Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DI RUANG GELATIK RUMAH SAKIT


MENUR PROVINSI JAWA TIMUR

OLEH:

Ike Faradilah
193.0041

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN

OLEH:

Ike Faradilah
193.0041

Surabaya,

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi


LAPORAN PENDAHULUAN
“PERILAKU KEKERASAN”
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Perilaku Kekerasan
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku
kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk
melukai atau membunuh orang lain. perilaku kekerasan lingkungan dapat
berua perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua
yang ada di lingkungan (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain dan atau
merusak lingkungan. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Azizah, dkk., 2016).
2. Fungsi Marah (Azizah, dkk., 2016)
a. Energizing function/anger energizer behaviour
Menambah atau meningkatkan tenaga seseorang, misalnya orang yang
mengamuk pada umumnya tenaganya sangat kuat
b. Expressive function
Ekspresi kemarahan yang terbuka menandakan hubungan yang sehat.
Misalnya: ekspresi perasaan kecewa/tidak puas akan diperlihatkan
dengan kemarahan
c. Self promotion function
Kemarahan dapat dipakai untuk memproyeksikan konsep diri yang
positif/untuk meningkatkan harga diri. Misalnya: orang akan marah
karena merasa dihina.
d. Defensive function
Kemarahan merupakan pertahanan ego dalam menanggapi kecemasan
yang meninggi, karena konflik eksternal, misalnya: seseorang
melampiaskan kemarahannya, kemudian setelah terlampiaskan orang
tersebut akan merasa lega.
e. Potentiating function
Kemarahan dapat meningkatkan kemampuan, misalnya: orang yang
bersaing tidak sehat.
f. Discriminative function
Membedakan seseorang dalam berbagai keadaan alam perasaan,
misalnya: gembira, sedih, jengkel dan sebagainya.
3. Rentang Respon Marah

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Perasaan
mengungkapkan mencapai tidak dapat mengekspresi marah dan
marah tanpa tujuan mengungkapkan kan secara bermusuhan
menyalahkan kepuasan / perasaannya, fisik, tapi yang kuat
orang lain dan saat marah tidak berdaya masih dan hilang
memberikan dan tidak dan menyerah. terkontrol, control,
kelegaan. dapat mendorong disertai
menemukan orang lain amuk,
alternatifnya. dengan merusak
ancaman. lingkungan.

Gambar 1.1 Rentang Respon Marah


Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.
4. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan antara lain:
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologis
a) Neurologic factor
Beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai peran
mempengaruhi timbulnya perilaku agresif.
b) Genetic factor
Adanya faktor gen yang dirutunkan melalui orang tua menjadi
potensi perilaku agresif.
c) CycardiN Rhytm
Pada jam-jam sibuk, sekitar jam 9 dan 13, orang lebih mudah
terstimulasi untuk bersikap agresif.
d) Biochemistry faktor
Peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e) Brain area disorder
Gangguan pada sistem otak dapat berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tidak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang (life span history). Perilaku agresif
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Imitation, modeling, and information precossing theory
Perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

5. Proses Terjadinya Amuk


Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang
ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain,
atau lingkungan. Amuk adalah respons marah terhadap adanya stress, rasa
cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan
(Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Resopn marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal.
Secara internal dapat berupa perilaku tidak asertif dan merusak diri,
sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktir agresif.
Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1)
menungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Mengekspresikan rasan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa
menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila
perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang,
biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah
yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif
dan amuk (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
6. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala perilaku
kekerasan, antara lain:
a. Muka merah dan tegang;
b. Mata melotot / pandangan tajam;
c. Tangan mengepal;
d. Rahang mengatup;
e. Wajah memerah dan tegang;
f. Postur tubuh kaku;
g. Pandangan tajam;
h. Mengatupkan rahang dengan kuat;
i. Mengepalkan tangan;
j. Jalan mondar-mandir.

III. A. POHON MASALAH


Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan (effect)

Perilaku kekerasan (core problem) → Resiko Bunuh Diri

Harga diri rendah (causa) → Isolasi Sosial → Defisit Perawatan Diri

Koping individu tidak efektif koping keluarga tidak efektif


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang diangkat berdasarkan pohon masalah
menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), adalah:
a. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Perilaku kekerasan.

2. Data Yang Perlu Dikaji


Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), pengkajian pada klien
perilaku kekerasan ditujukan pada aspek biopsikososial-kultural-
spiritual.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis tumbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran
urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku dan refleks cepat.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Kaji cara marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan,
bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan.emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati
dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai
suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri,
menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku Kekerasan

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam merespon terhadap
kemarahan.
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
8. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9. Klien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya.

Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan (Damaiyanti & Iskandar,


2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP2K
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka
2. Mengidentifikasi tand gejala PK keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat klien
6. Membantu klien mempraktikkan latihan dengan PK
cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara merawat klien dengan PK
fisik II 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien PK
kegiatan harian
SP3P SP3K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara aktivitas di rumah termasuk minum
verbal obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara
spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP5P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN
“DEFISIT PERAWATAN DIRI”
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Defisit Perawatan Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keingan untuk
mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau
napas, dan penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah
satu masalah yang timbul pada klien gangguan jiwa. Klien gangguan jiwa
kronis sering mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini
merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan klien dikucilkan baik
dalam keluarga mau pun masyarakat (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati,
2015).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting). Personal
hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya (Azizah, dkk., 2016).
2. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), penyebab kurang perawatan
diri adalah:
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan diri lingkungannya.
Siatuasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Meliputi penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
3. Proses Terjadinya Defisit Perawatan Diri
Kurangnya perawatan diri pada klien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri
tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara
mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting secara mandiri (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar, tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri diantaranya:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor;
2) Rambut dan kulit kotor;
3) Kuku panjang dan kotor;
4) Gigi kotor disertai mulut bau;
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif;
2) Menarik diri, isolasi diri;
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang;
2) Kegiatan kurang;
3) Tidak mampu berperilaku sesuai normal;
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembarang tempat,
gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

III. A. POHON MASALAH


Gangguan Perilaku Kesehatan
Defisit Perawatan Diri

Isolasi Sosial

harga diri rendah koping tidak efektif

Gambar 2.1 Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri


Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), defisit perawatan diri bukan
merupakan bagian dari komponen pohon masalah (cause, core
problem, effect) tetapi sebagai masalah pendukung, maka masalah
keperawatan yang dapat diangkat adalah:
a. Defisit perawatan diri.

2. Data Yang Perlu Dikaji


Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), data yang perlu dikaji
pada klien dengan defisit perawatan diri diantaranya:
a. Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor,
kulit berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada
klien laki-laki tidak bercukur, serta pada klien wanita tidak
berdandan.
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri ditandai dengan
BAB atau BAK tidak pada tempatnya, serta tidak membersihkan
diri dengan baik setelah BAB/BAK.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan:
1. Klien bisa mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
2. Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
3. Klien dapat mempertahankan kebersihan secara mandiri.
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Damaiyanti & Iskandar,
2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
diri klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang pentingnya 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
kebersihan diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara menjaga perawatan diri yang dialami klien beserta
kebersihan diri proses terjadinya
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit perawatan
3. Membantu klien mempraktekkan cara mandi diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien defisit
jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum obat
3. Membantu klien mempraktekkan cara (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
“GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa
adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi
seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa
dimana klien mengalami perubahan persensi sensori, serta merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau
penciuman. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar)
(Azizah, dkk., 2016)
2. Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikir / delusi
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi Perilaku disorganisasi
dengan pengalaman berlebihan atau kurang Isolasi sosial
Perilaku sesuai Perilaku aneh dan
Hubungan sosial tidak biasa
Menarik diri
Gambar 1.1 Rentang Respon Neurobiologis
Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.
3. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), halusinasi dapat disebabkan
oleh faktor predisposisi dan faktor presipitasi, yakni sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan mudah frustasi, keluarga menyebabkan klien tidak dapat
mandiri sejak dini, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan terhadap stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biologis
Adaya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam
tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan dalam mengambil keputusan.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizophrenia cenderung
mengalami schizophrenia.
b. Faktor presipitasi
1) Dimensi fisik, seperti kelelhan yang luar biasa, penggunaan obat-
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi emosional, meliputi perasaan cemas yang berlebihan atas
dasar problem yang tidak dapat diatasi.
3) Dimensi intelektual, ditunjukkan adanya penurunan fungsi ego.
4) Dimensi sosial, adanya gangguan interaksi sosial.
5) Dimensi spiritual, seperti kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu.
4. Proses Terjadinya Masalah
Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik
dan lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak
normal dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh atau dari
luar tubuh. Jika masukan akan terganggu atau tidak ada sama sekali saat
bertemu dalam keadaan normal atau patologis, materi berada dalam
prasadar dapat unconsicious atau dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan keinginan
yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena kepribadian rusak
dan kerusakan pada realitas tingkat kekuatan keinginan sebelumnya
diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal (Damaiyanti &
Iskandar, 2015).
5. Klasifikasi dan Tanda Gejala Halusinasi
Tabel 1.1 Klasifikasi Halusinasi (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
 Bicara atau tertawa  Mendengar suara-suara/
sendiri.  Mendengar suara yang
 Marah-marah tanpa mengajak bercakap-cakap.
Halusinasi dengar sebab.  Mendengar suara
 Mengarahkan telinga ke menyuruh melakukan
arah tertentu. sesuatu yang berbahaya.
 Menutup telinga.
 Menunjuk-nunjuk ke arah  Melihat bayangan, sinar,
Halusinasi tertentu. bentuk geometris, bentuk
penglihatan  Ketakutan pada sesuatu kartun, hantu atau monster.
yang tidak jelas.
 Mencium seperti sedang  Membaui bau-bauan seperti
Halusinasi membauai bau-bauan bau darah, urine, feses, dan
penciuman tertentu. kadang-kadang bau itu
 Menutup hidung. menyenangkan.
Halusinasi  Sering meludah.  Merasakan rasa seperti
pengecapan  Muntah. darah, urine, atau feses.
 Menggaruk-garuk  Mengatakan ada serangga
Halusinasi permukaan kulit. di permukaan kulit.
perabaan  Merasa seperti tersengat
listrik.

6. Tahapan Halusinasi
Tabel 1.2 Tahapan Halusinasi (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
Tahapan Halusinasi Karakteristik
Stage I : Sleep disorder Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari
Fase awal seseorang dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa
sebelum muncul halusinasi dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa
sulit karena berbagai stressor terakumulasi
sedangkan support sistem kurang dan persepsi
Tahapan Halusinasi Karakteristik
terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur
berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa
menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan
awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
Stage II : Comforting Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti
Halusinasi secara umum ia adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan
terima sebagai sesuatu yang berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
alami. pemikiran pada timbulnya kecemasan. Sensorinya
dapat di kontrol bila kecemasannya diatur, dalam
tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman
dengan halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori klien menjadi sering datang
Secara umum halusinasi dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak
sering mendatangi klien. mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupaya
menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang
lain, dengan intensitas waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori
Severe Level of Anxiety abnormal yang datang. Klien dapat merasakan
Fungsi sensoti menjadi kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah
tidak relevan dengan dimulai fase gangguan psikotik.
kenyataan.

Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai


Panic Level Of Anxiety terasa terancam dengan datangnya suara-suara atau
Klien mengalami gangguan perintah yang ia dengar dari halusinasinya.
dalam menilai Halusinasi dapat berlangsung selama minimal
lingkungannya. empat jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeurik. Terjadi
gangguan psikotik berat.

III. A. POHON MASALAH


Resiko tinggi perilaku kekerasan Waham (effect)

Perubahan persepsi sensori: Halusinasi (core problem)



Isolasi Sosial (causa) resiko bunuh diri
↑ ↑
Harga diri rendah kronis → koping individu tidak efektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat
menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Harga diri rendah kronik;
b. Koping individu tidak efektif;
c. Isolasi sosial.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Data yang perlu dikaji menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015),
diantaranya:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan yang dapat mengganggu hubungan
interpersonal sehingga meningkatkan stress dan ansietas yang
dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
2) Faktor sosial budaya
Perasaan seperti disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak
dapat diatasi sehingga timbul delusi dan halusinasi.
3) Faktor psikologis
Hubungan interpersonal tidak harmonis dan peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas yang
berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga
terjadi halusinasi.
4) Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal.
5) Faktor genetia
Keluarga yang memiliki riawayat skizofrenia.
b. Faktor presipitasi
1) Stressor sosial budaya
Penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang
penting, atau diasingkan dari kelompok dapat meningkatkan
stress dan kecemasan sehingga timbulnya halusinasi.
2) Faktor biokimia
Dopamin, neropinetrin, indolamin, serta zat halusigenik diduga
berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi.

3) Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas.
4) Perilaku.
Gangguan orientasi realitas berkaitan dengan perubahan proses
pikir, afektif persepsi, motorik dan sosial.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

Tabel 1.3 Rencana Keperawatan Harga Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi


(Damaiyanti & Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala dan
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien jenis halusinasi yang dialami klien
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan beserta proses terjadinya
halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi halusinasi
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara merawat klien dengan halusinasi
bercakap-cakap dengan oang lain 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal merawat langsung kepada klien
kegiatan harian halusinasi
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan aktivitas dirumah termasuk minum obat
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal pulang
kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
“HARGA DIRI RENDAH”
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Harga Diri Rendah Kronik

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap
diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan
diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal
diri (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang
diri/kemampuan diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang
lama. Jadi harga diri rendah adalah suatu perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilangnya kepercayaan diri dan gagal mencapai tujuan yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung, penurunan diri ini
dapat bersifat situasional maupun kronis atau menahun (Azizah, dkk.,
2016).
2. Etiologi
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya
kurang dihargai, tidak diberikan kesempatan dan tidak diterima. Menjelang
dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan dan pergaualan. Harga diri
rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih
dari kemampuannya (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), faktor-faktor yang
mengakibatkan harga diri rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan
faktor presipitasi sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan
orangtua, harapan orangtua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
kertergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performasi adalah stereotype peran
gender, tuntuan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan
perubahan struktur sosial.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah
kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,
kegagalan atau produktivitas yang menurun (Damaiyanti & Iskandar,
2012).

3. Rentang Respon Konsep Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancauan Depersonalisasi
diri positif rendah Identitas

Gambar 1.1 Rentang Respon Konsep Diri


Sumber: Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala harga diri
rendah kronik adalah sebagai berikut:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produktivitas.
e. Penolakan terhadap kemampuan diri.
III. A. POHON MASALAH
Resiko perilaku kekerasan Waham (effect)

Defisit perawatan diri ← Isolasi Sosial: menarik diri → Halusinasi



Resiko bunuh diri Gangguan konsep diri: harga diri rendah (Core
problem)

Tidak efektifnya koping individu (causa)

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat
menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Harga diri rendah kronik;
b. Koping individu tidak efektif;
c. Isolasi sosial.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2012), data yang perlu
dikaji pada klien dengan gangguan konsep diri, diantaranya:
a. Faktor predisposisi
1) Citra tubuh
a) Kehilangan / kerusakan bagian tubuh.
b) Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh.
c) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan
fungsi tubuh.
d) Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
2) Harga diri
a) Penolakan
b) Kurang penghargaan
c) Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu
dituruti, terlalu dituntut.
d) Persaingan antara keluarga.
e) Kesalahan dan kegagalan berulang.
f) Tidak mampu mencapai standar.
3) Ideal diri
a) Cita-cita yang terlalu tinggi.
b) Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Ideal diri samar atau tidak jelas.
4) Peran
a) Stereotipe peran seks.
b) Tuntutan peran kerja.
c) Harapan peran kultural.
5) Identitas diri
a) Ketidakpercayaan orang tua.
b) Tekanan dari teman sebaya.
c) Perubahan struktur sosial.
b. Faktor presipitasi
1) Trauma.
2) Ketegangan peran perkembangan.
3) Transisi peran situasi.
4) Transisi peran sehat sakit.
c. Perilaku
1) Citra tubuh
a) Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu.
b) Menolak bercermin.
c) Tidak mau mendiskusikan kerterbatasan atau cacat tubuh.
d) Menolak usaha rehabilitasi.
e) Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat.
f) Menyangkal cacat tubuh.
2) Harga diri rendah
a) Mengkritik diri sendiri/orang lain.
b) Produktivitas menurun.
c) Gangguan hubungan.
d) Merasa diri paling penting.
e) Desktruktif pada orang lain.
f) Merasa tidak mampu.
g) Merasa bersalah dan khawatir.
h) Mudah tersinggung/marah.
i) Perasaan negatif terhadap tubuh.
j) Ketegangan peran.
k) Pesimis menghadapi hidup.
l) Keluhan fisik.
m) Penolakan kemampuan diri.
n) Pandangan hidup bertentangan.
o) Destruktif terhadap diri.
p) Menarik diri secara sosial.
q) Penyalahgunaan zat.
r) Menarik diri realitas.
3) Kerancauan identitas
a) Tidak ada kode moral.
b) Kepribadian yang bertentangan.
c) Hubungan interpersonal yang eksploitatif.
d) Perasaan hampa.
e) Perasaan mengambang tentang diri.
f) Kerancuan gendur.
g) Tingkat ansietas tinggi.
h) Tidak mampu empati terhadap orang lain.
i) Masalah estimasi.
4) Depersonalisasi
Tabel 1.1 Depersonalisasi (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2012)
Afektif Perseptual Kognitif Perilaku
 Kehilangan identitas.  Halusinasi  Bingung.  Pasif.
 Perasaan terpisah dari dengar dan lihat.  Disorientasi waktu.  Komunikasi tidak
diri.  Bingung tentang  Gangguan berpikir. sesuai.
 Perasaan tidak seksualitas diri.  Gangguan daya  Kurang
realistis.  Sulit ingat. spontanitas.
 Rasa terisolasi yang membedakan diri  Gangguan penilaian.  Kehilangan
kuat. dari orang lain.  Kepribadian ganda. kendali terhadap
 Kurang rasa  Gangguan citra impuls.
berkesinambungan. tubuh.  Tidak mampu
 Tidak mampu  Dunia seperti memutuskan.
mencari kesenangan. dalam mimpi.  Menarik diri
secara sosial.
d. Mekanisme koping
1) Pertahanan jangka pendek
a) Aktivitas yang dapat memberian pelarian sementara dari krisis,
seperti kerja keras, nonton, dan lain-lain.
b) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara,
seperti ikut kegiatan sosial, politik, dan lain-lain.
c) Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti
penyalahgunaan obat.
2) Pertahanan jangka panjang
a) Penutupan identitas.
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi,
dan potensi individu.
b) Identitas negatif.
Asumsi identitas yang tidak wajarr untuk dapat diterima oleh
nilai-nilai harapan masyarakat.
3) Mekanisme pertahan ego
a) Fantasi.
b) Disosiasi.
c) Isolasi.
d) Proyeksi.
e) Displacement.
f) Marah/amuk pada diri sendiri.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Harga Diri Rendah Kronik

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4. Klien dapat menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuannya yang
dimiliki.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tabel 1.2 Rencana Keperawatan Harga Diri Rendah Kronik (Damaiyanti &
Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
positif yang dimiliki klien. keluarga dalam merawat klien.
2. Membantu klien menilai kemampuan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala harga
yang masih dapat digunakan. diri rendah yang dialami klien beserta proses
3. Membantu klien memilih kegiatan yang terjadinya.
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien harga
klien. diri rendah.
4. Melatih klien sesuai dengan kemampuan
yang dipilih.
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap
keerhasilan klien.
6. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih kemampuan kedua. merawat klien dengan harga diri rendah.
3. Menganjurkan klien memasukkan kedalam 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
jadwal kegiatan harian. langsung kepada klien harga diri rendah.
SP3K
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
“RISIKO BUNUH DIRI”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Risiko Bunuh Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhir kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas
bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan dan dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya, yang dilakukan dalam waktu yang
singkat (Azizah, dkk., 2016)

2. Rentang Respon Protektif Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Peningkatan Berisiko Destruktif Pencederaan Bunuh diri
diri destruktif diri tidak diri
langsung
Gambar 1.1 Rentang Respon Protektif Diri
Sumber: Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.
3. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), penyebab terjadinya risiko
bunuh diri dapat dipengaruhi oleh:
a. Faktor predisposisi
1) Diagnosis psikiatrik
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarkan
risik bunuh diri adalah antipasti, impulsive, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Meliputi pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
perceraian.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor biokimia
Klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia
yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan
dopamine.
b. Faktor presipitasi
Perilaku destruktit diri dapat dtimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
dilakukan secara sadar. Struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat
menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh
diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
d. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang mungkin digunakan sehubungan dengan
perilaku bunuh diri, meliputi denial, rasionalization, regression, dan
magical thinking.
4. Proses Terjadinya Bunuh Diri
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya
motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan
bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh
diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah
keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala seseorang
dengan risiko bunuh diri, yakni:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah atau keputusasaan.
d. Impulsive.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,
marah, dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karir).
l. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
m. Usia 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
n. Konflik interpersonal.
o. Pekerjaan.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
s. Sumber-sumber sosial.
t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
6. Jenis
Menurut Yusuf, Fitriyasari, & Nihayati (2015), bunuh diri dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.

III. A. POHON MASALAH


(effect) Bunuh diri Resiko Perilaku Kekerasan

(core problem) Resiko bunuh diri

(causa) Harga diri rendah → isolasi sosial → halusinasi → waham

Koping keluarga&individu tidak efektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat
menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Risiko perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain, lingkungan
dan verbal.
b. Risiko bunuh diri.
c. Harga diri rendah kronik.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), data yang perlu
dikaji pada klien dengan risiko bunuh diri diantaranya:
a. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong
jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala
sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini klien
mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi
tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/sedih/
marah/putus asa/tidak berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana
tersebut. secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
c. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan klien mencederai atau
melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini,
klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum
racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.
d. Faktor risiko bunuh diri
1) Menurut SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)
Score 0 : Tidak ad aide bunuh diri yang lalu dan sekarang.
Score 1 : Ad ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri,
tidak mengancam bunuh diri.
Score 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya
sendiri atau saya bunuh diri.”
Score 4 : Aktif mencoba bunuh diri.
2) Menurut Stuart dan Sundeen (1987)
Tabel 1.1 Faktor Risiko Bunuh Diri Menurut Stuart dan Sundeen (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Faktor Risiko Tinggi Risiko Rendah
Umur > 45 tahun atau remaja 25-45 tahun atau < 12 tahun
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Status perkawinan Cerai, pisah, janda/duda Kawin
Jabatan Profesional Pekerja kasar
Pekerjaan Pengangguran Pekerja
Penyakit kronis Kronik, terminal Tidak ada yang serius
Gangguan mental Depresi, halusinasi Gangguan kepribadian

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengekspresikan perasaannya.
3. Klien dapat meningkatkan harga diri.
4. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif.
5. Klien dapat menggunakan dukungan sosial.

Tabel 1.2 Rencana Keperawatan Risiko Bunuh Diri (Damaiyanti & Iskandar,
2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengide 1.
ntifikasi benda-benda yang dapat keluarga dalam merawat klien
membahayakan klien 2.
2. Mengam resiko bunuh diri dan jenis prilaku
ankan benda-benda yang dapat bunuh diri yang dialami klien beserta
membahayakan klien proses terjadinya menjelaskan cara-cara
3. Melakuk merawat klien resiko bunuh diri
an kontrak treatment 3.
4. Mengajar resiko bunuh diri
kan cara mengendalikan dorongan
bunuh diri
5. Melatih
cara mengendalikan dorongan bunuh
diri
SP2P SP2K
1. 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. merawat klien dengan resiko bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. merawat langsung kepada klien resiko
sebagai individu yang berharga dunuh diri

SP3P SP3K
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Menilai pola koping yang biasa 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
dilakukan biasa dijangkau oleh keluarga
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping
yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian

SP4P
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
“WAHAM”
I. KASUS ( MASALAH UTAMA )
A. Definisi
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien ( Keliat, 2010).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapidipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol.
(Depkes RI, 2000 dalam Fitria, 2012).
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham
atau delusi adalah ide yang salah dan bertentangan atau berlawanan dengan
semua kenyataan dan tidak ada kaitannya degan latar belakang budaya
( Keliat, 2010).
B. Tanda dan Gejala
Data Subyektif Data Obyektif

- Klien mengatakan sebagai orang - Marah-marah tanpa sebab


hebat. - Banyak kata (logorrhoe)
- Klien mengatakan memiliki - Menyendiri
kekuatan luar biasa - Sirkumtasial
- Klien merasa sudah mati - Menyendiri
- Klien merasa sakit/rusak organ - Mudah tersinggung
tubuh - Sangat waspada
- Klien merasa diancam/diguna-guna - Tidak tepat menilai
- Klien merasa curiga lingkungan/realitas
- Klien merasa orang lain menjauh - Merusak
- Klien merasa tidak ada yang mau
mengerti
C. Klasifikasi Waham
Menurut Yosep (2009), berikut klasifikasi dari waham :

No. Jenis Waham Pengertian Contoh

1. Waham Kebesaran Menyakini bahwa ia memiliki “ saya ini pejabat di


kebesaran atau kekuasaan departemen
khusus, di ucapkan berulang kesehatan lho.”
kali tetapi tidak sesuai Atau “ saya punya
kenyataan. tambang emas”.

2. Waham Curiga Meyakini bahwa ada seseorang “saya tahu. Anda


atau kelompok yang berusaha ingin
merugikan/mencederai dirinya, menghancurkan
di ucapkan berulangkali tetapi hidup saya karena
tidak sesuai kenyataan. iri dengan
kesuksesan saya.”

3. Waham Agama Memiliki keyakini terhadap ”kalau saya mau


suatu agama secara berlebihan, masuk surga saya
di ucapkan berulangkali tetapi harus menggunakan
tidak sesuai kenyataan. pakaian putih setiap
hari.”

4. Waham Somatik Meyakini bahwa tubuh atau “saya sakit kanker”.


bagian tubuhnya terganggu / Setelah pemeriksaan
terserang penyakit, di ucapkan laboratorium tidak
berulangkali tetapi tidak sesuai ditemukan tanda-
kenyataan. tanda kanker namun
pasien terus
mengatakan bahwa
ia terserang kanker.

5. Waham Nihilistik Meyakini bahwa dirinya sudah “Ini kan alam kubur
tidak ada di dunia / meninggal, ya, semua yang ada
di ucapkan berulangkali tetapi disini adalah roh–
tidak ada di dunia / meninggal, roh.”
di ucapkan berulangkali tetapi
tidak sesuai kenyataan.

D. Rentang Respon
Rentang respon gangguan adaptif dan maladaptif dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran Logis Distorsi Pikiran Gangguan Isi Pikir Waham


 Persepsi akurat.  Kadang-kadang isi pikir  Ketidakmampuan untuk
 Emosi konsisten dengan terganggu ilusi. mengalami emosi.
pengalaman.  Reaksi emosional  Ketidakmampuan isolasi
 Prilaku sesuai dengan berlebihan atau kurang. social.
hubungan social.  Perilaku ganjil atau tidak
lazim.

Sumber: Keliat (1999) dalam Fitria (2012)


E. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan sters dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
2. Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham
3. Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/ bertentangan dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
4. Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atropi otak pembesaran ventrikel
di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik
5. Faktor Genetik
B. Faktor Presipitasi
1. Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok
2. Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprine, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang
3. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
C. Mekanisme Koping
Menurut Hernawati (2008), mekanisme koping yang biasanya digunakan
sebagai berikut :
1. Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas.
2. Proyeksi : upaya menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri
4. Pada keluarga : mengingkari.
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
Dalam Yosep (2009), ada 6 fase terjadinya waham yakni :
1. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis sehingga seseorang terdorong untuk melakukan
kompensasi yang salah agar keinginan untuk memenuhi kebutuhannya
terpenuhi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta
dorongan kebutuhan yag tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah
sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan
untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan
III. A POHON MASALAH

Perilaku Kekerasan

Perubahan Proses Fikir: Waham

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Harga Diri Rendah Kronis

B. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

Adapun masalah keperawatan yang mungkin muncul menurut Fitria (2012)


sebagai berikut:
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan
2. Perubahan proses fikir: waham
3. Isolasi Sosial
4. Harga diri rendah
IV. ANALISA DATA
Data Masalah

Data subyektif : Gangguan proses pikir :


- Klien mengatakan sebagai orang hebat. waham
- Klien mengatakan memiliki kekuatan luar
biasa
Data obyektif :

- Banyak kata (logorrhoe)


- Menyendiri
- Menyendiri
- Mudah tersinggung
- Sangat waspada
- Tidak tepat menilai lingkungan/realitas

V. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan Proses Fikir: Waham
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Tim Keperawatan Jiwa STIKES DHB. 2018. Panduan Praktik Profesi Ners
Keperawatan Jiwa.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung : Refika Aditama
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

“ISOLASI SOSIAL”
I. KASUS (MASALAH UTAMA)

Isolasi Sosial : Menarik Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Definisi

Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan


hubungan dengan orang lain. Isolasi social adalah keadaan seorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015)

Isolasi social adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang


diterima sebagai perlakuan dari oranglain serta sebagai kondisi yang negative atau
mengancam. Isolasi social adalah individu yang mengalami ketidakmampuan
untuk mengadakan hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan
sekitarnya.

Dalam isolasi sosial memerlukan penerapan terapi psikososial, Menurut (Martin,


2010) bahwa penerapan terapi psikososial dengan perilaku kognitif dapat merubah pola
pikir yang negatif menjadi positif sehingga perilaku yang maladaptif yang timbul akibat
pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif, sehingga pada
akhirnya diharapkan individu dengan masalah isolasi sosial memiliki peningkatan
kemampuan untuk melakukan interaksi sosial dan bereaksi secara adaptif dalam
menghadapi masalah atau situasi yang sulit dalam setiap fase hidupnya.

Pattern Of Inefective Coping Lack Of Stressor


Parenting (Koping Individu Development Internal and
(Pola Asuh Tidak Efektif) Task Ekternal (Sterss
Keluarga) (Gangguan Internal dan
Tugas Eksternal
Perkembangan
Misal : pada Misal : saat Misal : Misal : stres
anak yang individu kegagalan terjadi akibat
kelahirannya menghadapi menjalin ansietas yang
tidak di kegagalan hubungan berkepanjangan
kehendaki menyalahkan intim dengan dan terjadi
akibat orang lain, sesama jenis bersamaan
kegagalan ketidakberdayaan, atau lawan dengan
KB, hamil tidak mampu jenis, tidak keterbatasan
diluar ikah, menghadapi mampu kemampuan
jenis kelamin kenyataan dan mandiri dan untuk
yang tidak menarik diri dari menyelesaikan mengatasinnya.
diinginkan, lingkungannya, tugas, bekerja, Ansietas terjadi
bentuk fisik tidak mampu bergaul, akibat
yang kurang menerima sekolah, perpisahan
menawan realistas menyebabkan
menyebabkan ketergantungan
keluarga pada orang tua
mengeluarkan
komentar
negatif,
merendahkan,
menyalahkan
anak

2. Rentang Respon Hubungan Sosial

3.

4.
5.
6.
1. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), belum ada suatu
kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang
mempengaruhi hubungan interpersonal. Namun, factor yang mungkin
mempengaruhi antara lain :
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dankehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidakaman
yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan
dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupunlingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa
diperlakukan sebagai objek.
2. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakanfaktor pendukung terjadinya gangguan
berhubungan. Dapat jugadisebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satukeluarga, seperti anggota tidak
produktif diasingkan dari lingkungansosial.
3. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkanterjadinya gangguan dalam hubungan sosial.
Organ tubuh yang jelasmempengaruhi adalah otak. Insiden
tertinggiskizofrenia.

b. Faktor Presipitasi
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubunganseperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kesepiankarena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit
atau dipenjara.
4. Tanda dan Gejala
Gejala subjektif:
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna.
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidupnya.
9. Klien merasa ditolak.

Gejala objektif:
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Klien tidak mau mengikuti kegiatan.
3. Klien banyak berdiam diri di kamar.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar, dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan.
11. Mengisolasi diri.
12. Kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
13. Asupan makanan dan minuman terganggu.
14. Retensi urin dan feses.
15. Aktivitas menurun.
16. Kurang energi.
17. Rendah diri.
18. Postur tu buh berubah, misalnya sikap fetus/janin.

III. A. POHON MASALAH

Perubahan
Sensori/ Halusinasi
(Akibat)

Isolasi sosial: menarik diri


(Masalah utama)

Gangguan konsep diri


Harga diri rendah
(Penyebab)

Koping tidak efektif Berduka


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU
DIKAJI
1. Masalah keperawatan yang di angkat berdasarkan pohon masalah
a. Perubahan sensori halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Gangguan konsep diri; harga diri rendah

2. Data yang perlu dikaji


DS:
1. Klien mengatakan malu dan malas berinteraksi dengan orang lain
2. Klien merasa malu karena tidak mempunyai pekerjaan dan
penghasilan sendiri
3. Klien memilih memendam masalahnya sendiri
DO:
1. Klien tampak lemah dan tidak bersemangat
2. Kontak mata kurang
3. Klien lebih sering menyendiri dan jarang mengikuti kegiatan
diruangan
4. Klien tampak lebih suka di dalam kamar

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi social

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
5. Klien dapat mengungkapkan perasaanya setelah berhubungan dengan
orang lain.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

ISOLASI SOSIAL

Pasien : Keluarga

SP Ip : SP Ip :

1. Mengidentifikasi penyebab 1. Mendiskusikan masalah yang


isolasi sosial pasien dirasakan keluarga dalam
2. Berdiskusi dengan pasien merawat pasien
tentang keuntungan berinteraksi 2. Menjelaskan pengertian, tanda
dengan orang lain dan gejala isolasi sosial yang
3. Berdiskusi dengan pasien dialami pasien beserta proses
tentang kerugian tidak terjadinya
berinteraksi dengan orang lain 3. Menjelaskan cara-cara merawat
4. Mengajarkan pasien cara pasien isolasi sosial
berkenalan dengan satu orang
5. Menganjurkan pasien
memasukkan kegiatan latihan SP IIk :
berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian 1. Melatih keluarga
mempraktikkan cara merawat
pasien dengan isolasi sosial
SP IIp : 2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan pasien isolasi sosial
pasien
2. Memberikan kesempatan kepada
pasien mempraktikkan cara SP IIIk :
berkenalan dengan satu orang
3. Membantu pasien memasukkan 1. Membantu keluarga membuat
kegiatan berbincang-bincang jadwal aktivitas dirumah
dengan orang lain sebagai salah termasuk minum obat
satu kegiatan harian (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
SP IIIp : 3.

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan


harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada
pasien cara berkenalan dengan
dua orang atau lebih
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai