Anda di halaman 1dari 38

Skenario I

“Luka di Kaki”
Seorang laki laki berusia 30 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan luka
dikaki kanan sejak 2 hari yang. Luka disertai demam, bengkak, merah, nyeri dan
mengeluarkan nanah. Sekitar satu tahun yang lalu pasie terjatuh terperosok ke dalam
parit sawah, pasien merasakan kesakitan dan dari kaki kanannya terdapat luka kecil
yang mengeluarkan darah. Pasien diantar ketukang urut dan diberitahu kaki kanannya
mengalami retak ringan, ditangani dengan diurut rutin dan luka dibungkus tanpa
pengobatan. Pasien adalah seorang petani peserta BPJS.
Dokter melakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan adanya deformitas,
jaringan parut berdiameter 12 cm pada regio anterior tibia dextra. Selain itu juga
tampak adanya sinus dengan discharge seropurulen, serta ekskoriasi kulit disekitar
sinus. Dokter menyarankan pasien untuk menjalani pemeriksaan rontgen pada kaki
kanannya dan didapatkan hasil : bone resorption, penebalan periosteum, involucrum,
sklerosis sekitar tulang, sequester dan angulasi tibia fibula dextra.
Bagaimana anda menjelaskan keadaan pasien?

1
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH

1. Luka
Adalah sebuah kondisi kerusakan atau hilangnya sebagian jaringan
tubuh yang bisa terjadi akibat trauma benda tumpul, benda tajam, suhu, zat
kimia, ledakan, gigitan hewan, konseling listrik dan berbagai penyebab lain (
Sjamsuhijat, 2004 )
Adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ
tertentu (Perry, 2005)
2. Involucrum
Adalah usaha memagari / menyerap fragmen dan mengembalikan
stabilitas yang dibentuk oleh periosteum ( Solomon, 2010 )
3. Nanah atau Pus
Adalah cairan kaya potein hasil proses peradangan yang mengandung
leukosit, debris seluler, dan cairan encer ( Dorland, 2013 )
4. Sinus
Adalah rongga, saluran atau ruang seperti sinus venosus atau sinus
paranasal. ( Dorland, 2012 )
5. Ekskoriasi
Adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan
benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada
kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan
benda tajam ataupun tumpul ( Dorland, 2012 )
6. Sklerosis
Adalah indurasi atau pengerasan, khususnya akibat peradangan dan
pada penyakit yang disertai bahan interstisialis. ( Dorland, 2012 )

2
7. Jaringan Parut
Adalah pembentukan jaringan ikat sebagai penyembuhan cedera
jaringan ( Dorland, 2012 )
8. Periosteum
Adalah jaringan ikat khusus yang membungkus seluruh tulang dan
memiliki kemampuan membentuk tulang. ( Dorland, 2013 )

3
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mengapa pasien datang dengan keluhan luka pada kaki kanan dan disertai
demam, bengkak, merah, nyeri dan mengeluarkan nanah ?
2. Apa saja jenis jenis luka ?
3. Jelaskan interpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik !
4. Jelaskan interpretasi hasil pemerksaan penunjang !
5. Jelaskan anatomi organ terkait pada skenario !

4
BAB III
ANALISIS MASALAH

1. Mengapa pasien datang dengan keluhan luka pada kaki kanan dan
disertai demam, bengkak, merah, nyeri dan mengeluarkan nanah?
Pasien datang dengan keluhan luka yang disertai demam, bengkak,
merah, nyeri dan keluar nanah. Manifestasi klinis berupa demam, bengkak,
merah, dan nyeri merupakan tanda-tanda peradangan atau inflamasi. Inflamasi
pada system musculoskeletal terjadi apabila sel-sel atau jaringan mengalami
cedera atau mati. Ada berbagai predisposisi meningkatkan resiko peradangan
yaitu tidak adekuatnya nutrisi dan higienitas, faktor imunitas dan virulensi
kuman, dan riwayat pernah mengalami fraktur terbuka.
Pada scenario, pasien pernah jatuh terperosok ke dalam parit sawah dan
merasa kesakitan pada kaki kanannya dan terdapat luka kecil yang
mengeluarkan darah, yang berarti pasien mengalami fraktur terbuka. Adanya
riwayat fraktur memudahkan invasi mikroorganisme masuk dan akan
menginfeksi tulang. Infeksi terjadi karena mikroorganisme masuk melalui
darah, secara langsung dari benda benda yang terifeksi atau luka tembus
sehingga mikroorganisme masuk ke tulang melalui bagian yang terpapar
sehingga lebih mudah menempel, pada daerah infeksi, fagosit datang
mengatasi infkesi dari bakteri tersebut, namun dalam waktu yang bersamaan
fagosit juga mengeluarkan enzim yang mengakibatkan tulang lisis. Sehingga
bakteri dapat lolos, akhirnya menempel pada bagian tulang yang lisis dengan
cara masuk dan menetap pada osteoblast dan membungkus diri dengan
protective polisakarida rich biofilm, jika tidak dirawat tekanan intramedular
akan meningkat dan eksudat akan menyebar sepanjang kortex metafisis yang
tipis mengakibatkan abses subperiostal, tekanan meningkat dan menyebar ke
bagian tulang yang lain sehingga terbentuklah pus menyebar melalui
pembuluh darah, menyebabkan peningkatan tekanan intraosseal dan gangguan
pada aliran darah, hal ini menyebabkan trombos dan mengakibatkan nekrosis

5
tulang dan terbentuk sequestrum (dimana memuat bagian yang infeksius yang
mengelilingi bagian tulang yang sklerotik yang biasanya tidak mengandung
pembuluh darah) ( Masjoer, 2000 )
Sementara itu, adanya perlawanan antibody terhadap jaringan-jaringan
yang rusak dan bakteri yang menyerang menyebabkan kematian jaringan dan
bakteri. Jaringan-jaringan yang telah mati adalah benda cair dan bakteri
memiliki ribosom yang tersusun atas protein. Kemudian cairan itu akan
menumpuk dan berubah menjadi pus (nanah). ( Swiontkowski, 2001 )
Setelah gejala-gejala yang timbul seperti :
a. Reaksi inflamasi
b. Kongesti vaskular
c. Eksudat cairan (pus)
Terjadi peningkatan tekanan intraosseus, lalu terjadi gangguan
sirkulasi, trombosis intravaskular, lalu terjadi nekrosis tulang. Itu yang
dinamakan (sequester). Setelah nekrosis tulang berlanjut ke pembentukan
tulang pada bagian periosteum. Itu dinamakan (Involucrum). (
Syamsuhidayat, 2014 )

2. Apa saja jenis – jenis luka ?


Luka (vulnus ) adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.
Penyebab luka dapat berasal dari tusukan/ goresan benda tajam, benturan
benda tumpul, kecelakaan, terkena tembakan, gigitan hewan, bahan kimia, air
panas, uap air, terkena api atau terbakar, listrik dan petir (Murtutik dan
Marjiyanto, 2013 )
Menurut ( Dorland, 2012 ), luka dibagi 2 jenis, yaitu:
a. Luka tertutup
Luka tertutup merupakan luka dimana kulit korban tetap utuh dan
tidak ada kontak antara jaringan yang ada di bawah dengan dunia luar,
kerusakannya diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Luka tertutup

6
umumnya dikenal sebagai luka memar yang dapat digolongkan menjadi 2
jenis yaitu:
1) Kontusio, kerusakan jaringan di bawah kulit yang mana dari luar
hanya tampak sebagai benjolan.
2) Hematoma, kerusakan jaringan di bawah kulit disertai pendarahan
sehingga dari luar tampak kebiruan.
b. Luka terbuka
Luka terbuka adalah luka dimana kulit atau jaringan di bawahnya
mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah benda tajam, tembakan,
benturan benda keras dan lain-lain. Macam-macam luka terbuka antara
lain yaitu luka lecet (ekskoriasi), luka gigitan (vulnus marsum), luka
iris/sayat (vulnus scisum), luka bacok (vulnus caesum), luka robek (vulnus
traumaticum), luka tembak (vulnus sclopetinum), luka hancur (vulnus
lacerum) dan luka bakar. Luka iris/sayat (vulnus scisum ) biasanya
ditimbulkan oleh irisan benda yang bertepi tajam seperti pisau, silet,
parang dan sejenisnya. Luka yang timbul biasanya berbentuk memanjang,
tepi luka berbentuk lurus, tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak
mengalami kerusakan ( Dorland, 2012 )

Klasifikasi luka berdasarkan tingkat kemungkinan terkena infeksi :


a) Luka bersih
Luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka
sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk
terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus
respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian
kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% - 5%.
b) Luka bersih terkontaminasi
Luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan
saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan

7
luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.
Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
c) Luka terkontaminasi
Luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka
ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan
(luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan
infeksi luka 10% - 17%.
d) Luka kotor
Luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka
dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai
akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti
perforasi visera, abses dan trauma lama.
( Taylor C, 2000 )

3. Jelaskan interpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik !


Proses fagositosis pada reaksi inflamasi akan melepaskan zat-zat seperti
bradikinin, histamin, dan sebagainya yang akan menimbulkan manifestasi seperti
rubor, kolor dan dolor. Selain itu, naiknya tekanan dalam tulang juga akan
menimbulkan rasa nyeri. Pus yang terbentuk menyebar ke dalam saluran
pembuluh darah, meningkatkan tekanan dalam tulang dan mengganggu aliran
darah, setelah itu akan terbentuk sinus yang akan mengalirkan discharge
seropurulen keluar dari daerah infeksi, sinus ini akan membuka untuk
mengalirkan discharge lalu menutup kembali.
Nekrosis tulang akibat iskemi menyebabkan pemisahan fragmen tulang
yang tidak mendapat vaskularisasi sehingga timbullah yang dinamakan dengan
skuester. Jika nanah menembus korteks, subperiosteum, atau jaringan lunak akan
membentuk abses dan periosteum yang terangkat mengendapkan tulang baru
(involukrum) disekitar skuestrum. Hal ini pula yang mengakibatkan terjadinya
gambaran penebalan periosteum.

8
Deformitas tulang yang terjadi dapat diakibatkan teknik penyambungan
tulang yang salah oleh dukun sehingga pada akhirnya terjadi angulasi tibia dan
fibula. Bone resorpsion menandakan adanya pembentukan tulang atau
remodelling tulang akibat aktivitas osteoklas yang berlebihan. Sklerosis sekitar
tulang terjadi akibat penambahan jaringan ikat pada angulasi tibia dan fibula.
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada kasus tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Pemeriksaan Darah rutin didapatkan adanya peningkatan kadar leukosit,
LED, dan proteon C-reaktif
b) Pmeriksaan Kultur sangat diperlukan untuk pemberian antimikroba yang
rasional
c) Pemeriksaan Foto polos akan didapatkan adanya sekuestrum pada tulang tibia
dan fibula atau destruksi tulang akibat adanya nekrosis dari tulang yang
mengalami osteomielitis
( Noor, 2016 )

4. Jelaskan interpretasi hasil pemerksaan penunjang !


Hasil pemeriksaan rontgen didapatkan :
 Bone resorption
Adanya proses asimilasi atau pemecahan. Pada tulang resorpsi mengacu
pada pemecahan tulang oleh osteoklast yang mengakibatkan pelepasan
kalsium dan fosfat ke dalam darah ( Dorland, 2013 )
 Penebalan periosteum
Diakibatkan oleh adanya involucrum
 Involucrum
Pembentukan formasi tulang baru pada lapisan periosteum ( Noor, 2016 )
 Sekuestrum
Peningkatan tekanan, obstruksi vaskular, dan pembentukan trombus pada
periosteum dan endosteum yang menyebabkan nekrosis tulang sekitar 7
hari ( Noor, 2016 )

9
 Angulasi fibula dan tibia
Terbentuk sudut antara tulang fibula dan tulang tibia akibat adanya
fraktur ( Dorland, 2013 )

5. Jelaskan anatomi organ terkait pada skenario !


Klasifikasi menurut bentuknya:
1. Tulang panjang (Femur)
2. Tulang pipih/ Flat (Panggul)
Tulang panjang dibagi menjadi 3 wilayah torprogafi
1. Difiasis (poros tulang)
2. Epifisis (tampak dikedua ujung tulang dan sebagian tertutup oleh
tulang rawan artikulatio)
3. Metafisis (persambungan antara bagian epifisis dan diafisis)
Periosteum mungkin akan terlepas dan terangkat dari tulang dalam proses
patologis seperti trauma, infkesi, tumor ganas. Setiap kali ini terjadi
pembentukkan tulang baru antara periosteum ditingkatkan dan tulang akan
terbentuk ( Moore, 2002 )

10
BAB IV
SISTEMATIKA MASALAH

Laki – laki, 30
tahun

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Fisik:
Anamnesis Rontgen
Deformitas
Keluhanutama: Bone resorption
Jaringan parut diameter 12
Luka, 2 hari yg lalu Penebalan periosteum
cm pada regio anterior tibia
Gejala Penyerta : Sklerosis sekitar tulang
dextra
Demam Involucrum
Terdapat sinus discharge
Bengkak Angulasi tibia dan fibula
seropurulen
Kemerahan Sequester
Eksoriasi di sinus
Nyeri Pemeriksaan
Mengeluarkan nanah Laboratorium
RPK : - Scan Tulang
RPD : Kultur
Jatuh ke parit sawah
Retak Ringan
Luka Terbuka
Diurut rutin dan
dibungkus tanpa
pengobatan
RSE : BPJS

Diagnosis Banding:
Definisi Osteomielitis Akut
Etiologi Osteomielitis Kronis
Faktor Resiko Sarcoma Ewing
Epidemiologi
Klasifikasi
Manifestasi Klinis
Penegakan
Diagnosis Penegakkan DIagnosis
Patofisiologi
Komplikasi
Prognosis Diagnosis Utama: Tatalaksana
Osteomielitis Kronik

11
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Jelaskan klasifikasi luka !


2. Jelaskan diagnosis banding pada kasus ! (Osteomielitis Akut, Osteomielitis
Kronis, dan Tumor Euwing )
3. Jelaskan diagnosis kerja pada kasus ! (Osteomielitis Kronik)
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Faktor Resiko
e. Klasifikasi
f. Manifestasi Klinis
g. Penegakan Diagnosis
h. Patofisiologi dan Patogenesis
i. Tatalaksana
j. Komplikasi
k. prognosis

12
BAB VI
BELAJAR MANDIRI

13
BAB VII
BERBAGI INFORMASI

1. Jelaskan klasifikasi luka dan fraktur !


Klasifikasi luka berdasarkan tingkat kemungkinan terkena infeksi :
a) Luka bersih
Luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan
luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk
terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius
maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap
dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% -
5%.
b) Luka bersih terkontaminasi
Luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan
dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan
luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.
Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
c) Luka terkontaminasi
Luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini
dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka
laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi
luka 10% - 17%.
d) Luka kotor
Luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan
luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai
akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti
perforasi visera, abses dan trauma lama.
( Taylor C, 2000 )

14
2. Jelaskan diagnosis banding pada kasus! ( Osteomielitis Akut,
Osteomielitis Kronis, Tumor Euwing dan Histiositosis )
Osteomielitis
a. Definisi
Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau kortek
tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh) ( Reeves, 2001 )

b. Etiologi
Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% -
80%). Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus
dan pneumococcus. Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis
yang berhubungan dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka
bakar dapat menyebabkan atau memperparah proses infeksi tulang.
Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang berdarah merupakan akibat
dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang tengkorak. Faktur
compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai tulang
pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis. Osteomyelitis
sering ditemukan pada orang yang lebih tua karena faktor
penyebabnya berhubungan dengan penuaan ( Reeves, 2001 )

c. Faktor resiko osteomielitis :


Terdapat dua faktor predisposisi dari osteomyelitis, yakni faktor lokal
dan faktor sistemik
 Faktor predisposisi lokal dari osteomyelitis antara lain posisi
anatomis dari penyakit, penyakit tulang yang dialami, dan cedera
akibat radiasi
 Faktor predisposisi sistemik meliputi malnutrisi dan alkoholisme
kronik, adiksi obat-obatan terlarang, anemia khususnya sickle cell
anemia, diabetes yang terkontrol dengan rendah, leukimia akut,

15
agranulositosis, sifilis, campak dan demam tifoid,infeksi HIV dan
AIDS, serta infeksi saluran kencing
( Noor, 2016 )

d. Klasifikasi osteomielitis :
Osteomielitis piogenik hematogen
Biasanya terjadi pada anak-anak, osteomyelitis piogenik
hematogen terutama disebabkan oleh staphylococcus aureus kemudian
diikuti oleh bacillus colli. Kecuali samonela, osteomyelitis hematogen
biasanya bermanisfestasi sebagai suatu penyakit demam sistemik akut
yang disertai dengan gejala nyeri setempat, perasaan tak enak,
kemerahan dan pembengkakan ( Robbins, 2013 )

Osteomielitis tuberculosis
Timbulnya secara tersembunyi dan cenderung mengenai
rongga sendi. Daerah yang sering kena adalah tulang-tulang panjang
dari ekstremitas dan tulang belakang. Osteomyelitis tuberkulosis dapat
menyebabkan deformitas yang serius (kifosis, skoliosis) berkaitan
dengan destruksi dan perubahan sumbu tulang belakang dari posisi
normalnya ( Robbins, 2013 )

Osteomielitis kronis
Kondisi yang terus menerus atau berulang. Gejala lebih dari 1
bulan. Dicirikan dengan adanya kematian tulang dengan koloni
bakteri ( Robbins, 2013 )

e. Penegakan diagnosis

16
Anamnesis :
 Riwayat trauma
 Demam
 Bengkak
 Merah
 Nyeri
 Mengeluarkan nanah
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan
jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas
abses tulang, dan evaluasistatus neurovaskuler tungkai.
 Keadaan umum pasien
 Pemeriksaan tanda vital atau vital sign meliputi pemeriksaan
tekanan darah, pemeriksaan frekuensi napas, pemeriksaan
frekuensi nadi, pemeriksaan suhu tubuh pasien.
 Look: Luka pada tungkai bawah luka kronis, Kloaka, Pus
dengan bau yang khas
 Feel: Nyeri tekan
 Move: Gangguan pergerakan pada kaki, pembengkakan pada
sendi sehingga menimbulkan spasme lokal, efusi sendi infeksi
sendi
Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai
peningkatan laju endap darah
 Pemeriksaan titer antibody – anti staphylococcus
 Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50%
positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas
 Pemeriksaan feses

17
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat
kecurigaan infeksi oleh bakteri salmonella
 Pemeriksaan biopsy tulang
Merupakan proses pengambilan contoh tissue tulang yang akan
digunakan untuk serangkaian tes.
 Pemeriksaan ultra sound
Yaitu pemeriksaan yang dapat memperlihatkan adannya efusi
pada sendi
 Pemeriksaan radiologis
( Noor, 2016 )

f. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan nonfarmakologi
1) Berhenti merokok
Merokok dapat menyumbat arteri dan meningkatkan tekanan
darah, yang keduanya buruk bagi sirkulasi. Hal ini juga dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh. Jika Anda merokok,
sangat disarankan berhenti sesegera mungkin.
2) Diet sehat
Makanan berlemak tinggi dapat menyebabkan penumpukan
simpanan lemak di arteri, dan kelebihan berat badan dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi. Untuk meningkatkan
sirkulasi, diet tinggi serat rendah lemak dianjurkan, termasuk
banyak buah segar dan sayuran (setidaknya lima porsi sehari)
dan biji-bijian.
3) Mengelola berat badan
Jika kelebihan berat badan atau obesitas, cobalah untuk
menurunkan berat badan dan kemudian mempertahankan
berat badan yang sehat dengan menggunakan kombinasi dari
diet kalori terkontrol dan olahraga teratur.

18
4) Mengurangi alkohol
Jika minum alkohol, jangan melebihi batas harian yang
direkomendasikan,tiga sampai empat unit per hari untuk pria
2-3 unit sehari untuk wanita .Sebuah unit alkohol kira-kira
setengah pint bir yang normal-kekuatan, segelas kecil anggur
atau ukuran tunggal (25ml) roh. Secara teratur melebihi batas
alkohol yang direkomendasikan akan meningkatkan baik
tekanan darah dan kadar kolesterol, yang akan membuat
sirkulasi buruk.
5) Olahraga teratur
Olahraga teratur akan menurunkan tekanan darah, membuat
jantung dan sistem peredaran darah lebih efisien dan dapat
membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh lemah.
Sebagai contoh, bisa melakukan lima sampai 10 menit latihan
ringan sehari sebelum secara bertahap meningkatkan durasi
dan intensitas aktivitas sebagai kebugaran mulai membaik.
( Depkes, 2014 )
B. Penatalaksanaan farmakologi
1. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik ditujukan untuk :
 Mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang
sehat lainnya
 Mengontrol eksaserbasi
2. Operatif
Tindakan operatif dilakukan bila fase eksaserbasi akut
telah reda setelah pemberian dan pemayungan antibiotik yang
adekuat. Operasi yang dilakukan bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik, baik jaringan lunak
maupun jaringan tulang(sekuestrum) sampai ke jaringan sehat
sekitarnya. Selanjutnya dilakukan drainase dan irigasi secara

19
kontinu selama beberapa hari. Adakalanya diperlukan
penanaman rantai antibiotik di dalam bagian tulang yang
infeksi Sebagai dekompresi pada tulang dan memudahkan
antibiotik mencapai sasaran dan mencegah penyebaran
osteomielitis lebih lanjut ( Syamsuhidayat, 2014 )

g. Komplikasi :
1. Septikemia
Dengan makin tersedianya obat-obatan antibiotik yang memadai,
kematian akibat septikemia pada saat ini jarang ditemukan (
Rasjad C, 2007 )
2. Kematian tulang (osteonecrosis)
Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam
tulang, menyebabkan kematian tulang. Jika terjadi nekrosis pada
area yang luas, kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah
terjadinya penyebaran infeksi ( Rasjad C, 2007 )
3. Arthritis septic
Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tuolang bias menyebar ke
dalam sendi di dekatnya ( Rasjad C, 2007 )
4. Artritis Supuratif
Artritis Supuratif dapat te rjadai pada bayi muda karena lempeng
epifisis bayi (yang bertindak sebagai barier) belum berfungsi
dengan baik. Komplikasi terutama terjadi pada osteomielitis
hematogen akut di daerah metafisis yang bersifat intra-kapsuler
(misalnya pada sendi panggul) atau melalui infeksi metastatik (
Rasjad C, 2007 )
5. Gangguan Pertumbuhan
Osteomielitis hematogen akut pada bayi dapat menyebabkan
kerusakan lempeng epifsisis yang menyebabkan gangguan

20
pertumbuhan, sehingga tulang yang terkena akan
menjadi lebih pendek. Pada anak yang lebih besar akan terjadi
hiperemi pada daerah metafisis yang merupakan stimulasi bagi
tulang untuk bertumbuh. Pada keadaan ini tulang bertumbuh
lebih cepat dan menyebabkan terjadinya pemanjangan tulang (
Rasjad C, 2007 )
6. Fraktur Patologis
7. Ankilosis
8. Abses Tulang
9. Kanker kulit
10. Selulitis

Sarkoma euwing
Sarkoma Ewing adalah neoplasma yang tersusun oleh sel kecil bulat yang
ganas, yang kebanyakan menyerang usia muda pada batang tubuh dan tulang
panjang.belakang. Pertumbuhan tumor lambat laun menimbulkan
pembengkakan yang dapat terlihat atau teraba pada daerah yang terkena.
Pembengkakkannya tegang, elastis, keras, terdapat nyeri tekan, tumbuh dengan
cepat dan terdapat peningkatan suhu loka.
Pada sarkoma ewing yaitu Nyeri dan benjolan adalah gejala tersering yang
pasien dengan sarkoma Ewing, nyeri merupakan gejala yang pertama dirasakan.
Pada awalnya nyeri dapat intermiten dan ringan, namun dengan cepat menjadi
berat sehingga memerlukan obat anti nyeri. Pada sarkoma Ewing yang terletak
di aksial seperti di tulang belakang, nyeri punggung dapat menjadi keluhan
utama, gangguan berkemih dan buang air besar tergantung luas dan lokasi
tumor di tulang belakang Massa tumor sendiri dapat tak diketahui dalam jangka
waktu lama pada kasus-kasus tumor pelvis, tulang belakang, atau femur yang
tak teraba karena dalamnya atau pada kasus-kasus sarkoma Ewing yang meluas
hanya ke cancellous bone atau sepanjang kanal medula tulang panjang tanpa

21
melebar ke luar korteks. Gejala umum lain meliputi demam, anemia, dan tan da-
tanda non-spesifik inflamasi seperti peningkatan laju endap darah (LED),
leukositosis, dan peningkatan serum lactate dehydrogenase (LDH). Dengan
adanya gejala klinis tersebut, sehingga dapat disingkirkan sebagai diagnosis
dari skenario.

3. Jelaskan diagnosis kerja pada kasus! (Osteomielitis Kronik)


Definisi
Osteomielitis (osteo – berasal dari bahasa yunani, yang berarti tulang,
mielo-yang berarti sumsum tulang, dan –itis adalah inflamasi) yang berarti
suatu infeksi dari tulang dan sumsum tulang. Osteomielitiss kronik merupakan
lanjutan dari osteomielitis akut yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati
dengan baik.Dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang,
melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan periosteum. ( Skinner,
2006 )

Etiologi
Bakteri penyebab osteomielitis kronis terutama oleh Stafilokokus
aureus (75%), atau E. colli, Proteus, atau Pseudomonas. Stafilokokus
epidermidis merupakan penyebab utama osteomielitis kronis pada operasi-
operasi ortopedi yang menggunakan implant. ( Skinner, 2006 )
Pada dasarnya semua jenis organisme termasuk termasuk, virus,
parasit, jamur, dan  bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis, tetapi paling
sering disebabkan oleh  bakteri piogenik tertentu dan mikobakteri. Penyebab
osteomielitis pyogenik adalah kuman Staphylococcus aureus (89-90%),
Escherichia coli, Pseudomonas dan Klebsiella. Pada periode neonatal,
Haemophilus influenzae dan kelompokB streptokokus sering kali bersifat
patogen ( Daniel P, 2014 )

22
Epidemiologi
Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II; tetapi dapat pula
ditemukan pada bayi dan ‘infant’. Anak laki-laki lebih sering dibanding anak
perempuan (4:1). Lokasi yang tersering ialah tulang-tulang panjang seperti
femur, tibia, radius, humerus, ulna, dan fibula. Prevalensi keseluruhan adalah
1 kasus per 5.000 anak. Prevalensi neonatal adalah sekitar 1 kasus per1.000.
Kejadian tahunan pada pasien dengan anemia sel sabit adalah sekitar 0,36%.
Insiden osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per 100.000 penduduk.
Kejadian tertinggi pada Negara berkembang. Tingkat mortalitas osteomielitis
adalah rendah, kecuali jika sudah terdapat sepsis atau kondisi medis berat
yang mendasari. (Adam, 2004)

Faktor Resiko
Status penyakit diketahui sebagai faktor  predisposisi pasien terhadap
osteomyelitis meliputi diabetes mellitus, penyakit sickle cell, AIDS,
penyalahgunaan obat-obatan secara i.v, alkoholik, penggunaan steroid jangka
panjang,  penurunan kekebalan tubuh, dan penyakit penyakit sendi kronik.
Sebagai tambahan, implant sendi kroni prosthetik dalam ortopedik dapat dapat
merupakan faktor resiko terjadinya osteomyelitis pada  pembedahan ortopedik
atau fraktur terbuka ( Syamsuhidayat, 2014 )

Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk
osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk
menentukan derajat infeksi. Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas
berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon pada infeksi dan
operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan
penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi
lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien
digolongkan menjadi host kelas C. Kriteria anatomis mencakup empat tipe.

23
Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal. Pada tipe II,
osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi
terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi
terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal
dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini
tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik
difus yang menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang
pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan
membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh,
lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA.
Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan
menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan
mempertahankan tungkai atau ablasi.
( Cierny G, 1984 )

Manifestasi Klinis
Gejala klinisnya dapat berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya
drainase pus atau fistel, malaise, dan fatigue. Penderita osteomielitis kronik
mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul disertai demam dan adanya
cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah tulang.
Pemeriksaan rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan  penulangan
baru.
( Syamsuhidayat, 2014 )

Penegakan Diagnosis
Cek laboratorium:
- Peningkatan laju endap eritrosit
- Leukosit dan LED meningkat
Rontgen

24
Menunjukkan pembengkakan jaringan lunak sampai dua minggu kemudian
tampak bintik-bintik dekalsifikasi pada batang tulang, yang kemudian dapat
meluas dan diikuti oleh tanda-tanda pembentukan involukrom
Ct scan tulang
MRI
Biopsi
Biopsi tulang dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab
( Chihara, 2010 )

25
Patofisiologi dan Patogenesis

Tatalaksana
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa
operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi
tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah
menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan
bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

26
Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka
rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada
osteomyelitis tulang tengkorak. Debridement adekuat seringkali
meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah
rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan
instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak
maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari
bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya
dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses
intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI.
Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan
untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai
skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-
operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena
selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik.
Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya
1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik
oral selama 6 minggu. Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk
mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua
jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai
tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk
mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan.
Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena
bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum
memulai terapi antibiotik.
Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup
bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan
simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan
muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup
segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini

27
memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan
tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai
dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan
cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu
dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi
memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya
tidak memiliki vaskularisasi .

A. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik


Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan
menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak
dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang
tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen
blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi. Untuk
melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah
tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang
indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk
memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan
menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan
jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas
didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk
memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor
berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang
iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi
tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga
kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak
sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan
untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan
renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika
penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau

28
berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di
masa yang akan datang. Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint
sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur
patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan
dimonitor dengan ketat.

Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang


terinfeksi dibuka dan sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi
dibuang; C. Luka dapat dibungkus terbuka atau ditutup dengan longgar dan
memakai drain
Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi
kemungkinan infeksi lanjutan dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah
dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut dan terbukti berhasil jika
dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang kosong
tersebut adalah sebagai berikut :
- Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder
- Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai
saringan temporer sebelum rekonstruksi,
- Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
- Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan
osteocutaneous, dan

29
- Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).
B. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk
penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan
prinsip sebagai berikut :
 Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
 Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat
tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;
 Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
 Drainase yang adekuat;
 Immobilisasi yang adekuat;
 Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan
teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis
kronik.Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1)
eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan
fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3)
penutupan kulit.
C. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis
kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan
antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui
konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan
bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih
tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini
memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi
sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik
tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma
post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi
antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka

30
primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka
dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi,
semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat
sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak
direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang. Golongan
aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA
bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad
PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti
fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik
pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat
digunakan. Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau
permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead
dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA
bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus
pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead.
Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor.
Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu
setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA
akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk
kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx.
PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan
mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian
antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam
dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup. D. Transfer
Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer) Transfer jaringan lunak untuk mengisi
ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat
mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer
jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi
memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang
penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan

31
antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan
untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis
kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3
proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia.
Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek
sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada
penanganaan osteomyelitis kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas
mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung otot yang
menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous.
Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu
meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.

D. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan
osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan
dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari
proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang
kemudian dipindahkan hingga union dicapai. Kekurangan teknik ini yaitu
waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang
terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga
terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi
walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan
pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk
tercapainya stabilitas ( SMF Ilmu Bedah Orthopedi dan Traumatologi, 2008 )

Komplikasi
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi
yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat

32
mengeradikasi bakteri penyebab. Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup
infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi
atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke
aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai
berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
(Chairuddin Rasjad, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Yarsif
Watampone, Jakarta.)
Komplikasi tersering adalah terus  berlangsungnya infeksi
dengan eksaserbasi akut. Infeksi yang terus-menerus akan
menyebabkan anemia, penurunan berat badan, kelemahan dan
amiloidosis. Osteomielitis kronik dapat menyebar ke organ-organ lain
misalnya dalam beberapa kasus, infeksi dalam tulang bisa menyebar
ke dalam sendi di dekatnya sehingga terjadi Artritis septik.
Eksaserbasi akut dapat dipersulit oleh efusi hebat ke dalam sendi di
dekatnya atau oleh arhtritis purulenta. Erosi terus-menerus dan
kerusakan tulang yang progresif menyebabkan struktur tulang yang
kadang-kadang menyebabkan fraktur patologis. Sebelum  penutupan
epifiseal, osteomielitis dapat menimbulkan pertumbuhan berlebihan
dari tulang panjang akibat hiperemia kronis pada lempeng
pertumbuhan. Destruksi fokal dari suatu lempeng epifiseal dapat
menimbulkan  pertumbuhan yang asimetrik. Dapat pula terjadi setelah
drainase selama bertahun-tahun  pada kulit sekitarnta yang terinfeksi
timbul karsinoma sel skuamosa atau fibrosarkoma ( Hidyaningsih,
2012 )

33
Prognosis
Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa lebih dari 95% periode
bebas infeksi terjadi setelah 2 tahun terapi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa lebih dari 90% dapat mempertahankkan keadaan bebas infeksi
hingga mencapai 5 tahun. Refurensi infeksi dapat terjadi ( Sudoyo W, dkk,
2015 )

34
BAB VIII
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Osteomyelitis merupakan penyakit yang menyerang jaringan tulang
beserta bagian medulla tulang. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri, virus,
atau jamur. Bakteri yang banyak dijumpai adalah bakteri piogenik seperti
Staphylococcus Aureus. Pasien mengeluh adanya nyeri pada bagian tulang
yang terkena osteomyelitis. Pasien juga mengeluh adanya lubang pada kulit
disekitar bagian yang sakit. Lubang tersebut mengeluarkan nanah yang
berwarna putih kekuningan. Lubang tersebut terbentuk akibat tekanan pada
periosteum yang mengingkat akibat menumpuknya nanah pada daerah
tersebut. Dan pasien memiliki riwayat jatuh dengan luka kecil disertai tulang
yang retak sedikit tetapi tidak dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Sehingga
pasien mengalami osteomyelitis.
Penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjuang. Untuk terapi menggunakan antibiotik untuk
membunuh bakteri. Dapat pula dilakukan irigasi pada daerah nanah untuk
mengurangi keluhan pasien dan membersihkan daerah dari bakteri. Prognosis
pada pasien baik apabila penangan dilakukan secara adekuat.

B. SARAN
1. Lakukan penatalaksanaan yang tepat seperti menjaga kebersihan luka,
pemberian antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi serta komplikasi
pada saat pasien pertama kali jatuh di parit sawah.
2. Setelah melakukan pemeriksaan penunjang yang disarankan oleh dokter,
pasien disarankan berkonsultasi dengan dokter spesialis ortopaedi untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.

35
3. Selalu menjaga hygenitas pada daerah sekitar luka untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut.

36
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Greenspan. 2004. Orthopedic Imaging: A Practical Approach, 4th Edition.


USA:Lippincott Williams & Wilkins.
Chihara S, Segreti J. 2010. Osteomyelitis. Dis Mon ; 56: 6-31
Cierny G., Mader J. T. 1984. Adult Chronic Osteomyelitis. Orthopaedics 1984: 7:
1557.
Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Dorland, W Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Singapore : Elsevier
Dorland, W Newman. 2013. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Singapore : Elsevier.
Hidyaningsih. 2012. Referat Osteomielitis. Jakarta. h : 10-24
Lew, Daniel P., Waldvogel, Francis A. 1997. Osteomyelitis. The New England :
Journal of Medicine.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Moore KL., Agur AM R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:Hipokrates.
Noor, Zairin. 2016. Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Perry, A. G and A Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, Dan Praktik edisi 4 Volume 2 . Jakarta:EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Edisi ketiga.
Jakarta:Yarsif Watampore

Reeves J. Charlene. 2001. Keperawatan Medikal


Robbins, S. L, Abbas, A. K., Aster, J. C., and Kumar, V. 2013. Robbins basic
pathology (Ninth edition.). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.
Skinner, Harry B, MD, PhD. 2006. Current Diagnosis and Treatment in Orthopedics,
Fourth Edition.Chapter 8 : Orthopedic Infections. The McGraw Hill
Companies, Inc.
Skinner, Harry B. MD, PhD. 2006. Current Diagnosis and Treatment in Orthopedics.
New Hampshire : Appleton & Lange : The McGraw Hill Companies

37
SMF Ilmu Bedah Orthopedi dan Traumatologi. 2008. Pedoman diagnostik dan
terapi, Edisi III Surabaya:Rumah Sakit Dokter Soetomo.
Sudoyo W, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing.
Swiontkowski, Marc F, MD; Stovitz, Steven D, MD. 2001. Manual of Orthopaedics,
6th Edition; Chapter 3 : Prevention and Management of Acut
Musculoskeletal Infections. Lipponcott Williams and Wilkins.
Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.
Taylor C, Lillis C, Le More P. 2000. Fundamentals of nursing the art and science of
nursing care B. Third Edition. Philadhelpia: Lippincott

38

Anda mungkin juga menyukai