Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

Oleh :
Ni Kadek Widiantari,S.Kep
NIM. C221195

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

I. LAPORAN PENDAHULUAN (TINJAUAN TEORI)


A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan dan umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2010).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2013).
Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebih pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Wijaya &
Putri, 2013).
Berdasarkan atas beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan fraktur
adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan yang berlebih
pada tulang.

B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui
proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-
sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya:
a. Tulang panjang (femur, humerus) terdiri dari batang tebal
panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut
epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di
antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang
tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng
pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang
rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel
tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang.
Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis
dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada
akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis
berfungsi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan,
estrogen, dan testosterone merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi
lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga
yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi
sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang
padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan
tulang pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di
sekitar tulang yang berdekatan dengan persedian dan didukung
oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral.
Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas, osteosit dan
osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan
mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan
2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida, dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam
mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat
dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit
matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak)
yang berperan dalam penghancuran, resorpsi, dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa.
Di tengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut
merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Di dalam lamella
terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang
berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan
dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon
dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan
limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung
osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast, yang melarutkan tulang untuk memelihara
rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship
(cekungan pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup)
dan 70% endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri
dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan
(protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan
fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen
melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang
memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang
meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang
memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan
dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan
pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang
ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres
yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang.
Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk
menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks
tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium
mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi
bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring
dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-
tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya
membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap
tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi.
Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat
dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang,
cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara
bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi
karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel
fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit
yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai
asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis.
Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan
tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di
suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. Osteoblas
mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru.
Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti
dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas
menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami
remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi
aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan
menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada
tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas
osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa
tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi
aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas
osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami
imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi
aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga
mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh
beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas dirangsang
oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk
sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis
merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum
jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah
promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang.
Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosterone akhirnya
menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan
merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang).
Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas
osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga
mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang
secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak
langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini
meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi
tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar
kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan
demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium
yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas
terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid
dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang
kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai
respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang
untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium
serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan
pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya
mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium
serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon
paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga
menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal
bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah
suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons
terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki
sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-
efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar
kalsium serum.

2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut:
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru)
dan jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan
kontraksi dan pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang
belakang (hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfoR (Dwisang,
2014).

C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
Menurut Doenges (2014), penyebab fraktur antara lain:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.
b. Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.

2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
kemiliteran.

D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA


Menurut Mansjoer (2014), tanda dan gejala fraktur antara lain:
1. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebabkan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
2. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma, dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.
3. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering
disebabkan karena tulang menekan otot.
4. Nyeri karena kerusakan jaringan, perubahan struktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
7. Pergerakan abnormal.
8. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

E. PATOFISIOLOGI
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler
yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau.
Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik
fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai
tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri
gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka
dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi
terkontaminasi dengan udara luar.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang
telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
(Sumber: Price, 2012)
F. PATHWAY

Kecelakaan

Trauma eksternal lebih dari


kekuatan tulang

Tulang tidak mampu menahan


trauma

FRAKTUR

Fiksasi eksterna Pergeseran fragmen tulang Trauma jaringan


yang patah
Luka terbuka
Anestesi ORIF
Penurunan pertahanan
Peristaltik Kerusakan
Trauma jaringan utama tubuh
Nafsu makan integritas kulit
Jalan masuk organisme

Kekuatan otot dan


Ketidakseimbangan Risiko infeksi
Nyeri akut kemampuan gerak
nutrisi: Kurang kurang
dari kebutuhan
tubuh
Defisit perawatan Hambatan
diri mobilitas fisik
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. X-ray: Untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang: Untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: Untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap: Homokonsentrasi mungkin meningkat,
menurun pada perdarahan: Peningkatan leukosit sebagai respon
terhadap peradangan.
5. Kretinin: Trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens
ginjal.
6. Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi atau cedera hati (Wijaya & Putri, 2013).

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Konservatif
a. Proteksi adalah proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma
lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota
gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur
dengan bidai eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya
menggunakan gips atau macam-macam bidai dari plastik atau
metal.
c. Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan
imobilisasi eksterna dengan menggunakan gips. Reduksi tertutup
yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum
dan lokal.
d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan kounter traksi.
Tindakan ini mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi
yang bertahap dan imobilisasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
Penatalaksanaan ini sangatlah penting diketahui oleh perawat,
jika ada keputusan pasien diindikasikan untuk menjalani pembedahan,
perawat mulai berperan dalam asuhan keperawatan tersebut.
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal perkutan atau K-Wire.
b. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi ekternal tulang,
yaitu:
1) Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau reduksi
terbuka dengan fiksasi internal. ORIF akan mengimobilisasi
fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkan
paku, scrup atau pen ke dalam tempat fraktur untuk
mengfiksasi bagian tulang pada fraktur secara bersamaan.
Fiksasi internal sering digunakan untuk merawat fraktur pada
tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.
2) Open Reduction Terbuka dengan fiksasi eksternal. Tindakan
ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi
eksternal dapat menggunakan kanselosas crew atau dengan
metal metakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan
jenis-jenis lain seperti gips (Sumber: Muttaqin, 2008).
II. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan.
b. Penanggung jawab pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan, hubungan dengan pasien.

2. Riwayat Kesehatan
a. Alasan utama masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
1) Keluhan utama saat masuk rumah sakit
2) Keluhan utama saat pengkajian
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan:
a) Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c) Region: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau
pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
d. Riwayat alergi
Apakah pasien memiliki riwayat alergi seperti, alergi obat-
obatan, makanan, dan minuman.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
3. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing) Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara
nafas normal tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan
ronchi.
B2 (Blood) Hipertensi (kadang – kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia
(respon stress, hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian
distal yang cedera; pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian
yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada
sisi cidera.
B3 (Brain) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot. Kebas / kesemutan
(parestesis), deformitas local; angulasi abnormal, pemendekan,
rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat
kelemahan/hilangnya fungsi, angitasi (mungkin berhubungan
dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
B4 (Bladder) Tidak ada kelainan sistem perkemihan
B5 (Bowel) Tidak ada kelainan defekasi

B6 (Bone) a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh,


ada/tidak adanya nadi di sebelah distal patahan, hematoma,
kerusakan jaringan lunak, posisi ekstremitas abnormal
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Hal yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal 3 –
5“
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Vital sign
Tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b. Kesadaran
Apatis, sopor, koma, gelisah, composmentis tergantung pada
keadaan pasien.
c. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
2) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan).
3) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
4) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
5) Mulut
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan
mukosa mulut tidak pucat.
6) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
7) Thorax
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
a) Jantung
I: Tidak tampak iktus jantung.
P: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
P: Terdengar suara redup jantung.
A: Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
b) Paru-paru
I: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit pasien yang
berhubungan dengan paru.
P: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
P: Suara ketok sonor, tidak ada rerdup atau suara
tambahan lainnya.
A: Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
8) Abdomen
I: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
A: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
P: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
P: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
9) Genetalia
Tidak ada gangguan (Sumber: Price, 2012).
5. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur
diberlakukan rule of two yaitu :
1) Dua sudut pandang
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut
pandang (AP & Lateral/Oblique).
2) Dua Sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami
fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi
kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi
mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur
keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.
3) Dua ekstrimitas
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis
fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4) Dua Cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih
dari 1 tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau
femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang
belakang.
5) Dua Waktu
Pemeriksaan dilakukan segera setelah cedera dan setelah
penanganan (pre op dan post op)
b. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: memperlihatkan fraktur,
juga dapat dignakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
c. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
1) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan
jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
2) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, tranfusi multiple, atau sedera hati.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Nyeri akut b/d agens cedera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang.
3. Kerusakan integritas kulit b/d tekanan pada tonjolan tulang.
4. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor
biologis.
5. Defisit perawatan diri : mandi b/d gangguan muskuloskeletal.
6. Risiko infeksi b/d gangguan integritas kulit.

C. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan NOC/Tujuan NIC/Intervensi

Nyeri akut b/d agens Setelah diberikan asuhan NIC Label: Manajemen

cedera fisik. keperawatan selama 3 x 24 jam Nyeri.

diharapkan nyeri dapat teratasi, 1. Lakukan pengkajian nyeri

dengan kriteria hasil: secara komprehensif

NOC Label: Kontrol Nyeri. (lokasi, durasi, frekuensi,

1. Mengenali kapan nyeri kualitas, faktor pencetus).

terjadi yang dipertahankan 2. Observasi adanya

pada skala 4 dan petunjuk nonverval

ditingkatkan pada skala 5. mengenai

2. Menggunakan tindakan ketidaknyamanan


pengurangan [nyeri] tanpa terutama pada mereka

analgesik yang yang tidak dapat

dipertahankan pada skala berkomunikasi secara

4 dan ditingkatkan pada efektif.

skala 5. 3. Ajarkan penggunaan

3. Melaporkan nyeri yang teknik nonfarmakologi

terkontrol yang (relaksasi, distraksi).

dipertahankan pada skala

4 dan ditingkatkan pada 4. Berikan individu

skala 5. penurunan nyeri yang

optimal dengan

NOC Label: Tingkat Nyeri. penerapan analgetik.

1. Nyeri yang dilaporkan 5. Kendalikan faktor

dipertahankan pada skala lingkungan yang dapat

4 dan ditingkatkan pada mempengaruhi respon

skala 5. pasien terhadap

2. Ekspresi nyeri wajah yang ketidaknyamanan (suhu,

dipertahankan pada skala pencahayaan, suara

4 dan ditingkatkan pada bising).

skala 5.

3. Tekanan darah yang NIC Label: Pemberian

dipertahankan pada skala Analgesik.

4 dan ditingkatkan pada 1. Tentukan lokasi,


skala 5. karakteristik, dan

keparahan nyeri

mengobati pasien.

2. Cek adanya riwayat

alergi obat.

3. Monitor tanda vital

sebelum dan setelah

memberikan analgesik.

4. Berikan kebutuhan

kenyamanan dan aktivitas

lain yang dapat

membantu relaksasi

untuk memfasilitasi

penurunan nyeri.

5. Berikan analgesik sesuai

waktu paruhnya, terutama

pada nyeri berat.

Hambatan mobilitas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Terapi Latihan:

fisik b/d penurunan keperawatan selama 3 x 24 jam Ambulasi.

kekuatan otot. diharapkan hambatan mobilitas 1. Beri pasien pakaian yang

fisik dapat teratasi, dengan tidak mengekang.


kriteria hasil: 2. Dorong untuk duduk di

NOC Label: Koordinasi tempat tidur, di samping

Pergerakan. tempat tidur, atau di

1. Kontraksi kekuatan otot kursi, sebagaimana yang

yang dipertahankan pada dapat ditoleransi pasien.

skala 4 dan ditingkatkan 3. Instruksikan ketersediaan

pada skala 5. perangkat pendukung,

2. Kecepatan gerakan yang jika perlu.

dipertahankan pada skala 4. Instruksikan pasien untuk

4 dan ditingkatkan pada memposisikan diri

skala 5. sepanjang proses

3. Keseimbangan gerakan pemindahan.

yang dipertahankan pada 5. Bantu pasien untuk

skala 4 dan ditingkatkan berpindah, sesuai

pada skala 5. kebutuhan.

NOC Label: Kemampuan NIC Label: Manajemen

berpindah. Lingkungan.

1. Berpindah dari tempat 1. Ciptakan lingkungan

tidur ke kursi yang yang aman bagi pasien.

dipertahankan pada skala 2. Singkirkan bahaya

4 dan ditingkatkan pada lingkungan (misalnya,

skala 5. karpet yang longgar dan


2. Berpindah dari kursi ke kecil, furnitur yang dapat

tempat tidur yang dipindahkan).

dipertahankan pada skala 3. Lindungi pasien dengan

4 dan ditingkatkan pada pegangan pada

skala 5. sisi/bantalan di sisi

3. Berpindah dari kursi ke ruangan yang sesuai.

kursi yang dipertahankan 4. Sediakan tempat tidur

pada skala 4 dan dengan ketinggian yang

ditingkatkan pada skala 5. rendah, yang sesuai.

5. Sediakan tempat tidur

dan lingkungan yang

bersih dan nyaman.

Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pengecekan

kulit b/d tekanan pada keperawatan selama 3 x 24 jam Kulit.

tonjolan tulang. diharapkan kerusakan 1. Periksa kulit dan selaput

integritas kulit dapat teratasi, lendir terkait dengan

dengan kriteria hasil: adanya kemerahan,

NOC Label: Integritas kehangatan ekstrim,

Jaringan: Kulit & Membran edema, atau drainase.

Mukosa. 2. Amati warna,

1. Suhu kulit yang kehangatan, bengkak,

dipertahankan pada skala pulsasi, tekstur, edema,

4 dan ditingkatkan pada dan ulserasi pada


skala 5. ekstremitas.

2. Sensasi yang 3. Periksa kondisi luka

dipertahankan pada skala operasi, dengan tepat.

4 dan ditingkatkan pada 4. Monitor warna dan suhu

skala 5. kulit.

3. Elastisitas yang 5. Monitor kulit untuk

dipertahankan pada skala adanya ruam dan lecet.

4 dan ditingkatkan pada 6. Monitor kulit untuk

skala 5. adanya kekeringan yang

4. Integritas kulit yang berlebihan dan

dipertahankan pada skala kelembaban.

4 dan ditingkatkan pada 7. Monitor infeksi, terutama

skala 5. dari daerah edema.

5. Pigmentasi abnormal yang 8. Lakukan langkah-

dipertahankan pada skala langkah untuk mencegah

4 dan ditingkatkan pada kerusakan lebih lanjut

skala 5. (misalnya, melapisi

6. Nekrosis yang kasur, menjadwalkan

dipertahankan pada skala reposisi).

4 dan ditingkatkan pada

skala 5. NIC Label: Perawatan

Luka.

1. Monitor karakteristik
luka, termasuk drainase,

warna, ukuran, dan bau.

2. Bersihkan dengan normal

saline atau pembersih

yang tidak beracun,

dengan tepat.

3. Berikan rawatan insisi

pada luka, yang

diperlukan.

4. Pertahankan teknik

balutan steril ketika

melakukan perawatan

luka, dengan tepat.

5. Ganti balutan sesuai

dengan jumlah eksudat

dan drainase.

Risiko Infeksi NOC NIC


Definisi : Rentan 1. Kontrol Resiko 1. Kontrol Resiko
mengalami invasi dan a. Mengidentifikasi a. Bersihkan
multiplikasi organisme factor resiko (5) lingkungan dengan
patogenik yang dapat secara konsisten baik setelah dipakai
mengganggu kesehatan. menunjukkan pasien lain
Faktor Risiko b. Mengenali factor b. Pertahankan teknik
1. Kurang resiko individu (5) isolasi
pengetahuan secara konsisten c. Batasi pengunjung
untuk menunjukkan bila perlu
menghindari c. Memonitor factor d. Instruksikan pada
pemajanan resiko di lingkungan pengunjung untuk
pathogen (5) secara konsisten mencuci tangan saat
2. Malnutrisi menunjukkan berkunjung dan
3. Obesitas d. Memonitor factor setelah berkunjung
4. Penyakit kronis resiko individu (5) meninggalkan pasien
(mis., diabetes secara konsisten e. Gunakan sabun
mellitus) menunjukkan antimikrobia untuk
5. Prosedur e. Mengembangkan cuci tangan
invasive strategi yang efektif f. Cuci tangan setiap
Pertahanan Tubuh dalam mengontrol sebelum dan setelah
Primer Tidak Adekuat resiko (5) secara tindakan
1. Gangguan konsisten keperawatan
integritas kulit menunjukkan g. Gunakan baju,
2. Gangguan f. Mengenali perubahan sarung tangan
peristalsis status kesehatan (5) sebagai pelindung
3. Merokok secara konsisten h. Pertahankan
4. Pecah ketuban menunjukkan lingkungan aseptic
dini selama pemasangan
5. Pecah ketuban alat
lambat i. Ganti letak IV perifer
6. Penurunan kerja dan line central dan
siliaris dressing sesuai
7. Perubahan pH dengan petunjuk
sekresi umum
8. Stasis cairan j. Pastikan teknik
tubuh perawatan luka yang
Pertahanan tubuh tepat
sekunder tidak adekuat k. Gunakan kateter
intermitten untuk
1. Imunosupresi menurunkan infeksi
2. Leukopenia kandung kencing
3. Penurunan l. Tingkatkan intake
hemoglobin nutrisi
4. Supresi respons m. Berikan terapi
inflamasi (mis., antibiotic bila perlu
interleukin 6 [IL- infection protection
6], C-reactive (proteksi terhadap
protein [CRP]) infeksi)
5. Vaksinasi tidak n. Monitor tanda dan
adekuat gejala infeksi
Pemajanan Terhadap sistemik dan local
Patogen Lingkungan o. Monitor hitung
Meningkat granulosit, WBC
1. Terpajan pada p. Monitor kerentanan
wabah terhadap infeksi
q. Batasi pengunjung
r. Pertahankan teknik
asepsis pada pasien
yang beresiko
s. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
t. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
u. Dorong masukan
nutrisi yang cukup
v. Dorong masukan
cairan
w. Dorong istirahat
x. Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotic sesuai
resep
y. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
z. Ajarkan cara
menghindari infeksi.
Ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi kurang dari 1. Status Nutrisi 2. Manajemen Gangguan
kebutuhan tubuh a. Asupan gizi (5) tidak Makan
Definisi : Intake nutrisi menyimpang. a. Kolaborasi dengan tim
tidak cukup untuk b. Asupan makanan (5) kesehatan lain utuk
keperluan metabolisme tidak menyimpang. mengembangkan
tubuh. c. Asupan cairan (5) rencana keperawatan
Batasan karakteristik : tidak menyimpang. dengan melibatkan
1. Berat badan 20 d. Energy (5) tidak klien dan orang – orang
% atau lebih di menyimpang. terdekat dengan tepat
bawah ideal e. Rasio BB/TB (5) tidak b. Rundingkan dengan
2. Bising usus menyimpang. tim dan klien untuk
hiperaktif 2. Status Nutrisi: Asupan mengatur target
3. Cepat kenyang Nutrisi pencapaian berat badan
setelah makan a. Asuan kalori (5) jika berat badan klien
4. Diare sepenuhnya adekuat. tidak berada dalam
5. Gangguan b. Asupan protein (5) rentang berat badan
sensasi rasa sepenuhnya adekuat. yang direkomendasikan
6. Kehilangan c. Asupan lemak (5) sesuai umur dan bentuk
rambut sepenuhnya adekuat. tubuh
berlebihan d. Asupan karbohidrat (5) c. Tentukan pencapaian
7. Kelemahan otot sepenuhnya adekuat. berat badan harian
pengunyah e. Asupan serat (5) sesuai keinginan
8. Kelemahan otot sepenuhnya adekuat. d. Rundingkan dengan
untuk menelan f. Asupan vitamin (5) ahli gizi dengan
9. Kerapuhan sepenuhnya adekuat. menuntukan asupan
kapiler 3. Nafsu Makan kalori harian yang
10. Kesalahan a. Hasrat/ keingian untuk diperlukan untuk
informasi makan (5) tidak mempertahankan berat
11. Kesalahan terganggu. badan yang sudah
persepsi b. Menyenangi makanan ditentukan
12. Ketidakmampuan (5) tidak terganggu. e. Ajarkan dan dukung
memakan c. Merasakan (5) tidak konsep nutrisi yang
makanan terganggu. baik dengan klien (dan
13. Kram abdomen d. Energi untuk makan (5) orang terdekat klien
14. Kurang informasi tidak terganggu. dengan tepat)
15. Kurang minat e. Intake Nutrisi (5) tidak
pada makanan terganggu.
16. Membran f. Rangsangan untuk
mukosa pucat makan (5) tidak
17. Nyeri abdomen terganggu.
18. Penurunan BB
dengan asupan
makanan adekuat
19. Sariawan rongga
mulut.
20. Tonus otot
menurun.
Faktor-faktor yang
berhubungan :
1. Faktor biologis
2. Faktor ekonomi
3. Gangguan
psikososial
4. Ketidakmampuan
makan
5. Ketidakmampuan
mencerna
makanan
6. Ketidakmampuan
mengabsorpsi
nutrient
7. Kurang asupan
makan

(Sumber: Moorhead, Sue., et al., 2013 & Bulechek, Gloria. M., et al., 2013)
D. EVALUASI
A. Nyeri akut b/d agens cedera fisik.
1) Nyeri yang dilaporkan dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada

skala 5.

2) Ekspresi nyeri wajah yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan

pada skala 5.

3) Tekanan darah yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada

skala 5.

B. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang.


1) Kontraksi kekuatan otot yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan

pada skala 5.

2) Kecepatan gerakan yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada

skala 5.

3) Keseimbangan gerakan yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan

pada skala 5.

C. Kerusakan integritas kulit b/d tekanan pada tonjolan tulang.


1) Suhu kulit yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada skala 5.

2) Sensasi yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada skala 5.

3) Elastisitas yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada skala 5.

4) Integritas kulit yang dipertahankan pada skala 4 dan ditingkatkan pada

skala 5

D. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis.


1) Asupan gizi (5) tidak menyimpang.
2) Asupan makanan (5) tidak menyimpang.
3) Asupan cairan (5) tidak menyimpang.
4) Energy (5) tidak menyimpang.
5) Rasio BB/TB (5) tidak menyimpang.

E. Risiko infeksi b/d gangguan integritas kulit.


1) Mengidentifikasi factor resiko (5) secara konsisten menunjukkan
2) Mengenali factor resiko individu (5) secara konsisten menunjukkan
3) emonitor factor resiko di lingkungan (5) secara konsisten menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Butcher, Dochterman dan Wagner. (2013). Nursing Interventions


Classification (NIC) Edisi Keenam. Indonesia : Elsevier.
Doenges, M. E. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
Keperawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Dwisang, E. L. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis.
Tanggerang Selatan: BINARUPA AKSARA.
Helmi, N. Z. (2013). Trigger Finger. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.
Herdman & Kamitsuru. (2018). NANDA-I Diagnosa Keperawatan Difinisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC.
Mansjoer, A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, Johnson, Maas, dan Swanson. (2013). Nursing Outcomes Classification
(NOC) Edisi Keenam. Indonesia : Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Perioperatif Konsep, Proses, dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori, dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai