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul
dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain
dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien
(koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS
atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
teurapeutik inefektif).
e. Putus obat
f. Penyalahgunaan narkoba/alcohol
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo,
Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
Keliat Budi Ana, 1999, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran,EGC;Jakarta.
Gootama Catur Wicaksono
1211007
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI
A. PENGERTIAN
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati.
Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan
mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri.
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk menyakiti
diri sendiri atatu melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa bunuh diri sebagai tindakan destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap benSP
aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu
yang diinginkan.
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
Gootama Catur Wicaksono
1211007
tidak langsung
Keterangan :
a. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
b. Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
c. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya unSP mempertahankan diri.
d. Pencenderaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencenderaan diri akibat hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress.
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
a. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri, atau
sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada
tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun
demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran
tentang keinginan unSP mati
b. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan
yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
c. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat
yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya
d. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan
pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah
pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu
mengalami ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana unSP mati. Individu ini
masih memiliki kemauan unSP hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang
mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab
individu ini sedang berjuang dengan stres yang tidak mampu di selesaikan
e. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi
individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang
mematikan, walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan
kehidupannya.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Gootama Catur Wicaksono
1211007
E. FAKTOR PRESIPITASI
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
N SAD PERSONS Keterangan
O
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih tinggi
dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali
dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih muda, 45
tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami
sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah pernah
(Percobaan melakukan percobaan sebelumnya
sebelumnya)
Gootama Catur Wicaksono
1211007
DAFTAR PUSTAKA