LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
C. Rentang Respon
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang
tua, harapan orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang
sesuai dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran
yang sesuai dengan kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak
percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang
berubah.
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan
konsep diri : harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional
maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-
tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, mejadi
korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk
penjara. Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan
rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik,
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan
yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta
perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum
dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial.
Isolasi sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
(Rawlins,1993). Isosial sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi
sensori: halusinasi yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi
perilaku kekerasan.
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi
sosial.
1. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan
kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika
menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk
respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan
satu sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan
orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku
yang termasuk respons maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
diri sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai
objek individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial
secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap
orang lain.
D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya
merupakan faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor
perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi
perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa
tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih
menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi
maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang
nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal
Masa Bermain
perilaku mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa
Masa Prasekolah
tanggung jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama,
Masa Sekolah
dan berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan
Masa Praremaja
teman sesama jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan
Masa Remaja jenis atau bergantung pada orang
tua.
Menjadi saling bergantung antara
orangtua dan teman, mencari
Masa Dewasa Muda
pasangan, menikah, dan mempunyai
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan
Masa Tengah Baya
yang sudah dilalui.
Berduka karena kehilangan dan
Masa Dewasa Tua mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (1995)
b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di
mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan di luar keluarga.
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang
salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang
tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial
adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami
masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal
pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan
bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
2. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi
dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas
ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang
terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan
kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock
(1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas
unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat
dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat
sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada
saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri,
dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah halusinasi
berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau
orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien yang
mengalami halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan penngalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga
interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Klien yang mengalami halusiansi cenderung menyendiri
dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya serta halusinasi
menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan
sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya,
dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri.
I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control
kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada
dapat menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan
oleh pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan
darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi
dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karekteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien
terlihat panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya
diawali dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena
orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi
dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan
maka akan berisiko terhadap perilaku
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan
ansiets yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan
perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran
terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang
yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga
dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
E. Macam – macam Waham
1. Waham agama : keyakinan seseorang bahwa ia dipilih oleh Yang
Maha Kuasa atau menjadi utusan Yang Maha Kuasa.
2. Waham somatik : keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian
tubuhnya sakit atau terganggu.
3. Waham kebesaran : keyakinan seseorang bahwa ia memiliki
kekuatan yang istimewa.
4. Waham paranoid : kecurigaan seseorang yang berlebihan atau tidak
rasional dan tidak mempercayai orang lain, ditandai dengan waham
yang sistematis bahwa orang lain “ingin menangkap “ atau memata-
matainya.
5. Waham depresif : kepercayaan tidak mendasar serta cenderung
menyalahkan diri sendiri akibat perbuatan-perbuatannya yang
melanggar kesusilaan atau kejahatan, sering dirasakan sebagai
waham sakit dan waham bersalah
6. Waham nihilistik : suatu pikiran bahwa dirinya atau orang lain sudah
meninggal atau dunia sudah hancur
7. Waham pengaruh : keyakinan bahwa dirinya merupakan subjek
pengaruh dari orang lain
8. Siar pikir ; waham tentang pikiran yang disiarkan ke dunia luar.
9. Sisip pikir ; waham tentang pikiran yang ditempatkan ke dalam benak
orang lain atau pengaruh luar.
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu
sebagai berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin,
norepinefrin, dopamine, asetil kolin dan serotinin) sangat
berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta
penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan factor predisposisi penting yang
menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak
criminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic
dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi
(epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti
dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku
agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secra
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku
yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi
oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa
factor predisposisi biologic.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,
krisis dan lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif,
denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri
rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan
memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini
tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
teurapeutik inefektif).
Data Minor :
DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam,
mendengar suara yang menjelekkan, merasa orang lain
mengancam dirinya
DO : menjau dari orang lain, katatonia
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan :
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang
membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau
beresiko mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri
terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap
yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan
dirinya unSP mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh
diri atau pencenderaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi
yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi
orang yang penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam
rentang diantaranya :
1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi
dari bunuh diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa
melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan
mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,
perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki
pikiran tentang keinginan unSP mati
2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah
melakukan perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya
keinginan dan hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP
mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku
destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak
hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan
unSP melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu
mengalami ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana unSP
mati. Individu ini masih memiliki kemauan unSP hidup, ingin di
selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental.
Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini
sedang berjuang dengan stres yang tidak mampu di selesaikan
5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang
mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan
misalnya minum obat yang mematikan, walaupun demikian banyak
individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik
(orang yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik
(Melakukan bunuh diri unSP kebaikan masyarakat) dan anomik (
Bunuh diri karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
dan beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal
perkembangan ego, trauma interpersonal, dan kecemasam
berkepanjangan yang nungkin dapat memicu seseorang unSP
mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa
bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri
sendiri.
4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai
kegagalan dari pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat
perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan
Sundeen, 1995)
5. Penyebab lain :
a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-
berdayaan
c. Cara untuk meminta bantuan
d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah
E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang
dialami individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
F. Masalah dan Data yang Perlu dikaji
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan
skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan
proses pikir, dlsb
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
a) Ide bunuh diri
b) Ancaman bunuh diri
c) Percobaan bunuh diri
d) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan
anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan
resiko bunuh diri.
3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk
membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih
mendalam lagi diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau
perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan
rencananya.
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan bunuh diri
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu
diakses oleh klien.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian
tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko
bunuh diri :
f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan
mendorong komunikasi terbuka.
i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata –
kata yang dimengerti klien
j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatannya
k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali
lebih tinggi dibanding wanita, meskipun wanita
lebih sering 3 kali dibanding laki laki melakukan
percobaan bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau
lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan
khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri
(Percobaan sudah pernah melakukan percobaan
sebelumnya) sebelumnya
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking Orang skizofrenia dan dementia lebih sering
Loss ( Kehilangan melakukan bunuh diri disbanding general
berpikir rasional) populasi
7 Sosial support lacking Orang yang melakukan bunuh diri biasanya
( Kurang dukungan kurannya dukungan dari teman dan saudara,
social) pekerjaan yang bermakna serta dukungan
spiritual keagaamaan
8 Organized plan ( Adanya perencanaan yang spesifik terhadap
perencanaan yang bunuh diri merupakan resiko tinggi
teroranisasi)
9 No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih rentang
memiliki pasangan) dibanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko
tinggi melakukan bunuh diri.
II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
A. Risiko bunuh diri
Data Mayor :
DS : Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan
pernah mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri
DO : Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri
Data Minor :
DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih
baik mati saja, mengatakan sudah bosan hidup
DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai