Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN TEORITIS FRAKTUR

A. Pengertian
Frakturadalahterputusnyakontinuitasjaringantulangdan/atautulangrawan umumnyadisebabkanolehrudapaksa.(Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, hal. 346) Fraktur adalah putusnya kesinambungan tulang/patah tulang. (Ilmu Bedah untuk Perawat, hal. 219) yang

B. Anatomi dan Fisiologi


Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa, perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti. Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung selsel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah. Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa. Perbedaan di atas menjelaskan perbedaan biomekanik tulang anak-anak dibandingkan orang dewasa, yaitu : Biomekanik tulang Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor ini menyebabkan tulang anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap deformasi tulang dibandingkan orang

dewasa. Tulang orang dewasa sangat kompak dan mudah mengalami tegangan dan tekanan sehingga tidak dapat menahan kompresi. Biomekanik lempeng pertumbuhan Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat pada metafisis yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh procesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis mempunyai konsistensi seperti karet yang besar. Biomekanik periosteum Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami robekan dibandingkan orang dewasa. Pada anak-anak, pertumbuhan merupakan dasar terjadinya remodelling yang lebih besar dibandingkan pada orang dewasa, sehingga tulang pada anak-anak mempunyai perbedaan fisiologi, yaitu : a. Pertumbuhan berlebihan (over growth) Pertumbuhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada pertumbuhan panjang, karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi pada waktu penyambungan. b. Deformitas yang progresif Kerusakan permanen pada lempeng epifisis akan terjadi pemendekan atau angulasi. c. Fraktur total Pada anak-anak fraktur total jarang bersifat komunitif karena tulangnya sangat fleksibel dibandingkan orang dewasa.

C. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan karena oleh : 1. Trauma Trauma dapat dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, sedangkan trauma tidak langsung bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian. 2. Non Trauma Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma ini bisa karena kelainan metabolik atau infeksi. 3. Stress Fraktur stress terjadi karena trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.

D. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur pada anak dapat dikelompokkan berdasarkan radiologis, anatomis, klinis dan fraktur yang khusus pada anak. 1. Klasifikasi Radiologi a) Fraktur Buckle atau torus

(fraktur buckle atau torus) b) Tulang melengkung c) Fraktur green-stick d) Fraktur total 2. Klasifikasi Anatomis a) Fraktur epifisis b) Fraktur lempeng epifisis c) Fraktur metafisis d) Fraktur diafisis 3. Klasifikasi Klinis a) Traumatik b) Patologik c) Stress 4. Fraktur khusus pada anak a) Fraktur akibat trauma kelahiran Fraktur yang terjadi pada saat proses kelahiran sering terjadi pada saat melahirkan bahu bayi, (pada persalinan sungsang). Fraktur yang terjadi biasanya disebabkan karena tarikan yang terlalu kuat yang tidak disadari oleh penolong. b) Fraktur Salter-Haris Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia dibagi menjadi lima tipe : Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh. Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari metafisis. Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

Tipe 4 Tipe 5

: Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.

Beberapa jenis fraktur khusus pada anak Ada 2 jenis fraktur khusus pada anak yaitu di daerah epifisis dan di lempeng epifisis. Fraktur epifisis jarang terjadi tanpa disertai dengan fraktur lempeng epifisis, yang dibagi dalam : 1. Fraktur avulsi akibat tarikan ligamen 2. Fraktur kompresi yang bersifat komunitif 3. Fraktur osteokondral Fraktur pada lempeng epifisis merupakan 1/3 dari seluruh fraktur pada anak-anak. Lempeng epifisis berupa diskus tulang rawan yang terletak diantara epifisis dan metafisis. Banyak klasifikasi fraktur lempeng epifisis, yaitu menurut Poland, Salter-Harris, Aitken, Weber, Rang dan Ogend. Tapi yang paling sering digunakan adalah menurut Salter-Harris karena paling mudah, praktis dan memenuhi syarat untuk terapi dan prognosis. Klasifikasi menurut Salter-Harris dibagi dalam lima tipe, yaitu (6,7) : Tipe I Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh. Tipe II Garis fraktur melalui sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis dan akan membentuk suatu fragmen metafisis yang berbentuk segitiga disebut tanda ThurstonHolland. Tipe III Garis fraktur mulai permukaan sendi melewati lempeng epifisis kemudian sepanjang garis lempeng epifisis. Tipe IV Merupakan fraktur intra-intraartikuler yang melalui permukaan sendi memotong epifisis serta seluruh lapisan lempeng epifisis dan berlanjut pada sebagian metafisis.

Tipe V Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.

E. GambaranKlinis Tidak semua gejala ini terdapat secara bersamaan. 1. Nyeri tekan dan pembengkakan di sekitar bagian fraktur, jika frakturnya ujung patahan tulang dapat terlihat di dalam luka. 2. Deformitas dapat berupa : a. Angulasi, tidak hanya disebabkan oleh kekerasan yang menyebabkannya, tetapi juga oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang. b. Pemendekan. Tonus otot-otot ekstremitas menarik patahan tulang sehingga ujung patahan saling bertumpuk, misalnya otot-otot paha yang menarik patahan tulang pada fraktur os femur. 3. Motilitas abnormal. Tempat patah menjadi sendi palsu. Bagian ini harus sedikit mungkin digerakkan karena dikhawatirkan kalau terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan lunak, misalnya pembuluh darah dan saraf. 4. Gangguan fungsi ekstremitas tidak digunakan. 5. Krepitasi : rasa gemeretak ketika ujung tulang bergeser.

F. Patofisiologi

G. Komplikasi
Perbedaan panjang ekstermitas Keganjilan pada sendi Keterbatasan gerak Cedera saraf yang menyebabkan mati rasa Gangren Perburukan sirkulasi

H. UjiLaboratoriumdanDiagnostik
1. Pemeriksaan sinar X pada tempat cedera 2. Pemindahan tulang dilakukan jika hasil rontgenogram negatif 3. Hitung darah lengkap 4. Laju endap darah

I. PenatalaksanaanFraktur
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan fraktur, yaitu : mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin. I. Terapi Konservatif a. Proteksi saja Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan baik. b. Immobilisasi saja tanpa reposisi Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik. c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips Misalnya fraktur supracondylair, fraktur colles, fraktur smith. Reposisi dapat dengan anestesi umum atau anestesi lokal dengan menyuntikkan obat anestesi dalam hematoma fraktur. Fragmen distal dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips. Misalnya fraktur distal radius, immobilisasi dalam pronasi penuh dan fleksi pergelangan. d. Traksi Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi Hamilton Russel/traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg, untuk anak-anak waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.

II. Terapi Operatif a. Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis (image intensifier, C-arm) :

1. Reposisi tertutup-Fiksasi eksterna Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat fiksasi eksterna. 2. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna Misalnya : reposisi fraktur tertutup supra condylair pada anak diikuti dengan pemasangan paralel pins. Reposisi tertutup fraktur collumum pada anak diikuti pinning dan immobilisasi gips. Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi close nailing pada fraktur femur dan tibia, yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya. b. Terapi operatif dengan membuka frakturnya : 1. Reposisi terbuka dan fiksasi interna ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Keuntungan cara ini adalah : - Reposisi anatomis. - Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar. Indikasi ORIF : a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya : - Fraktur talus. - Fraktur collum femur. b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya : - Fraktur avulsi. - Fraktur dislokasi. c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya : - Fraktur Monteggia.

(Variasi fraktur Monteggia)

- Fraktur Galeazzi.

(Rontgen fraktur Galeazzi) - Fraktur antebrachii. - Fraktur pergelangan kaki. d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur. 2. Excisional Arthroplasty Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya : - Fraktur caput radii pada orang dewasa. - Fraktur collum femur yang dilakukan operasi Girdlestone. 3. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis

Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau yang lainnya. Sesuai tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal sudah harus diperhatikan latihan-latihan untuk mencegah disuse atropi otot dan kekakuan sendi, disertai mobilisasi dini. Pada anak jarang dilakukan operasi karena proses penyembuhannya yang cepat dan nyaris tanpa komplikasi yang berarti. III. Pengobatan Fraktur Terbuka Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera. Tindakan sudah harus dimulai dari fase pra-rumah sakit : Pembidaian Menghentikan perdarahan dengan perban tekan Menghentikan perdarahan besar dengan klem

Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh oleh karena 40% dari fraktur terbuka merupakan polytrauma. Tindakan life-saving harus selalu didahulukan dalam kerangka kerja terpadu (team work)

J. Penyembuhan Fraktur pada Anak Proses penyembuhan fraktur adalah suatu proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap fraktur. Setiap tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Proses penyembuhan mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan bila lingkungannya memadai maka bisa sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis seperti imobilisasi sangat penting untuk penyembuhan, selain itu faktor biologis juga sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Proses penyembuhan fraktur berbeda-beda pada tulang kortikal (pada tulang panjang), tulang kanselosa (pada metafisis tulang panjang dan tulang-tulang pendek) dan pada tulang rawan persendian.

1) Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal


Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu : 1. Fase hematoma Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh

periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma. 2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radiolusen. 3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis) Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur. 4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik) Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap. 5. Fase remodeling Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada

tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

2) Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa)


Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa terjadi secara cepat karena beberapa faktor, yaitu : 1. Vaskularisasi yang cukup. 2. Terdapat permukaan yang lebih luas. 3. Kontak yang baik memberikan kemudahan vaskularisasi yang cepat. 4. Hematoma memegang peranan dalam penyembuhan fraktur. Tulang kanselosa yang berlokalisasi pada metafisis pada tulang panjang, tulang pendek serta tulang pipih diliputi oleh korteks yang tipis. Penyembuhan fraktur pada daerah tulang kanselosa melalui proses pembentukan kalus interna dan endosteal. Pada anak-anak proses penyembuhan pada daerah korteks juga memegang peranan penting. Proses osteogenik penyembuhan sel dari bagian endosteal yang menutupi trabekula, berproliferasi untuk membentuk woven bone primer didalam daerah fraktur yang disertai hematoma. Pembentukan kalus interna mengisi ruangan pada daerah fraktur. Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa terjadi pada daerah dimana terjadi kontak langsung diantara kedua permukaan fraktur yang berarti satu kalus endosteal. Apabila terjadi kontak dari kedua fraktur maka terjadi union secara klinis. Selanjutnya woven bone diganti oleh tulang lamelar dan tulang mengalami konsolidasi.

3) Penyembuhan fraktur pada tulang rawan persendian


Tulang rawan hialin permukaan sendi sangat terbatas kemampuannya untuk regenerasi. Pada fraktur intraartikuler penyembuhan tidak terjadi melalui tulang rawan hialin, tetapi terbentuk melalui fibrokartilago.

K. Waktu penyembuhan fraktur Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga berhubungan dengan proses remodelling tulang pada anak sangat aktif dan makin berkurang apabila umur bertambah. Selain itu fragmen tulang pada anak mempunyai vaskularisasi yang baik dan penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Waktu penyembuhan anak secara kasar adalah setengah kali waktu penyembuhan pada orang dewasa.

ASUHAN KEPERAWATANPADA ANAK DENGAN GANGGUAN MUSKULOSKELETAL (FRAKTUR)

1. Pengkajian a. Identitas klien Meliputi nama, alamat, nomor telepon, usia dan tanggal lahir, tempat lahir, suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, tanggal wawancara, pemberi informasi. b. Keluhan utama (KU) Tidak dapat melakukan pergerakan , nyeri, lemah dan tidak dapat melakukan sebagian aktivitas sehari-hari. c. Riwayat penyakit sekarang Menceritakan kapan klien mengalami fraktur, dimana dan bagaimana terjadinya sehingga mengalami fraktur, anggota mana yang mengalami fraktur. Klien yang fraktur akan mengeluh nyeri pada daerah tulang yang patah dan pada jaringan yang lunak yang mengalami luka sehingga dengan adanya nyeri klien tidak dapat menggerakan anggota badannya yang terkena fraktur. Nyeri dirasakan bisa pada saat bergerak saja atau terusmenerus. Akibat tidak bisa bergerak yang disebabkan karena nyeri akan menyebabkan klien tidak dapat memenuhi ADL-nya secara maksimal. d. Riwayat masa lalu Perlu dikaji untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami suatu penyakit yang berat atau penyakit tertentu yang memungkinkan akan berpengaruh pada kesehatan sekarang. e. Riwayat medis keluarga Perlu diketahui untuk menentukan apakah dalam keluarga ada penyakit keturunan atau penyakit-penyakit karena lingkungan yang kurang sehat yang berdampak negative pada seluruh anggota keluarga termasuk pada klien sehingga memungkinkan untuk memperberat penyakitnya. 2. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Pada kien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal : keadaan umumnya meliputi penampilan , postur tubuh, kesadaran, dan gaya bicara, karena klien yang diimobilisasikan

b. Aktivitas dan istirahat.

Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terlena.

c. Sirkulasi. Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi cedera. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah). Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambatm pucat pada bagian yang terkena. d. Neurosensori. Kehilangan gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan. Deformitas lokal; pemendekan, rotasi, krepitasi, terlihat kelemahan atau hilang fungsi.

e. Nyeri/kenyamanan. f. Nyeri berat tiba-tiba. Spasme setelah imobilisasi. Keamanan. Pedarahan, laserasi kulit. Pembengkakan lokal.

3. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul a. Nyeri berhubungan dengan cedera fisik b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal c. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya gips, pembengkakan jaringan, kemungkinan kerusakan saraf d. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips e. Takut berhubungan dengan penggunaan dan pengangkatan gips 4. Perencanaan keperawatan a. Nyeri berhubungan dengan cedera fisik Tujuan : ketidaknyamanan yang dirasakan pasien tidak ada atau minimal KH : Anak tidak menunjukan bukti-bukti ketidaknyamanan Ketidaknyamanan minor dapat ditoleransi INTERVENSI 1. Kaji skala tingkat nyeri RASIONAL Memberikan pengukuran subjetif dan kuantitatif tentang intensitas nyeri 2. Bila perlu batasi aktivitas yang melelahkan Untuk mencegah nyeri

3. Beri posisi yang nyaman, bisa menggunakan bantal 4. Hindari penggunaan bedak atau lotion di bawah gips

Untuk menyokong area dependen

Substansi ini mempunyai kecenderungan untuk menggumpal dan menimbulkan iritasi

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal Tujuan : pasien mempertahankan penggunaan otot pada area yang tidak sakit KH : Ekstermitas yang tidak sakit tetap mempertahankan tonus otot yang baik Anak melakukan aktivitas yang sesuai dengan usia dan kondisi anak INTERVENSI 1. Dorong untuk ambulasi sesegera mungkin 2. Sokong lengan yang di gips dengan ambin/mitela (sling) 3. Ajarkan penggunaan alat mobilisasi seperti kruk untuk kaki yang di gips 4. Dorong aktivitas bermain dan pengalihan 5. Dorong anak untuk menggunakan sendisendi di atas dan di bawah gips Untuk menopang beban berat badan Untuk melatih otot yang tidak sakit RASIONAL Untuk meningkatkan mobilisasi

Untuk mempertahankan fleksibilitas dan fungsi sendi

c. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya gips, pembengkakan jaringan, kemungkinan kerusakan saraf Tujuan : 1. Pasien tidak mengalami kerusakan neurologis atau sirkulasi 2. Pasien mempertahankan integritas gips 3. Pasien tidak mengalami cedera fisik KH : 1. Jari kaki/ jari tangan hangat, merah muda, sensitif dan menunjukan pengisian kailer yang segera 2. Gips mengering dengan cepat, tetap bersih dan utuh 3. Anak tetap bebas dari cedera

INTERVENSI 1. Tinggikan ekstermitas yang di gips

RASIONAL - Untuk menurunkan pembengkakan, karena meninggikan ekstermitas meningkatkan aliran darah vena - Kerenaa penekanan akan

2. Rawat gips basah dengan telapak tangan, hindari menekan gips dengan ujung jari (gips plester) 3. Jangan menutup gips yang masih basah

menyebabkan area tekan

- Untuk engeringkannya dari dalam keluar - Karena dapat terjadi luka bakar

4. Jangan mengeringkan gips dengan kipas pemanas atau pengering

dan gips hanya akan kering dibagian luar tetapi tidak dibagian dalam - Untuk mencegah urin mengelir ke

5. Posisikan bokong lebih rendah dari bahu selama toileting 6. Jaga agar jalur ambulasi tetap bersih

gips pada bagian punggung - Untuk mencegah pasien jatuh

d. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips Tujuan : pasien tidak mengalami iritasi kulit KH : INTERVENSI 1. Pastikan bahwa semua tepi gips halus dan bebas dari proyeksi pengiritasi, kikir atau lapisi tepi gips tersebut bila perlu 2. Jangan membiarkan anak atau orang lain memasukan sesuatu ke dalam gips 3. Jaga agar kulit yang terpajan tetap bersih dan bebas dari iritan 4. Lindungi gips selama mandi, kecuali jika gips sintetik tahan terhadap air 5. Setelah gips dilepas, rendam dan basuh kulit dengan perlahan Kulit dapat teriritasi akibat adanya air di dalam gips Untuk mencegah trauma kulit RASIONAL

Gips akan mengeras dengan kulit terdeskuamasi dan sekresi sebasea

e. Takut berhubungan dengan penggunaan dan pengangkatan gips Tujuan : Pasien mendapatkan dukungan yang adekuat selama pemasangan dan pengangkatan gips KH : Anak menjalani prosedur pemasangan dan pengangkatan gips dengan distres minimal dan kerjasama INTERVENSI 1. Jelaskan apa yang akan dilakukan dan apa yang dapat dilakukan anak 2. Jelaskan apa yang akan dialamai anak selama pengangkatan gips, kebisingan gergaji, sensasi geli karena getaran, ketidakmungkinan cedera karena prosedur 3. Menunjukan keamanan gergaji pada diri sendiri atau orang lain RASIONAL Untuk membantu menghilangkan rasa takut dan mendorong kerjasama

Untuk menghilangkan rasa takut kulit terpotong

DAFTAR PUSTAKA

1. Asep Setiawan, SKP, dkk, Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal, Akper Padjajaran Bandung, 2000. 2. Brunner & Suddart, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta, 2001. 3. Doengoes E. Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Anda mungkin juga menyukai