I. Masalah Utama
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri , merasa
gagal karena karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (keliat.
1998). Menurut Schult & videbeck (1998) gangguan harga diri rendah adalah
penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung.
C. Faktor Predisposisi
1. Faktor biologis
Biasanya karena ada kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja
hormon secara umum, yang berdampak pula pada keseimbangan
neurotransmitter di otak contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran negatif dan tidak berdaya.
2. Faktor psikologis
Harga diri rendah kronis sangat berhubungan dengan pola asuh dan
kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal- hal yang dapat
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis meliputi
orang tua yang penolakan orang, harapan orang tua yang tidak realistis,
orang tua yang tidak percaya pada anaknya, tekanan teman sebaya, peran
yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan
3. Faktor sosial
Sosial status ekonomi sangat mempengaruhi proses terjadinya haga diri
rendah kronis, antara lain kemiskinan, tempat tinggal di daerah kumuh
dan rawan, kultur sosial yang berubah, misalnya ukuran keberhasilan
individu.’
4. Faktor kultural
Tuntutan peran sosial kebudayaan sering meningkatkan kejadian harga
diri rendah kronis antara lain: menikah harus sudah menikah jika umur
mencapai dua puluhan, perubahan kultur ke arah gaya hidup
individualisme.
D. Faktor Presipitasi
1. Trauma
Seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian
yang mengancam kehidupan.
2. Ketegangan peran
Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau
posisi yang diharapkan
3. Transisi peran perkembangan
Perubahan dengan nilai yang tidak sesuai dengan diri
4. Transisi peran situasi
Bertambah/ berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu
5. Trasmisi peran sehat- sakit
Kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, fungsi penampilan, prosedur
pengobatan dan perawatan.
E. Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku
yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DEPKES RI, 1998 : 336).
Tanda dan gejala :
Data Subyektif :
a. Mengungkapkan untuk memulai hubungan/ pembicaraan
b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain
c. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain
Data Obyektif :
a. Kurang spontan ketika diajak bicara
b. Apatis
c. Ekspresi wajah kosong
d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat berbicara
1. Pohon Masalah
5. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri
b. Harga diri rendah
c. Gangguan citra tubuh
A. Kondisi klien
Mengkritik diri sendiri.
Perasaan tidak mampu.
Pandangan hidup yang pesimis
Penurunan produktifitas
Penolakan terhadap kemampuan diri
terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
Berpakaian tidak rapih.
Selera makan kurang
tidak berani menatap lawan bicara.
Lebih banyak menunduk.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguang konsep diri : harga diri rendah
C. Tujuan
Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah
dilatih
D. Tindakan Keperawatan
Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien
Untuk membantu pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek
positif yang masih dimilikinya , perawat dapat :
Mendiskusikan bahwa sejumlah kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki pasien seperti kegiatan pasien di rumah sakit, di
rumah, dalam keluarga dan lingkungan adanya keluarga dan
lingkungan terdekat pasien.
Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu
dengan pasien penilaian yang negatif.
Membantu pasien menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Untuk tindakan tersebut, saudara dapat :
Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini.
Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang
aktif
Membantu pasien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
Mendiskusikan dengan pasien beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan
sehari-hari.
Bantu pasien menetapkan kegiatan mana yang dapat pasien
lakukan secara mandiri, mana kegiatan yang memerlukan bantuan
minimal dari keluarga dan kegiatan apa saja yang perlu batuan
penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan
contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan pasien.
Susun bersama pasien dan buat daftar kegiatan sehari-hari pasien.
Melatih kemampuan yang dipilih pasien
Untuk tindakan keperawatan tersebut saudara dapat melakukan:
Mendiskusikan dengan pasien untuk melatih kemampuan yang
dipilih
Bersama pasien memperagakan kegiatan yang ditetapkan
Berikan dukungan dan pujian pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan pasien.
Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
Untuk mencapai tujuan tindakan keperawatan tersebut, saudara dapat
melakukan hal-hal berikut :
Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang
telah dilatihkan
Beri pujian atas kegiatan/kegiatan yang dapat dilakukan pasien
setiap hari
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap kegiatan
Susun jadwal untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiatan
A. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001). Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa
stimulus eksternal; persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana pasien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa
adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata oleh pasien.
B. Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
Faktor Predisposisi
a. Biologis
Faktor Prespitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa
dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stres Lingkungan
D. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai sendiri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada dibawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal diluar kesadarannya.
Ketidakberdayaan
V. RENCANA TNDAKAN
Tujuan umum
Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain.
Tujuan khusus
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
a. Kriteria evaluasi:
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau
berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk
berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan :
a. Sapa klien dengan
ramah dan baik secara verbal dan non verbal.
b. Perkenalkan diri
dengan sopan.
c. Tanyakan nama
lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan
pertemuan.
e. Jujur dan menepati
janji.
f. Tunjukkan sikap
empati dan menerima klien apa adanya.
g. Beri perhatian pada
klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
h. TUK II : Klien
dapat mengenal halusinasi
Kriteria evaluasi
a. Klien dapat menyebutkan waktu, isi dan frekuensi
timbulnya halusinasi.
b. Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya.
Intervensi
a. Adakan sering dan singkat secara bertahap.
Rasional : Kontak sering dan singkat selain upaya membina hubungan saling
percaya juga dapat memutuskan halusinasinya.
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya. Bicara dan tertawa
tanpa stimulus, memandang ke kiri dan ke kanan seolah-olah ada teman bicara.
Rasional: Mengenal perilaku pada saat halusinasi timbul memudahkan perawat
dalam melakukan intervensi.
c. Bantu klien mengenal halusinasinya dengan cara :
1) Jika menemukan klien yang sedang halusinasi tanyakan apakah ada suara
yang di dengar.
2) Jika klien menjawab ada lanjutkan apa yang dikatakan.
3) Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan nada sahabat tanpa
menuduh/menghakimi).
4) Katakan pada klien bahwa ada juga klien lain yang sama seperti dia.
5) Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
Rasional : Mengenal halusinasi memungkinkan klien untuk menghindari faktor
timbulnya halusinasi.
Diskusikan dengan klien tentang :
a. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi.
b. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan malam atau
jika sendiri, jengkel, sedih)
Rasional : Dengan mengetahui waktu, isi dan frekuensi munculnya halusinasi
mempermudah tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat.
a. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah,
takut, sedih, tenang) beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
Rasional : Untuk mengidentifikasi pengaruh halusinasi pada klien.
TUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya.
Kriteria evaluasi :
a. Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya.
b. Klien dapat menyebutkan cara baru.
c. Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah
didiskusikan dengan klien.
d. Klien dapat melakukan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan
halusinasi.
e. Klien dapat mengetahui aktivitas kelompok.
Intervensi
a. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri sendiri dan lain-lain)
Rasional : Upaya untuk memutus siklus halusinasi sehingga halusinasi tidak
berlanjut.
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian.
Rasional : Reinforcement dapat mneingkatkan harga diri klien.
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi :
Katakan : “Saya tidak mau dengar kau” pada saat halusinasi muncul
Menemui orang lain atau perawat, teman atau anggota keluarga yang lain
untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar
Membuat jadwal sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul
Meminta keluarga/teman/perawat, jika tampak bicara sendiri
Rasional: Memberikan alternatif pilihan untuk mengontrol halusinasi
d. Bantu klien memilih cara dan melatih cara untuk memutus halusinasi
secara bertahap, misalnya dengan :
1) Mengambil air wudhu dan sholat atau membaca al-Qur’an.
2) Membersihkan rumah dan alat-alat rumah tangga.
3) Mengikuti keanggotaan sosial di masyarakat (pengajian, gotong royong).
4) Mengikuti kegiatan olah raga di kampung (jika masih muda).
5) Mencari teman untuk ngobrol
Rasional :
Memotivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih
salah satu cara untuk mengendalikan halusinasi dan dapat meningkatkan harga
diri klien.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih.
Evaluasi : hasilnya dan beri pujian jika berhasil.
Rasional :
Memberi kesempatan kepada klien untuk mencoba cara yang telah dipilih.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita
dan stimulasi persepsi.
Rasional :
Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interprestasi realitas akibat
halusinasi.
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Berikut beberapa pengertian isolasi sosial yang dikutip dari Pasaribu (2008).
Menurut Townsend, isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam
bagi dirinya. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang
individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau berlebih atau
kualitas interaksi sosial tidak efektif. Menurut Depkes RI penarikan diri atau
withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun
minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat
sementara atau menetap.
Menurut Carpenito, Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau
kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk
meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat
kontak.
Menurut Rawlins & Heacock, isolasi sosial atau menarik diri merupakan usaha
menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa
kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir,
berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.
Menurut Dalami, dkk. (2009), isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan
yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya
dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
B. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart &
Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab
gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi antara lain yaitu:
Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
a. Masa Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara
ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya
dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
b. Masa Kanak-Kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan
dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi
atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang
yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam
keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap
tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus
diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah
dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan
berkompromi dengan orang lain.
c. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan
teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk
mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak
dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.
d. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan
ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain
dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang
lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal
pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).
e. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan
diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan
hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak.
f. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau
peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain
akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan
masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi
kembar dizigot persentasenya 8%.Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan
struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
a. Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stresor Biokimia Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan
dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang
menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah
ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.
c. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu
untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat
menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego
pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal
ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.Menurut
Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku
adalahsebagai berikut:
Tingkah laku curiga: proyeksi
1) Dependency: reaksi formasi
2) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
3) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
4) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
5) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan
regrasi.
Ketidakmampuan Bersosialisasi
Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi
(social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan
sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan
mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani
hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua
aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya (Purba,
2009)
Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba, 2009) menjelaskan bahwa kemunduran
sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk
bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu
yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan
norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau
disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu
hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat
diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan
lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh
WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).Pengertian yang
lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa, yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak
lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul.
Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien
yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadangkadang tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari
gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan
tertentu (Purba, 2009).
Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan
berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian
istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan definisi-
definisi yang ditetapkan oleh WHO tahun 1989 dengan maksud untuk memudahkan
kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:
a. Impairment
Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur
atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat
sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang
biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ,
jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan
eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan
yang terjadi pada tingkat organ.
b. Disabilities (disability)
Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas
yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu
(sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya
ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau
kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat atau disabilitas dan
mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan
lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.
D. Akibat
Akibat isolasi sosial: menarik diri dapat beresiko terjadinya perubahan persepsi
sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi sensori
yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak
sesuai dengan realita atau kenyataan seperti melihat bayangan atau
mendengarkan suara- suara yang sebenarnya tidak ada.
IV. POHON MASALAH
Halusinasi
Isolasi sosial
Data Subyektif:
Mengungkapkan untuk memulai hubungan/ pembicaraan
Mengungkapkan perasaan malu untuk perhungan dengan orang lain
Mengungkapkan kekhwatiran terhadap penolakan oleh orang lain
Data Obyektif:
Ekspresi wajah kosong
Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
Bicara dengan suara pelan dan tidak aa kontak mata saat berbicara
Tindakan keperawatan
1. Jelaskan kepada keluarga tentang harga diri rendah yang ada pada kluien
2. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien dan memuji
klien atas kemapuannya
3. Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien dalam melakukan kegoiatan yang
sudah dilatih klien dan perawat
4. Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku klien.
I. MASALAH UTAMA
Perilaku Kekerasan
A. Definisi
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada
kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun,
orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum
alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, dkk, 2008). Perilaku kekerasan adalah tingkah
laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut
Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. Perasaan marah
normal bagi tiap individu. Namun, pada pasien perilaku kekerasan
mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan
maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai
ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-
ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka
yang sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya
atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan Universitas Sumatera
Utaraingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi
perilaku agresif (Purba dkk, 2008). Keberhasilan individu dalam berespon
terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif yang merupakan
kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan
kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang
menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau
respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan
respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk, 2008). Frustasi
adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif merupakan respons
lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah
perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa muka
masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan. Amuk atau kekerasan
adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Apabila marah
tidak terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan) maka individu dapat
menggunakan perilaku kekerasan (Purba dkk, 2008).
B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend
(1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan
berinteraksi dengan pusat agresif.
a. Biokimia
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
1. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang
tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
2. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
C. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
E. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakkan tindakan- tindakan berbahaya
bagi dirinya, orang lain maupun lingkungan, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabotan, membakar rumah. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan beresiko untuk mencederai diri sendiri dan orang lain maupun
lingkungan.
3. Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan
Definisi
Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang
diterapkan pada pasien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi
masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Purba dkk, 2008).
3.2 Tujuan
1. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
3. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
4. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
5. Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
6. Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan
dengan terapi psikofarmaka.
3.3 Tindakan
1. Bina hubungan saling percaya
a. Mengucapkan salam terapeutik
berjabat tangan
c. Menjelaskan tujuan interaksi
d. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien
2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.
3. Diskusikan perasaan paien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah secara:
a. Sosial/verbal
b. Terhadap orang lain
c. Terhadap diri sendiri
d. Terhadap lingkungan
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6. Diskusikkan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik napaas dalam
b. Obat
c. Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
7. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
a. Latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal
b. Susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur bantal
8. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
b. Latihan mengungkapan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik, meminta
dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
c. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
9. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal
b. Latihan sholat dan berdoa
c. Buat jadwal latihan sholat/berdoa
10. Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama
pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar dosis obat) disertai penjelasan
guna obat dan akibat berhenti minum obat.
b. Susun jadwal minum obat secara teratur
11. Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk mengendalikan perilaku
kekerasan (Keliat & Akemat, 2009).
3.4 Pembagian Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan
SP 1 pasien: membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat, dan cara
mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik I (latihan napas dalam).
SP 2 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
fisik II (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik II [pukul kasur dan bantal], menyusun jadwal kegiatan harian cara
kedua).
SP 3 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal (evaluasi jadwal kegiatan harian tentang kedua cara fisik mengendalikan
perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal [menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik], susun
jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal).
SP 4 pasien: Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
(diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik dan sosial/
verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan ibadah/ berdoa).
SP 5 pasien: Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan
obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar [benar nama
pasien/ pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat,
dan benar dosis obat] disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat,
susun jadwal minum obat secara teratur).
Tabel 1. Strategi Pertemuan Pada Pasien Perilaku Kekerasan
No. Kemampuan/Kompetensi
A Kemampuan Merawat Pasien
1.(SP1)
1. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan pasien
4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
6. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik I
7. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
No. Kemampuan/Kompetensi
A Kemampuan Merawat Pasien
2.(SP2)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3(SP3)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4(SP4)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
5(SP5)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
3. Evaluasi
1. Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasaan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukan.
2. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal:
a. Secara fisik
b. Secara sosial/verbal
c. Secara spiritual
d. Dengan terapi psikofarmaka (penggunaan obat).
REFERENSI