Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa, sedangkan menurut Linda Jual C dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumenation menyebutkan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan dari luar yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,
(Rosyidi, Kholid. 2013. Hal: 35).
Dewasa ini fraktur femur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas
di Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah
pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka
kemungkinan terjadinya fraktur akibat kecelakaan lalu lintas menjadi semakin tinggi.
Disamping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain di antaranya adalah jatuh
dari ketinggian, kecelakaan kerja dan cedera olah raga.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini
(2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi
miring, pemuntiran (twisting), atau penarikan. Akibat trauma pada tulang bergantung pada
jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Batang femur juga dapat mengalami fraktur oleh trauma
langsung pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu
lintas.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis
mencoba merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana melakukan asuhan keperawatan
perioperatif kepada An. W dengan kasus Fraktur Femur.

3. TUJUAN
1) Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan asuhan keperawatan ini adalalah untuk mengetashui
bagaimana asuhan keperawatan perioperatif fraktur femur di RSUD Kebumen
2) Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pre operatif Fraktur Femur
b. Untuk Mengetahui asuhan keperawatan intra operasi Fraktur Femur
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan post operasi Fraktur Femur

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI MUSKULOSKLETAL

1) Tulang

Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang.
Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia.

Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentu


kannya :

1) Tulang panjang (Femur, Humerus)

terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang
disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis
dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebutlempeng
epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang
rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan
oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir
tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti
tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis.
Kanalis medularis berisi sumsum tulang.

1. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
2. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
3. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
4. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
misalnya patella (kap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri
atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi
dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun.Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang

2
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuclear
(berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuliyang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).

Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakanperiosteum.


Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
yang merupakan sel pembentuk tulang.

Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum


tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan
dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).

2) Otot

Otot dibagi dalam tiga kelompok, dengan fungsi utama untuk kontraksi dan
menghasilkan pergerakan dari bagian tubuh atau seluruh tubuh. Kelompok otot terdiri
dari :

a. Otot rangka (otot lurik) : didapatkan pada sistem skeletal danberfungsi untuk
memberikan pengontrolan pergerakan mempertahnakan sikap dan menghasilkan
panas.
b. Otot viseral (otot polos) : didapatkan pada saluran pencernaan, saluran
perkemihan dan pembuluih darah. Dipengaruhi oleh sistem saraf otonom dan
kontraksinya tidak dibawah kontrol keinginan.
c. Otot jantung : didapat hanya pada jantung dan kontraksinya tidak kontorl
keinginan.

Otot rangka merupakan otot yang mempunyai variasi ukuran dan bentuk dari
panjang dan tipis sampai dengan yang lebar dan datar atau dapat berbentuk massa-
massa yang besar sekali. Kontraksi otot rangka hanya dapat dirangsang. Energi
kontraksi otot dipenuhi dari pemecahan adenosin triphospate (ATP) dan kegiatan
kalsium. Serat-serat dengan oksigenasi secara adekuat dapat berkontraksi lebih kuat,
bila dibandingkan dengan oksigenisasi tidak adekuat.

Pergerakan ditimbulkan oleh tarikan otot pada tulang yang berperan sebagai
pengungkit dan sendi berpungsi sebagai tumpuan/penopang. Otot rangka lebih besar
dari pembuluh darah. Selama kontraksi otot akan terjadi perubahan kimia. Akibatnya
terjadi pembentukan produk-produk sisa metabolisme. Otot yang lelah dan nyeri
terjadi pada saat otot kekurangan oksigen dan produk buangan tidak dapat dikeluarkan.

3
3) Kartilago
Kartilago terdiri dari serat-serat dilekatkan pada suatu gelatin yang kuat.
Kartilago sangat kuat tetapi fleksible dan tidak bervaskuler. Nutrisi mencapai kesel-sel
kartilago dengan proses difusi melalui gelatin dari kapiler-kapiler yang berada
di perichondrium (fibrous yang menutupi kartilago ) atau sejumlah serat-serat kolagen
didapatkan pada kartilago, dimana tipenya: fibrous, hyaline, atau elastik. Fibrous atau
(fifibrocartilago) mempunyai banyak serat-serat dan oleh karena itu paling besar
kekuatannya untuk merenggang . Fibrocartilagomenyusun diskus intervertebralis.
Arthicular (Hyaline) cartilage-halus, putih, putih, berkilau dan kenyal membungkus
permukaan persediaan dari tulang dan beberapa sebagian bantalan. Kartilago elastik
mempunyai paling sedikit serat-serat dan sering didapatkan pada daerah telinga luar.

4) Sumsum Tulang
Jaringan vaskuler dalam rongga sumsum (batang) tulang panjang dan dalam
tulang pipih. Sumsum tulang merah, yang terutama terletak di sternum, ilium, vertebra
dan rusuk pada orang dewasa, bertanggung jawab pada produksi sel darah merah dan
putih. Pada orang dewas, tulang panjang terisi oleh sumsum lemak kuning. Biopsi
sumsum tulang dilakukan pada tulang pipih.

5) Ligament
Ligament adalah sekumpulan dari jaringan fibrous yang tebal dimana
merupakan akhiran dari suatu aoat dan berfungsi mengikat suatu tulang.

6) Tendon
Tendon adalah suatu perpanjangan dari pembungkus fibon yang membungkus
setiap otot dan berkaitan dengan prioteum jaringan penyambung yang mengelilingi
tendon tertentu khususnya pada pergelangan tangan dan tumit. Pembungkus ini dibatasi
oleh membram synovial lumbrika untuk memudahkan pergerakan tendon.

7) Fasia
Fasia adalah suatu permukaan jaringan penyambun longgar yang didapatkan
langsung dibawah kulit sebagai fasisupervisial atau pembungkus tebal, jaringan
penyambung fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah. Bagian akhir
diketahui sebagai fasia dalam.

8) Bursae
Burse adalah suatu kantong kecil dair jaringan penyambung disuatu tempat,
dimana digunakan diatas bagian yang bergerak, misalnya terjadi antara kulit dan tulang,
anatar tendon dan tulang atau antara otot. Burse bertindak sebagai penampang antara
bagian yang bergerak, seperti pada olecra non bursae, terletak antara presesus dan kulit.

9) Persendian

4
Pergerakan tidak akan mungkin terjadi bila kelenturan dalam rangka tulang
tidak ada. Kelenturan dimungkinkan karena adanya persendian, atau letak dimana
tulang-tulang berada bersama-sama. Bentuk dari persendian akan ditetapkan
berdasarkan jumlah dan tipe pergerakan yang memungkinkan, dan klasifikasi
didasarkan pada jumlah pergerakan yang dilakukan.

Menurut klasifikasi terdapat 3 kelas utama persendian yaitu :

a. Sendi Synarthroses (sendi yang tidak bergerak). Misalnya adalah sendi pada tulang
tengkorak
b. Sendi Amphiarthroses (sendi yang sedikit pergerakannya). Contoh sendi pada vetebra
dan simfisis pubis.
c. Sendi Diarthroses (sendi yang banyak pergerakannya). Jenis sendi Diartrotis :

 Sendi Peluru, missal pada persendihan panggul dan bahu, memungkinkan gerakan
bebas penuh
 Sendi engsel memungkinkan gerakan melipat hanya pada satu arah contohnya
pada siku dan lutut.
 Sendi pelana memungkinkan gerakan pada dua bidang saling tegak lurus. Sendi
pada dasar ibu jari adalah sendi pelana.
 Sendi pivot contohnya adalah sendi antara radius dan ulna. Memungkinkan rotasi
untuk melakukan aktifitas seperti memutar pegangan pintu.
 Sendi peluncur memungkinkan gerakan terbatas kesemua arah dan contohnya
adalah sendi-sendi tulang karpalia dipergelangan tangan.

Pada sendi yang dapat digerakkan, ujung persendian tulang ditutupi oleh tulang
rawang hialin yang halus. Persendian tulang tersebut dikelilingi oleh selubung fibrus
kapsul sendi. Kapsul dilapisi oleh membran, sinovium, yang mengsekresi cairan
pelumas dan peredam getaran kedalam kapsul sendi. Maka, permukaan tulang tidak
dapat kontak langsung.pada beberapa sendi sinovial, terdapatr diskus pibrokartilago
diantara permukaan tulang rawang sendi. Bagian ini merupakan peredam getaran.

Adapun pergerakan yang dapat dilakukan oleh sendi-sendi adalah:

 Fleksi
 Ekstensi
 Adduksi
 Abduksi
 Rotasi
 Sirkumduksi
 Pergerakan khusus: supinasi, inversio, eversio, protacsio.

5
2.2 DEFINISI FRAKTUR

Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang tulang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).

Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung,


misalnya benturan pada kaki bawah yang menyebabkan patah tulang radius tibia
fibula, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang clavikula atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan
arahnya.Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut
fraktur terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

2.3 ETIOLOGI

Menurut Barbara C Long (1996)

1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh melelehnya
struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat disebabkan oleh
kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kaslsium, fosfor, ferum. Factor lain yang
menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses penyembuhan yang lambat
pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat keganasan.

Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah :

1) Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik


terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

6
3) Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

2.4 TANDA DAN GEJALA

1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya obat.
3) Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4) Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
6) Peningkatan temperatur local
7) Pergerakan abnormal
8) Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
9) Kehilangan fungsi

2.5 KLASIFIKASI

Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:

1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

7
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
 Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.

a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

4. Berdasarkan jumlah garis patah.

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
 Berdasarkan posisi frakur, Sebatang tulang terbagi menjadi
tiga bagian :
- 1/3 proksimal
- 1/3 medial

8
- 1/3 distal
c. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
 Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
 Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.

2.6 PATOFISIOLOGI

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma (Long,
1996: 356). Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000: 147)

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit.
(Mansjoer, 2000: 346).

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Corwin, 2000: 299).

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakanyg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2287).

Pengobatan dari fraktur tertutup dapat konservatif maupuan operatif. Terapi


konservatif meliputi proteksi dengan mitela atau bidai. Sedangkan terapi operatif terdiri

9
dari reposisi terbuka, fiksasi internal, reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti
fiksasi interna (Mansjoer, 2000: 348).

Pada pemasangan bidai, gips atau traksi maka dilakukan imobolisasi pada bagian
yang patah. Imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas
tulang agak cepat. Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi dari imobilisasi antara lain: adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka akibat
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagin
tubuh diimobilisasi dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 1996: 346).

Pada reduksi terbuka fiksasi interna (ORIF) fragmen tulang dipertahankan dengan
pin, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan memungkinkan terjadinya infeksi,
pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
sebelumnya tidak mengalami cidera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi. (Price, 1995: 1192)

Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan
nyeri yang hebat. (Brunner & Suddarth, 2002: 2304)

2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”


menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi
struktur fraktur yang kompleks.

b. Pemeriksaan Laboratorium
 Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
 Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
 Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

c. Pemeriksaan lain-lain
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.

10
 Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
 Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
 Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna
D, 1995)

2.8 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan dengan konservatif dan operatif

1) Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau
diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan
traksi.

1. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi
dilakukan pemasangan gips adalah :

 Immobilisasi dan penyangga fraktur


 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotic

Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :

 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan


 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

2. Traksi (mengangkat / menarik)


Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan
segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :

 Traksi manual

11
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency

 Traksi mekanik, ada 2 macam :

- Traksi kulit (skin traction)


Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.

Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

 Mengurangi nyeri akibat spasme otot


 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
 Mengencangkan pada perlekatannya

Prinsip pemasangan traksi :

 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik


 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat
agar reduksi dapat dipertahankan
 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
 Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman

3. Cara operatif / pembedahan

Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin
adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur
dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian
direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah
direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa
pen, sekrup, pelat, dan paku.

1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire
(kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.

12
2) Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF: Open Reduction internal Fixation).
Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur,
kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada
tulang yang patah

Tujuan:

 Imobilisasi sampai tahap remodeling


 Melihat secara langsung area fraktur

Jenis Open Reduction Internal Fixation ( ORIF )

Menurut Apley (1995) terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

1. Sekrup kompresi antar fragmen


2. Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah
3. Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar
4. Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan tibia
5. Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal dan distal femur

Indikasi ORIF :

1. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya fraktur
talus dan fraktur collum femur.
2. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur
dislokasi.
3. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur Monteggia,
fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
4. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi,
misalnya : fraktur femur

Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF: Open reduction Eksternal


Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
kominutif (hancur atau remuk

Indikasi OREF :

1. Fraktur terbuka derajatI II


2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
3. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4. Fraktur Kominutif
5. Fraktur Pelvis

Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :

13
1. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
3. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang
tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi
otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan

2.9 KOMPLIKASI

1) Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2) Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3) Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4) Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di
dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5) Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
6) Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko
terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70
sam pai 80 fraktur tahun.
7) Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang
imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya
komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila
terjadi pada bedah ortopedil
8) Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
9) Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.
10) Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf
simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri,
perubahan tropik dan vasomotor instability.

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

a. Pengumpulan data
1. Identitas Klien
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis,
no register dan tanggal MRS.
2. Keluhan Utama
Biasanya px mengeluh sakit (nyeri) pada daerah luka post op apabila digerakkan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa pernah mengalami
tindakan operasi apa tidak.
4. Riwayat Penyakit Sekarang.
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka operasi.
5. Riwayat Penyakit Keluarga.
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami penyakit fraktur /
penyakit menular.
2. Pola-pola fungsi
a. Pola aktivitas dan latihan
Aktifitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan akibat adanya luka operasi
sehingga perlu dibantu baik perawat maupun klien.
b. Pola tidur dan istirahat
Kebiasaan pola tidur dan istirahat px megnalami gangguan yang disebabkan oleh
nyeri luka post op.
c. Pola persepsi dan konsep diri
Setelah px mengalami post op px akan mengalami gangguan konsep diri karena
perubahan cara berjalan akibat kecelakaan.
d. Pola sensori dan kognitif
Biasanya px mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan lunak
dan hilangnya darah serta cairan seluler ke dalam jaringan.
e. Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya px pada post op akan mengalami gangguan / perubahan dalam
menjalankan ibadanya.
f. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

15
g. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
h. Pola Tidur dan Istirahat.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
i. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain.
j. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap.
k. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
l. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK


a. Pada pasien post op terdapat adanya perubahan yang menonjol pada sistem
integumen seperti warna kulit, tekstur kasar ada / tidak, terjadi rembesan darah pada
luka post op ada / tidak.
b. Sistem Ektremitas dan Neurologis
Pada pasien fraktur, post op, Ekstremitas kaki kanan tidak bisa digerakkan dengan
bebas dan terdapat adanya jahitan apa tidak.
c. Sistem Respirasi
Biasanya pada pasien post op fraktur ada / tidak perubahan yang menonjol seperti
bentuk data ada / tidaknya sesak nafas, suara tambahan, pernafasan cuping hidung.

16
1. PRE OPERASI
Analisa Data
NO Data Pathway Etiologi Masalah
1 DS : Klien mengatakan kaki cedera jaringan Diskontinuitas Nyeri akut
kanan nya sakit sekali, P: Nyeri kulit dan tulang tulang
bertambah ketika kaki
digerakan ,nyeri berkurang saat diskontinuitas
diimobilisasi, Q: Nyeri seperti tulang
diiris, R: area femur, S: 8 , T:
Saat digerakan sampai selesai proses inflamasi
diimobilisasi
DO: - ps terlihat meringis menekan ujung
menahan nyeri, merintih, syaraf bebas
bengkak, px. rontgen fraktur
femur dextra, RR: 22 x/mnt , nosiseptor
TD: 132/92 mmHg, S: 37o C ,N:
102 x/mnt Nyeri akut

2. DS: Pasien mengatakan kaki Kerusakan Kerusakan Kelemahan


kanan tidak bisa digerakan . musculoskeletal musculo skeletal fisik
DO: dalam pemeriksaan
didapatkan hasil adanya Mempersempit
fungsialesa, deformitas, Px. ruang gerak
Radiologi diperoleh hasil
fraktur femur dextra, sudah Fungsialesa
terpasang spalk.
Kelemahan fisik

17
Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan Planing
1. Nyeri akut b.d.NOC: Pengkajian
Diskontinuitas - Tingkt kenyamanan - Minta pasien untuk menilai
- perilaku mengendalikn nyeri
tulang nyeri/ketidaknyamanan pada
- Tingkt nyeri;jmlh nyeri yg
skala 0-10 (0=tdk ada nyeri, 10=
dilaporkan atau ditunjukkn
- Nyeri: efekmerusak: perilaku ygsangat nyeri)
- Kaji dampak agama, budaya,
diamati/dilaporkan
kepercayaan dn lingkungan
Tujuan/Kriteria evaluasi:
terhadap nyeri dan respon pasien
- Setelah dilakukan tindakan
- Lakukan pengkajian nyeri yg
keperawatan selama 1x 24 pasien
komprehensif meliputi lokasi,
mampu mempertahankn tingkt
karakteristik, durasi, frek,
nyeri pd skala 3
kualitas, intenistas/keprhn
- Setelah dilakukan tindakan
nyeri,faktor presipitasi
keperawatan selama 2x 24 pasien
- Observasi isyarat ktdknyamanan
menunjukkn nyeri: efek merusak
nonverbal, khususnya ps yg tdk
dibuktikan dg indikator nilai 5
mampu berkomunikasi scr verbal
yaitu tidak ada gangguan - Hadir di dpn ps dn klg untk
ditunjukkn dari ekspresi nyerimemenuhi keb.rasa nyamn &
lisan atau pada wajah,kegelisahanaktivitas lain untuk membantu
atau gangguan otot relaksasi

2. Kelemahan fisik Setelah dilakukan asuhanTerapi ambulasi


berhubungan keperawatan selama 2x24 jam
dengan kelemahan fisik dapat teratasi
kerusakan dengan criteria hasil:
muskulokeletal - kelemahan fisik tidak terjadi

1. Persiapan pasien

18
Posisi pasien : supinasi
Anestesi : general anestesi
TD :132/92 mmHg
Nadi : 102x/menit
RR : 22x/menit
Pemasangan : bed side monitor
Waktu :-
Operator : Dr. Eko
Asisten : Rini
Instrumen : Fauzi
2. Persiapan alat
Basic set Jmlh Alat tambahan Jmlh
o Gunting kassa 1 Jas operasi 4
o Gunting jaringan 1 Handscoon 4
o Klem 10 Duk besar 3
o Pinset anatomis 2 Duk sedang/sarung kaki 1
Canul suction 1
(besar/kecil) 2 1
o Pinset cirugis Selang suction
4 5
Kassa
(besar/kecil) 5 1
Pisturi no. 22
o Kocher 2 1
2 Cutter 1
o Dukklem Benang: crumic 2/0, side 2/0, plain 2/0
2
o Nail fuder Jarum: taper no: 24, cutting no 30
2 1
o Scuple (no 4) Set ORIF:
o Kom Bone klem 2
o Bengkok Reduction 2
Raspatorium 1
Kuret 1
Mata bor 1
Screw driver 3,5 1
Plate 1/3 tubuler 6 whole 1 set
3. Penatalakasanaan/instrumen
No Tindakan Peralatan
1 Desinfeksi Kom, betadin, alcohol, klempanjang,
kassa
2 Drapping Duk besar, duk lubang, duk klem
3 Menandai daerah sayatan Pisau, klem, kassa
4 Melakukan sayatan pada kulit sampaiPisau, kassa, klem arteri,

19
otot Pinset cirugis, gunting
5 Mempertahankan hemostatis Kassa klem cutter, suction
6 Membersihkan area fraktur Kuret
7 Reposisi fraktur menahan area fraktur Raspatorium
8 Fiksasi fraktur Bone klem, Raspatorium
9 Bor 6 whole area fraktur Bor, mata bor
10 Memasang plate Plate, screw driver
11 Mencuci daerah operasi NaCL
12 Hecting otot Plain 2/0, taper no 30
13 Hecting sub cutis Chromic 2/0, taper no 24
14 Hecting kulit Side 2/0, cuting no 30
15 Desinfeksi Kassa betadin
16 Balut luka Kassa steril, kassa betadin dan hipafix

2. INTRA OPERASI
ANALISA DATA
No Waktu Data Fokus Etiologi Masalah
1. 14.20 Subjektif : - Perdarahan akibatResiko syok
Objektif :
pembedahan hipovolemik
Insisi ± 20 cm
Perdarahan ± 750 cc
TD : 128/90 mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 18x/menit

MASALAH KEPERAWATAN
Resiko syock hipovolomic b.d Perdarahan akibat pembedahan

RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Intervensi

20
1. Resiko syokSetelah dilakukan tindakan Monitor perdarahan pada daerah
hipovolomik b.dkeperawatan selama operasipembedahan setelah dilakukan
perdarahan 1x2 jam diharapkan syockinsisi.
Ingatkan operator dan asiasten
akibat hipovolomic tidak terjadi
bila terjadi perdarahan hebat
pembedahan dengan kriteria hasil:
Monitor vital sign tiap 5 menit
- Tidak ada tanda – tanda syock
Monitor cairan yang melewati
hipovolemik (cyanosis)
DC katheter
- TTV dalam batas normal (TD:
Memberikan cairan RL untuk
120/80-140/100, Nadi 60-90).
resusitasi cairan
Memonitor tanda-tanda syock
hipovolemic.

3. POST OPERASI
ANALISA DATA
No Waktu Data Etiologi Masalah

1. Subjektif: - Proses Resiko tinggi


Objektif:
pemindahan cedera
Pasien hanya tiduran saat dipindahkan,
brankar
kaki belum dapat digerakan, kaki kanan
terdapat luka post operasi pasien
dipindahkan ke ruang RR dengan
brankar.

MASALAH KEPERAWATAN
Resiko tinggi cedera b.d Proses pemindahan brankar

RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Intevensi

21
1. Resiko tinggiSetelah dilakukan asuhan Perhatikan posisi pasien
Mendekatkan bed di samping
cedera b.d Proseskeperawatan diharapkan resiko
pasien
pemindahan cedera tidak terjadi.
Melindungi organ vital pasien
Dengan kriteria hasil:
brankar. Kolaborasi dengan 2-3 perawat
Tidak terjadi abserasi kulit
yang ada
karena pemindahan pasien.
Mengakat pasien secara
Pasien dapat dipindahkan denganbersamaan
Memberikan penyangga di
aman dan nyaman.
tempat tidur pasien.

22
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada pre ditemukan masalah keperawatan nyeri akut b.d diskontinuitas jaringan tulang dan
hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan musculoskeletal.
2. Pada intra ditemukan masalah keperawatan resiko perdarahan b.d proses pembedahan.
3. Pada post ditemukan masalah keperawatan resiko cedera b.d proses pemindahan pasien.

B. Saran
1. Dalam mempersiapkan pasien yang akan dilakukan operasi sebaiknya semua persiapan pre
operasi benar-benar dipersiapkan secara maksimal, guna mencegah terjadinya komplikasi
pembedahan.
2. Pasien atau keluarga pasien yang sudah di operasi sebaiknya di beri pendidikan kesehatan
terkait perawatan post operasi.
3. Kerjasama team bedah perlu ditingkatkan guna tercapinya model praktek keperawatan
professional di ruang IBS.

23
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Monica Ester, Penerjemah Jakarta: EGC

Muttakin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Mansjoer, dkk., (2000). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. Media Aesculapius: Jakarta

Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki. Volume 2. Edisi 6.
EGC : Jakarta.

Smeltzer & Bare, (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah. Volume 3. Edisi 8. EGC:
Jakarta

Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume II. Edisi 8. Agung
Waluyo, Penerjemah. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat R., (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC: Jakarta

Wilkinson, Judith.M & ahern, Nancy R. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9. Buku
kedokteran EGC. Jakarta

Asmadi. (2008). Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika [2].
Ayudianningsih, Novarizki Galuh dkk. (2009). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur di Rumah
Sakit Karima Utama Surakarta. Diambil pada tanggal 20 Juli 2017 pukul 12.41 WIB

Black, Joyce. M, et.al. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi kedelapan Buku 1 Elsevier.
Jakarta: Salemba Medika

Doenges, Marilynn. E, et.al. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC [7].
Kushariyadi. (2010). Askep Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Nurjannah, Intansari, Roxsana Devi Tumanggor.2013.Nursing Outcomes Clasification(NOC)


edisi kelima.Indonesia:United Kingdom.

24

Anda mungkin juga menyukai