Anda di halaman 1dari 22

SOAL :

1. Seorang perempuan berusia 36 tahun, dirawat di ruang onkologi dengan dignosa ca mammae
stadium 3b. Pasien tampak cemas dan sering menanyakan kepada perawat tentang kondisinya.
Hasil pengkajian didapatkan pasien tampak meringis kesakitan, skala nyeri 7, TD 140/90
mmHg, frekuensi napas 24 x/menit, frekuensi nadi 86 x/menit.

Pertanyaan :

a. Jelaskan pengertian nyeri !


Pengertian Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri adalah pengalaman sensorik dan
motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun
potensial (Jahn, et al, 2014)

Menurut International Association for Study of Pain (IASP) dalam Tamsuri (2007), nyeri
adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Mc. Caffery, 1979 dalam Tamsuri, 2007).

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emsional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2003).

Menurut Potter (2005) Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.

Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan dan dipahami. Nyeri
barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi oleh petugas kesehatan (Montes-Sandoval,
1999).

Melzack dan Casey (1968) mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman
sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif individunya.

The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub-committee on Taxonomy
(1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai an unpleasant sensory and emotional experience
associated with actual or potential tissue damage or is described in terms of such damage.

Sumber:

Harnawati.(2016). Nyeri, http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle.pdf diakses 11 Desember 2017


pukul 17.45 WIB
Sari, Ni Putu Wulan. (2014). Program Self Management: Atasi Nyeri Dan Tingkat Kualitas Hidup
Penderita Kanker. Jurnal Ners Lentera, Vol.2, Hal.39-47,
http://journal.wima.ac.id/index.php/NERS/article/view/687/684 diakses 11 Desember 2017 pukul
19.43 WIB

Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

b. Jelaskan mekanisme terjadinya nyeri berdasarkan awitan, berdasarkan etiologi dan


berdasarkan sumber /lokasinya!

A. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan


1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi
bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat),
dan berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat
(kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpapengobatan setalh area yang rusak pulih
kembali (Prasetyo, 2010). Berlangsung mendadak akibat trauma atau inflamasi, tanda respons
simpatis, penderita anxietas sedangkan keluarga suportif.

2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu
priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya
berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter &Perry, 2005). Nyeri ini hilang
timbul atau terus menerus, tanda respons parasimpatis, penderita depresi sedangkan keluarga
lelah.

B. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Etiologi


1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensivitas
nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan stimulus naxious
(Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang
mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo, 2013). rRangsang
timbul oleh mediator nyeri, seperti pada pasca trauma operasi, kanker dan luka bakar.

2. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di dapat pada
struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati (Andarmoyo, 2013).
Rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus, herpes
zooster.

C. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi


1. Supervicial atau kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari nyeri
berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam
(Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka
potong kecil atau laserasi.

2. Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal (Potter
dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar
kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual
dan gejala-gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan
sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.

3. Nyeri Alih (Referred pain)


Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak organ tidak
memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari
sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam
Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri
alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.

4. Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian
tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa
seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh nyeri
punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang
meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.

Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri yang dialami oleh pasien kanker payudara
merupakan nyeri kronis yang bersifat nosiseptif yakni nyeri secara fisik dan juga nyeri yang
diakibatkan karena pengalaman emosional pasien.
Pada penderita kanker payudara, nyeri kronis mempengaruhi 25% dari 60% pasien yang
sedang mengalami pengobatan.

Sumber:

Saputri, Eka Rahmi. (2017). Hubungan Intensitas Nyeri dengan Status Fungsional Penderita Kaanker
Payudara di RSUDDZA Banda Aceh. Artikel, Vol 2, no 1, hal 17-21,
http://jim.unsyiah.ac.id/FKM/article/view/3175/1546 diakses 11 Desember 2017 pukul 19.54 WIB

Haryani, Ani. (2014). Pengembangan Modalitas Keperawatan Berbasis Energi Dalam Mengurangi
Nyeri Pada Klien Dengan Kanker Payudara. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia. Vol.10,no. 1,
http://lppm.unsil.ac.id/files/2014/10/02.Purbayanty-Budhiaji.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul
19.34 WIB

Indrawati. (2014).Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara Pasca
Mastektomi. Artikel, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-10/20437628.pdf diakses 11 Desember
2017 pukul 18.30

Permata, Ayu. (2013). Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel, http://eprints.undip.ac.id.pdf
diakses 11 Desember 2017 pukul 17.40 WIB

Rachmawati, Imami Nur. Analisis Teori Nyeri. Artikel, Vol.12, no.2, hal. 129-136,
(http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/211/464 diakses 11 Desember 2017 pukul 19.23 WIB

Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

Sari, Ni Putu Wulan. (2014). Program Self Management: Atasi Nyeri Dan Tingkat Kualitas Hidup
Penderita Kanker. Jurnal Ners Lentera, Vol.2, Hal.39-47,
http://journal.wima.ac.id/index.php/NERS/article/view/687/684 diakses 11 Desember 2017 pukul
19.43 WIB

c.Jelaskan secara patofisiologi mekanisme nyeri yang terjadi pada pasien di atas!

Patofisiologi mekanisme nyeri pasien kanker payudara

Patofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi, seperti


bradikinin, prostaglandin (PGE2 dan PGEa), histamin, serotonin, dan substansi P yang akan
merangsang ujung-ujung saraf bebas. Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik yang
dihantarkan melalui saraf menuju ke sistem saraf pusat. Adanya impuls nyeri akan menyebabkan
keluarnya endorfin yang akan berikatan dengan reseptor m, d, dan k di sistem saraf pusat. Terikatnya
endorfin pada reseptor tersebut akan menyebabkan hambatan pengeluaran mediator di perifer,
sehingga akan menghambat penghantaran impuls nyeri ke otak.

Mekanisme Nyeri

Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut.
Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/ transduction,
transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/ perception (McGuire & Sheilder, 1993;
Turk & Flor, 1999). Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Transduksi/Transduction

Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak
(Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk
respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

2. Transmisi/Transmission

Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem
saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter
kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal
horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.

3. Modulasi/Modulation

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor
tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls
nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan
mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui sarafsaraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi
efektor.

4. Persepsi/Perception

Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan
dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja (McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi juga
meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor
psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan
pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena
yang melibatkan multidimensional.

Sumber:

Siampa, Siti Fatimah.(2014). Manajemen Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara,


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.07 WIB

Ardinata, Dedi. (2012). Multidimensional Nyeri. Jurnal Keperawatan Rufaidah.Vol.2,no.2,


https://www.researchgate.net/profile/Dedi_Ardinata/publication/48379244_Multidimensional_Nyeri/li
nks/0deec51efa078d4645000000/Multidimensional-Nyeri.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.25
WIB

d. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi respon nyeri pada pasien?
Menurut Smeltzer, (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah :
a. Pengalaman masa lalu
Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan berkepanjangan dengan
nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang
hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun,hal ini tidak
selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin
takut individu tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan.
b. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas.
Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan suatu
sensasi. Paice (1991) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian
limbik yang diyanikini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik
dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.
Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan
dengan nyeri diberbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna
budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk
klien yang mengalami nyeri (Potter, 2005).

d. Usia
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak
dan lansia. Perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak-nak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih
kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
e. Efek Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk tablet, kapsul,
cairan injeksi dan sebagainya. Plasebo umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan
atau air biasa. Karena plasebo tidak memiliki efek farmakologis, obat ini hanya memberikan
efek dikeluarkannya produk ilmiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden,
sehingga menimbulkan efek penurunan nyeri (Tamsuri, 2006).

Sumber:
Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

Septiani, Intan. (2014). Respon Nyeri. Artikel, http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-


gdl-sokehnimg2-7054-3-babii.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.52

e. Jelaskan bagaimanakah pengkajian keperawatan nyeri pada pasien?

Prasetyo (2010) mengatakan pengkajian nyeri yang faktual (terkini), lengkap dan akurat akan
memudahkan perawat didalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan diagnosa keperawatan yang
tepat, merencanakan terapi pengobatan yang cocok, dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi
respon yang diberikan. Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat di
dalam memulai mengkaji respon yang dialami oleh klien. Girton (1984) dalam Prasetyo,
mengidentifikasi komponen-komponen tersebut, diantaranya :

1. Penentuan ada tidaknya nyeri


Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika
pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya
cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata. Sebaliknya, ada
beberapa pasien yang terkadang justru menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari
pengobatan.

2. Karakteristik nyeri (metode P, Q, R, S, T)


a. Faktor pencetus (P: Provocate)
Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada klien,
dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi bagianbagian tubuh yang
mengalami cedera. Apabila perawat harus mencurigai adanya nyeri psikogenik maka
perawat harus dapat mengeksplor perasaan klien dan dapat menanyakan perasaan-
perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.
b. Kualitas (Q, Quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang di ungkapkan oleh
klien, sering kali mendeskripsikan nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul,
berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk, dan lain-lain dimana
tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang
dirasakan.
c. Lokasi (R: Region)
Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk
menunjukkan semua bagian/ daerah yang dirasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk
melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak
daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri
yang dirasakan bersifat difus (menyebar).
d. Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling
subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia
rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang, atau berat.

e. Durasi (T: Time)


Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan
rangkaian nyeri.

3. Respon fisiologis
Tabel 1. Respon fisiologis yang timbul akibat nyeri antara lain:
Respon fisiologis terhadap nyeri
- Peningkatan frekuensi pernapasan
Respon simpatik
- Dilatasi saluran bronkiolus
- Peningkatan frekuensi denyut jantung
- Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah)
- Peningkatan kadar glukosa darah
- Diaforesis
- Peningkatan tegangan otot Dilatasi pupil
- Penurunan motilitas saluran cerna
- Pucat Ketegangan otot
- Penurunan denyut jantung atau tekanan darah
Respon parasimpatik - Pernafasan cepat dan tidak teratur
- Mual dan muntah
- Kelemahan atau kelelahan

4. Respon perilaku
Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara lain:
merubah posisi tubuh, mengusap bagian yang sakit, menopang bagian nyeri yang sakit,
menggeretakkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi
verbal menangis, mengerang, mengaduh, menjerit, meraung.

5. Respon afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat di dalam melakukan
pengkajian terhadap pasien dengan gangguan rasa nyeri. Adanya depresi, ansietas, ketidak
tertarikan pada aktivitas fisik juga merupakan respon afektif.
6. Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien
Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan dalam kegiatan
sehari-hari.
7. Persepsi klien tentang nyeri
Dalam hal ini, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia alami dengan
proses penyakit atau hal lain dalam diri atau lingkungan disekitarnya.
8. Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri
Perawat dalam hal ini perlu mengkaji cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan
untuk menurunkan nyeri yang ia alami.

Sumber:

Putri, Yuni Andri. (2013). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar.
Skripsi, http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50762.pdf diakses 12 Desember 2017
pukul 09.57 WIB
Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

f. Bagaimanakah manajemen keperawatan pada pasien nyeri?

Manajemen Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara

1. Terapi farmakologis

Beberapa prinsis penanganan nyeri pada kanker payudara yaitu :

a. Sasaran utama manajemen nyeri kanker adalah mengidentifikasi penyebab dan melakukan
pengobatan yang sesuai .
Misalnya jika nyeri disebabkan oleh metastase kanker maka pada kanker payudara radioterapi
dapat efektif dalam pengobatan metastasis di tulang dan menghilangkan nyeri pada lebih dari 50
persen dari pasien penderita kanker.
b. Prioritas pertama dari pengobatan adalah untuk mengendalikan nyeri dengan cepat, sebagaimana
yang dirasakan oleh pasien. Prioritas kedua adalah untuk mencegah terulangnya rasa sakit. Aturan
penggunaan obat analgesik harus didasarkan pada jadwal yang teratur dengan dosis tambahan bila
diperlukan. Kontrol nyeri yanga cepat dan tepat sangat penting karena nyeri kronis dapat
menyebabkan perubahan pesan immpuls pada pada sistem saraf pusat. Keseimbangan antara
neurotransmitter excitatory dan inhibitory berkaitan dengan reseptor yang mengalami sensasi
yang buruk. Dengan demikian, seorang pasien bisa tidak terbiasa dengan rasa sakit. Oleh karena
itu, menggunakan terapi antikanker atau analgesik merupakan suatu pendekatan pencegahan
adalah yang penting. Hal ini lebih baik jika dengan dosis dan jadwal rutin atau dengan
penambahan dosis untuk nyeri bila perlu, dibandingkan dengan memberikan analgesik hanya
ketika rasa sakit berulang.
c. Ketika terapi obat-obatan diperlukan, WHO menganjurkan penggunaan analgesik. Obat analgesik
dapat dibagi menjadi 3 kelompok : nonopioid, opioid dan adjuvant. Metode sederhana yang
efektif dalam menggunakan analgesik yang dikembangkan oleh kelompok pakar dan diadakan
kesepakatan dengan organisasi kesehatan dunia
i. Tahap pertama : tingkat rasa sakit ringan sampai sedang membutuhkan penggunaaan
asetaminophen atau NSAID, atau keduanya secara bersamaan
ii. Tahap 2 : saat rasa sakit lumayan tidak terkontrol, opioid seperti codein atau oxycodone harus
ditambahkan bersama NSAID
iii. Tahap 3 : Saat rasa sakit sudah parah dan tidak maksimal terhadap pengobatan tahap 2, yang
harus dilakukan adalah secepatnya mengganti opioid yang manjur dengan atau tanpa NSAID
dan analgesik adjuvant..
iv. Taham keempat : Adjuvant analgesik
Adjuvant analgesik adalah obat dengan indikasi utama selain untuk nyeri yang telah
ditemukan berguna juga dalam pengelolaan beberapa kondisi lainnya.
1) Kortikosteroid
Semakin banyak bukti bahwa, di samping untuk meningkatkan nafsu makan,
kortikosteroid mampu mengatasi nyeri pada metastase tulang dan nyeri hati dan nyeri
kompresi saraf. Pasien yang menderita metastatic cord compression telah dilaporkan
menggunakan deksametason dan prednisolon oral untuk merdakan nyeri, obat tersebut
diketahui memiliki efek analgesik yang signifikan dalam studi terkontrol pada pasien
dengan kanker stadium lanjut.5
2) Antidepresan
Antidepresan trisiklik membantu dalam mengatasi nyeri neuropatik. Terlepas dari
efek yang ditimbulkan yaitu depresi berkelanjutan, obat tersebut pada dasarnya bertindak
sebagai inhibitor dalam transmisi nociceptive di dalam tanduk dorsal saraf tulang belakang.
Hal tersebut umumnya telah didapatkan hasilnya dengan menggunakan amitripitilin. Akan
tetapi, penggunaannya pada pasien kanker umumnya sulit dikarenakan oleh efek samping
antikolinergik seperti mulut kering dan sembelit. Untuk sisi positifnya, dosis yang
dibutuhkan untuk menekan rasa sakit pada dasarnya lebih rendah dibandingkan dengan saat
digunakan untuk mengatasi depresi, dan efek positifnya dapat langsung terlihat sejak awal,
seringnya saat di hari ketiga sampai kelima. Alternatif antidepresan yang lebih aman
termasuk desipramin dan nortitriptilin. Paroksetin, sebuah inhibitor serotonin selektif untuk
absorpsi ujung saraf presinaptik yang efektif dalam penanganan rasa sakit yang
dikarenakan oleh diabetes neuropati67 (temuan level III) juga dianggap efektif dalam tipe
lain darirasa sakit neuropatik (temuan level V).5
3) Anticonvulsan
Agen-agen ini sangat membantu dalam mengatasi komponen nyeri neuropatik, seperti
yang ditunjukkan dalam studi-studi kepada pasien dengan trigeminal neuralgia. Akan
tetapi, beberapa studi telah meneliti penggunaan agen-agen ini dalam mengatasi kanker;
hampir seluruh studi klinis mendeskripsikan kegiatannya di dalam pasien dengan sindrom
nyeri neuropatik nonkanker. Obat-obat yang umumnya digunakan termasuk carbamazepin,
penitoin, baklofen, asam valpoik atau clonazepam. Carbamazepin umumnya menjadi
pilihan pertama, tapi yang lainnya dapat digunakan jika respon awalnya tidak memuaskan
atau terdapat efek yang merugikan (temuan level V).5
4) Anestetik lokal
Berbagai anestetik lokal yang diberikan secara sistematis seperti mexitelin, tokainida,
atau flekainida umumnya digunakan untuk penanganan kardiak aritmia. Akan tetapi,
semuanya boleh digunakan untuk penanganan nyeri neuropatik yang jika memungkinan
dapat merespon sesuai dengan pengobatan. Perawatan seharusnya dilatih di dalam
menggabungkan meksitelin dengan antidepresan trisiklik karena beberapa pasien yang
telah menderita efek psikotomik yang merugikan (temuan level V). Peran yang relatif dari
tiap kelas agen dan insidensi gabungan-gabungan racun dari obat-obatan harus diatasi
secepatnya.5
5) Inhibitor substansi P
Kapsaisin, sebuah inhibitor substansi P dan analgesik topikal, telah dianjurkan untuk
mengurangi hiperalgesia yang berhubungan denga kulit dan rasa sakit neuropatik yang
panas tapi masih belum tertemuan.5

6) Inhibitor resorpsi tulang


Obat-obatan terkini yang menjadi pilihan pertama untuk penanganan hiperkalsemia
ganas dalah bisfosfonat (contohnya pamidronat dan clodronat). Obat-obatan ini akan
mencegah atau menekan rasa sakit tulang yang berbahaya atau komplikasi skeletal pada
beberapa wanita dengan tulang metastase (temuan level I). Selain itu juga, temuan dari
salah satu pengujian menyarankan bahwa penggunaannya bahkan dapat mengurangi
frekuensi tulang metastase. Obat yang lain, kalsitonin, terkadang digunakan untuk
menekan rasa sakit dari tulang metastase.5

2. Terapi nonfarmakologi
Menurut Tamsuri, selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula tindakan
nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan berdasarkan:
a. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:
1) Stimulasi kulit
Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan
pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu
memblok atau menurunkan impuls nyeri
2) Stimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa
melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan pijat, mandi
air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/
transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan
menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
3) Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri.
Jarum jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu,
tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
4) Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik
dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai obat seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan
sebagainya.
b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:
1)Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan,
antara lain:
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stress
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

2) Umpan balik biologis


Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri
fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk
mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
3) Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
4) Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi
visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan
(massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat,
berirama.
5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)
Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini
memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari pasien. Apabila pasien
mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa
nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
6) Terapi Es dan Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa
keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut.
Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-
noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan
subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus
diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun
demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif penggunaan
es. Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian
tambahan diperlukan untuk memahami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang
sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan
cermat untuk menghindari cedera kulit.

Sumber:

Siampa, Stti Fatimah.(2014). Manajemen Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.07 WIB

Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B. & Glenora Erb. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis
edisi 5. Jakarta: EGC.

Kusuma, Tanti. (2014). Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel,
http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/38/01-gdl-tantikusum-1886-1-kti_tant-i.pdf diakses
11 Desember 2017 pukul 22.05 WIB

g. Jelaskan manajemen farmakologi nyeri menurut WHO !

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Strategi
ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada 4 prinsip, yaitu:12

1. By Mouth berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk opiat.
2. By the Clock berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan interval obat
tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau on demand.
3. By the Ladder yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri,
antara lain:
Langkah 1:
- Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non opioid dan
tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum yang
direkomendasikan.
- Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika dibutuhkan.
- Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.
Langkah 2:
- Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein.
- Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Langkah 3:
- Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir, disarankan
untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.
- Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
4. For the Individual berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun
nyeri akut, yaitu:12
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12


Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic Ladder for Cancer
Pain Relieftidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak. Untuk manajemen nyeri pada anak
telah digunakan strategi two-step approach. Pada strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis
rendah untuk nyeri sedang. Hal ini berbeda dengan strategi sebelumnya yang merekomendasikan
penggunaan kodein atau tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi two-step
approach ini terdiri dari:
Langkah 1: untuk nyeri ringan
Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada
anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol
merupakan satu-satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.

Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat


Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak
dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.
Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-obatan
yang bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses trasduksi dapat
diberikan OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun anestesi lokal. Proses transmisi
dapat diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat diberikan anestesi lokal, opioid, maupun
alfa-2 agonis. Sedangkan untuk proses persepsi dapat diberikan opioid, alfa-2 agonis maupun
obat yang bekerja pada respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat (misalnya ketamin) yang
menghasilkan efek anestesi disosiatif.
Sumber:

Kusuma, Tanti. (2014). Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara,


http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/38/01-gdl-tantikusum-1886-1-kti_tant-i.pdf diakses
11 Desember 2017 pukul 22.05 WIB
b.Jelaskan bagaimanakah dukungan psikososial yang dibutuhkan oleh pasien dan keluarganya!

1. Dukungan Psikososial Pada Pasien

Dukungan psikososial adalah mekanisme hubungan interpersonal yang dapat melindungi


seseorang dari efek stress yang buruk berupa hubungan saling percaya yang kuat untuk melindungi
pasien dari kecemasan (Kaplan & Sadock, 2000).

Dukungan psikososial merupakan aktivitas perawat yang penting dalam mempersiapkan


kondisi psikologis sehingga pasien yang akan menghadapi pembedahan akan merasa lebih tenang dan
siap, hal ini akan mengurangi komplikasi lain setelah pembedahan. Menurut Sarafino (2002), bentuk
dukungan psikososial yang dapat diberikan berupa dukungan emosi, dukungan penghargaan,
dukungan informasi, dukungan nyata atau materi, juga dukungan kelompok.

a. Dukungan Emosi
Menurut Struart & Sundeen dukungan emosi pada pasien pre operasi dapat berupa
sikap empati dan perhatian kepada pasien. Empati menuntut adanya kepekaan perawat terhadap
perasaan dan kemampuan secara verbal untuk menterjemahkan perilaku pasien menjelang
operasi. Sedangkan perhatian perawat kepada pasien dapat diberikan dengan sentuhan sehingga
memberikan kesan bahwa perawat memahami, mendukung, memberi kehangatan, perhatian dan
pendekatan pada pasien.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan dapat berupa pemberian penghormatan dengan ungkapan
positif, membesarkan hati atau menyetujui ide atau perasaan seseorang sehingga pasien merasa
lebih berharga dan akhirnya pasien dapat menentukan keputusan yang terbaik bagi dirinya.
c. Dukungan nyata atau materi
Dukungan nyata atau materi mencakup bantuan langsung berupa materi seperti :
kesediaan fasilitas keperawatan, atau bantuan tenaga yaitu membantu pasien mengatasi masalah
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Di sini perawat dituntut kesiapan dalam memberikan dukungan nyata atau materi baik
dengan menggunakan fasilitas keperawatan maupun dalam bentuk bantuan tenaga.
d. Dukungan informasi
Dukungan informasi yang diberikan pada pasien adalah informasi terkait kondisi dan
tindakan mengenai penyakit pasien. Informasi tersebut akan sangat bermanfaat untuk pasien
sehingga pasien merasa diterima di lingkungan baru dan merasa ada orang yang selalu siap
membantu.
e. Dukungan kelompok
Dukungan kelompok yaitu : perawat memberikan dukungan dengan memfasilitasi
pasien untuk mendapatkan dukungan kelompok secara langsung dan tidak langsung supaya
pasien merasa diakui dan berarti oleh kelompoknya seperti keluarga dan temannya serta diberi
kesempatan untuk berinteraksi dengan kelompoknya. Interaksi yang tepat antara pasien dengan
keluarga dan kelompoknya dapat menjaga orientasi pasien dalam perawatan selama stroke, hal
ini akan memberi motivasi positif bagi pasien yang nantinya akan mempengaruhi persiapan pre
operasi dan hasil dari operasi itu sendiri

2. Dukungan Psikososial Pada Keluarga

Kondisi yang penuh stres seperti ini dapat menimbulkan beban bagi keluarga yang tidak
ringan dan dapat menyebabkan keluarga mengalami krisis psikologis. Fontaine (2009) menyatakan
bahwa beban psikologis seperti ini dapat menyebabkan keluarga mengalami stres emosional
sebagaimana bentuk respon keluarga terhadap berduka dan trauma. Keluarga sangat membutuhkan
empati dan dukungan dari tenaga kesehatan profesional (Fontane, 2009). Bentuk dukungan yang
diberikan kepada anggota keluarga yaitu dalam bentuk dukungan psikososial dimana dukungan ini
diharapkan mampu mengatasi masalah psikososial yang ditimbulkan (Depkes RI, 2008).

Dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis terhadap individu, hal
ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan (Sarafino, 2006).

Dukungan psikososial yang dibutuhkan keluarga, dalam penelitian ini dilakukan perhitungan
person measure terhadap dukungan psikososial yang dibutuhkan keluarga berdasarkan empat
komponen :

a. Dukungan informasi
Dukungan psikososial pada komponen dukungan informasi, hasil uji RASCH
mengenai dukungan informasi yang dibutuhkan oleh keluarga menunjukkan bahwa nilai mean
person measure untuk dukungan informasi adalah 1.56 yang berarti sebagian besar keluarga
membutuhkan dukungan informasi. Jika melihat nilai person measure yaitu sebesar 1.06,
keluarga lebih memilih dukungan informasi berupa saran atau petunjuk dari petugas kesehatan
bagaimana harus bersikap dalam menghadapi masalah yang menimpa keluarganya.
Demikian pentingnya upaya dukungan informasi bagi keluarga yaitu untuk
meningkatkan semangat dan motivasi keluarga. Memberikan dukungan informasi secara
langsung dari petugas kesehatan tentang bagaimana cara merawat keluarga yang terserang
stroke. Stanley (2007), menyatakan bahwa dukungan yang diwujudkan dalam bentuk saran,
masukan, arahan dan informasiinformasi yang diterima oleh keluarga atau penderita yang
memiliki gangguan kesehatan atau penyakit kronis akan menumbuhkan rasa dihargai dan
dihormati sehingga keluarga termotivasi untuk mempertahankan kondisi kesehatannya agar
tidak larut dalam masalah psikologis yang sedang dialaminya.
Ada tiga kategori utama dalam dukungan informasi yang dibutuhkan oleh keluarga
dengan anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, yaitu a) memberikan informasi, b)
penanganan informasi dan c) menggunakan informasi (Gaeeni, Farahani, Seyedfatemi, &
Mohammadi, 2015).
b. Dukungan emosional
Dukungan psikososial pada komponen dukungan emosional, hasil analisis
menggunakan RACSH didapatkan nilai mean person measure untuk indikator emosional
adalah 1.97, hal ini menunjukkan bahwa dukungan empati, kepedulain dan perhatian
dibutuhkan oleh semua responden. Jika dilihat dari nilai person measure dukungan emosional
yang paling dibutuhkan oleh keluarga adalah keinginan agar petugas kesehatan peduli dengan
masalah kesehatan yang dihadapi keluarga terkait dengan keadaan keluarganya yang terkena
stroke.
Dukungan emosional yang dilakukan petugas kesehatan seharusnya melibatkan
ekspresi empati, perhatian dan kepedulian, dimana rasa empati, perhatian dan kepedulian akan
mendorong perasaan nyaman, mengarahkan seseorang untuk percaya bahwa dia dihormati,
dicintai dan bahwa orang lain bersedia untuk memberikan perhatian serta rasa aman (Sarafino,
2006).
c. Dukungan instrumental
Dukungan psikososial pada komponen dukungan intrumental, hasil analisis
menggunakan RASCH didapatkan nilai mean person measure untuk sub indikator
instrumental adalah 1.56 dapat diinterpretasikan bahwa responden membutuhkan semua
dukungan instrumental. Berdasarkan nilai person measure, dukungan instrumental yang paling
dibutuhkan oleh keluarga adalah kebutuhan akan bahan bacaan terkait masalah yang sedang
dialami saat ini.
Roy (2013) menyebutkan beberapa fasilitas yang dibutuhkan untuk seseorang yang
membutuhkan pelayanan antara lain; buku-buku dan majalah yang mendukung, tempat
konsultasi yang nyaman. Hal senada juga disampaikan Adicondro dan Purnamasari (2011)
yang menyatakan bahwa dukungan instrumental seperti sarana dan prasarana dibutuhkan oleh
anggota keluarga lain yang membutuhkannya.
Dukungan petugas kesehatan merupakan bentuk dukungan selanjutnya yang
dibutuhkan keluarga pada dukungan instrumental untuk membimbing keluarga dalam
merawat pasien stroke.
d. Dukungan Penghargaan
Dukungan psikososial pada komponen dukungan penghargaan, hasil analisis
menggunakan RASCH didapatkan nilai person measure 2. 09, maka nilai ini menunjukkan
bahwa bentuk dukungan penghargaan yang paling dibutuhkan oleh keluarga adalah keinginan
agar orang-orang disekitar memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan keluarga
dalam merawat anaknya. Melalui dukungan penghargaan ini, keluarga akan mendapatkan
pengakuan atas kemampuannya sekecil dan sesederhana apapun sehingga keluarga bisa
semangat dan termotivasi dalam melakukan perawatan terhadap anggota keluarganya yang
terkena stroke.
Dukungan penghargaan sangat diharapkan oleh keluarga yang sedang merawat
anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan. Shipley (2012) dalam
penelitiannya tentang dukungan pada keluarga pasien dengan amyotrophic lateral sclerosis
dengan metode wawancara terhadap delapan keluarga. Hasil penelitian mengemukakan bahwa
dukungan penghargaan mampu memberikan motivasi kepada keluarga untuk tetap berupaya
merawat anggota keluarganya yang sedang sakit. Dukungan positif seperti halnya
penghargaan kepada pasien atau keluarga mampu meningkatkan kemampuan manajemen diri
yang positif serta menurunkan perilaku destruktif (Bouxsein, Roane, & Harper, 2011). Seperti
halnya keluarga yang memiliki penderita strok juga membutuhkan dukungan penghargaan dari
orang lain atas upaya yang mereka lakukan meskipun belum optimal (Cameron, 2013)

Sumber:

Pancarana, Fifan Agung. (2014). Dukungan Psikososial Perawat Pada Pasien Preoperasi Di Ruang
Bedah Rsu Dr. Slamet Garut. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.10.no.1 hal.126-146,
ejurnal.stikesbhaktikencana.ac.id.pdf diakses 12 Desember 2017 pukul 05.30 WIB

Novianty, Lia. (2015). Analisis Dukungan Psikososial yang dibutuhkan Keluarga. Artikel. Vol. 3,
no.3, http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/115 diakses 12 Desember 2017 pukul
06.08 WIB
DAFTAR PUSTAKA

Ardinata, Dedi. (2012). Multidimensional Nyeri. Jurnal Keperawatan Rufaidah.Vol.2,no.2,


https://www.researchgate.net/profile/Dedi_Ardinata/publication/48379244_Multidimensional_Ny
eri/links/0deec51efa078d4645000000/Multidimensional-Nyeri.pdf diakses 11 Desember 2017
pukul 20.25 WIB

Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B. & Glenora Erb. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis
Edisi 5. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyn E. Moorhouse, Mary Frances. Alice C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan.
Edisi 3. Jakarta: EGC

Harnawati.(2016). Nyeri, http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle.pdf diakses 11 Desember 2017


pukul 17.45 WIB

Haryani, Ani. (2014). Pengembangan Modalitas Keperawatan Berbasis Energi Dalam Mengurangi
Nyeri Pada Klien Dengan Kanker Payudara. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia. Vol.10,no.
1, http://lppm.unsil.ac.id/files/2014/10/02.Purbayanty-Budhiaji.pdf diakses 11 Desember 2017
pukul 19.34 WIB

Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta:EGC

Hidayat, Asep. (2014). Asuhan Keperawatan Psikososial Ketidakberdayaan. Karya Ilmiah,


http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20390998.pdf diakses 12 Desember 2017 pukul 10.25
WIB

Indrawati. (2014).Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara Pasca
Mastektomi. Artikel, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-10/20437628.pdf diakses 11
Desember 2017 pukul 18.30 WIB

Kusuma, Tanti. (2014). Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel,
http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/38/01-gdl-tantikusum-1886-1-kti_tant-i.pdf
diakses 11 Desember 2017 pukul 22.05 WIB

Novianty, Lia. (2015). Analisis Dukungan Psikososial yang dibutuhkan Keluarga. Artikel. Vol. 3,
no.3, http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/115 diakses 12 Desember 2017 pukul
06.08 WIB

Nurarif, Amin Huda, dan Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis
dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta:Mediaction
Pancarana, Fifan Agung. (2014). Dukungan Psikososial Perawat Pada Pasien Preoperasi Di Ruang
Bedah Rsu Dr. Slamet Garut. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.10.no.1 hal.126-146,
ejurnal.stikesbhaktikencana.ac.id.pdf diakses 12 Desember 2017 pukul 05.30 WIB

Permata, Ayu. (2013). Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel, http://eprints.undip.ac.id.pdf
diakses 11 Desember 2017 pukul 17.40 WIB

Putri, Yuni Andri. (2013). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar.
Skripsi, http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50762.pdf diakses 12 Desember
2017 pukul 09.57 WIB

Rachmawati, Imami Nur. Analisis Teori Nyeri. Artikel, Vol.12, no.2, hal. 129-136,
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/211/464 diakses 11 Desember 2017 pukul 19.23 WIB

Rooses, Annisa. (2017). Format Pengkajian Psikososial, https://pdfdokumen.com/download/format


pengkajian-psikososial-gordon_59d876391723dde65a702eb6_pdf diaksess 12 Desember 2017
pukul 10.22 WIB

Saputri, Eka Rahmi. (2017). Hubungan Intensitas Nyeri dengan Status Fungsional Penderita Kaanker
Payudara di RSUDDZA Banda Aceh. Artikel, Vol 2, no 1, hal 17-21,
http://jim.unsyiah.ac.id/FKM/article/view/3175/1546 diakses 11 Desember 2017 pukul 19.54
WIB

Septiani, Intan. (2014). Respon Nyeri. Artikel, http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus


gdl-sokehnimg2-7054-3-babii.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.52

Sari, Ni Putu Wulan. (2014). Program Self Management: Atasi Nyeri Dan Tingkat Kualitas Hidup
Penderita Kanker. Jurnal Ners Lentera, Vol.2, Hal.39-47,
http://journal.wima.ac.id/index.php/NERS/article/view/687/684 diakses 11 Desember 2017 pukul
19.43 WIB

Siampa, Stti Fatimah.(2014). Manajemen Nyeri Pada Pasien Kanker Payudara. Artikel,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle.pdf diakses 11 Desember 2017 pukul 20.07 WIB

Smeltzer, Suzanner. C. Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC

Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. (2016). Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai