Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN FRAKTUR DI RUANG JANGER RSD MANGUSADA


TANGGAL 4 MEI 2021

Oleh :
NI WAYAN LUH KUSMIRAYANTI, S.Kep
NIM.C2221087

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES BINA USADA BALI
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012)
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
teradi fraktur maka jaringan lemak disekitarnya juga sering kali terganggu, radiografi
(Sinar-X) dapat menunjukkan kebaradaan cedera tulang tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligament yang robek, syaraf yang putus atau pembuluh darah
yang pecah yang dapat menjadi komplikasi dari pemulihan kesehatan klien. (Black
Joyce M, 2013 : 643)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2010). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2010).
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang
bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A,
2011).

B. ANATOMI FISIOLOGI
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intraseluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang.
Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Gambar 1.Anatomi Tulang Manusia

Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan
yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan
digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang
memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk
dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon
pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang.
Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling
tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan
tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna
Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Anatomi tulang panjang Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik
(hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari
lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus
sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium,
kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan
dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan
tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan).
Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi
(kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan
jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon
terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu
pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari
garamgaram kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid,
dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit
dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan
osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion
kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai
kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara
tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan
pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut
osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel
mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai
asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas
biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit
tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan
muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan
tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus
menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas
osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan
menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih
dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya
setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas
osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang.
Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan
stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur
tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum
jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi
aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa
pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron
akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen
turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon
pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung
dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang
penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang
mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan
kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian,
vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan
akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh
hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang
terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium ke dalam darah.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi
ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D
di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu
hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan
kadar kalsium serum.

C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
a. Cedera traumatik
1) Cedera langsung
Cedera langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Cedera tidak langsung
Cedera tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Cedera akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses peyakit, dimana jika terjadi trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada keadaan :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas)
2) Infeksi seperti osteomyelitis
3) Rakhitis,suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
c. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA GEJALA


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cedera.

E. KLASIFIKASI
Jenis-jenis fraktur ada beberapa macam yaitu:
1. Jenis-jenis fraktur berdasarkan garis fraktur:
b. Fraktur Komplit, adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
c. Fraktur Tidak Komplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang
2. Jenis jenis fraktur berdasarkan hub. Fragmen dg dunia luar:
a. Fraktur tertutup (simple / closed fracture).
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
(menyebabkan robeknya kulit.)
b. Fraktur terbuka (compound / open fracture).
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit
dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from
without (dari luar).
Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu :
1) Derajat I
a) luka < 1 cm
b) kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
d) kontaminasi minimal

2) Derajat II
a) laserasi > 1 cm
b) kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) fraktur kominutif sedang
d) kontaminasi sedang

3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas:
a) IIIA: Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB: Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC: Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
3. Klasifikasi Etiologis
a. Fraktur traumatik: terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
b. Fraktur patologis: terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang.
c. Fraktur stress: terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu.
4. Klasifikasi komplit / tidak komplit
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal)
b. Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang
5. Klasifikasi menurut garis khusus fraktur
a. Greenstic, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
b. Transfersal,fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil
disbanding transfersal).
d. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang).
h. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada
perlekatannya.
i. Epifiseal, fraktur melalui epifisis.
j. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
(Smeltzer& Bare, 2010: 2358)
6. Berdasarkan jumlah garis
a. Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila
dua garis patah disebut pula fraktur bifocal
c. Fraktur multiple: garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.
Gambar : klasifikasi fraktur

F. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang.
H.PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Pemerikssaan fisik
a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting
adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan
dengan fraktur, cedera terbuka
b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal
dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera
pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan
c. Movement :Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi – sendi
dibagian distal cedera.
2. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan dengan sinar x harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu anterior
posterior dan lateral, kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada
lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur
perlu juga diambil foto sinar – x pada pelvis dan tulang belakang
b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
e. Bone scans atau MRI Scans
f. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
g. CCT kalau banyak kerusakan otot.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

G. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6- 8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis (Brunner, 2011).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien
harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat
lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan
untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi terbukapada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
4) Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik
gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi
interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
5) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankansesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan,
ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

A. Pengkajian

1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
 Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
 Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
 Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
 Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
 Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.
 Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
 Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
 Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
 Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
 Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien
7. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
2) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
3) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
4) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
 Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi)
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien. Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 – 5 “
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d agens cidera fisik (trauma, prosedur bedah).
2. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal, nyeri, kerusakan
integritas struktur tulang.
3. Kerusakan integritas kulit b/d faktor mekanik.
4. Defisiensi pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
5. Ansietas b/d krisis situasional atau ancaman kematian.
6. Resiko cedera.
7. Resiko syok (hipofolemi).
8. Risiko infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh primer menurun, prosedur
invasive, fraktur

9.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC
NIC
. KEPERAWATAN
1 Nyeri akut Outcome untuk mengukur Intervensi
Definisi: Pengalaman penyelesaian dari Diagnosis Keperawatan yang
sensori dan emosional  Kontrol nyeri: Disarankan untuk
yang tidak  Mengenali kapan nyeri Menyelesaikan
menyenangkan yang terjadi
muncul akibat Masalah:
 Menggambarkan faktor
kerusakan jaringan penyebab
yang actual atau  Menggunakan tindakan Manajemen
potensial atau pengurangan nyeri tanpa Sedasi:
digambarkan dalam hal analgesic  Kaji nyeri
kerusakan sedemikian  Mengenali apa yang dengan PQRST
rupa (International terkait dengan gejala  Stimulasi listrik
Association for the nyeri syraf
Study of Pain): awitan  Melaporkankan nyeri transkutaneus
yang tiba-tiba atau yang terkontrol  Latihan
lambat dari intensitas  Tingkat nyeri: autogenik
ringan hingga berat  Panjang episode nyeri  Peningkatan
dengan akhir yang
 Mengerang dan mekanika tubuh
dapat diantisipasi atau
menangis  Peningkatan
diprediksi dan
 Ekpresi nyeri wajah koping
berlangsung <6 bulan.
Batasan karakteristik:  Mengelurkan keringat  Manajemen
 Kehilangan nafsu makan energy
 Bukti nyeri dengan
Outcome tambahan untuk  Manajemen
menggunakan lingkungan
mengukur batasan
standar daftar periksa karakteristik  Terapi latihan:
nyeri untuk pasien  Tingkat nyeri terpantau kontrol otot
yang tidak dapat secara regular  Terapi musik
mengungkapkannya  Mengambil tindakan untuk  Pengaturan
(mis., Neonatal mengurangi nyeri posisi
Infant Pain  Tidur  Relaksasi otot
Assessment  Nafsu makan progresif
Checklist for Senior  Status kenyamanan  Peningkatan
with Limited Ability  Keparahan mual & muntah tidur
to Communicate) Outcome yang berkaitan  Monitor tanda-
 Diaphoresis dengan fakor yang
 Dilatasi pupil tanda vital
berhubungan atau outcome
 Eksspresi wajah  Terapi relaksasi
menengah
nyeri (mis., mata  Tingkat stress
kurang bercahaya,  Pengetahuan: manajemen
tampak kacau, nyeri
gerakan mata  Pemulihan pembedahan:
berpencar atau tetap penyembuhan
pada satu fokus,  Pemulihan pembedahan:
meringis) segera setelah oprasi
 Fokus menyempit
(mis., persepsi
waktu, proses
berfikir, penurunan
interaksi dengan
orang dan
lingkungan)
 Focus pada diri
sendiri
 Keluhan tentang
intensitas
menggunakan
standar skala nyeri
(mis., skla Wong-
Baker FACES, skala
analog visual, skla
penilaian nomerik)
 Keluhan tentang
karakteristik nyeri
dengan
menggunakan
standar instrument
nyeri (mis., McGill
Pain Questionnaire,
Brief Pain Inventory)
 Laporan tentang
perilaku nyeri/
perubahan aktivitas
(mis., anggota
keluarga, pemberi
asuhan)
 Mengekspresikan
perilaku (mis.,
gelisah, merengek,
menangis, waspada)
 Perilaku distraksi
 Perubahan pada
parameter fisiologis
(mis., tekanan darah,
frekuensi jantung,
frekuensi
pernapasan, saturasi
oksigen, dan
entidalkarbon
dioksida)
 Perubahan posisi
untuk menghindari
nyeri
 Perubahan selera
makan
 Putus asa
 Sikap melindungi
nyeri
 Sikap tubuh
melindungi
Faltor yang
berhubungan:
 Agens cedera
biologis (mis.,
infeksi, iskemia,
neoplasma)
 Agens cedera fisik
(mis., abses,
amputasi, luka bakar,
terpotong,
mengangkat berat,
prosedur bedah,
trauma, olahraga
berlebihan)
 Agens cedera
kimiawi (mis., luka
bakar, kapsaisin,
metilen klorida,
agens mustard).
2 Kerusakan Integritas Outcome Untuk Mengukur Intervensi
Kulit: Penyelesaian dari Keperawatan yang
Definisi:Kerusakan Diagnosis: Disarankan untuk
pada epidermis atau  Kulit dan membran Menyelesaikan
dermis mukosa
Masalah:
Batasan Outcome Tambahan Untuk
Perawatan Luka:
karakteristik : Mengukur Batasan
Karakteristik:  Angkat balutan
 Benda asing dan plester
menusuk permukaan  Respon alergi pelekat
kulit  Penyembuhan luka bakar  Monitor
 Kerusakan integritas  Pemulihan luka bakar karekteristik
kulit Outcome yang Berkaitan luka
Faktor-faktor yang dengan Faktor yang  Ukur luas luka
berhubungan: Berhubungan atau yang sesuai
 Agens farmaseutikal Outcome Menengah:  Singkirkan
 Faktor mekanik  Posisi tubuh benda-benda
 Hipertermia  Status sirkulasi yang tertanam
 Hipotermia  Keseimbangan cairan misalnya kaca,
 Kelembapan  Respon pengobatan krikil, logam
 Fungsi sensori  Bersihkan
dengan normal
 Perfusi jaringan
saline
Kontrol resiko hipertermia
 Berikan
perawatan ulkus
pada kulit
 Berikan
perawatan insisi
pada luka
 Reposisi pasien
setidaknya setiap
2 jam
 Anjurkan
keluarga dan
pasien mengenai
tanda-tanda
gejala infeksi.

3 Hambatan mobilitas Outcome Untuk Mengukur Intervensi


fisik Penyelesaian dari Keperawatan yang
Definisi: keterbatasan Diagnosis: Disarankan untuk
dalam bergerak fisik  Ambulasi
Menyelesaikan
satu atau lebih  Ambulasi: kursi roda
ekstremitas secara  Pergerakan Masalah:
mandiri dan terarah. Outcome Tambahan Untuk Perawatan Tirah
Batasan karakteristik: Mengukur Batasan Baring:
 Dispnea setelah Karakteristik:  Jelaskan alas an
beraktivitas  Adaptasi terhadap diperlukannya
 Gangguan sikap disabilitas fisik tirah baring
berjalan  Keseimbangan  Ajarkan latihan
 Gerakan lambat  Kemampuan berpindah ditempat tidur,
 Gerakan spastik Outcome yang Berkaitan dengan cara yang
 Gerakan tidak dengan Faktor yang tepat
terkoordinasi  Tempatkan matras
Berhubungan atau
 Instabilitas postur atau kasur
Outcome Menengah: terapeutik dengan
 Kesulitan membolak
balik posisi  Intoleransi terhadap cara yang tepat
aktifitas Peningkatan
 Keterbatasan rentang
 Tingkat ketidaknyamanan Mekanika Tubuh
gerak
 Daya tahan
 Ketidaknyamanan  Kaji komitmen
 Partisipasi terhadap latihan
 Melakukan aktivitas  Tingkat kecemasan
pasien untuk
lain sebagai pengganti belajar dan
pergerakan (mis., menggunakan
meningkatkan postur tubuh yang
perhatian pada benar
aktivitas orang lain,  Kolaborasikan
mengendalikan dengan
perilaku, focus pada fisioterapis dalam
aktivitas sebelum mengembangkan
sakit) peningkatan
 Penurunan mekanika tubuh,
kemampuan sesuai indikasi
melakukan  Edukasi pasien
keterampilan motorik tentang
halus pentingnya postur
 Penurunan tubuh yang benar
kemampuan untuk mencegah
melakukan kelelahan,
keterampilan motorik ketegangan dan
kasar injuri.
 Penurunan waktu  Bantu
reaksi pasien/keluarga
 Tremor akibat gerak untuk
Faktor yang mengidentifikasi
berhubungan: latihan postur
 Agens farmaseutikal tubuh yang sesuai.
 Ansietas Terapi Latihan:
 Depresi Ambulasi
 Disuse  Beri pasien
 Fisik tidak bugar pakaian yang
 Gangguan fungsi tidak mengekang
kognitif  Sediakan tempat
 Gangguan tidur
metabolisme berketinggian
 Gangguan rendah, yang
muskuloskeletal sesuai
 Gangguan  Bantu pasien
neuromuskular untuk duduk disisi
 Gangguan tempat tidur untuk
sensoriperseptual memfasilitasi
 Gaya hidup kurang penyesuaian sikap
gerak tubuh
 Indeks massa tubuh di  Bantu pasien
atas persentil ke-75 untuk berdiri dan
sesuai usia ambulasi dengan
 Intoleransi aktivitas jarak tertentu
 Kaku sendi  Bantu pasien
 Keeganan memulai untuk membangun
pergerakan pencapaian yang
realistis untuk
 Kepercayaan budaya
ambulasi jarak.
tentang aktivitas yang
tepat
 Kerusakan integritas
struktur tulang
 Keterlambatan
perkembangan
 Kontraktur
 Kurang dukungan
lingkungan (mis.,
fisik atau sosial)
 Kurang pengetahuan
tentang nilai aktivitas
fisik
 Malnutrisi
 Nyeri
 Penurunan kekuatan
otot
 Penurunan kendali
otot
 Penurunan ketahanan
tubuh
 Penurunan massa otot
 Program pembatasan
gerak.
4 Defisiensi Outcome Untuk Mengukur Intervensi
Pengetahuan Penyelesaian dari Keperawatan yang
Definisi: ketiadaan atau Diagnosis: Disarankan untuk
defisiensi informasi  Pengetahuan:manajemen
Menyelesaikan
kognitif yang berkaitan penyakit akut
dengan topic tertentu.  Pengetahuan: pencegahan Masalah:
Batasan jatuh Pendidikan
Karakteristik: Outcome Tambahan Untuk kesehatan:
 Ketidakakuratan Mengukur Batasan  Pertimbangkan
melakukan tes Karakteristik: riwayat individu
 Ketidakakuratan  Perilaku patuh: aktifitas dalam konteks
mengikuti perintah yang disarankan personal dan
 Kurang pengetahuan  Perilaku patuh: pengobatan riwayat social
 Perilaku tidak tepat yang disarankan budaya individu,
(mis., histeria,  Motivasi keluarga dan
bermusuhan, agitasi, Outcome yang Berkaitan masyarakat.
apatis) dengan Faktor yang  Tentukan
Faktor yang pengetahuan
Berhubungan atau kesehatan dan
berhubungan:
Outcome Menengah: gaya hidup
 Gangguan fungsi
kognitif  Pemikiran abstrak perilaku saat ini
 Gangguan memori  Konsentrasi pda individu,
 Kurang informasi  Motivasi keluarga, atau
 Memori kelompok sasaran.
 Kurang minat untuk
belajar Pencegahan jatuh:
 Kurang sumber  Identifikasi
pengetahuan perilaku dan
 Salah pengertian faktor yang
terhadap orang lain mempengaruhi
risiko jatuh
 Kaji ulang riwayat
jatuh bersama
dengan pasien dan
keluarga
 Identifikasi
karakteristik dari
lingkungan yang
mungkin
meningkatkan
potensi jatuh
(misalnya, lantai
licin dan tangga
terbuka)
 Sediakan alat
bantu (misalnya,
tongkat atau
walker) untuk
menyeimbangkan
gaya berjalan
 Dukung pasien
untuk
menggunakan
tongkat atau
walker dengan
tepat.
5 Ansietas Outcome Untuk Mengukur Intervensi
Definisi: perasaan tidak Penyelesaian dari Keperawatan yang
nyaman atau Diagnosis: Disarankan untuk
kekhawatiran yang  Tingkat kecemasan
Menyelesaikan
samar disertai respons Outcome Tambahan Untuk
otonom (sumber sering Masalah:
Mengukur Batasan
kali tidak spesifik atau Pengurangan
Karakteristik:
tidak diketahui oleh Kecemasan:
 Control kecemasan diri
individu); perasaan  Gunakan
 Koping
takut yang disebabkan pendekatan yang
 Tanda-tanda vital
oleh antisipasi terhadap tenang dan
Outcome yang Berkaitan
bahaya. Hal ini meyakinkan
merupakan isyarat dengan Faktor yang
 Jelaskan semua
kewaspadaan yang Berhubungan atau prosedur termasuk
memperingatkan Outcome Menengah: sensai ayang akan
individu akan adanya  Pemulihan terhadap dirasakan
bahaya dan kekerasan  Bantu klien
memampukan individu  Adaptasi terhadap mengidentifikasi
untuk bertindak disabilitas fisik situasi yang
menghadapi ancaman.  Status kenyamanan: fisik memicu
Batasan karakteristik:  Tingkat stress kecemasan
Perilaku:  Control stimulus
 Agitasi untuk kebutuhan
 Gelisah klien secara tepat.
 Gerakan ekstra Terapi relaksasi:
 Insomnia  ciptakan
 Kontak mata yang lingkungan yang
buruk tenang dan tanpa
 Melihat sepintas distraksi dengan
 Mengeskpresikan lampu yang redup
kekhawatiran karena dan suhu
perubahan dalam lingkungan yang
peristiwa hidup nyaman
 Perilaku mengintai  dorong klien
 Tampak waspada untuk mengambil
Afektif: posisi yang
 Berfokus pada diri nyaman dengan
sendiri pakaian longgar
 Distress dan mata tertutup
 Gelisah  minta klien untuk
 Gugup rileks dan
 Ketakutan merasakan sensasi
 Menggemerutukkan yang terjadi
 gunakan suara
gigi yang lembut
 Menyesal dengan irama
 Peka yang lambat untuk
 Perasaan tidak setiap kata
adekuat
 Putus asa
 Ragu
 Sangan khawatir
 Senang berlebihan
Fisiologis:
 Gemetar
 Peningkatan keringat
 Peningkatan
ketegangan suara
bergetar
 Tremor
 Tremor tangan
 Wajah tegang
Simpatis:
 Anoreksia
 Diare
 Dilatasi pupil
 Eksitasi
kardiovaskuler
 Gangguan pernapasan
 Jantung berdebar-
debar
 Kedutan otot
 Lemah
 Mulut kering
 Peningkatan denyut
nadi
 Penngkatan frekuensi
pernapasan
 Peningkatan reflex
 Peningkatan tekanan
darah
 Vasokontriksi
superfisial
 Wajah memerah
Parasimpatis:
 Anyang-anyangan
 Diare
 Dorongan berkemih
berlebih
 Gangguan pola tidur
kesemutan pada
ekstremitas
 Letih
 Mual
 Nyeri abdomen
Kognitif:
 Bloking pikiran
 Cenderung
menyalahkan orang
lain
 Gangguan konsentrasi
 Lupa
 Melamun
Faktor yang
berhubungan:
 Ancaman kematian
 Kebutuhan yang
tidak dipenuhi
 Stressor
 Hereditas
 Dll.

6 Risiko cedera Outcome Untuk Mengukur Intervensi


Definisi: rentan Penyelesaian dari Keperawatan yang
mengalami cedera fisik Diagnosis: Disarankan untuk
akibat kondisi  kejadian jatuh
Menyelesaikan
lingkungan yang Outcome yang
berinteraksi dengan Masalah:
Berhubungan dengan
sumber adaptif dan Manajemen
Faktor Risiko:
sumber defensive lingkungan:
 ambulasi
individu, yang dapat keselamatan:
 keseimbangan
mengganggu kesehatan.  identifikasi
 koordinasi pergerakan
Faktor risiko: kebutuhan
 kontrol risiko
 Eksternal: keamanan pasien
 Agens nasokomial berdasarkan
 Gangguan fungsi fungsi fisik dan
kognitif kognitif serta
 Gangguan fungsi riwayat perilaku
psikomotor di masa lalu
 Hambatan fisik  modifikasi
(mis., desain, lingkungan untuk
struktur, meminimalkan
pengaturan bahan berbahaya
komunitas, dan berisiko
pembangunan,  sediakan alat
peralatan) untuk beradaptasi
 Hambatan sumber (misalnya, kursi
nutrisi (mis., untuk pijakan dan
vitamin, tipe pegangan tangan)
makanan) Pencegahan jatuh:
 Mode transportasi  Identifikasi
tidak aman perilaku dan
 Pajanan pada kimia faktor yang
toksik mempengaruhi
 Pajanan pada risiko jatuh
pathogen  Kaji ulang riwayat
 Tingkat imunisasi jatuh bersama
di komunitas dengan pasien dan
 Internal: keluarga
 Disfungsi  Identifikasi
biokomia karakteristik dari
 Disfungsi efektor lingkungan yang
 Disfungsi imun mungkin
 Disfungsi integrasi meningkatkan
sensori potensi jatuh
 Gangguan (misalnya, lantai
mekanisme licin dan tangga
pertahanan primer terbuka)
(mis., kulit robek)  Sediakan alat
 Gangguan orientasi bantu (misalnya,
afektif tongkat atau
 Gangguan sensasi walker) untuk
(akibat dari cedera menyeimbangkan
medulla spenalis, gaya berjalan
diabetes militus,  Dukung pasien
dll) untuk
 Hipoksia jaringan menggunakan
tongkat atau
 malnutrisi
walker dengan
tepat.
7 Risiko syok Outcome Untuk Mengukur Intervensi
Definisi: rentan Penyelesaian dari Keperawatan yang
mengalami Diagnosis: Disarankan untuk
ketidakcukupan aliran  Keparahan syok:
Menyelesaikan
darah ke jaringan anafilaksis
tubuh, yang dapat  Keparahan syok: Masalah:
mengakibatkan kardigenik Pencegahan syok:
disfungsi seluler yang  Keparahan  Monitor terhadap
mengancam jiwa, yang syok:hipovolemik adanya tanda-
dapat menggangu Outcome yang tanda respon
kesehatan. Berhubungan dengan syndrome
Faktor risiko: Faktor Risiko: inflamasi
 Hipoksemia sistemik
 Keparahan kehilangan
 Hipoksia (misalnya,
darah
 Hipotensi peningkatan
 Status sirkulasi
 Hipovelemia suhu, takikardi,
 Keparahan cedera fisik
 Infeksi takipnea,
 Control risiko
hipokarbia,
 Sepsis
leukositosis)
 Sindrom respons
 Monitor status
inflamasi sistemik
suhu dan
respirasi
 Berikan cairan
melalui IV dan
atau oral, sesuai
kebutuhan
 Anjurkan pasien
dan keluarga
mengenai faktor-
faktor pemicu
syok
 Anjurkan pasien
dan keluarga
mengenai
tanda/gejala syok
yang
mengancam.
 Monitor tanda-
tanda vital

NIC:

Kontrol infeksi
NOC:
1. kebersihan
Deteksi resiko
8. Resiko Infeksi lingkungan
Definisi : mengalami  Mengenali tanda dan
peningkatan resiko mempengaruhi
gejala yang
terserang organisme faktor pencetus
patogenik mengindikasi resiko
infeksi
 Mengidentifikasi
2. Cuci tangan
kemungkinan resiko
langkah
 Melakukan skrining
sesui dengan waktu pertama
yang diberikan mencegah
infeksi
3. Sabun anti
microba dapat
membersihkan
kuman
4. Cuci tangan
langkah
pertama
mencegah
infeksi
5. Perawatan yang
baik akan
mencegah
terjadinya
infeksi

6. Antibiotik
membantu
untuk
mengurahi
infeksi
7. Menambah
pengetahuan
pasien dan
mencegah
terjadinya
infeksi yang
lebih parah

D. EVALUASI
1. Nyeri Akut berkurang atau terasi dengan pasien melaporkan nyeri berkurang dengan
skala 3-4, ekspresi wajah tenang dan pasien dapat istirahat dan tidur.
2. Hambatan mobilitas fisik teratasi dengan dapat berjalan dengan pelan, dapat berjalan
menurun, menaiki tangga, dapet berjalan mengelilingi tangga, apat menggerakan
otot, dapat menggerakan sendi.
3. Kerusakan integritas kulit teratasi dengan Suhu kulit, sensasi, elastitisitas dalam
batas normal, tidak adanya tanda-tanda infeksi seperti lesi pada kulit,pigmentasi
abnormal dan nekrosis
4. Pengetahuan pasien bertambah dengan pasien mengetahui penyebab dan faktor yang
berkontribusi terhadap dirinya, mengetahui tanda dan gejala penyakitnya
5. Ansietas pasien teratasi dengan pasien tidak gelisah, tidak menunjukkan
kekhawatiran, wajah tenang
6. Resiko cedera tidak terjadi dengan pasien terbebas dari cedera, mampu mejelaskan
cara mencegah dari cedera.
7. Resiko syok hipovolemi tidak terjadi tidak terjadi perdarahan, tanda-tanda vital alam
batas normal.
8. Resiko Infeksi tidak terjadi dengan mengenali tanda dan gejala yang mengindikasi
resiko, mengidentifikasi kemungkinan resiko, melakukan skrining sesuai dengan
waktu yang diberikan
PATHWAY
Trauma langsung Kondisi Patologis
Trauma tidak langsung
( jatuh, hantaman, kecelakaan, dll) (osteo, osteomieliti, dll)

Tekanan pada tulang Tulang rapuh


Tidak mampu menahan
FRAKTUR BB

Pergeseran Fragmentulang

Merusak jaringan sekitar prosedur pembedahan

Perubahan pelepasan mediator deformitas luka terbuka kurang terpapar informasi prosedur anastesi tindakan infasif Resik
o
status kesehatan nyeri (histamin) Gangguan menembus kulit
Infeks
fungsi ancaman kematian penurunan motorik perdarahan tidak i
kurang informasi ditangkap reseptor luka terkontrol
Defisiensi nyeri perifer Hambatan krisis situasional kelemahan anggota gerak
Pengetahua Mobilitas Kerusakan
prosedur pemindahan Kehilangan cairan
n Fisik (pre Integritas Ansietas
Nyeri Akut op) Kulit (pre op) Resiko Cedera
(pre op) (post op)
(pre op) Resiko Syok
(post op)
(post op)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2011. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta.

Butcher, H., ett all, 2016, Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Indonesian
Edition, IOWA intervention Project, Mosby

Ircham Machfoedz, 2010. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di


Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Johnson, M., et all. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.


New Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

NANDA, 2015, Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan Klasifikasi 2015-2017,


Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai