Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Masalah Utama
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri , merasa
gagal karena karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (keliat.
1998). Menurut Schult & videbeck (1998) gangguan harga diri rendah adalah
penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung.

B. Tanda dan Gejala


Menurut Carpenito, L.J (1998 : 352); Keliat, B.A (1994 : 20)
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak
setelah mendapat terapi sinar pada kanker
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri
sendiri.
3) Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu,
saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa
4) Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri.
5) Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan.
6) Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.

C. Faktor Predisposisi
1. Faktor biologis
Biasanya karena ada kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja
hormon secara umum, yang berdampak pula pada keseimbangan
neurotransmitter di otak contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran negatif dan tidak berdaya.
2. Faktor psikologis
Harga diri rendah kronis sangat berhubungan dengan pola asuh dan
kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal- hal yang dapat
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis meliputi
orang tua yang penolakan orang, harapan orang tua yang tidak realistis,
orang tua yang tidak percaya pada anaknya, tekanan teman sebaya, peran
yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan
3. Faktor sosial
Sosial status ekonomi sangat mempengaruhi proses terjadinya haga diri
rendah kronis, antara lain kemiskinan, tempat tinggal di daerah kumuh
dan rawan, kultur sosial yang berubah, misalnya ukuran keberhasilan
individu.’
4. Faktor kultural
Tuntutan peran sosial kebudayaan sering meningkatkan kejadian harga
diri rendah kronis antara lain: menikah harus sudah menikah jika umur
mencapai dua puluhan, perubahan kultur ke arah gaya hidup
individualisme.
D. Faktor Presipitasi
1. Trauma
Seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian
yang mengancam kehidupan.
2. Ketegangan peran
Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau
posisi yang diharapkan
3. Transisi peran perkembangan
Perubahan dengan nilai yang tidak sesuai dengan diri
4. Transisi peran situasi
Bertambah/ berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu
5. Trasmisi peran sehat- sakit
Kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, fungsi penampilan, prosedur
pengobatan dan perawatan.

E. Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku
yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DEPKES RI, 1998 : 336).
Tanda dan gejala :
Data Subyektif :
a. Mengungkapkan untuk memulai hubungan/ pembicaraan
b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain
c. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain
Data Obyektif :
a. Kurang spontan ketika diajak bicara
b. Apatis
c. Ekspresi wajah kosong
d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat berbicara

1. Pohon Masalah

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah Core Problem

Gangguan citra tubuh

4. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji:


a. Isolasi sosial: menarik diri
Data Obyektif
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri di kamar,
banyak diam.
Data Subyektif
Ekspresi wajah kosong, tidak ada kontak mata, suara pelan dan tidak jelas.
b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Data Subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Data Obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
c. Gangguan citra tubuh
Data subyektif
Mengungkapkan tidak ingin hidup lagi, mengungkapkan sedih karena keadaan
tubuhnya, klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain, karena
keadaan tubuhnya yang cacat.
Data obyektif
Ekspresi wajah sedih, tidak ada kontak mata ketika diajak bicara, suara pelan
dan tidak jelas, tampak menangis.

5. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri
b. Harga diri rendah
c. Gangguan citra tubuh

6. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa 1: Isolasi sosial: menarik diri
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul
c. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda
serta penyebab yang muncul
d. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya

3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan


kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Tindakan :
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
c. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain
d. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang
lain
e. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
f. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
g. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
h. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
i. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan:
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :
- Klien – Perawat
- Klien – Perawat – Perawat lain
- Klien – Perawat – Perawat lain – Klien lain
- K – Keluarga atau kelompok masyarakat
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan

5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang


lain
Tindakan:
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan
dengan orang lain.
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan
perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain

6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga


Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
- Salam, perkenalan diri
- Jelaskan tujuan
- Buat kontrak
- Eksplorasi perasaan klien

b. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :


- Perilaku menarik diri
- Penyebab perilaku menarik diri
- Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
- Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
- Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada
klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
- Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian
menjenguk klien minimal satu kali seminggu
- Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah
dicapai oleh keluarga

Diagnosa II : harga diri rendah.


Tujuan umum: Kien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.
Tujuan khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
a. Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip komunikasi
terapeutik:
 Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
 Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
c. Utamakan memberi pujian yang realistik.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4. Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.
b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
b. Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat klien
dengan harag diri rendah.
b. Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat.
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah.

Diagnosa II: Gangguan citra tubuh.


Tujuan umum: klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien
akan meningkat harga dirinya.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, perkenalan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak
yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
b. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
c. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
d. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga
dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis
c. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke
rumah
3. Klien dapat menetapkan/merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
Tindakan:
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan
setiap hari sesuai kemampuan
b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
4. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan:
a. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan:
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
STRATEGI PELAKSANAAN
GANGGUAN KONSEP DIRI HARGA DIRI RENDAH

A. Kondisi klien
 Mengkritik diri sendiri.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimis
 Penurunan produktifitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapih.
 Selera makan kurang
 tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguang konsep diri : harga diri rendah
C. Tujuan
 Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
 Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
 Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
 Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
 Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah
dilatih
D. Tindakan Keperawatan
 Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien
Untuk membantu pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek
positif yang masih dimilikinya , perawat dapat :
 Mendiskusikan bahwa sejumlah kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki pasien seperti kegiatan pasien di rumah sakit, di
rumah, dalam keluarga dan lingkungan adanya keluarga dan
lingkungan terdekat pasien.
 Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu
dengan pasien penilaian yang negatif.
 Membantu pasien menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Untuk tindakan tersebut, saudara dapat :
 Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini.
 Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
 Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang
aktif
 Membantu pasien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
 Mendiskusikan dengan pasien beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan
sehari-hari.
 Bantu pasien menetapkan kegiatan mana yang dapat pasien
lakukan secara mandiri, mana kegiatan yang memerlukan bantuan
minimal dari keluarga dan kegiatan apa saja yang perlu batuan
penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan
contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan pasien.
Susun bersama pasien dan buat daftar kegiatan sehari-hari pasien.
 Melatih kemampuan yang dipilih pasien
Untuk tindakan keperawatan tersebut saudara dapat melakukan:
 Mendiskusikan dengan pasien untuk melatih kemampuan yang
dipilih
 Bersama pasien memperagakan kegiatan yang ditetapkan
 Berikan dukungan dan pujian pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan pasien.
 Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
Untuk mencapai tujuan tindakan keperawatan tersebut, saudara dapat
melakukan hal-hal berikut :
 Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang
telah dilatihkan
 Beri pujian atas kegiatan/kegiatan yang dapat dilakukan pasien
setiap hari
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap kegiatan
 Susun jadwal untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiatan

E. Strategi tindakan Pelaksanaan


SP 1 Klien: Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien, membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan,
membantu klien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih,
melatih kemampuan yang sudah dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian
ORIENTASI :
“Selamat pagi, Perkenalkan nama saya Agung Nugroho, biasa dipanggil Agung, saya
mahasiswa keperawattan UKSW yang sedang praktik diruangan ini., Bagaimana
keadaan ibu hari ini ?
”Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang
pernah ibu lakukan? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat ibu
dilakukan. Setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih”
”Dimana kita duduk ? Bagaimana kalau di ruang tamu ? Berapa lama ? Bagaimana
kalau 20 menit ?
KERJA :
” Ibu, apa saja kemampuan yang ibu miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat daftarnya ya!
Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa ibu lakukan? Bagaimana dengan
merapihkan kamar? Menyapu ? “ Wah, bagus sekali ada lima kemampuan dan
kegiatan yang ibu miliki “.
” ibu dari lima kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan di
rumah sakit ? Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua.......sampai 5
(misalnya ada 3 yang masih bisa dilakukan). Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih
bisa dikerjakan di rumah sakit ini.
”Sekarang, coba ibu pilih satu kegiatan yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit
ini”.” O yang nomor satu, merapihkan tempat tidur?Kalau begitu, bagaimana kalau
sekarang kita latihan merapikan tempat tidur ibu”. Mari kita lihat tempat tidur ibu
Coba lihat, sudah rapikah tempat tidurnya?”
“Nah kalau kita mau merapikan tempat tidur, mari kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya. Bagus ! Sekarang kita angkat spreinya, dan kasurnya kita balik. ”Nah,
sekarang kita pasang lagi spreinya, kita mulai dari arah atas, ya bagus !. Sekarang
sebelah kaki, tarik dan masukkan, lalu sebelah pinggir masukkan. Sekarang ambil
bantal, rapihkan, dan letakkan di sebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut, nah
letakkan sebelah bawah/kaki. Bagus !”
” ibu sudah bisa merapihkan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan
bedakah dengan sebelum dirapikan? Bagus ”
“ Coba ibu lakukan dan jangan lupa memberi tanda MMM (mandiri) kalau ibu
lakukan tanpa disuruh, tulis B (bantuan) jika diingatkan bisa melakukan, dan ibu ibu
(tidak) melakukan.
TERMINASI :
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap dan latihan merapikan tempat
tidur ? Yah, ternyata ibu banyak memiliki kemampuan yang dapat dilakukan di rumah
sakit ini. Salah satunya, merapikan tempat tidur, yang sudah ibu praktekkan dengan
baik sekali. Nah kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah setelah pulang.”
”Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ibu mau berapa kali sehari
merapikan tempat tidur? Bagus, dua kali yaitu pagi-pagi jam berapa ? Lalu sehabis
istirahat, jam 16.00”
”Besok pagi kita latihan lagi kemampuan yang kedua. Ibu masih ingat kegiatan apa
lagi yang mampu dilakukan di rumah selain merapihkan tempat tidur? Ya bagus, cuci
piring.. kalu begitu kita akan latihan mencuci piring besok jam 8 pagi di dapur
ruangan ini sehabis makan pagi Sampai jumpa ya”
I. MASALAH UTAMA
Halusinasi

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001). Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa
stimulus eksternal; persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana pasien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa
adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata oleh pasien.

B. Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
Faktor Predisposisi
a. Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon


neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan
keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stres.

Faktor Prespitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa
dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stres Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan


untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stresor.
C. Tanda dan Gejala
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai,
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara,
3. Gerakan mata cepat,
4. Respon verbal lamban atau diam
5. Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yg mengasyikkan
6. Terlihat bicara sendiri
7. Menggerakkan bola mata dengan cepat
8. Bergerak seperti membuang atau mengambil sesuatu
9. Duduk terpaku, memandang sesuatu, tiba-tiba berlari keruang lain
10. Gelisah, ketakutan, ansietas
11. Disorientasi (waktu, tempat, orang)
12. Perubahan kemampuan dan memecahkan masalah
13. Perubahan perilaku dan pola komunikasi
14. Peka rangsang
15. Melaporkan adanya halusinasi

D. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai sendiri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada dibawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal diluar kesadarannya.

III. POHON MASALAH

Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan persepsi sensori


halusinasipendengaran/pengli
hatan/
Defisit perawatan diri
penciuman/perabaan/pengeca
pan

Isolasi sosial penurunan motivasi


Harga Diri Rendah

Ketidakberdayaan

Koping individu tidak efektif

IV. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


RENCANA TINDAKAN
Diagnosa 1 : halusinasi
Subyektif :
1. Klien mengatakan mendengar sesuatu
2. Klien mengatakan melihat bayangan putih
3. Klien mengatak dirinya seperti disengat listrik
4. Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti
feses.
5. Klien mengatakan kepalanya melayang di udara
6. Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang
berebda pada dirinya
Obyektif :
1. Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat
dikaji
2. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
3. Berhenti bicara di tengah- tengah kalimat unutk
menfengarkan sesuatu
4. Disorientasi
5. Kosentrasi rendah
6. Pikiran cepat berubah-ubah
7. Kekacauan alur pikiran

V. RENCANA TNDAKAN
Tujuan umum
Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain.
Tujuan khusus
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
a. Kriteria evaluasi:
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau
berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk
berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan :
a. Sapa klien dengan
ramah dan baik secara verbal dan non verbal.
b. Perkenalkan diri
dengan sopan.
c. Tanyakan nama
lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan
pertemuan.
e. Jujur dan menepati
janji.
f. Tunjukkan sikap
empati dan menerima klien apa adanya.
g. Beri perhatian pada
klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
h. TUK II : Klien
dapat mengenal halusinasi
Kriteria evaluasi
a. Klien dapat menyebutkan waktu, isi dan frekuensi
timbulnya halusinasi.
b. Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya.
Intervensi
a. Adakan sering dan singkat secara bertahap.
Rasional : Kontak sering dan singkat selain upaya membina hubungan saling
percaya juga dapat memutuskan halusinasinya.
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya. Bicara dan tertawa
tanpa stimulus, memandang ke kiri dan ke kanan seolah-olah ada teman bicara.
Rasional: Mengenal perilaku pada saat halusinasi timbul memudahkan perawat
dalam melakukan intervensi.
c. Bantu klien mengenal halusinasinya dengan cara :
1) Jika menemukan klien yang sedang halusinasi tanyakan apakah ada suara
yang di dengar.
2) Jika klien menjawab ada lanjutkan apa yang dikatakan.
3) Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan nada sahabat tanpa
menuduh/menghakimi).
4) Katakan pada klien bahwa ada juga klien lain yang sama seperti dia.
5) Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
Rasional : Mengenal halusinasi memungkinkan klien untuk menghindari faktor
timbulnya halusinasi.
Diskusikan dengan klien tentang :
a. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi.
b. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan malam atau
jika sendiri, jengkel, sedih)
Rasional : Dengan mengetahui waktu, isi dan frekuensi munculnya halusinasi
mempermudah tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat.
a. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah,
takut, sedih, tenang) beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
Rasional : Untuk mengidentifikasi pengaruh halusinasi pada klien.
TUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya.
Kriteria evaluasi :
a. Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya.
b. Klien dapat menyebutkan cara baru.
c. Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah
didiskusikan dengan klien.
d. Klien dapat melakukan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan
halusinasi.
e. Klien dapat mengetahui aktivitas kelompok.
Intervensi
a. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri sendiri dan lain-lain)
Rasional : Upaya untuk memutus siklus halusinasi sehingga halusinasi tidak
berlanjut.
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian.
Rasional : Reinforcement dapat mneingkatkan harga diri klien.
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi :
Katakan : “Saya tidak mau dengar kau” pada saat halusinasi muncul
Menemui orang lain atau perawat, teman atau anggota keluarga yang lain
untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar
Membuat jadwal sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul
Meminta keluarga/teman/perawat, jika tampak bicara sendiri
Rasional: Memberikan alternatif pilihan untuk mengontrol halusinasi

d. Bantu klien memilih cara dan melatih cara untuk memutus halusinasi
secara bertahap, misalnya dengan :
1) Mengambil air wudhu dan sholat atau membaca al-Qur’an.
2) Membersihkan rumah dan alat-alat rumah tangga.
3) Mengikuti keanggotaan sosial di masyarakat (pengajian, gotong royong).
4) Mengikuti kegiatan olah raga di kampung (jika masih muda).
5) Mencari teman untuk ngobrol
Rasional :
Memotivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih
salah satu cara untuk mengendalikan halusinasi dan dapat meningkatkan harga
diri klien.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih.
Evaluasi : hasilnya dan beri pujian jika berhasil.
Rasional :
Memberi kesempatan kepada klien untuk mencoba cara yang telah dipilih.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita
dan stimulasi persepsi.
Rasional :
Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interprestasi realitas akibat
halusinasi.

TUK IV : Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya.


Kriteria evaluasi
a. Keluarga dapat saling percaya dengan perawat
b. Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk
mengendalikan halusinasi.
Intervensi
a. Membina hubungan saling percaya dengan menyebutkan nama, tujuan
pertemuan dengan sopan dan ramah.
Rasional :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk memperlancar hubungan
interaksi selanjutnya.
b. Anjurkan klien menceritakan halusinasinya kepada keluarga. Untuk mendapatkan
bantuan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
c. Diskusikan halusinasinya pada saat berkunjung tenang :
1) Pengertian halusinasi
2) Gejala halusinasi yang dialami klien.
3) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi.
4) Cara merawat anggota keluarga yang berhalusinasi di rumah, misalnya : beri
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama.
5) Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan :
halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
Rasional :
Untuk mengetahui pengetahuan keluarga tentang halusinasi dan menambah
pengetahuan keluarga cara merawat anggota keluarga yang mempunyai masalah
halusinasi.

TUK V : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.


Kriteria evaluasi
a. Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping
obat.
b. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar.
c. Klien mendapat informasi tentang efek dan efek samping obat.
d. Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tanpa konsutasi.
e. Klien dapat menyebutkan prinsip 5 benar penggunaan obat.
Intervensi
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis dan frekuensi serta
manfaat minum obat.
Rasional :
Dengan menyebutkan dosis, frekuensi dan manfaat obat diharapkan klien
melaksanakan program pengobatan.
b. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya.
Rasional : Menilai kemampuan klien dalam pengobatannya sendiri.
c. Anjurkan klien untuk bicara dengan dokter tentang mafaat dan efek samping obat
yang dirasakan.
Rasional :
Dengan mengetahui efek samping klien akan tahu apa yang harus dilakukan
setelah minum obat.
d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter.
Rasional : Program pengobatan dapat berjalan dengan lancar.
e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar dosis, benar obat,
benar waktunya, benar caranya, benar pasiennya).
Rasional : Dengan mengetahui prinsip penggunaan obat, maka kemandirian klien
untuk pengobatan dapat ditingkatkan secara bertahap.

Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :


1. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.
2. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
3. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.
Tindakan Keperawatan
7. Membantu Pasien Mengenali Halusinasi
Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat melakukannya cara
berdiskusi dengan pasien tentang ini halusinasi (apa yang didengar atau dilihat),
waktu terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi muncul.
Melatih Pasien Mengontrol Halusinasi.Untuk membantu pasien agar mampu
mengontrol halusinasi perawat dapat melatih pasien empat cara yang sudah
terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi :
a. Melatih Pasien Menghardik Halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi
dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk
mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memerdulikan
halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan
diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap
ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa
yang ada dalam halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi :
1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi
2) Memperagakan cara menghardik
3) Meminta pasien memperagakan ulang
4) Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.
5) Melatih Bercakap-cakap dengan Orang Lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan
orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi
distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan
yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang
efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan
orang lain.
6. Melatih Pasien Beraktivitas Secara Terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan
menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara
terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang
seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami
halusinasi bisa membantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara
beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu. Tahapan intervensi sebagai berikut :
a. Menjelaskan
pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi
b. Mendiskusikan
aktivitas yang bisa dilakukan oleh pasien.
c. Melatih pasien
melakukan aktivitas
d. Menyusun jadwal
aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan
pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh
hari dalam seminggu.
e. Memantau
pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan terhadap perilaku
pasien yang positif. Melatih Pasien Menggunakan Obat Secara Teratur.
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit seringkali mengalami putus
obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan.Bila
kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan
lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai
program dan berkelanjutan. Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien
patuh menggunakan obat
c. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
d. Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
e. Jelaskan akibat bila putus obat
f. Jelaskan cara mendapatkanm obat/ berobat
g. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5B (benar obat,
benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis).
II. MASALAH UTAMA
Isolasi Sosial
III. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Berikut beberapa pengertian isolasi sosial yang dikutip dari Pasaribu (2008).
Menurut Townsend, isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam
bagi dirinya. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang
individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau berlebih atau
kualitas interaksi sosial tidak efektif. Menurut Depkes RI penarikan diri atau
withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun
minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat
sementara atau menetap.
Menurut Carpenito, Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau
kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk
meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat
kontak.
Menurut Rawlins & Heacock, isolasi sosial atau menarik diri merupakan usaha
menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa
kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir,
berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.
Menurut Dalami, dkk. (2009), isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan
yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya
dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
B. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart &
Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab
gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi antara lain yaitu:
Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
a. Masa Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara
ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya
dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
b. Masa Kanak-Kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan
dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi
atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang
yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam
keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap
tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus
diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah
dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan
berkompromi dengan orang lain.
c. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan
teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk
mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak
dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.
d. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan
ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain
dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang
lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal
pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).
e. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan
diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan
hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak.
f. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau
peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain
akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan
masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi
kembar dizigot persentasenya 8%.Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan
struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
a. Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stresor Biokimia Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan
dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang
menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah
ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.
c. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu
untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat
menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego
pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal
ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.Menurut
Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku
adalahsebagai berikut:
Tingkah laku curiga: proyeksi
1) Dependency: reaksi formasi
2) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
3) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
4) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
5) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan
regrasi.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

Ketidakmampuan Bersosialisasi
Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi
(social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan
sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan
mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani
hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua
aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya (Purba,
2009)
Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba, 2009) menjelaskan bahwa kemunduran
sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk
bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu
yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan
norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau
disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu
hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat
diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan
lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh
WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).Pengertian yang
lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa, yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak
lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul.
Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien
yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadangkadang tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari
gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan
tertentu (Purba, 2009).
Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan
berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian
istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan definisi-
definisi yang ditetapkan oleh WHO tahun 1989 dengan maksud untuk memudahkan
kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:
a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur
atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat
sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang
biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ,
jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan
eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan
yang terjadi pada tingkat organ.
b. Disabilities (disability)

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya


cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal
bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau
memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak
langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan
sensorik.
c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas
yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu
(sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya
ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau
kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat atau disabilitas dan
mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan
lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

D. Akibat
Akibat isolasi sosial: menarik diri dapat beresiko terjadinya perubahan persepsi
sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi sensori
yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak
sesuai dengan realita atau kenyataan seperti melihat bayangan atau
mendengarkan suara- suara yang sebenarnya tidak ada.
IV. POHON MASALAH

Halusinasi

Isolasi sosial

Koping individu tidak efektif harga diri rendah kronis

Koping keluarga tidak efektif


V. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Data Subyektif:
Mengungkapkan untuk memulai hubungan/ pembicaraan
Mengungkapkan perasaan malu untuk perhungan dengan orang lain
Mengungkapkan kekhwatiran terhadap penolakan oleh orang lain
Data Obyektif:
Ekspresi wajah kosong
Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
Bicara dengan suara pelan dan tidak aa kontak mata saat berbicara

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN

VII. RENCANA TINDAKAN

Timdakan keperawatan klien:


Tujuan:
1. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
3. Klien dapat berlatih yang telah dipilih, sesuai kemampuan
4. Klien dapat menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
5. Klien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
Tindakan keperwatan:
1. Mengiudentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
a. Diskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan dan
aspek positif
b. Beri pujian yang realistik/ nyata dam hindarikan setiap kali bertemu
klien dengan penilaian negatif
2. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan
a. Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan
saati ini setelah mengalami bencana
b. Bantu klien menyebutkan dan memberi kekuatan terhadap kemampuan
dirinya
c. Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif
3. Membantu klien dapat memilih/ menetapkan kegiatan sesuai dengan
kemampuan
a. Mendiskusikan dengan klien beberapa aktifitas yang dapat dilakukan
dan dipilh sebagai kegiatan yang akan klienlakukan sehari- hari
b. Bantu klien menetapkan aktivitas mana yang dapat klien lakukan
secara mandiri, mana kativitas yang memerlukan bantuan minimal dari
perawat dan aktivitas mana yang menggunakan bantuan enuh.
4. Melatih kegiatan klien yang sudah diplij sesuai kemampuan
a. Mendiskusikan dengan klien untuk menerapkan urutan kegiatan ( yang
sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan.
b. Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatanyang
akan dilakukan klien.
c. Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien
5. Membantu klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuannya
dan menyusun rencana kegiatan.
a. Memberikan kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang
telah dilatihkan.
b. Beri pujian atas / kegiatan yang dapat dilakukan setiap hari
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan ingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitasnya
d. Susun daftar kegiatan yang sudah dilatih bersama klien dan keluarga
e. Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya setelah pelaksanan
kegiatan
f. Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
klien
Tindakan keperawatan pada keluarga
Tujuan:
1. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
2. Keluaga memfasilitasi aktivitas klien yang sesuai kemampuan
3. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latohan
yang dilakukan, dan memberikan pujian atas kebrhasilan klien
4. Keluarga mampu menilai perkembangan peruban kemmapuan klien

Tindakan keperawatan
1. Jelaskan kepada keluarga tentang harga diri rendah yang ada pada kluien
2. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien dan memuji
klien atas kemapuannya
3. Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien dalam melakukan kegoiatan yang
sudah dilatih klien dan perawat
4. Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku klien.
I. MASALAH UTAMA
Perilaku Kekerasan

II. PROSES TERJADI MASALAH

A. Definisi
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada
kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun,
orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum
alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, dkk, 2008). Perilaku kekerasan adalah tingkah
laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut
Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. Perasaan marah
normal bagi tiap individu. Namun, pada pasien perilaku kekerasan
mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan
maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai
ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-
ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka
yang sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya
atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan Universitas Sumatera
Utaraingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi
perilaku agresif (Purba dkk, 2008). Keberhasilan individu dalam berespon
terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif yang merupakan
kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan
kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang
menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau
respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan
respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk, 2008). Frustasi
adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif merupakan respons
lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah
perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa muka
masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan. Amuk atau kekerasan
adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Apabila marah
tidak terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan) maka individu dapat
menggunakan perilaku kekerasan (Purba dkk, 2008).
B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend
(1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap


perilaku:
b. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan
berinteraksi dengan pusat agresif.
a. Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan


serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
b. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif


dengan genetik karyotype XYY.
c. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
1. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan


kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang
tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
2. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
C. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

D. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.


f. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.


h. Perhatian

Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

E. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakkan tindakan- tindakan berbahaya
bagi dirinya, orang lain maupun lingkungan, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabotan, membakar rumah. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan beresiko untuk mencederai diri sendiri dan orang lain maupun
lingkungan.
3. Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan
Definisi
Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang
diterapkan pada pasien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi
masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Purba dkk, 2008).
3.2 Tujuan
1. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
3. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
4. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
5. Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
6. Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan
dengan terapi psikofarmaka.
3.3 Tindakan
1. Bina hubungan saling percaya
a. Mengucapkan salam terapeutik
berjabat tangan
c. Menjelaskan tujuan interaksi
d. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien
2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.
3. Diskusikan perasaan paien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah secara:
a. Sosial/verbal
b. Terhadap orang lain
c. Terhadap diri sendiri
d. Terhadap lingkungan
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6. Diskusikkan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik napaas dalam
b. Obat
c. Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
7. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
a. Latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal
b. Susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur bantal
8. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
b. Latihan mengungkapan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik, meminta
dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
c. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
9. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal
b. Latihan sholat dan berdoa
c. Buat jadwal latihan sholat/berdoa
10. Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama
pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar dosis obat) disertai penjelasan
guna obat dan akibat berhenti minum obat.
b. Susun jadwal minum obat secara teratur
11. Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk mengendalikan perilaku
kekerasan (Keliat & Akemat, 2009).
3.4 Pembagian Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan
SP 1 pasien: membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat, dan cara
mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik I (latihan napas dalam).
SP 2 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
fisik II (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik II [pukul kasur dan bantal], menyusun jadwal kegiatan harian cara
kedua).
SP 3 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal (evaluasi jadwal kegiatan harian tentang kedua cara fisik mengendalikan
perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal [menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik], susun
jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal).
SP 4 pasien: Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
(diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik dan sosial/
verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan ibadah/ berdoa).
SP 5 pasien: Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan
obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar [benar nama
pasien/ pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat,
dan benar dosis obat] disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat,
susun jadwal minum obat secara teratur).
Tabel 1. Strategi Pertemuan Pada Pasien Perilaku Kekerasan
No. Kemampuan/Kompetensi
A Kemampuan Merawat Pasien
1.(SP1)
1. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan pasien
4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
6. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik I
7. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
No. Kemampuan/Kompetensi
A Kemampuan Merawat Pasien
2.(SP2)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3(SP3)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4(SP4)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
5(SP5)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
3. Evaluasi
1. Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasaan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukan.
2. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal:
a. Secara fisik
b. Secara sosial/verbal
c. Secara spiritual
d. Dengan terapi psikofarmaka (penggunaan obat).

REFERENSI

Keliat,Budi A. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.


Purwaningsih, Wahyu. Karlina, Ina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta:
Nuha Medika Press.

Anda mungkin juga menyukai