Anda di halaman 1dari 52

1.

PENDAHULUAN
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh
salah satu sebab.Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga.Setiap tahun 60 juta penduduk Amerika
Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta
membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Banyak dari korban trauma tersebut
mengalami cedera musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan
lunak. Cedera sistem musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan
akan mengancam kehidupan kita.
Salah satu cedera musculoskeletal yang sering terjadi adalah
fraktur.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus
fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas
dan trauma benda tajam/ tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami
fraktur sebanyak 1.775 orang(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas,
yangmengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda
tajam/ tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas, gangguan fungsi muskuloskeletal, putusnya
kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler (Sjamsuhidajat, De Jong,
2011).Namun tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur
kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear, fisur atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain)sedangkan diagnosis fraktur
bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x (radiologis) pasien.
Maka dari itu penting bagi seorang klinisi untuk mengetahui bagaimana
gambaran radiologi pada fraktur untuk menentukan suatu diagnosis.

1
2. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan rudapaksa. Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti
degenerasi tulang seperti osteoporosis. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian.
Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI


 Anatomi Tulang
Tulang adalah organ dengan struktur keras dan kaku yang membentuk
kerangka manusia. Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
“Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada
206 tulang dalam tubuh manusia,
Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya :
1. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari
epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah
tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng
pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di

2
lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan
oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang
yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular).
Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi,
dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron
merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan
testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang
memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi
sumsum tulang.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi
dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
(berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi

3
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan
dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 %


endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat
kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam
terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion

4
magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen
melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan
tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan
jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon
terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu
pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-
garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid,
dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang,
osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu
dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini
dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan
cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang
disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari
sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan
berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis.
Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan
memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas
menghilang dan muncul osteoblas. Osteoblas mulai mengisi daerah yang kosong

5
tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah
melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang
terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja,
aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih
panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada
tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan
osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia
pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang
mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang
mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas
osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas
osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga
dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang.
Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme
pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah
promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang
dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut.
Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti
tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang).
Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang.
Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara
langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium
darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar
meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan

6
demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat
dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol
oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang
terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara
umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut.
Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi
ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D
di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu
hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan
kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan
pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium serum.
 Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4). Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang
(hema topoiesis).
5). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

7
4. ETIOLOGI
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas.Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan
kerja, cidera olah raga.Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak
langsung.Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan
fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki-laki daripada
orang perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan pada orang tua, wanita lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki
yang berhubungan dengan meningkatnya insidensi osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menopause.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Jadi penyebab fraktur adalah:
a. Trauma tulang dikenai tekanan/ stress yang lebih besar
b. Kecelakaan kendaraan bermotor
c. Kecelakaan karena pekerjaan olahraga
d. Osteoporosis
e. Pukulan langsung
f. Gaya meremuk
g. Gerakan puntir mendadak
h. Kontraksi otot ekstrem

8
5. KLASIFIKASI FRAKTUR
Macam-macam klasifikasi jenis fraktur perlu untuk diketahui dan dipahami,
untuk menentukan treatment dan juga mempermudah evaluasi perbaikan yang terjadi
setelah treatment.Berdasarkan Orthopaedic Trauma Association (OTA) fraktur dapat
diklasifikasikan menjadi
1. Fraktur Linear
a. Transversal yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang
b. Obliq yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
c. Spiral yaitu fraktur memuntir sepanjang batang tulang

9
2. Fraktur Communited yaitu terdapat lebih dari dua fragmen fraktur yang
biasanyaterpecah belah.
a. Communited <50%
b. Communited >50%
c. Butterfly <50%
d. Butterfly>50%

3. Fraktur Segmental
a. Two level
b. Three or more level
c. Longitudinal split
d. Communited

10
4. Fraktur Bone Loss
a. Bone loss <50%
b. Bone loss >50%
c. Complete bone loss

Terdapat juga fraktur yang dimana tulang tidak benar-benar patah terbelah
yang mana sering disebut fraktur inkomplit. Jenis fraktur inkomplit adalah
1. Greenstick. Jenis fraktur ini sering ditemukan pada anak-anak, tulang
melengkung disebabkan oleh konsistensinya yang elastis. Periosteumnya tetap
utuh. Fraktur ini biasanya mudah diatasi dan sembuh dengan baik.

11
Gambar 1: Greenstick fraktur pada radius distal seorang anak. Fraktur tidak
komplit dan tidak meluas ke korteks dorsal (Buckwalter, J. A.,et al)
2. Fraktur kompresi. Fraktur ini biasanya terjadi pada orang dewasa dan secara
khas mengenai korpus vertebra atau kalkaneus. Reduksi secara sempurna
jarang terjadi dan pasien mungkin akan mengalami deformitas.

Gambar 2: Kompresi baji anterior korpus vertebra T12 (Buckley, R. 2004)

Menurut hubungan dengan keadaan sekitarnya fraktur dapat dibagi menjadi:


a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/ compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan dikulit.

12
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu :

1. Derajat I :Luka <1 cm.Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada luka
remuk.Fraktursederhanatransversal, oblig, atau kominutif ringan.
Kontaminasi minimal.
2. Derajat II :Laserasi >1 cmKerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap /
avulsi Fraktur kominutif sedangKontaminasi sedang
3. Derajat III :Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat
tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas / flap / avulsi, atau fraktur segmental /
sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi
tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar
ataukontaminasi massif.
c) Luka pada pembuluh arteri / saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpamelihat kerusakan jaringan lunak.

Berdasarkan letak anatomis tubuh, fraktur dibagi menjadi beberapa bagian :

1. Kepala dan Wajah

1. Le Fort Fracture

2. Fraktur Basis Crani

1. Ekstremitas atas
a. Regio gelang bahu
1) Fraktur klavikula
2) Fraktur skapula

13
3) Fraktur humerus subkapital
b. Regio humerus
1) Fraktur suprakondiler humerus
2) Fraktur humerus kondiler
3) Fraktur olecranon
4) Fraktur kapitulum radius
c. Regio siku
1) Fraktur suprakondiler humerus
2) Fraktur humerus kondiler
3) Fraktur olecranon
4) Fraktur kapitulum radius
d. Regio lengan bawah
1) Fraktur radius
2) Fraktur ulna
3) Fraktur antebrakii
4) Fraktur monteggia
5) Fraktur galeazzi
e. Regio pergelangan bawah
1) Fraktur radius distal
2) Fraktur tulang karpal
f. Regio tangan
1. Tulang belakang
a. Regio vertebra servikal
1) Fraktur tulang atlas
2) Fraktur tulang odontoid
3) Fraktur tulang vertebra servikal bawah
b. Regio vertebra torakolumbal
2. Ekstremitas bawah
a. Regio tulang panggul

14
b. Regio sendi panggul
1) Fraktur leher femur
2) Fraktur tulang trokanter femur
c. Regio femur
1) Fraktur batang femur pada anak
2) Fraktur batang femur pada dewasa
d. Regio lutut
1) Fraktur emur interkondiler
2) Fraktur patella
3) Fraktur plato tibia
e. Regio tungkai bawah
1) Fraktur batang tibia dan fibula
2) Fraktur tibia
3) Fraktur fibula
f. Regio pergelangan kaki
1) Fraktur pergelangan kaki
2) Fraktur malleolus medialis
3) Fraktur malleolus lateral
4) Fraktur bimaleolaris
5) Fraktur kompresi pada tibia
g. Regio pedis
1) Fraktur talus
2) Fraktur kalkaneus
3) Fraktur metatarsal
4) Fraktur jari kaki

15
FRAKTUR INTRA-ARTIKULAR
Fraktur intra articular adalah merupakan faktur yang terjadi pada
daerah epifisi ( tulang rawan epifisis).

 Fraktur Bennett

Gambar 3: fraktur Bennet pada tulang metakarpal I (Arif,


Mansjoer, dkk., 2000)
Fraktur ini disebabkan oleh abduksi ibu jari yang dipaksakan dan tampak
sebagai fraktur oblik yang mengenai permukaan artikulasi proksimal pada tulang
metakarpal I. Fragmen kecil tulang metakarpal I tetap berartikulasi dengan trapezium,
sementara bagian tulang yang lain mengalami dislokasi ke arah dorsal dan radial
akibat tarikan muskulus abduktor policis longus. Kegagalan mendiagnosis dan
mengobati fraktur intraartikular pada metakarpal dapat menimbulkan rasa nyeri yang
lama,kekakuan, dan atritis pascatrauma akibat permukaan artikular yang tidak rata.

 Fraktur Barton
Fraktur ini akibat terjatuh dengan tangan terentang.Fraktur oblik intraartikular
mengenai tepi dorsal radius bagian distal.Terkadang hal ini juga ada kaitannya
dengan dislokasi persendian pergelangan tangan.Bila fraktur mengenai permukaan
volar radius bagian distal, fraktur ini disebut sebagai kebalikan fraktur Barton.Kedua
bentuk fraktur ini paling baik dilihat pada proyeksi lateral oleh karena orientasi
koronal dari garis fraktur.

16
 Fraktur plato tibia

Gambar 4: fraktur depresi pada plato tibia lateral (Canale, S. T. 2003)

Kebanyakan fraktur ini mengenai plato tibial lateral. Mekanisme cederanya


karena terpelintir. Kadang-kadang fraktur tidak terlihat jelas pada proyeksi AP dan
lateral yang standar. Oleh karena itu, kemungkinan dibutuhkan pandangan oblik, atau
tomografi unutk mengenali dan menilai derajat beratnya fraktur.Sekitar 10% fraktur
ini disebabkan oleh cedera ligamentum sendi lutut.

17
 Fraktur pergelangan kaki

Gambar 5 : fraktur maleolus medialis dengan sebuah fragmen yang terlepas (Canale,
S. T. 2003)

Gambar 6: fraktur dislokasi pada pergelangan kaki (Canale, S. T. 2003)

Fraktur ini disebabkan oleh cedera inversi atau eversi, atau kombinasi kedua
meknisme tersebut.Macam-macam fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan pada
jenis cedera atau jenis fraktur yang terlibat.Jenis fraktur dapat berupa fraktur
unimaleolar (maleolus medial atau lateral), fraktur bimaleolar, fraktur trimaleolar bila

18
tuberkulum posterior tibia distal terkena, atau fraktur kompleks bila terjadi fraktur
komunitif pada bagian distal dan fibula.Fraktur dislokasi dapat terjadi bila sendi
pergelangan kaki (ankle mortse) terganggu akibat cendera tulang dan ligamentum.
 Fraktur kalkaneus

Gambar 7: fraktur kominutif pada kalkaneus (Canale, S. T. 2003)

Fraktur ini merupakan fraktur tulang tarsus yang paling sering terjadi.Fraktur
terjadi akibat jatuh dari ketinggian dan biasanya bilateral.Kemungkinan disertai
dengan fraktur tulang belakang, terutama pada vertebra lumbal kedua.fraktur dapat
diklasifikasikan sebagai eksrta-artikular atau intraartikular bila fraktur mengenai
sendi susbtarsal atau kalkaneokuboid.Pada fraktur intra artikular, penting untuk
menilai derajat depresi pada permukaan posterior sendi subtalar. Mengukur sudut
Bohler dari foto lateral membantu untuk menilai depresi. Walaupun demikian, CT
scan dapatmemperlihatkan posisi fragmen tulang secara tepat dan luas depresi
permukaan posterior sendi subtalar.

19
FRAKTUR CRANIAL

Fraktur Cranial

 Fraktur Le Fort

Gambar fraktur 8: CT Scan Fracture Le Fort

fraktur Le Fort I (horizontal) yang dihasilkan dari trauma langsung pada


bagian bawah rima alveolar maksilaris pada arah bawah. Fraktur mulai dari
septum nasi ke rima pirifomis lateral, berjalan secara horizontal ke atas apeks
gigi, menyeberang di bawah zigomaticomaksilaris junction, dan melewati
pterigomaksilaris junction untuk sampai ke pterigoid plate.

20
Fraktur Le Fort II (piramidal) hasil dari trauma pada mid maksila.6 Seperti
fraktur yang mempunyai bentuk piramidal dan melewati nasal bridge atau di
bawah sutura nasofrontal melalui prosesus frontal dari maksila, di bagian
inferolateral melewati os lakrimal dan lantai serta rima orbita inferior atau
dekat dengan foramen orbita inferior dan ke inferior melalui dinding anterior
sinus maksila. Ini kemudian berjalan di bawah zigoma, ke fisura
pterigomaksilaris dan melalui pterigoid plate.
Le Fort III (transversa), juga dinamakan craniofasial disjunction, dapat
mengikuti trauma pada nasal bridge atau maksila bagian atas.3 Ini hasil dari
trauma langsung dari anterior ke sepertiga tengah wajah atau dari inferior
trauma ke simfisis mandibular menjalar ke midface melalui segmen
dentoalveolar mandibular.Fraktur ini mulai dari sutura nasofrontal dan
frontomaksilaris dan meluas bagian posterior sepanjang dinding medial orbita
melalui alur nasolakrimal dan os etmoid.
 Fraktur Basis Crani

Gambar fraktur 9: Ct-Scan Fraktur Basis Crani

fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali
disertai dengan robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar
tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan

21
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan
battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.

FRAKTUR NON ARTI-KULAR


 Fraktur Colles

Gambar fraktur 10: Fraktur colles pada pergelangan tangan dalam foto AP dan lateral
(Rasjad C, 2003)

Fraktur ini akibat terjatuh dengan tangan terentang.Fraktur radius terjadi


dikorpus distal, biasanya sekitar 2cm dari permukan artikular.Fragmen distal bergeser
ke arah dorsal dan proksimal, memperlihatkan gambaran deformitas “garpu-makan
malam”. Kemungkinan dapat disertai dengan fraktur pada proses stiloideus ulna.

22
 Fraktur Smith

Gambar 11: Pandangan lateral pergelangan tangan memperlihatkan fraktur smith


(kebalikan fraktur colles). (Solomon L, et al, 2010)

Fraktur ini biasanya akibat terjatuh pada punggung tangan atau pukulan keras
secara langsung pada punggung tangan.Fragmen distal bergeser ke arah ventral
dengan deviasi radius tangan yang memberikan gambaran deformitas “sekop kebun”.
Fraktur Suprakondiler

23
Gambar 12: Fraktur suprakondiler pada humerus distal seorang anak (Chapman MW,
2001)

Fraktur ini merupakan jenis fraktur siku yang paling sering terjadi pada anak-
anak berusia 3-10 tahun.Sebgian besar fraktur akibat terjatuh pada tangan terentang
dengan hiperekstensi siku.Fragmen distal bergeser ke posterior.

24
 Fraktur Jones
Fraktur ini dapat mengenai basis tulang metatarsal V. Garis fraktur berjalan
secara transversal bila dibandingkan dengan pusat osifikasi, yang berjalan secara
oblik.

Gambar 13: Frraktur jones pada metatarsal V foto AP dan lateral (Chapman MW,
2001)

25
FRAKTUR YANG BERKAITAN DENGAN PENINGKATAN RISIKO
NEKROSIS AVASKULAR (AVN)

 Tulang skafoid

Gambar 14: Fraktur skafoid dengan pergeseran yang disertai dengan fraktur pada
radius distal (Rasjad C 2009)

Tulang ini adalah tulang karpal yang paling sering mengalami


fraktur.Kebanyakan terjadi dibagian pinggang tulang diikuti dipolus proksimal dan
tuberositas. Cedera yang berkaitan dengan tulang ini antara lain dislokasi perilunatum
dan fraktur radius. Komplikasi terjadinya penyatuan yang lambat (delayed union)
atau tidak terjadinya penyatuan (non union) meningkatkan resiko osteonekrosis, yang
sering mengenai fragmen proksimal.

26
 Kolum femoris

Gambar 15: fraktur dengan pergeseran kolum femoris kiri (Williams & Wilkins;
1999)

Fraktur pada daerah ini termasuk fraktur intrakapsular, yang terjadi subkapital,
trans-servikal atau basiservikal.Tidak terjadinya penyatuan tulang (non-union)
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada cedera tersebut, yang dapat
menyebabkan osteonekrosis.

FRAKTUR/DISLOKASI
 Galeazzi

Gambar 16: fraktur Galleazi pada radius dengan dislokasi sendi radioulnar distal
(Williams & Wilkins; 1999)

Fraktur ini akibat terjatuh dengan terentang dan lengan bawah dalam keadaan
pronasi, atau terjadi karena pukulan langsung pada pergelangan tangan bagian

27
dorsolateral.Fraktur ini merupakan fraktur sepertiga distal radius dengan dislokasi
sendi radioulna distal. Fragmen distal mengalami pergeseran dang angulasi ke arah
dorsal. Dislokasi mengenai ulna ke arah dorsal dan medial.

 Monteggia
Fraktur jenis ini disebabkan oleh pronasi lengan bawah yang dipaksakan saat
jatuh atau pukulan secara langsung pada bagian dorsal sepertiga proksimal lengan
bawah.Fraktur ini terdiri dari fraktur ulna proksimal dengan angulasi anterior yang
disertai dengan dislokasi anterior kaput radius.

 Dislokasi perilunatum transkafoid

Gambar 15: Foto AP dan lateral pergelangan tangan menunjukkan fraktur transkafoid
yang bergeser dengan dislokasi periunatum (Williams & Wilkins; 1999)

28
Fraktur ini merupakan fraktur yang paling sering disebabkan oleh dislokasi
karpal. Proyeksi frontal (AP) memperlihatkan fraktur skafoid dengan jelas, namun
pandangan lateral menunjukan pergeseran tulang kapitatum ke arah dorsal yang
berhubung dengan tulang lunatum, yang tetap berartikulasi dengan radius distal, oleh
karena itu, disebut dislokasi periulnar.

 Fraktur Maisonneuve
Terjadi fraktur fibula proksimal yang disebabkan oleh robekan pada membrana
interoseus dan sindesmosis tibiofibularis distal.Kemungkinan juga disertai dengan
robek ligamentum deltoid atau fraktur maleolus medialis yang menyebabkan
pelebaran kompartemen sendi medial.

 Fraktur Lisfranc

Gambar 18: dislokasi fraktur lisfranc kaki (Holmes, Erskin J 2004)

Fraktur ini biasanya terjadi sesudah jatuh dari ketinggian atau saat menuruni
tangga pesawat terbang.Ligamentum Lisfranc yang terletak antara tulang kuneiform I
dan basis tulang metatarsal II terputus atau mengalami avulsi pada tempat insersinya.
Terdapat 2 variasi cedera, yaitu dislokasi homolateral metatarsal I sampai V dan
perpindahan lateral divergen metatarsal II sampai V dengan pergeseran tulang

29
metatarsal I ke medial atau dorsal. Fraktur yang terkait antara lain fraktur yang terjadi
pada basis metatarsal II dan yang lebih jarang, pada tulang metatarsal III, Kuneiform
I atau tulang kuboid.

TRAUMA PADA TULANG BELAKANG


 Tulang belakang servikal
Pemeriksaan radiologis bergantung pada keadaan pasien.Pada pasien dengan
trauma berat (tidak sadar, fraktur multipel, dan sebagainya) pemeriksaan harus
dilakukan dengan hati-hati dan semua foto harus dibuat dengan pasien berbaring
terlentang dan manipulasi sedikit mungkin. Foto yang terpenting adalah foto lateral
dengan pasien berbaring dan sinar horizontal.
Biasanya segmen bawah tulang leher (CVI-VII) tertutup oleh bahu. Untuk
mengatasi hal ini bahu direndahkan dengan cara menarik lengan penderita ke bawah.
Proyeksi oblik dapat menambah informasi tentang pedikel, foramina intervertebra
dan sendi apofiseal.
Bila pasien dalam keadaan baik, sebaiknya dibuat foto AP, termasuk dengan
mulut terbuka untuk melihat CI dan CII, foto lateral dan foto oblik kiri dan kanan.
Trauma servikal diklasifikasikan berdasarkan mekanisme trauma dan derajat
kestabilan (stabil dan tidak stabil).
Berdasarkan mekanisme trauma adalah
a. Hiperfleksi
 Subluksasi anterior: terjadi robekan pada sebagian ligamen di posterior tulang
leher, ligamen longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada
subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis) lokal pada tempat
kerusakan ligamen. Tanda-tanda lainnya, jarak melebar antara prosesus spinosus,
subluksasi sendi apofiseal.
 Bilateral interfacetal dislocation: terjadi robekan pada ligamen longitudinal
anterior dan kumpulan ligamen diposterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak
dislokasi sekunder anterior korpus vertebra. Dislokasi total sendi apofiseal.

30
 Flexion tear drop fracture dislocation: tenaga fleksi murni ditambah komponen
kompresi menyebabkan robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan
ligamen posterior disertai fraktur avulsi pada bagian antero-inferior korpus
vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi, fragmen tulang
berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus vertebra, pembengkakan
jaringan lunak pravertebral.

Gambar 19: fraktur teardrop fleksi pada vertebra C5 (Salter RB. 1999)

31
 Wedge fracture: vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligamen longitudinal
anterior dan kumpulan ligamen posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.
 Clay shovele’s fracture: fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligamen
posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus
spinosus, biasanya pada CVI-CVII atau ThI

b. Fleksi-rotasi
Terjadinya dislokasi interfacetal pada satu sisi.Lesi ini stabil walaupunterjadi
kerusakan pada ligamen posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang
bersangkutan.Tampak dislokasi anterior korpus vertebra.Vertebra yang bersangkutan
dan vertebrae proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebrae distalnya tetap
dalam posisi lateral.
c. Hiperekstensi
 Fraktur dislokasi hiperekstensi: dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis,
lamina dm prosesus spinosus. Fraktur avulsi korpus vertebrae bagian postero-
inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang
leher dan ligamen bersangkutan.
 Hangman’s fracture: terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior CII
terhadap CIII

32
Gambar 20 foto lateral vertebra memperlihatkan fraktur hangman
d. Ekstensi-rotasi
Terjadi fraktur pada prsosesu artikularis satu sisi.
e. Kompresi vertikal
Terjadinya fraktur akibat diteruskannya tenaga trauma melalu kepala, kondilus
oksipital, ke tulang leher.
 Bursting fracture dari atlas (Jefferson’s fracture)
 Bursting fracture vertebrae servikal tengah dan bawah.

 Tulang belakang Torakal dan Lumbal


Pemeriksaan radiologik rutin untuk trauma tulang belakang torakal dan lumbal
adalah proyeksi AP dan lateral.
Fraktur vertebra torakal bagian atas dan tengah jarang terjadi kecuali kondisi
berat osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka sering ada
kelainan neurologik. Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi atau trauma
langsung.Pada kompresi terjadi fraktur kompresi dapat timbul dari fraktur elemen
posterior vertebra, korpus dan iga didekatnya.Pada fraktur kompresi tampak korpus
berbentuk baji pada foto lateral.
Pada foto AP adanya pelebaran bayangan mediastinum di daerah yang
bersangkutan menunjukan adanya hematom paravetebral.Pada daerah torakolumbal
dan lumbal, mekanisme trauma dapat bersifat fleksi, rotasi dan kompresi.Trauma
fleksi paling sering dan menimbulkan fraktur kompresi.Trauma rotasi paling sering

33
terjadi pada torakolumbal (TI-LI) dan dapat menimbulkan fraktur dislokasi
disebabkan kerusakan pada elemen psoterior vertebra.

5. GAMBARAN KLINIS
 Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun trauma
ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana
nyeri tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi
anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala
lain.
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen
3. Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis
 Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan
- Perhatikan adanya pembengkakan
- Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka

34
- Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
- Perhatikan keadaan vaskular
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan  nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada
tulang
- Krepitasi  dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri pada
kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, dan temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pasien dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis, atau neurotmesis.

35
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi,
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan
lunak sebelumnya, maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Untuk konfirmasi adanya fraktur
- Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen
- Untuk menentukan teknik pengobatan
- Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
- Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan,
MRI, tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto polos
kita dapat mendiagnosis fraktur.

6. PENATALAKSANAAN
 Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan
jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih, dan imobilisasi
fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien merasa nyaman dan
mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans. Bila terdapat
pendarahan dapat dilakukan pertolongan dengan penekanan setempat.

36
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/ saraf
ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya
serta obat-obat anti nyeri.

 Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur


1. First, do no harm
Yakni dengan mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik. Hal ini bisa
dilakukan dengan pertolongan pertama yang hati-hati, transportasi pasien
ke rumah sakit yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan kerusakan
jaringan yang lebih parah.
2. Tatalaksana dasar berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
Keputusan pertama adalah menentukan apakah fraktur tersebut
membutuhkan reduksi dan bila iya maka tentukan tipe reduksi terbaik
apakah terbuka atau tertutup. Kemudian keputusan kedua yakni mengenai
tipe imobilisasi, apakah eksternal atau internal.
3. Pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang spesifik
Tujuan spesifik dalam tatalaksana fraktur yaitu :
 Untuk mengurangi rasa nyeri
Dikarenakan tulang bersifat relatif tidak sensitif, rasa nyeri pada
fraktur berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak termasuk
periosteum dan endosteum. Rasa nyeri ini dapat diperberat dengan
pergerakan fragmen fraktur yang berhubungan dengan spasme otot

37
dan pembengkakan yang progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat
berkurang dengan imobilisasi dan menghindari pembalutan yang
terlalu ketat. Beberapa hari pertama setelah terjadinya fraktur dapat
diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
 Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni
diindikasikan hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah
terjadinya artritis degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen fraktur
biasanya membutuhkan beberapa derajat imobilisasi, dengan
beberapa metode, termasuk continuous traction, plaster-of-Paris
cast, fiksasi skeletal eksterna, dan fiksasi skeletal interna,
berdasarkan derajat dari kestabilan atau ketidakstabilan reduksi.
 Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan
proses penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada
beberapa kasus, misalnya dengan robekan periosteum berat dan
jaringan lunak atau dengan nekrosis avaskular pada satu atau dua
fragmen, proses penyatuan tulang harus dengan autogenous bone
grafts, pada tahap penyembuhan awal atau lanjut.
 Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse
atrophy pada otot regional harus dicegah dengan latihan aktif
statik (isometrik) pada otot tersebut dengan mengkontrol
imobilisasi sendi dan latihan aktif dinamik (isotonik) pada seluruh
otot lainnya di tubuh. Setelah periode imobilisasi, latihan aktif
sebaiknya tetap dilanjutkan.

38
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami

Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai dengan


hukum alami yang ada.

5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan


Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang
realistik dan praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu
dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang
terjadi, dan perlu pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien secara
individual.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip


pengobatan ada empat (4R), yaitu :

 Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur


Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
 Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang
dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi
anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan
mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan
osteoartritis di kemudian hari.

39
Posisi yang baik adalah alignment yang sempurna dan aposisi yang
sempurna.
Fraktur seperti fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari humerus
tidak memerlukan reduksi. Angulasi <5º pada tulang panjang anggota
gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai 10º pada humerus
dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan over-
riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi tidak
dapat diterima dimanapun lokalisasi fraktur.
 Retention; imobilisasi fraktur
 Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional

Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan


splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum
maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multipel trauma,
sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis
pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan
menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun “OREF”.

Tujuan pengobatan fraktur yaitu :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Teknik


reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi
terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup,
fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post


reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstable serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.

40
Jenis Fiksasi :

a. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

• Gips (plester cast)

• Traksi

Jenis traksi :

• Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus

• Skin traksi

Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan
kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan
kulit akan lepas

• Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea,
femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun
komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi yaitu gangguan
sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin.

- Indikasi OREF :

• Fraktur terbuka derajat III

• Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

• Fraktur dengan gangguan neurovaskuler

• Fraktur Kominutif

41
• Fraktur Pelvis

• Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

• Non Union

• Trauma multipel

b. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara
ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

- Indikasi ORIF :

• Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrosis tinggi, misalnya
fraktur talus dan fraktur collum femur.

• Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulsi dan fraktur
dislokasi.

• Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur


Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.

• Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan
operasi, misalnya : fraktur femur.

Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :

1. Fase hematoma

Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur
dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar

42
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan
akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke
dalam jaringan lunak.

Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal

Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis
medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan
sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam
jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan
jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi
jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar
yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven

43
bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodelling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian
yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada
fase remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap
terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi
sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk ruang sumsum.

44
 Penilaian Penyembuhan Fraktur

Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis


dan union secara radiologis. Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan
daerah fraktur dengan melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan
kompresi untuk mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita.
Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak
ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis telah terjadi union dari fraktur.

Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah


fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan
adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut
dapat dilihat adanya medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.

Salah satu tanda proses penyembuhan fraktur adalah dengan terbentuknya


kalus yang menyeberangi celah fraktur (bridging callus) untuk menyatukan kembali

45
fragmen-fragmen tulang yang fraktur). Pembentukan bridging callus dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti jarak antara fragmen, stabilitas fraktur, vaskularisasi,
keadaan umum penderita, umur, lokasi fraktur, infeksi dan lain-lain. Vaskularisasi
daerah fraktur dapat berasal dari periosteum, endosteum dan medulla.

Penelitian tentang perubahan densitas kalus pernah dilakukan oleh Siregar


(1998, Bandung) dengan membandingkan pertumbuhan kalus pada penderita paska
operasi internal fiksasi dengan menggunakan plate dan screw dengan K-nail pada
pasien fraktur femur dan peneliti ini melakukan kriteria penilaian gambaran radiologi
serta membaginya menjadi:
Grade 0 : Kalus belum / tidak terbentuk / non union

Grade 1+: Bintik-bintik radioopak pada daerah fraktur

Grade 2+ : Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi sama dengan


lusensi medulla.

Grade 3+: Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi antara medulla
dengan korteks.

Grade 4+: Densitas kalus sama dengan atau lebih radioopak dari pada korteks.

Pada penelitian berikut ini diamati proses pertumbuhan kalus pada penderita
fraktur tulang panjang Humerus, Radius, Ulna, Femur, Tibia, dan Fibula.
Sampai saat ini belum ditemukan data awal tentang pertumbuhan kalus pada
masing – masing tulang panjang tersebut.

46
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang disebabkan oleh fraktur dapat bersifat sistemik atau lokal
terhadap tulang yang fraktur, jaringan lunak atau persendian yang berdekatan.
Komplikasi lokal yang mengenai tulang antara lain: komplikasi penyatuan, infeksi,
nekrosis avaskular.distrofi refleks simpatik dan gangguan pertumbuhan pada anak-
anak bila yang terkena adalah lempeng pertumbuhan.
Komplikasi lokal nontulang dapat mengenai jaringan lunak dan persendian
yang berdekatan.Diantara cedera jaringan lunak, kondisi yang sering terjadi adalah
trauma terhadap pembuluh darah yang berdekatan dengan tempat fraktur, sindrom
kompartemen dan juga cedera pada saraf dan visera yang berdekatan.
Komplikasi yang mengenai persendian antara lain hemartrosis dan kekakuan
sendi akibat edema dan fibrosis. Osteoartritis pascatrauma dapat disebabkan oleh
kerusakan pada kartilago artikular dan permukaan sendi atau stres abnormal yang
terjadi karena malunion fraktur korpus.

47
KESIMPULAN

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.

Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan


untuk menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari: (1) cedera;
(2) stress berulang; (3) fraktur patologis.

Diagnosis fraktur berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana
nyeri tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi anggota
gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain. Pada
pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan adanya syok, anemia atau pendarahan,
kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen, dan faktor predisposisi misalnya
pada fraktur patologis. Pada pemeriksaan lokal dilakukan inspeksi (Look), palpasi
(Feel), pergerakan (Move), pemeriksaan neurologis , dan dilakukan pemeriksaan
radiologis.

Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur yaitu First, do no harm, tatalaksana dasar


berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat, pemilihan tatalaksana dengan
tujuan yang spesifik yakni untuk mengurangi rasa nyeri, untuk memelihara posisi
yang baik dari fragmen fraktur, untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang
(union), untuk mengembalikan fungsi secara optimal, mengingat hukum-hukum
penyembuhan secara alami, bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis
pengobatan, dan seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual.Sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip pengobatan ada
empat (4R), yaitu :Recognition, Reduction, Retention, dan Rehabilitation.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Mansjoer, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3, Medica.


Aesculpalus, FKUI, Jakarta.

2. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Buckwalter, J. A.,et al. 2000.Orthopaedic Basic Science – Biology and
Biomechanics of The Musculoskeletal System, Second Edition, American
Academy of Orthopaedic Surgeons, United States of America.

4. Buckley, R. 2004. General Principle of Fracture Care, Department of Surgery,


Division of Orthopaedi, University of Calgary, Canada.

5. Canale, S. T. 2003Fracture Healing ( Bone Regeneration ), In: Campbell’s


Operative Orthopaedic, Tenth Edition, Vol : 3, Mosby, United States of
America.

6. Chapman, M. 2001. W.Chapman orthopedic surgery 3rd ,Lippincott wiliams &


Walkins United States of America, California.

7. David I. P. 2008.Orthopedic Traumathology – A Residents Guide 2nd editon,


Leipzig, Germany.

8.Miller, M. D. 2000.Review of orthopedic third edition, Phidelphia: Saunders.

9. Carpenito, 1999. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Penerjemah Monica Ester,


Jakarta:EGC.

10. Doenges Marlyn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Unuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3). (Alih Bahasa 1 Made Kriase),
Jakarta: EGC

49
11. Rasjad C, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12 Edition. Bintang
Lamupatue. Makasar.

12. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9th ed.
London: Hodder Arnold; 2010.

13. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.

14. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. p.
325-6; 355-420.

15. Konowalchuk BK, editor. Tibia shaft fractures [online]. 2012. [cited 2012 Feb
28]. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1249984

16. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the muesculoskeletal system.
USA: Williams & Wilkins; 1999. p. 436-8.

17. Universitas sumatera utara. Fraktur. Available at:


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter%20I.pdf. Accessed
on January 4th, 2014.

18. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Musculoskeletal


Imaging in Primer of Diagnostic Imaging.4th Edition. United States: Mosby Elsevier;
2007.

19. Holmes, Erskin J., A-Z of Emergency Radiology. Cambridge University; 2004.

20. Sjamsuhidat. R., De Jong., Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran; 2003.

50
BAGIAN RADIOLOGI REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2018
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FRAKTUR

Oleh:
Muhammad Isyraqi, S.Ked
111 2017 2132

Supervisor :
dr. St. Nazrah A, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR

51
2018

52

Anda mungkin juga menyukai