EUTHANASIA
DITINJAU DARI SUDUT KEDOKTERAN, HUKUM,
AGAMA.
Edisi pertama, cetakan pertama, 2017
ISBN: 978-602-465-000-1
Bibliografi
ISBN: 978-602-465-000-1
-------------------------------
------------------------
KATA SAMBUTAN
REKTOR
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Assalamualaikum Wr.Wb
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan, upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, terbitnya buku
Euthanasia ditinjau dari sudut kedokteran, hukum dan
Agama ini layak untuk diapresiasi. Ditengah kesibukannya
mengajar dan membimbing mahasiswa dan residen, dr
Asan Petrus MKed(for).SpF, Dosen Fakultas Kedokteran
USU Medan mampu menulis buku yang dapat menambah
khazanah bacaan di bidang forensik .
Atas nama Pimpinan Universitas Sumatera Utara
Medan, saya ucapkan selamat dan terima kasih kepada
penulis, semoga buku ini memberikan manfaat dan
kebaikan bagi semua pembacanya.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
yang begitu besar sehingga telah diselesaikannya buku
Euthanasia untuk menambah deretan buku Ilmu Kedokteran
Forensik saat ini. Kiranya buku ini bermanfaat positif
sebagai bahan informasi guna meluaskan wawasan bagi para
dokter maupun mahasiswa kedokteran serta sebagai
referensi untuk pengembangan berbagai disiplin ilmu
dimasa mendatang
Selain tujuan diatas penyusun juga bermaksud untuk
mengumpulkan berbagai bahan untuk penyusuns materi
pendidikan medikolegal sebagai bagian dari pendidikan di
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikoleghal,
yang selama ini sangat minim, salah satunya adalah
euthanasia. Penyusun juga berharap buku ini dapat
memberikan kontribusi positip dalam system pendidikan
dan pelayanan kesehatan secara optimal.
Bahan dalam buku ini sebagian bersumber dari materi
yang telah disampaikan pada pertemuan ilmiah ketujuh
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia wilayah
Sumatera Utara pada tanggal delapan Desember seribu
Sembilan ratus Sembilan puluh, di medan.
Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima
kasih pada orang-orang yang banyak memberi kontribusi
semangat dalam penyelesaian buku ini antara lain : istri
tercinta Irmawaty Bangun,SH, anak-anak tersayang :
Caterine Nadine Margaretta Meliala, John Cristovel Meliala
dan Carlos Annacondia Meliala.
Saya menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan buku ini di kemudian hari.
Medan, 2017
Editor,
vii
i
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN..........................................................vi
KATA PENGANTAR......................................................vii
DAFTAR ISI......................................................................ix
x
i
hanya bersifat individu, yaitu hanya dirasakan oleh keluarga
terdekatnya saja, tetapi juga yang sudah diproyeksikan
sebagai sesuatu yang dirasakan oleh masyarakat sekitarnya.
Berbagai tradisi diciptakan masyarakat untuk mengurangi
kepedihan akibat kehilangan tersebut yang kemudian
membentuk perilaku masyarakat dalam menghadapi mati
dan kematian. Oleh karena itu perilaku masyarakat dalam
menghadapi mati dan kematian dapat berubah sejalan
dengan perubahan situasi sosial mereka, misalnya masuknya
agama-agama modern telah mengubah pandangan
masyarakat tentang tempat yang dituju oleh arwah orang
meninggal, dan dengan demikian, juga mengubah pola ritus
yang biasa mereka lakukan. Demikian pula industrialisasi
dan kepadatan penduduk akan dapat mengubah pandangan
sikap dan perilaku mereka terhadap orang yang telah mati.
Kematian juga suatu peristiwa misterius yang belum
terpecahkan. Adakah kematian merupakan akhir kehadiran
manusia sebagai mahluk (finaler Bestimmungsgrund das
Lebens)? Bukan hanya kaum “ateis atau sekuler” modern
yang beranggapan bahwa mati hanya akhir kehidupan dan
tidak ada kehidupan lain sesudah itu. Teori kedokteran cina
kuno, seperti yang termuat dalam buku Hiangdi Neijing
(buku teori kedokteran dari jaman Kaisar Kuning) yang
mengembangkan teori pertentangan antara Yin dan Yang,
juga menganggap bahwa mati adalah akhir kehidupan dan
tidak ada lagi kehidupan baru sesudah itu. Buku tersebut
menyatakan bahwa persaingan antara Yin dan Yang inilah
yang menggerakkan kehidupan manusia sejak lahir dan
dalam kehidupan selanjutnya. Begitu pertentangan antara
Yin dan Yang itu berhenti, maka berhentilah kehidupan
manusia itu dan tidak ada apa-apa lagi setelah itu.
2
Ataukah mati sebagai suatu saat (titik) terjadinya peralihan
antara kehidupan fisik dengan kehidupan baru (fisik bagi
mereka yang percaya reinkarnasi dan non-fisik bagi mereka
yang tidak percaya reinkarnasi) yang kita belum ketahui?.
Dengan demikian mati bukanlah suatu akhir, tetapi hanya
merupakan salah satu perubahan besar yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Perubahan yang berupa terlepasnya
nyawa dari tubuh fisik manusia. Tetapi "kehidupan” itu
sendiri akan terus berlangsung, hanya kali ini tidak lagi
melalui bentuk fisik.
Pandangan kultural tentang mati dan kemudian juga
pandangan agama-agama tentang mati, menyebabkan
manusia melihat mati dan kematian pertama-tama dari aspek
moralitas. Berbagai upacara baik yang tradisional atau yang
berdasarkan agama-agama modern, menunjukkan betapa
kita melihat kematian dan memperlakukan jenazah dengan
landasan moralitas. Tetapi dalam abad teknologi ini, mulai
timbul sikap-sikap yang menunjukkan bahwa pandangan
terhadap mati dan kematian tidak lagi terlalu sarat dengan
moralitas, atau paling sedikit tidak lagi disarati dengan nilai-
nilai moral yang sama dengan jaman dulu.
Teknologi transplantasi telah memungkinkan
pemindahan jaringan “yang masih hidup" dari seorang yang
sudah dinyatakan mati, kepada orang lain yang masih hidup
dan memerlukan jaringan tersebut. Di sinilah mulai timbul
pertanyaan, benarkah pasien yang pertama tadi sudah mati?
Dalam hal yang bagaimana kematian dapat dianggap
sebagai masalah teknis, yang boleh ditetapkan begitu saja
oleh seorang dokter? Nilai-nilai moral yang mana yang
melarang, membatasi atau membolehkan dokter berwenang
menetapkan bahwa pasien sudah mati, tetapi jaringannya
masih hidup? Dengan kata lain bagaimana menetapkan
kriteria mati yang secara moral masih dapat dipertanggung
jawabkan?.
Dari segi pengetahuan biomedis, kematian itu
sebenarnya berlangsung secara berangsur, yang prosesnya
sebenarnya sudah diawali sejak baru lahir. Sejak bayi,
setiap hari sebagian dari sel-sel tubuh manusia mengalami
kematian, tetapi kemudian diganti oleh sel-sel yang baru
terbentuk. Jumlah dan sifat sel yang baru terbentuk itu
berubah-ubah dari tahun ke tahun, sehingga manusia
nampak dan berperilaku lebih tua dari sebelumnya. Semakin
tua usia manusia, penggantian sel-sel yang mati itu semakin
tidak sempurna dan tidak semua sel yang mati dapat diganti,
sehingga akhirnya semua sel dalam tubuh manusia itu mati.
Pada kondisi adanya penyakit, proses kematian itu
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan jika orang itu
dalam keadaan sehat. Tugas dokter dalam menyembuhkan
penyakit sebenarnya adalah mencoba menghambat laju
proses kematian itu dengan cara memulihkan jaringan-
jaringan tubuh yang sakit ke keadaan sehat kembali. Untuk
menghentikan sama sekali berlangsungnya proses kematian
manusia, tidak seorang dokter pun yang bisa.
Sebagaimana diungkapkan tadi, kematian adalah
proses yang berlangsung secara berangsur. Sehingga secara
klinis sering sulit untuk menetapkan kapan seseorang sudah
dapat dinyatakan mati. Dulu sebelum kita mengenal alat
resusitasi, mesin-mesin penopang dan Unit Perawatan
Intensif, masalah itu tidak ada. Cukup bila jantung sudah
berhenti berdetak dan nafas sudah tidak ada lagi, orang
dinyatakan sudah mati. Tidak perlu diberikan pertolongan
lebih lama lagi.
Sekarang dengan adanya alat-alat resusitasi
mutakhir, ternyata jantung yang sudah berhenti dapat dipacu
untuk berdetak kembali dan paru-paru pun dapat dipompa
agar berkembang kempis kembali. Ada kalanya meskipun
jantung atau nafas sudah terhenti, dengan alat resusitasi
tersebut pasien masih dapat ditolong hingga hidup kembali.
Berarti bagian tubuh yang berperanan menggerakkan
jantung (otak) ternyata belum mati. Mungkin tadi telah
terjadi "putus hubungan" yang bersifat sementara yang
kemudian oleh bantuan teknologi resusitasi dapat
dirangsang untuk kembali berfungsi dan mampu
menggerakkan jantung dan paru-paru lagi.
Sebaliknya jantung dan paru-paru dapat saja tetap
bergerak atau lebih tepat digerakkan oleh alat-alat,
meskipun ternyata pusat pengaturnya (otak) sudah mati.
Dengan kata lain, dalam proses kematian yang berangsur
tadi sel-sel otak telah lebih dulu mati dari pada sel-sel otot
jantung. Karena sel-sel otak sudah mati, maka berapa
lamanya pun jantung dan paru-paru orang itu digerakkan
dengan bantuan mesin, orang tersebut tidak akan hidup
kembali. Begitu alat bantu dilepaskan, orang tersebut segera
mati (dalam pengertian klasik) karena jantung dan paru-
parunya tidak dapat bergerak lagi.
Hal inilah yang sering menimbulkan dilema untuk
memastikan kapan alat bantu itu dapat dicabut, sebab pasien
tetap tidak sadar dan tidak dapat diajak berkomunikasi.
Bahwa jantungnya tetap berdetak dan paru-paru
berkembang kempis mungkin memang ia masih hidup, atau
mungkin juga hanya berkat bantuan alat-alat itu tadi.
Sampai kapan alat- alat itu akan tetap dipertahankan?
Tentu harus ada batasnya. Yaitu sampai dipastikan
bahwa orang itu sebenarnya memang sudah mati. Karena
kriteria jantung terhenti dan nafas terhenti tidak dapat lagi
dijadikan pedoman di sini (bukankah ia tetap bergerak
meskipun karena bantuan mesin), maka harus dicari tanda
tanda lain. Di sinilah kita dihadapkan kepada pertanyaan:
kapan dokter secara moral (morally) boleh menyatakan
bahwa secara teknis (technically) manusia telah mati.
Kembali kita dihadapkan kepada pertanyaan, di manakah
titik temu antara pandangan mati secara moralitas dan
pandangan mati secara teknis.
Untuk itu nampaknya perlu dilakukan pendefinisan
ulang tentang "mati" ,serta penetapan kriteria baru tentang
mati. Jika mati itu sendiri sebuah proses yang berlangsung
lama, pada titik mana dari proses itu kita boleh menyatakan
bahwa orang itu sudah mati.
Pada umumnya kita mengenal ada beberapa konsep
tentang mati.
1. Mati sebagai saat berhentinya darah mengalir
Konsep ini memunculkan kriteria mati yang berupa
berhentinya jantung, karena kita semua mengetahui bahwa
jantunglah yang memompa darah mengalir ke seluruh tubuh
(PP no. 18 tahun 1981 misalnya, menyatakan bahwa mati
adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru). Tetapi
benarkah demikian? Dalam pengalaman kedokteran,
teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-
paru yang semula terhenti (misalnya pada orang tenggelam)
adakalanya dapat dipulihkan lagi. Sehingga dilihat dari
perkembangan teknologi kedokteran, kriteria mati yang
ditetapkan PP 18 tahun 81 tersebut sebenarnya sudah
ketinggalan jaman.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh.
Tetapi kapan sebenarnya saat nyawa meninggalkan
tubuh? Pada umumnya memang banyak yang beranggapan
bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah berhenti
mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi
yang diungkapkan di atas, dapatkah nyawa ditarik kembali"
melalui teknologi resusitasi? Jika kita beranggapan bahwa
sekali nyawa itu lepas (ditarik oleh Tuhan), tidak mungkin
manusia menariknya kembali, maka kriteria berhentinya
darah mengalir sebagai saat nyawa meninggalkan tubuh,
tidak tepat lagi.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
(irreversible loss) untuk menjalankan fungsinya
secara terpadu.
Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang
semula bekerja secara terpadu, kini mereka berfungsi sendiri
sendiri tanpa terkendali karena fungsi pengendali (otak)
sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka.
Pandangan ini memang sudah sangat teknis, tetapi belum
memastikan bahwa otak telah mati. Hanya mengatakan
bahwa otak tidak lagi mampu mengendalikan fungsi organ-
organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh
pengalaman dalam teknologi transplantasi organ. Secara
teknis medis, untuk kepentingan transplantasi, memang
pandangan ini memadai. Tetapi secara moral masih menjadi
pertanyaan, jika organ- organ itu masih berfungsi, meskipun
tidak terpadu lagi, benarkah orang itu sudah mati?
4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen
kembali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep keempat ini dikembangkan dari konsep
ketiga tadi, tetapi dengan penekanan nilai moral, yaitu
dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk
sosial. Manusia yang seperti digambarkan oleh Henry
Beecher:
“...........individu yang mempunyai kepribadian, menyadari
kehidupannya, kemampuannya, kekhususannya, mengingat,
menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan
alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati,
mengalami kecemasan, dan sebagainya”
Konsep keempat ini tidak lagi melihat apakah organ-
organ tubuh yang lain masih berfungsi atau tidak, tetapi
apakah otaknya masih mampu menjalankan fungsi
pengendalian, baik secara ragawi maupun sosial, atau tidak.
Dalam konsep ini kepentingan transplantasi tidak menjadi
pertimbangan utama lagi, tetapi juga tidak dilupakan.
Konsep keempat ini meskipun masih terasa teknis, sudah
memperhatikan nilai nilai moral. Masih memperhatikan
manusia sebagai mahluk yang mempunyai fungsi sosial.
Pengembangan kriteria mati yang baru bagi dunia
kedokteran, secara moral, bukan hanya demi untuk
kepentingan transplantasi organ saja, tetapi juga untuk
memastikan kapan alat-alat bantu resusitasi harus
dihentikan. Membiarkan jantung seseorang secara terus
menerus digerakkan oleh mesin, padahal sebenarnya ia
sudah menjadi jenazah, dari pandangan agama juga suatu
hal yang tidak benar. Membiarkan alat resusitasi terus
menerus digunakan pada seseorang tanpa batas, dapat
mengurangi hak orang lain yang mungkin masih dapat
ditolong. Dan tindakan demikian itu secara etis juga tidak
dapat dibenarkan.
Oleh karena itu para pakar kedokteran mencari
tanda- tanda baru tentang kematian, yang memenuhi kriteria
teknis dan juga kriteria moral. Konsep yang paling dekat
dengan kepentingan ini adalah konsep yang keempat. Para
pakar kedokteran mencari tanda-tanda bahwa manusia itu
secara teknis sudah mati karena ia tidak lagi mampu untuk
pulih kembali baik secara fisik maupun secara sosial, yaitu
tanda- tanda tentang keadaan pusat penggerak emosi dan
afeksi, pusat penggerak panca indera, serta pusat penggerak
jantung dan paru-paru. Jika pusat-pusat penggerak tersebut
sudah dipastikan tidak berfungsi lagi maka dapat dipastikan
bahwa manusia tersebut secara teknis dan secara moral
sudah mati dan sebenarnya gerak jantung dan paru-paru
yang ada saat itu hanyalah karena gerakan mesin.
Pusat-pusat penggerak berbagai fungsi tadi dalam
tubuh manusia itu secara anatomis diketahui terletak di
batang otak. Oleh karena itu jika batang otak sudah mati,
dapatlah diyakini bahwa manusia itu, secara fisik dan sosial
sudah mati. Itulah awal dari kriteria Mati Batang otak
sebagai kriteria mati yang baru, dan dapat dijadikan
pedoman untuk menghentikan mesin-mesin pembantu tadi.
Dalam keadaan yang demikian itu dari segi agama yang
manapun perpanjangan penggunaan alat-alat tadi mungkin
tidak dapat dibenarkan lagi, karena pada hakikatnya pasien
sudah menjadi jenazah.
Cara menetapkan:
Berbeda dengan kriteria mati otak yang harus
ditetapkan dengan Elektro Ensefalo Gram, teknik untuk
nenetapkan apakah batang otak masih berfungsi atau sudah
mati, dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana.
Maka dengan adanya kriteria Mati Batang otak sebagai
petunjuk tentang masih hidup atau sudah matinya seseorang
yang sudah tidak sadar, ada pedoman bagi para dokter yang
bekerja di unit perawatan intensif tentang kapan alat bantu
dapat dihentikan tanpa ia dituduh melakukan eutanasia atau
bahkan pembunuhan.
Jika tanda-tanda mati batang otak sudah dapat
dibuktikan, fatwa IDI menyatakan bahwa dokter boleh
menghentikan segala tindakan penopang yang selama ini
dilakukan. Karena pada saat batang otak sudah mati orang
itu sudah benar-benar meninggal maka tindakan
penghentian pertolongan tersebut tidak lagi dapat
digolongkan sebagai eutanasia. Jadi tidaklah tepat untuk
merancukan pengertian penetapan Mati Batang otak dengan
eutanasia. Meskipun demikian fatwa IDI menegaskan
bahwa penetapan mati batang otak itupun tidak boleh
dipastikan oleh hanya seorang dokter, dan tidak pula
boleh ditetapkan bersama dengan dokter yang mempunyai
kepentingan dalam masalah transplantasi organ. Agar
terjamin bahwa kisah seperti yang terjadi dalam film coma
tidak akan terjadi pula di sini.
PENUTUP
Kematian saat ini telah berubah maknanya
diakibatkan oleh perkembangan dunia kedokteran yang
pesat. Kriteria mati batang otak yang diajukan mengacu
pada tidak adanya gelombang pada EEG. Tiga konsep
tentang mati haruslah diketahui, Mati sebagai saat
terhentinya darah mengalir, Mati sebagai saat terlepasnya
nyawa dari tubuh, Hilangnya kemampuan tubuh secara
permanen untuk menjalankan fungsiya secara terpadu
merupakan konsep kematian yang dikenal.
DAFTAR PUSTAKA
Kunt Erno und Nylkes, Maria Tod-Gesellschaft-Kultur:
Curare, vol8 1, 1985
Kan-wen MA Concepts of Life and Death in Ancient with a
Discussion on the Problem of Internationale
Fachkonferenz Ethnomedizin Sterben und Tod, El lne
Kulturvergleichende Analyse. Heidelberg, 5-8 April
1984.
Veatch, Robert . M.: Death Dying and the Biological
Revolution, Our Last Quest fro Responsibility. Yale
University Press, New Haven and London, 1989.
BAB 2
KRITERIA MATI DITINJAU DARI
ILMU FORENSIK
(THANATOLOGI)
PENDAHULUAN
Tanatologi berasal dari kata thanatology yang terdiri
dari kata thanatos berarti kematian, dan logy berarti ilmu,
jadi tanatologi adalah ilmu tentang kematian. Tanatologi
meliputi pembahasan mengenai pengertian mati,
menetapkan telah terjadi kematian dan perubahan post
mortem yang sangat penting dalam aspek medikolegal.
Dalam aspek medikolegal, tanatologi dapat membantu
dalam hal apakah korban telah pasti meninggal, telah berapa
lama korban meninggal, posisi korban meninggal, apakah
posisinya telah berubah dan bisa menentukan sebab dan cara
kematian baik wajar atau tidak wajar.
Definisi
thanatology terdiri dari kata thanatos berarti kematian
dan logy berarti ilmu, jadi tanatologi adalah bagian dari ilmu
kedokteran forensic, yang mempelajari tentang kematian,
serta factor-faktor yang mempengaruhi perubahan –
perubahan tersebut. Tanatologi meliputi pembahasan
mengenai pengertian mati, menetapkan telah terjadi
kematian dan perubahan post modem yang sangat penting
dalam aspek medikolegal. Dalam aspek medikolegal,
tanatologi dapat membantu dalam hal apakah korban telah
pasti meninggal, telah berapa lama korban meninggal, posisi
korban meninggal, apakah posisinya telah berubah dan bisa
menentukan sebab dan cara kematian baik wajar atau tidak
wajar. Perubahan post mortem didasari karena adanya
proses biologis pada tubuh manusia setelah kematian dan
berbagai faktor luar yang mempengaruhi proses tersebut.
Klasifikasi Kematian
Ada 2 jenis kematian, yaitu :
a. Kematian Somatik (sistemik)
Adalah kematian yang dinilai dari terhentinya
sistem sirkulasi, respirasi dan inervasi. Pada
kematian somatik, sel-sel tubuh masih hidup.
Otot-otot masih dapat dirangsang dan masih
memberi reaksi terhadap rangsang listrik,
peristaltik usus kadang-kadang masih terdengar,
pupil mata masih bereaksi terhadap penetesan
midriatikum atau miotikum. Sel-sel sperma masih
hidup dalam testikel. Pada masa ini bila
diperlukan organ atau sel tubuh korban masih bisa
ditransplantasikan kepada orang yang
memerlukan.
Ada 3 tanda kematian somatik, yaitu :
Berhenti sirkulasi, untuk menyatakan bahwa
sirkulasi telah berhenti secara permanen
harus diperiksa dengan inspeksi, palpasi dan
auskultasi pada daerah ictus selama 5 menit.
Dirumah sakit dapat dilakukan dengan
pemeriksaan EKG. Ada beberapa tes
tambahan:
o Test magnus, dengan mengikat cukup
kuat pada pangkal jari tangan/kaki
untuk menghambat aliran darah vena
tetapi tidak sampai menghambat
sirkulasi arteri, warna jari tersebut
akan berwarna biru/sianose dan
menjadi bengkak pada orang hidup.
o Test ujung jari (test nail), dengan
menekan ujung kuku, pada orang
yang masih hidup akan timbul warna
pucat dan akan kembali manjadi
warna semula bila dilepaskan. Warna
pucat tidak berubah pada orang yang
sudah mati.
o Test diaphanous (transilumination),
dengan menyenter telapak
tangan, pada orang yang masih hidup,
akan terlihat warna merah muda
ditelapak tangan. Warnanya akan
menjadi kuning pucat pada orang
yang telah meninggal.
o Test Spointing, dengan memotong
arteri, maka darah masih memancar
aktif pada orang hidup sedangkan
pada orang mati mengalir pasif.
o Test icard, dengan menginjeksikan
larutan fluorescine kedalam jaringan
tubuh. Jika sirkulasi masih ada maka
membrana mukosa akan berwarna
sangat kuning dan mata akan
berwarna emerald, sebaliknya jika
sirkulasi telah berhenti maka tidak
akan terjadi perubahan warna.
Berhenti respirasi, untuk menyatakan bahwa
respirasi telah berhenti secara permanen
harus dilakukan pemeriksaan secara inspeksi,
palpasi dan auskultasi. Di!akukaan auskultasi
selarna 5 menit pada seluruh lapangan paru
atau pada daerah bifurcatio trachea. Beberapa
test tambahan:
o Test bulu ayam, dengan meletakkan
bulu ayam atau kapas ditaruh di
depan lobang hidung akan bergerak
secara ritmis sesuai ekspirasi dan
inspirasi.
o Test cermin (test mirror), dengan
melihat uap pernapasan di cermin
yang diletakkan di depan lobang
hidung.
o Test winslow, dengan melihat
pergerakan air di permukaan mangkok
yang penuh berisi air akibat gerakan
pernapasan yang lemah sekalipun.
Berhenti innervasi, fungsi motorik dan
sensorik berhenti, dapat dilihat dari
hilangnya semua refleks, tidak ada rasa
sakit, tidak ada tonus otot, tidak ada
refleks cahaya pada pupil mata dan pupil
rnelebar, kecuali pada beberapa kasus
seperti keracunan morfin pupil menjadi
sangat kecil (pint point).
b. Kematian Molekuler
Terjadi setelah kematian somatik. Jarak antara mati
somatik dan mati molekuler tidak serentak pada
semua sel dan jaringan tubuh, tetapi bergantung
pada jenis sel. Sel-sel otak paling cepat mati oleh
karena kekurangan 02. dalam waktu 4-5 menit
jaringan otak tidak mendapat 02, ia akan mati dan
tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible), otot masih
dapat dirangsang dengan listrik dibawah 3 jam,
sementara kornea mata masih dapat
ditransplantasikan dibawah 6 jam kematian.
Sperma dapat bertahan sampai 24 jam. Pada katak
dan beberapa jenis binatang lainnya, beda waktu ini
dapat lebih lama.
Tanda-tanda Kematian
Tanda-tanda kematian:
1. Tidak sadar (unconsiouseness), kehilangan
semua reflek, dan tidak beraksi dengan
stimulus nyeri. Mungkin terjadi aktivitas
terkoordinir dari sekelompok otot sampai 1
jam setelah kematian , hal ini dapat timbul
karena adanya sel yang masih bertahan hidup
pada medulla spinalis, namun sangat jarang
terjadi.
6. Penutup tubuh
Tubuh yang terbungkus lebih lambat menurun suhu
tubuhnya.
7. Ruangan
Mayat dalam ruangan tertutup akan lebih lambat
penurunan suhunya dibandingkan mayat yang terletak di
ruangan terbuka.
8. Media
Untuk korban yang berada dalam media air atau dalam
tanah, perlu diperhitungkan bahwa penurunan suhu akan
berbeda dengan penurunan di udara terbuka. Penurunan
paling cepat pada media air dan terlama pada media
tanah. Sebagai pedoman perbedaan penurunan suhu rata-
rata adalah :
Media air : udara : tanah = 4 : 2 : 1
Ada beberapa rumus untuk menentukan interval
kematian :
1) Lama kematian (jam)= suhu tubuh (37°C) - suhu
rektal (saat diperiksa) +0 3
98,6 F Suhu rektal(F)
2) Lama kematian =
1,5
Masalah dengan rumus ini yang menggunakan suhu
tubuh adalah rumus ini berdasarkan suhu tubuh saat mati
yang dikatakan normal. Padahal beberapa orang dapat
mempunyai suhu tubuh yang rendah ataupun lebih tinggi
tergantung dari penyakit yang dimilikinya.
Lebam Mayat (Livor Mortis)
Lebam mayat dapat disebut juga sebagai livor mortis,
post mortem hypostasis, lividity staining, atau suggilation.
Lebam mayat muncul ketika sirkulasi berhenti, maka cairan
tubuh terutama darah akan dipengaruhi gravitasi bumi dan
akan mencari tempat terendah dari tubuh. Sel darah merah
dan plasma akan berada di tempat terendah tubuh dan jika
sisi tubuh mayat dipertahankan terus-menerus tanpa
mengubah posisi maka menyebabkan lepuhan di kulit yang
merupakan tanda pembusukan awal. Pada awalnya darah
masih terkumpul dalam sistem pembuluh darah, kemudian
zat warna darah yang timbul karena hemolisis dapat
menembus dinding pembuluh darah masuk ke jaringan.
Ketika eritrosit telah berada di bagian terbawah tubuh,
maka akan menimbulkan area merah keunguan. Penyebaran
dari lebam mayat tergantung dari posisi mayat setelah mati.
Ketika badan mayat dengan posisi telungkup maka lebam
mayat akan berada di wajah dan badan serta bagian terendah
tubuh yang lain. Pada mayat yang tergantung, maka lebam
mayat lebih terlihat pada kaki dan tangan. Pada mayat yang
bagian terbawahnya mendapat tekanan dari benda yang
padat, maka lebam mayat tidak terlihat. Yang akan terlihat
adalah warna pucat dibandingkan lebam mayat di dekatnya,
disebabkan benda tersebut menekan pembuluh darah di area
tersebut.
Warna lebam mayat biasanya merah kebiruan tapi
variasinya sangat luas. Hal ini tergantung dari derajat
oksigenasi. Pada kondisi hipoksia kongesti, lebam mayat
dapat berwarna ungu gelap atau biru. Pada keracunan
karbonmonoksida, akan menimbulkan warna "cherry-pink”
. Pada keracunan sianida, lebam mayat akan berwarna "dark
blue-pink" yang menandakan adanya kongesti dan sianosis
beserta adanya hau sianida. Lebam mayat yang berwarna
cokelat dapat terlihat pada methaemoglobinemia. Lebam
mayat berwarna merah tua disebabkan sepsis oleh
Clostridium perfringens biasanya pada sepsis aborsi. Pada
hypothermia, lebam mayat dapat berwarna merah muda
yang cerah karena kurangnya disosiasi dari oxyhemoglobin.
Hal ini lebih terlihat pada sendi yang besar.
Lebam mayat dapat digunakan sebagai indikator
lamanya kematian. Lebam mayat dapat muncul pada waktu
yang bervariasi. Lebam mayat bisa tidak timbul pada orang
tua, infant,maupun orang anemia. Onset munculnya lebam
sangat bervariasi. Menurut Dimaio, lebam mayat dapat
muncul dalam 30 menit sampai 2 jam setelah kematian.
Menurut Bernard Knight, lebam mayat dapat muncul dalam
30 menit. Sympson mengatakan, munculnya lebam mayat
dalam waktu 2 jam sampai 3 jam setelah kematian. Lebam
mayat akan mencapai pewarnaan maksimal pada 8-12 jam
setelah kematian. Pada saat darah masih dalam pembuluh
darah, lebam mayat yang muncul akan hilang dengan
penekanan. Bila aliran darah tidak ada lagi atau ketika darah
telah keluar dari pembuluh darah dan berada di jaringan,
maka lebam mayat tidak akan hilang dengan penekanan.
Menurut Dimaio, lebam mayat akan menetap pada 8-
12 jam atau 24-36 jam jika terjadi pada suhu yang dingin.
Variasi waktu menetapnya lebam mayat sangat luas
sehingga sulit menentukan interval kematian.
Lebam mayat dapat dijadikan indikator posisi
kematian dan posisi mayat yang telah diubah setelah
kematian. Jika mayat dipindahkan pada posisi yang berbeda,
lebam mayat primer akan menetap atau akan pindah
seluruhnya ke area yang lain atau sebagian menetap dan
sebagian akan pindah. Jadi, jika mayat ditemukan dengan
lebam mayat yang tidak sesuai dengan posisinya saat
ditemukan, maka posisi awal telah diubah.
Dengan demikian dari lebam mayat dapat diperoleh
manfaat dari kepentingan medikolegal :
1. Tanda pasti kematian.
2. Lama kematian.
3. Posisi mayat telah diubah setelah kematian.
4. Sebab kematian (seperti pada keracunan CO,
sianida).
Lebam mayat kadang-kadang dinilai sebagai memar.
Pada tabel berikut akan diperlihatkan secara singkat
perbedaan antara lebam mayat dan memar.
No. LEBAM MAY AT MEMAR
1. Tidak ada perubahan warna Ada perubahan
yang tiba- tiba warnya yang tiba-
tiba
2. Pinggiran reguler (teratur) Pinggiran irregular
(tidak teratur)
3. Terdapat pada bagian Dapat terjadi di mana
terbawah tubuh saja
4. Dapat meliputi daerah yang Biasanya daerah
luas yang terkena tidak
luas (lokal)
No. LEBAM MAY AT MEMAR
5. Jika ada penekanan post Tidak dipengaruhi
mortem pada daerah lebam penekanan
mayat maka akan terdapat postmortem
daerah yang pucat
6. Berada di superficial dermis Berada di
intradermal
7. Pada insisi ditemukan darah Pada insisi
berada di vaskular ditemukan darah
berada di jaringan
Kaku Mayat
Perubahan lain yang didapati pada mayat adalah
terjadinya kekakuan pada otot-otot tubuh. lni disebut
sebagai kaku mayat, rigor mortis atau cadaveric rigidity.
Pada awal kematian seluruh otot-otot tubuh dalam keadaan
lemas. Ini disebut masa relaksasi primer, pelan-pelan secara
bertahap otot-otot tubuh baik otot volunter maupun otot
involunter akan menjadi kaku, keadaan ini bertahan untuk
beberapa jam. Setelah periode ini kekakuan menghilang
kembali memasuki periode relaksasi sekunder. Bersamaan
dengan periode relaksasi sekunder tubuh akan mengalami
pembusukan.
Kebanyakan mayat menjadi kaku dengan onset yang
berbeda-beda pada tiap individu, hal ini kemudian
menghilang saat timbulnya relaksasi sekunder. Cakupan
waktu saat rigor mortis timbul dapat disimpulkan seperti :
1. Periode relaksasi primer bervariasi, namun biasanya
timbul sekitar 3-6 jam sebelum rigor mortis terlihat
pertama kali, bergantung pada suhu lingkungan dan
faktor-faktor lain. Rigor pertama kali muncul pada
kelompak otot yang kecil, bukan karena pertama kali
muncul di sana, namun karena otot kecil lebih
mudah untuk mengalami immobilisasi. Urutan
penyebaran rigor juga sangat beragam. Teori lama
menyebutkan bahwa rigor mortis menjalar kranio-
kaudal, namun teori sekarang menyimpulkan bahwa
rigor mortis dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot
kecil) ke arah dalam (sentripetal). Pada awalnya
rigor mortis terlihat pada rahang, otot wajah,
sebelum akhirnya ditemukan di pergelangan tangan
dan kaki, lalu lutut, bahu, dan pinggul.
2. Rigor menyebar melibatkan seluruh massa otot, lagi-
lagi dengan periode yang bervariasi namun biasanya
mencapai puncaknya pada 6-12 jam. Keadaan ini
akan menetap sampai massa otot mulai mengalami
autolisis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu terjadinya
rigor mortis :
1. Suhu Tubuh dan Lingkungan
Sebagai proses kimia, onset dan durasi rigor sangat
bergantung dengan suhu. Semakin tinggi suhu tubuh
atau lingkungan maka semakin cepat proses rigor
mortis terjadi dan menetap.
2. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik sebelum kematian mempercepat onset
dan durasi dari rigor mortis. Hal ini berhubungan dengan
cadangan glikogen dan ATP yang berkurang -karena
aktivitas fisik yang dilakukan.
3. Bentuk Tubuh
Tubuh yang kurus dengan otot-otot yang kecil
mempermudah timbulnya rigor.
4. Usia dan Keadaan Gizi
Usia muda (anak-anak) dan keadaan gizi yang jelek
mempercepat terjadinya rigor.
Rigor merupakan indeks kasar untuk menentukan
waktu kematian, jika ditemukan mayat:
Hangat dan lemas -> kematian kurang dari 3 jam
Hangat dan kaku -> kematian 3-8 jam
Dingin dan kaku ->kematian 8-36 jam
Dingin danlemas -> kematian lebih dari 36 jam
Namun estimasi kasar ini tidak digunakan sebagai
kesimpulan pasti untuk proses legal, hanya sebagai petunjuk
"on the spot" atau jembatan keledai.
Aspek Biokimia Rigor Mortis
Walaupun relevansinya sangat kecil terhadap bidang
forensik, aspek biokimia otot dalam fenomena rigor mortis
telah dipelajari secara detail.
Szent-Gyorgi menemukan substansia penting untuk
kontraktilitas otot yaitu 2 protein aktin dan miosin, tersusun
dalam rangkaian filamen. Mereka membentuk kombinasi
fisiko-kemikal longgar yang disebut "aktomiosin", di mana
secara fisik lebih pendek daripada 2 substansia yang tidak
bersatu (Hanson dan Husky).
Jika diberikan energi pada aktomiosin, maka otot akan
berkontraksi. Energi yang dimaksud didapatkan dari proses
emisahanu us fosfat dari adenosin trifosfat (ATP) sehingga
berubah menjadi adenosin difosfat (ADP). Gugus fosfat
yang bebas lalu terlibat pada reaksi fosforilasi yang akan
mengubah glikogen menjadi asam laktat,energi yang cukup
besar mengalami pelepasan pada proses ini. Beberapa
digunakan untuk resintesaATP dari ADP, dengan donasi
gnus fosfat dari kreatinin fosfat; sisanya akan mengaktifkan
reaksi aktin-miosin.
Dalam hal pemberian energi tambahan, ATP
bertanggung jawab terhadap elastisitas dan kekenyalan otot.
Asam laktat akan dilepaskan kembali ke peredaran darah
dan kembali ke hepar untuk direkonversi menjadi glikogen.
Seluruh reaksi ini merupakan proses anaerobik dan dapat
terus berlangsung setelah kamatian, sekalipun hanya dalam
bentuk terdistorsi.
Pada saat hidup konsentrasi ATP pada jaringan otot
berada dalam keadaan konstan, adanya keseimbangan
dinamik antara utilisasi dan resintesis. Pada kematian, reaksi
ADP menjadi ATP akan terhenti dan trifosfat secara
progresif menurun, dengan penumpukan asam laktat.
Setelah periode tertentu, tergantung dari suhu dan jumlah
sisa ATP, aktin dan miosin berubah menjadi ikatan yang
kaku, produk seperti jeli yang menggumpal, dengan
konsekuensi kekakuan otot.
Resistensi ATP bergantung kepada suplai glikogen,
yang akan segera habis dengan aktivitas bertenaga sebelum
kematian, hal ini menjelaskan cepatnya onset rigor pada
kasus seperti ini. Normalnya akan muncul periode inisial
segera setelah kematian jika kadar ATP terjaga atau bahkan
meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat dari
glikogenolisis.
Lebih spesifik, apa yang terjadi adalah membran sel
otot menjadi lebih permeabel terhadap ion-ion kalsium. Sei
otot hidup menggunakan energi untuk transportasi kalsium
keluar sel. Ion kalsium yang mengalir ke sel otot
membangun jembatan.silang antara aktin dan miosin, 2 jenis
serabut yang bekerja sama dalam kontraksi otot. Serabut
ototmemendek dan bergerak seperti roda gigi hingga mereka
berkontraksi penuh atau sepanjang neurotransmiter
asetilkolin dan molekul energi ATP tersedia. Namun
bagaimanapun, otot membutuhkan ATP sehubungan untuk
melepaskan diri dari fase kontraksi (digunakan untuk
memompa kalsiurn keluar sel sehingga serabut aktin-miosin
terlepas sate sama lain). Cadangan ATP sangat cepat lelah
pada kontraksi otot dan proses set tainrfka.. Hal ini berarti
ikatan aktin-miosin akan terus berlanjut sampai otot tersebut
mulai terurai dengan sendirinya.
Rigor akan diaktifkan saat konsentrasi ATP turun 85%
dari, normal, dan kekakuan otot akan maksimal saat level
tersebut turun sampai 15%.
Efek dari Rigor Mortis
Terdapat banyak kontroversi antara pernyataan rigor
hanyalah kekakuan otot atau sebenarnya terdapat
pemendekan dari serabut otot tersebut. Sommer (1833),
menyatakan bahwa otot akan berkontraksi setelah kematian
dan perubahan inidikenal dengan "Pergerakan Sommer".
Bate-Smith dan Bendal (1949) memutuskan bahwa
pemendekan hanya muncul saat teijadi penghabisan yang
bermakna dari glikogen karena aktivitas sebelum kematian,
namun Forster (1964) mempunyai opini, saat otot di bawah
suatu ketegangan. Eksperimennya menunjukkan jika otot
kosong tidak akan terjadi perubahan panjang otot saat rigor
terjadi. Selanjutnya Forster menunjukkan suhu lingkungan
yang tinggi dan keracunan (parathion) meningkatkan tonus
otot, menyebabkan pemendekan otot saat rigor.
Teori sekarang mengatakan bahwa rigor mortis
umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika
sebelum terjadi rigor mortis otot berada dalam posisi
teregang, maka saat rigor .mortis terbentuk akan terjadi
pemendekan otot. Rigor mortis dapat dipergunakan untuk
menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat
kematian.
Onset rigor mortis berada dalam cakupan 10 menit
sampai beberapa jam, tergantung dari beberapa faktor yang
dapat mempengaruhinya. Kekakuan maksimal tercapai
sekitar 12-24 jam post-mortem. Efek pertama kali dapat
terlihat pada otot wajah, lalu menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Sendi menjadi kaku selama 1-3 hari, namun setelah
ini jaringan akan membusuk dan terjadi kebocoran enzim
pencernaan intraselular (lisosom) yang akan menyebabkan
otot relaksasi. Sangat menarik untuk dicatat bahwa daging
umunya dipertimbangkan lebih lembut jika dimakan setelah
fase rigor mortis telah berlalu.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai rigor
mortis :
1. Cadaveric Spasm (Instaneous rigor)
Cadaveric spasm merupakan bentuk kekakuan otot yang
terjadi pada saat kematian dan bersifat menetap.
Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan rigor mortis
yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa
didahului fase relaksasi primer. Penyebabnya adalah
habisnya cadangan glikogen dan ATP yang
bersifatsetempat pada scat mati klinis karena kelelahan
atau emosi yang hebat sesaat sebelum kematian.
Cadaveric spasm merupakan fenomena yang jararig
ditemui, di mana selalu dipaparkan oleh textbook
sebagai rigor mortis yang muncul langsung setelah
kematian. Beberapa ahli bahkan menyangkal adanya
keadaan cadaveric spasm dan terkecuali mayat
ditemukan dalam waktu yang benar-benar singkat
setelah kematiannya, sangat sulit untuk membedakan
rigor mortis normal pada onset yang lebih cepat dengan
cadaveric spasm.
Mekanisme pasti tcrjadinya cadaveric spasm belum
diketahui secara pasti namun mungkin sebagian berasal
dari neurogenik, di mana ditemukan pada banyak kasus
merupakan orang yang dengan tingkat aktivitas dan
emosional yang tinggi segera sebelum kematian. Hal ini
paling sering terjadi dalam masa perang, namun dewasa
ini ditemui pada kasus bunuh diri atau tenggelam.
2. Heat Stiffening
Suhu yang ekstrim dapat menyebabkan otot mengalami
rigor yang salah (falserigor). Heat stiffening merupakan
kekakuan otot akibat koagulasi protein ototoleh papas.
Otot-otot berwarna merah kecokelatan "cooked meat",
kaku, tetapi
rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada
korban mati terbakar.
2. Infeksi sistemik
Seseorang yang meninggal dengan infeksi sistemik
seperti gangren yang bergas dan sepsis akan
mempercepat terjadinya pembusukan karena darah
dan organ telah lebih dulu diinfeksi oleh bakteri
sebelum meninggal.
3. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik sebelum kematian akan
memperlambat proses pembusukan.
4. Luka terbuka
Luka terbuka merupakan tempat masuk
mikroorganisme dari lingkungan luar, sehingga
seseorang yang meninggal dengan luka yang terbuka
luas dan meluas ke dalam melewati jaringan subkutis
menunjukkan percepatan onset pembusukan.
5. Obesitas
Obesitas juga mempercepat proses pembusukan.
6. Kehilangan darah
7. Kehilangan darah akan memperlambat proses
pembusukan karena protein dari hemoglobin dan sel
darah lainnya adalah sumber energi dari bakteri yang
terlibat dalam proses pembusukan.
Adipocere
1. Definisi
Adipocere adalah produk dekomposisi dari jaringan
lemak yang dibentuk akibat hidrolisis trigliserida menjadi
gliserin dan asam lemak bebas. Adipocere bewarna putih
keabuan, awalnya massa berminyak yang akhimya
menjadi padat ketika asam lemak mengkristal,
menyebabkan pemadatan bagian tubuh yang terkena.
2. Mekanisme
Adipocere merupakan perubahan yang tidak biasa yang
terjadi jika mayat dikubur di lingkungan yang lembap dan
khas pada mayat yang berada dalam air pada musim
dingin. Jaringan lemak di bawah kulit akan mengalami
saponifikasi. Pengerasan ini akan menjaga bentuk tubuh
dan mempertahankan bentuknya selama beberapa bulan
hingga tahun.6
Berbagai bakteri, terutama Clostridium perfringens,
sepertinya ikut andil dalam pembentukan adipocere
dengan cara pembentukan asam lemak postmortem.
Kehadiran air sangat penting untuk proses bakterial dan
enzimatik pada pembentukan adipocere sebaliknya
kehadiran oksigen (misalnya terpaparnya bagian tubuh
dengan udara) akan menghambat pembentukan
adipocere.2
3. Morfologi
Adipocere terbentuk di permukaan dan di bawah
permukaan baik pada tubuh yang sudah dibalsem ataupun
tidak .
4. Faktor yang mempengaruhi pembentukan adipocere :
1. Jenis Kelamin
Perempuan lebih sering mengalami adipocere daripada
laki-laki karena jumlah lemak yang lebih banyak
2. Keadaan Gizi
Seseorang yang bergizi baik lsering mengalami adipocere
daripada seseorang dengan gizi buruk.
3. Lingkungan
Lingkungan yang lembap, seperti di dalam air,
mempercepat pembentukan adipocere.
4. Musim
Adipocere lebih sering terjadi pada mayat yang dikubur
pada musim dingin.
5. Serangga
Jika mayat mudah dijangkau serangga, maka
pembentukan adipocere akan terhambat.2
Mumifikasi
1. Definisi
Mumifikasi adalah produk desikasi, yaitu proses
pengeringan dari jaringan lunak. Mumifikasi dapat
mengenai seluruh bagian tubuh atau sebagian saja jika
hanya beberapa bagian tubuh saja yang terpapar kondisi
lingkungan yang sesuai.
Mumifikasi alamiah terjadi pada kondisi yang kering
dengan iklim panas. Akan tetapi, mumifikasi juga dapat
terjadi pada mayat yang berada di lingkungan yang beku.
Mayat yang mengalami mumifikasi ditemukan di regio
kutub atau glasier setelah ratusan tahun.
Mumifikasi yang disengaja untuk tujuan pengawetan
jaringan lunak telah dilakukan sejak budaya sebelum
sejarah, terutama di daerah dengan iklim yang
memungkinkan untuk terjadinya mumifikasi.
2. Mekanisme
Selama proses mumifikasi, jaringan lunak dibawahnya akan
mengkerut akibat hilangnya cairan tubuh lewat penguapan
yang akhirnya menyebabkan kehilangan berat badan hingga
60-70%1.
Ada dua tipe mumifikasi secara umum :
1. Mumifikasi primer
Secara umum tidak disertai pembusukan yang
relevan pada tubuh yang terkena dan terjadi secara
dominan pada kondisi yang memungkinkan
pengeringan yang cepat dari jaringan lunak,
mencegah bakteri dan mikroorganisme dari luar
masuk yang dapat menyebabkan pembusukan.
2. Mumifikasi sekunder
Mumifikasi yang terjadi setelah pembusukan tubuh.
Ditemukan pada mayat yang terdapat pada ruang
terbuka lebih sering daripada ruang tertutup. 2
3. Morfologi
Kulit berubah menjadi keras dan memiliki
penampakan leathery bewarna coklat kehitaman
(gambar 8), membentuk cangkang tebal yang
menutupi seluruh tubuh.
Biasanya seluruh rambut menghilang. Pada mayat
yang mengalami mumifikasi,lengan biasanya teranduksi ke
sendi bahu, fleksi ke sendi siku dan tangan niengepal
membentuk tinju pada hampir semua kasus. Fleksi ini juga
dijumpai pada ekstremitas bawah. Alasan fenomena ini
terjadi adalah pengerutan dari otot dan tendon, yang
menyebabkan fleksi di sendi ekstremitas akibat
predominansi dari otot fleksor.
Di samping dehidrasi dari permukaan tuhuh, organ
dalam akan menjadi gelap, kental dan seperti pasta. Dengan
peningkatan interval postmortem dan pengaruh pembusukan
serta aktivitas larva, organ dalam bisa mengkerut atau
bahkan menghilang seluruhnya. Pada pemotongan
ekstremitas, kehilangan otot dan jaringan lunak seluruhnya
dapat dijumpai pada stadium mumifikasi lanjut .
Artefak dapat ditimbulkan oleh serangga pada mayat
yang mengalami mumifikasi, misalnya lubang yang dibuat
oleh larva dapat tampak lebih besar dari sebelum terjadinya
proses mumifikasi akibat pengerutan jaringan sehingga
jangan sampai disalahmaknakan dengan luka tikam atau
lubang luka tembak.
Kerusakan Post Mortem oleh Predator
Predatorisme merupakan bagian dari rantai makanan
dalam alam yang meliputi proses metabolisme protein,
karbohidrat dan lemak dari bangkai hewan ke hewan lain
yang masih hidup. Proses ini dapat pula terjadi melalui
proses dekomposisi bangkai dalam tanah yang kemudian
akan menjadi zat gara yang akan diserap oleh tanaman.
Banyak jenis serangga yang tertarik terhadap mayat,
terutama lalat (diptera), kumbang (coleoptera) dan larvanya.
Makanan dan kehidupan serangga tersebut bergantung
kepada struktur biologi dari tubuh mereka dan proses
pembusukan. kebanyakan species ini berkelompok-
kelompok pada mayat hanya pada batas waktu rtentu (faunal
succession).
Aspek kriminal forensik digunakan dengan melihat
perkembangan metamorfosis artopoda dimana dilihat
melalui kapan mayat tersebut dihinggapi oleh serangga
tersebut, dan hal ini membuka aplikasi yang sangat luas
untuk perkembangan ilmu entomologi forensik dalam
konteks kriminal.
Kematian atau waktu pembusukan tergantung pada
kondisi lingkungan disekitar mayat, dengan informasi
tambahan diperoleh dari artropoda yang dijumpai di tubuh
mayat, pada saat reka ulang kejadain perkara, tempat
dimana mayat pertama kali ditemukan, atau pada pakaian
mayat. Pada kasus tertentu dugaan tersangka pelaku dapat
dijelaskan pada reka ulang kejadian perkara melalui jenis
artropoda yang terdapat pada sol sepatu. Serangga yang
hidup pada daerah tertentu dan pada tubuh mayat pada
daerah yang berbeda menunjukkan adanya perpindahan
mayat setelah kematian, sedangkan larva lalat dapat
memberikan informasi seberapa lama kejadian kematian.
seorang ahli entomologi forensik dapat mengambil
kesimpulan tetapi harus sesuai dengan data tertentu pada
daerah kejadian perkara seperti waktu scrangga tersebut
datang dan tergantung kepada suhu lingkungan.
Kerusakan jaringan kulit yang luas biasanya oleh
karena belatung dapat dilihat melalui proses penyusutan
jaringan ke proses mumifikasi dengan kerusakan jaringan
yang semakin meluas menyerupai luka tembak atau
kerusakan jaringan lain akibat trauma mekanik yang
mendukung proses ante mortem, contohnya luka akibat
tertusuk pisau atau gunting.
Fenomena post mortem dari hewan terhadap mayat
adalah suatu substansi dari proses taphonomic tubuh setelah
kematian yang terjadi setelah kematian biasanya diteliti oleh
bagian ilmu patologi forensik. Trauma post mortem dapat
disebabkan oleh seluruh jenis binatang tergantung kepada
ukuran atau lingkungan juga geografi tanah, udara, laut .
Diskriminasi antara trauma ante mortem dengan post
mortem tidak terlalu memberikan kesulitan karena
perdarahan dan destruksi jaringan pada daerah luka dan
kerusakan lainnya dapat dilihat di mikroskop.
2. 5 Penentuan Masa Kematian
Perubahan-perubahan pada mata
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai
sebagai penentuan saat mati. Perubahan ini meliputi
hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang
menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil
yang negatif. Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya
pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar
lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada
kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian
tergantung dari posisi kelopak mata. Akan tetapi Marshall
mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa
dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup.
Walaupun sering ditemui kelopak mata tertutup secara tidak
komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak
mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat
dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air
untuk membasahinya. Bila kelopak mata tetap dalam
keadaan terbuka , kekeruhan pada kornea secara
keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10 - 20 jam
setelah kematian.
Setelah kematian terjadi penurunan tekanan intra
okuler, tekanan intra okuler yang turun ini mudah
menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil
kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun
menjadi tidak sama ,pupil dapat berkontraksi dengan
diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-
rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak
tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat
perbedaan sampai 3 mm.
Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap
tekanan bola mata posmortem dimana tekanan normal pada
bola mata pada waktu hidup adalah 14g -25g akan tetapi
begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata
menjadi sangat rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan
dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang
kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian. Penurunan
tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan
perkiraan saat kematian.
Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-
perubahan yang terjadi pada retina 15 jam pertama setelah
kematian dimana kornea dapat dipertahankan dalam
keadaan baik dengan menggunakan air atau larutan garam
fisiologis yang kemudian dilakukan pemeriksaan dengan
optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata
pemeriksaan retina pada mayat jauh lebih sulit bila
dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan warna
yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan dengan
perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah
maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan
yang disebut segmentasi atau (trucking) dan ini terjadi
dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada
pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah kematian, dapat
dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus
tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula.
Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak
gambaran segmentasi pada pembuluh darah, dengan latar
belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini
mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12
jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang
terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang
bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan pembuluh
darah retina menghilang yang ada hanya makula yang
berwarna coklat gelap. Beberapa pengamat menggambarkan
perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina
mempunyai arti yang kecil untuk dihubungkan dengan
perkiraan saat mati. (3,6,8,10) Sedangkan Tomlin ( 1967)
beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi
pada kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.
Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan
mata pada 300 mayat dimana tidak hanya perubahan yang
terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada
kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus
dari subjek dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau
trucking pada satu atau kedua mata setelah satu jam
posmortem dan negatif pada 89 lainnya. Bagian yang paling
sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang
terjadi dalam 75% pasien dalam 2 jam setelah kematian.
Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa segmentasi
merupakan perubahan posmortem yang alami daripada
menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.
Schleyer pada tahun 1963 pernah mempublikasikan
sebuah artikel yang menarik mengenai penentuan saat mati
yang dihubungkan dengan reaksi supravital, dengan
memberikan rangsangan otot-otot postmortem melalui arus
faradic dan reaksi pupil dengan pilokarpin dan homatropin.
Reaksi supravital adalah suatu keadaan pada mayat
yang masih dapat menggambarkan keadaan supravital.
Umumnya reaksi supravital berlangsung sangat singkat,
antara 3 - 6 jam setelah kematian (rata-rata 2 - 3 jam).
Walaupun demikian raeksi yang jelas adalahpada 1 - 2 jam
pertama setelah kematian. Adanya reaksi ini menyebabkan
hampir tidak mungkin menentukan intravitalitas kula pada
jejas yang terbentuk beberapa saat setelah kematian sebab
gambaran yang terjadi adalah reaksi jaringan yang intravital.
Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor
vitreus sudah pernah dicoba selama 30 tahun belakangan ini,
walaupun tidak pernah diterima sebagai pemeriksaan rutin.
(grad,bern,coe) Dasar pemikiran dari digunakannya humor
vitreus dalam penentuan saat mati ialah karena cairan ini
bebas terkontaminasi dari darah, bakteri dan produk¬produk
autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS.
Sebenarnya banyak yang dapat dinilai untuk penentuan saat
mati melaiui humor vitreus, seperti mengukur kadar asam
askorbat (Gantner et al, 1962 a, 1962
b, Jaffe 1962), konsentrasi asam piruvat (Jaffe 1962, Struner
and Gantner,1962), hypoxanthine,glukosa dan potassium,
tetapi yang paling banyak dipakai sebagai penentuan saat
mati adalah kadar potassiun dalam humor vitreus.(grad)
Pengikut pengikut Jaffe adalah yang pertama kali
memperkenalkan peningkatan kadar potassium dan
menghubungkannya dengan saat kematian, dan John Coe
adalah forensic pathologis yang berpangalaman dalam hal
ini. Sesudah kematian, potassium interseluler menembus
masuk kedalam retina melalui membran sel yang setelah
kematian menjadi membran yang permeable, dan kemudian
masuk kedalam corpus vitreus. Disini terdapat peningkatan
yang nyata dan proeressif dari konsentrasi potassium
sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah
peningkatan ini secara linear atau bifasik.(coe). Cara
pengambilan humor vitreus ini tidaklah sulit, hanya
dibutuhkan 2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak syringe
no 20.(gradwol) Sering didapati perbedaan kadar potassium
mata kiri dan mata kanan dalam satu individu. Selain itu bila
aspirasinya dilakukan secara paksa atau terlalu dekat dengan
retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh
karena potassium mencapai vitreus dengan jalan menembus
retina. Pengaruh suhu juga masih menjadi perdebatan yang
penting.
Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor
vitreus adalah konsentrasi sodium dan chlorida, dimana
konsentrasi elektolit-elektrolit ini megalami penurunan
sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untuk memeriksa
reabilitasnya satu sama lain, misalnya kadar potassium
adalah < 15 mmo1/1 maka kadar sodium dan chlorida dapat
diperkirakan, dimana penurunan chlorida kurang dari 1
mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga
penurunan sodium disini tidak signifikan pada beberapa
jampertama, berbeda dengan potassium yang
peningkatannya terjadi secara bermakna. (Bern). Sturner
menemukan cara pengukuran yang paling populer dalam
penentuan potassium vitreus untuk penentuan saat mati
dengan menggunakan rumus.
Hasilnya akan lebih memuaskan bila tubuh
diletakkan pada temperatur ambient dan tidak lebih dari
10°C (50°F). Sturner dan Gantner mengemukakan sejauh
masih menyangkut kematian yang sifatnya mendadak atau
yang tidak diharapkan, dikuatirkan akan terdapat hubungan
yang linier aritmetik antara potassium dalam vitreous juga
interval postmortem yang melebihi 100 jam akan terdapat
standart error 4 -7 jam.(grad) Jadi penggunaan metoda ini
sangat berguna pada kasus dimana interval postmortem
tidak lebih dari 24 jam - 36 jam pertama sesudah kamatian.
Pada infant kadar potassium ini akan meningkat lebih cepat
dari pada dewasa walaupun keduanya dipengaruhi
temperatur post mortem.
Tehnik analisa yang digunakan untuk menentukan
potassium sering memberi hasil yang berbeda pula, sebagai
contoh Coe pada tahun 1985 mengatakan bahwa
penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5
mmol/l kurang untuk sodium , 7 mmol/l kurang untuk
potassium dan 10 mmo1/1 kurang untuk chloride bila
dibandingkan dengan pemeriksaan dengan menggunakan
methode specific electrode yang modern. Pada orang yang
mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakit-
penyakit kronis dengan retensi nitrogen memberi hasil yang
berbeda bila dibandingkan dengan suddent death, agaknya
gangguan elekrolit premotral pada pasien juga
mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan
dengan mengunakan flame fotometri dalam mmo1/1 bila
sodium >155 ,chloride > 135, dan urea > 40 ini dipercaya
sebagai indiksasi dari dehidrasi antemortem. Bila sodium
dan choride adalah normal tetapi kelebihan urea adalah 150,
diagnosis uremia dapat diterima. Angka ini berbeda dengan
dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah
< 130, chloride < 105 dan potassium >20 mellitus. Problem
umum yang sering ditemukan dalam autopsi adalah
mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan
hypoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun
setelah kematian dan akan mencapai angka not dalam
beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan 6000 analisa
, dan dia mendapatkan glukosa vitreus yang lebih dari 11.1
mmo1/1 adalah indikator yang tidak variable dari diabetes g
rendah antemortem.
Sturner pada tahun 1972 menghubungkan adanya kadar
glukosa vitreus yang kurang dari 1.4 mmo1/1 marupakan
petunjuk adanya gula darah yang rendah antemortem; tetapi
berapapun konsentrasinya interprestasi ini tidak reliable
untuk dapat digunakan sebagai pegangan. Pada hypothermia
terdapat juga peningkatan glucosa vitreus tetapi tidak lebih
besar dari 11.1 mmo1/1.
Adelson et aa1.1963,dan 1-luges 1965 mengatakan
bagaimanapun juga studi lain sudah memperlihatkan bahwa
kenaikan potassium vitreus tidak cukup baik untuk dijadikan
metode yang akurat dalam memperkirakan saat mati
seseorang.
Akan tetapi walaupun sudah diakui bahwa test ini
masih terbatas penggunaannya ternyata sudah menjadi
prosedur pemeriksaan rutin di Hennepin County Minnesota,
dimana iklim yang dingin di Minessota mempunyai
hubungan korelasi yang mengagumkan antara kadar
potassium vitreus dengan penentuan saat mati pada dewasa.
PENUTUP
Tanatologi berasal dari kata thanatology yang terdiri
dari kata thanatos berarti kematian dan logy berarti ilmu,
jadi tanatologi adalah ilmu tentang kematian. Tanatologi
meliputi pembahasan mengenai pengertian mati,
menetapkan telah terjadi kematian dan perubahan post
mortem yang sangat penting dalam aspek medikolegal.
Dalam aspek medikolegal tanatologi dapat membantu dalam
hal apakah korban telah pasti meninggal, telah berapa lama
meninggal, posisi korban meninggal, apakah telah berubah
dan bisa menentukan sebab dan cara kematian baik wajar
atau tidak wajar.
Dalam laporan pemeriksaan mayat dokter hanya
mencantumkan perubahan-perubahan tersebut, tanpa
memberikan kesimpulan lama kematian, posisi waktu
meninggal dan diharapkan pemakai visum dapat
memberikan penilaian sendiri terhadap perubahan tersebut
dan bila diperlukan dokter dapat memberikan keterangan
jika diminta dalam pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Hubungan antara teknologi kedokteran dengan
euthanasia adalah berdasarkan kenyataan bahwa teknologi
kedokteran disatu pihak menunjang upaya medis untuk
mempertahankan kehidupan, sedangkan euthanasia di pihak
lain justru merupakan tindakan untuk mempercepat
kematian, bila upaya medis tersebut tidak berhasil
memberikan kehidupan yang diinginkan.
Setelah Peter Safar pada tahun 1960-an memperkenalkan
dan mempopulerkan tehnik resusitasi, telah banyak
penderita gawat darurat yang diselamatkan. Upaya resusitasi
ini makin dikembangkan dan disempurnakan serta ditunjang
oleh teknologi kedokteran dewasa ini yang semakin
canggih.
Namun demikian upaya medis ini mempunyai
keterbatasan sehingga penderita atau korban yang ditolong
tidak semuanya akan hidup secara normal. Sebagian dari
mereka akan menderita cacat fisik ataupun mental yang
permanen selama hidupnya. Bahkan ada yang jatuh ke
dalam koma, dimana tidak ada lagi kontak dengan penderita.
Kehidupan yang demikian tidak berarti lagi dan untuk
mempertahankannya diperlukan biaya yang tidak sedikit
pula.
Dalam hubungan inilah kadang-kadang timbul pemikiran
untuk melakukan euthanasia terhadap mereka yang tidak
mungkin untuk hidup normal kembali. Tetapi pelaksanaan
euthanasia itu tidaklah mudah bagi masyarakat sosial yang
beragama dan berperadaban tinggi seperti di negara kita ini.
UPAYA MEDIS DALAM PENATALAKSANAAN
PENDERITA GAWAT DARURAT
Resusitasi jantung paru
Yang dimaksud dengan resusitasi jantung paru
adalah upaya yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi
jantung dan paru yang sempat hilang secara tiba-tiba pada
orang dengan henti jantung dan henti napas. Resusitasi ini
hanya dilakukan pada orang-orang dimana fungsi-fungsi
tersebut mengalami kegagalan total oleh sesuatu sebab
dengan kondisi tubuh yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja
kembali.
Jadi bukan pada akhir suatu stadium agonal, dimana
karena memburuknya keadaan umum, pusat-pusat penting
dan organ menjadi semakin buruk dan akhirnya gagal total.
Atau pada orang yang pusat penting di otaknya sudah
semakin rusak, karena sebab-sebab pernafasan/sirkulasi
sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk hidup.
Resusitasi jantung paru dibagi beberapa tahap untuk
memudahkan latihan dan mengingat, sebagai berikut :
TAHAP I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life
Support)
yaitu prosedur pertolongan darurat yang terdiri
dari bagaimana mengenal obstruksi jalan napas,
henti napas dan henti jantung dan bagaimana
melakukan resusitasi jantung paru (RJP) yang
benar.
Langkah-langkah disini terdiri dari :
A (Airway) : menjaga jalan napas tetap
terbuka
B (Breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi
yang adekuat
C (Circulation) : mengadakan sirkulasi
buatan dengan
Kompresi Jantung
Luar (KJL)
TAHAP II :Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life
Support)
yaitu Tunjangan Hidup Dasar ditambah dengan
:
D (Drugs) : pemberian obat-obatan termasuk
cairan
E (EKG) : diagnosa elektro kardio grafis
secepat mungkin setelah KJL untuk mengetahui
apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole, atau
agonal ventricular complexes
TAHAP III : Tunjangan Hidup Terus-Menerus
(Prolonged Life Support)
yaitu :
G (Gauge) : pengukuran dan pemeriksaan untuk
monitoring penderita terus menerus,
dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk
menyelamatkan otak dan sistem
saraf dari kerusakan lebih lanjut
sebagai akibat terjadinya henti
jantung sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan-kelainan
neurologik yang permanen.
(Hipotermi) : segera dilakukan penurunan suhu
penderita (30ºC - 32ºC), bila tidak
ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat
(Humanization) : harus diingat bahwa korban yang
ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan. Karena itu
semua tindakan hendaknya
berdasarkan kemanusiaan.
I (Intensive care): perawatan intensif di ICU, yaitu
tunjangan ventilasi, trakeostomi,
pernafasan dikontrol terus-
menerus, pemasangan pipa
lambung, pengukuran atau
analisa gas darah,
mengendalikan kejang,
tunjangan sirkulasi dan
monitoring
Resusitasi otak
Resusitasi otak ini dimaksudkan untuk
mempertahankan kehidupan otak karena bila telah terjadi
mati otak (MO) atau mati batang otak (MBO), maka
penderita tidak akan dapat sadar lagi (irreversibel) walaupun
sirkulasi atau jantung masih dapat bekerja dan pernafasan
spontan atau dibantu
Kehidupan sel–sel otak dipertahankan lebih lama
dengan cara memperlambat proses metabolisme di
dalamnya. Hal ini penting agar pemakaian oksigen lebih
sedikit. Sehingga cadangan oksigen yang masih ada di
dalam sel otak sesaat setelah sirkulasi berhenti masih cukup.
Jika metabolisme sel otak ini dapat berlangsung lebih lama
maka kematian otakpun lebih lama terjadi.
Kasus-kasus yang sangat memerlukan resusitasi otak
ini ialah penderita yang terlambat dimulai resusitasinya
sehingga sudah sempat mati biologis yang kalaupun
diteruskan resusitasinya akan jatuh ke dalam mati sosial.
Ada 3 hal yang dapat memperlambat metabolisme sel
otak, yaitu :
(1) hipotermia
(2) pengaurh barbiturat
(3) anestesi umum
Ad. 1) Hipotermia :
2. Monitoring
Prinsip-prinsip dan prosedur monitoring seorang
penderita syok diterapkan pada syok kardiogenik, dan ini
mencakup :
a) Pengukuran keluaran urin setiap jam.
b) Ro Foto Paru.
c) Pengukuran tekanan intra arterial ( pengukuran
dengan sphygmomanometer tidak tepat ).
d) Pengukuran gas darah.
e) Pemeriksaan biokemik dan hematologik.
f) Tekanan vena sentral (CVP) yang hanya
menggambarkan tekanan pengisian ventrikel
kanan.
g) Tekanan akhir diastolik arteri pulmonalis
( PAEDP ).
h) Mean pulmonary capillary wedge pressure
( PCWP ).
i) Curah jantung semenit ( cardiac output ).
PCWP dapat diukur dengan menggunakan Swan
Ganz Catheter, yang dimasuk melalui suatu vena sentral
yang besar dan dihanyutkan ke arteri pulmonalis. Balon
yang dikembangkan akan tersangkut (wedget) ada suatu
cabang arteri pulmonalis dan memberikan PCWP. Curah
jantung juga dapat ditentukan dengan suatu thermistor pada
ujung catheter, dan menggunakan tehnik termodilusi.
3. Memperbaiki gangguan hemodinamik.
Kalau terdapat hipovoolemik, ekstra cairan
diperlukan untuk membawa PCWP mendekati 18
mmHg.Bolus 100 ml glukosa 5% diberikan dengan
pengawasan hemodinamik yang terus menerus. Salt free
concentrated 25% albumin mungkin bisa bermanfaat namun
sebaliknya larutan yang mengandung garam dihindarkan.
Kebanyakan penderita dengan syok kardiogenik
menunjukkan kenaikan PAEDP atau PWCP.
Pengobatan penderita seperti itu mencakup :
a. Pemberian obat-obatan.
Tujuan pemberian obat-obatan adalah untuk
menaikkan tekanan darah sentral dan memperbaiki
perfusi koroner.
1. Pressors agent.
Obat-obatan simpatomimetik adrenalin,
isoprenaline dan noradrenalin dapat menaikkan
tekanan darah, namun pada akhirnya
dapatmerusak miokard, sehingga obat ini tidak
dipakai.
Dobutamin ( derivat sistetik dari isoprenalin )
adalah suatu pressor amin yang baru yang
mungkin merupakan vasopressor pilihan.
Dobutamin menikkan kontraktilitas miokard
tanpa kenaikan bermakna debar jantung, dan
dengan perubahan yang relatif kecil pada PVR.
Diberikan sebagai infus intra vena dengan laju
2,5-15ug/kg/mt.
2. Vasodilator.
Penggunaan vasodilator pada syok kardiogenik
tampaknya rasional pada PVR yang
tinggi.Penggunaannya harus diawasi dan dinilai
dengan monitoring tekanan intra arterial, PCWP,
dan curah jantung.
Vasodilatasi dapat dicapai dengan sodium
nitroprusside sebagai larutan 0,01% ( 50 mg
dalam cc glukosa 5% ). Diberikan sebagai infus
mikro-drips dengan laju yang dititrasi terhadap
tekanan darah dan parameter hemodinamik lain.
Tekanan bervariasi dari 10-300 ug/menit ( 0,1-3
ml/menit ).
EUTHANASIA
Sebenarnya pengertian euthanasia adalah tindakan
mempercepat kematian dan memperpendek kehidupan bagi
seseorang yang sangat menderita atau kesakitan yang
disebabkan oleh penyakit yang tidak mungkin lagi
disembuhkan, misalnya stadium akhir dari suatu penyakit
kanker (Ca). Penderita ini masih dalam keadaan sadar betul
dan meminta sendiri agar kematiannya dipercepat.
Dewasa ini pengertian euthanasia ini telah berubah
menjadi setiap tindakan yang mempercepat kematian. Pada
umumnya penderita tidak sadar lagi dan kebanyakan telah
mati otak atau mati sosial. Mereka ini bila diberi nutrisi
yang cukup dan tunjangan pernapasan serta sirkulasi yang
adekuat masih dapat hidup dalam jangka waktu yang cukup
lama. Namun untuk mempertahankan kehidupan yang tidak
berkualitas ini membutuhkan biaya yang cukup besar pula.
Di rumah sakit besar seperti di Medan ini, banyak
penderita yang dirawat di ICU, yang telah diberikan
pengobatan yang optimal dan tunjangan pernapasan serta
sirkulasi yang adekuat, tidak memberikan hasil yang
diinginkan. Pasien stroke misalnya, dimana terjadi
perdarahan di otak menurut hasil scanning yang dilakukan
walaupun telah diberi pengobatan optimal namun ada yang
tidak dapat disembuhkan lagi.Sebagian dari mereka ada
yang telah mengalami pembedahan otak dan ada yang telah
berobat keluar negeri, tetapi hasilnya banyak yang kurang
memuaskan.
Masalah yang lebih sulit dipecahkan justru mengenai
penderita yang berada dalam masa transisi, dimana refleks-
refleks masih aktif namun kesadaran sudah menurun
( soporous ).
Pada saat ini sikap dokter yang mengelola penderita di
ICU terhadap kasus-kasus yang tidak menunjukkan
perbaikan atau kemajuan, walaupun telah diberikan
pengobatan optimal dan upaya medis dengan teknologi yang
kita punyai sekarang adalah mengikuti petunjuk yang telah
dikeluarkan oleh IDI berupa “PERNYATAAN” dengan
SK PB IDI No. 336/PB/A4/88.
Dari pernyataan IDI tersebut pada point (7) dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada situasi dan keadaan penderita yang
belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada
gunanya lagi maka tindakan tersebut dapat dihentikan.
Pada “PENJELASAN” pernyataan IDI tersebut
juga diperinci petunjuk pelaksanaan ( Juglak ) nya sebagai
berikut :
a. Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipakai
triase gawat darurat ( critical care triage ) yaitu :
1. Bantuan total bagi pasien sakit atau cedera kritis
yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa kegagalan
otak berat yang menetap.
2. Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru
(RJP) bagi pasien-pasien dengan fungsi otak yang
tetap ada, atau dengan harapan ada pemulihan otak
pasien yang mengalami kegagalan jantung, paru atau
organ multipel yang lain atau dalam tingkat akhir
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, misalnya
karsinomatosis lanjut. Semua yang mungkin,
dilakukan untuk kenyamanan pasien.Perpanjangan
hidup tidak dilakukan setelah henti jantung.
3. Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa bagi
pasien-pasien yang bila diberi beberapa bentuk terapi
tampaknya hanya berarti memperpanjang kematian,
bukan kehidupan. Sebagai contoh ialah pasien
dengan fungsi otak minimum tanpa harapan
perbaikan sehingga tidak ada kemungkinanuntuk
mentasi manusia ( human mention ) selanjutnya.
Pasien moribund sadar tanpa harapan, dibuat merasa
nyaman dan bebas nyeri.
4. Penentuan dan sertifikat mati batang otak.
Pengakhiran semua bantuan hidup untuk pasien
dengan penghentian fungsi batang otak dipenuhi,
pasien dinyatakan meninggal dan semua terapi
dihentikan.
5.1. PENDAHULUAN
Penerapan Teknologi Kesehatan dalam Mengatasi
Kedaruratan yang Mengancam Jiwa, memberikan angin
segar bagi kita sebagai dokter namun kita perlu untuk
mendapatkan pedoman atau kesepakatan yang dapat
ditempuh dokter dalam menghadapi kasus dimana harapan
untuk sembuh tidak ada lagi. dan masalah euthanasia
merupakan salah satu hal terkait
5.2 Hukum Pidana (KUHP), Euthanasia dan Kriteria
“mati”
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berlaku di Indonesia, seseorang itu dapat dihukum/dipidana
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja
ataupun karena kurang hati-hati. Kenyataan ini dapat kita
lihat pasal-pasalnya dalam KUHP, antara lain: Pasal 338,
340, 341, 343, 345, 346, 359.
Soal euthanasia ini telah dikenal sejak dahulu kala
dan istilahnya itu mengandung arti : Mati dengan tenang,
mati tanpa banyak rasa penderitaan dan penggunaan alat-
alat/bahan agar perjuangan kematian itu diperingan. Suatu
Commissie dari Gezondheidsraad Belanda mengenai
euthanasia ini merumuskan definisinya sebagai berikut:
“Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja
memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak
berbuat untuk memperpendek hidup demi kepentingan si
pasien oleh
seorang dokter atau bawahan yang bertanggungjawab
padanya.”
Dapatlah dipahami bagaimana eratnya hubungan
delik ini dengan kebebasan perbuatan medis para dokter
yang didalam tangan mereka itulah terletak penentuan
“demi kepentingan si pasien itu”.
Commissie membedakan apa yang disebut sebagai
vrijwillige euthanasia yang maksudnya euthanasia yang
dilakukan dengan adanya permintaan yang nyata dan
sungguh-sungguh dari si pasien, dengan apa yang disebut
sebagai lawannya onvrijwillige euthanasia (tidak adanya
permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien).
Begitu pula antara apa yang disebut passieve
euthanasie yang maksudnya dalam hidup itu tidak atau tidak
lagi digunakan alat-alat atau perbuatan yang dapat
memperpanjang hidup si pasien dengan apa yang disebut
actieve euthanasia yang maksudnya dalam hal itu
menggunakan alat-alat atau perbuatan yang memperpendek
hidup si pasien.
Jika kita melihat ke dalam KUHP Indonesia,
euthanasia tergolong kejahatan yang diancam dengan
hukuman melalui Pasal 344 dan 345 (sebagai euthanasia
aktif) dan dengan Pasal 531 (Pelanggaran, sebagai
euthanasia pasif).
Mungkin ada diantara kita yang merasa janggal dan
menganggap mustahil bahwa ada orang yang meminta untuk
dibunuh oleh orang lain, walaupun demikian, mungkin saja
hal itu terjadi, misalnya secara klasik dikenal contoh dimana
seorang anggota suatu ekspedisi yang menderita sakit parah
dan tidak ada harapan untuk dapat terus mengikuti
perjalanan ekspedisi tersebut meminta saja agar dirinya
dibunuh. Kini masalah Pasal 344 KUHP telah menyangkut
pula mereka yang dalam keadaan coma (tak sadarkan diri).
Memang dapat timbul beberapa pemikiran untuk
mengakhiri hidup ini, indikasinya dapat berupa antara lain :
- Penderitaan yang tak tertahankan lagi
- Penyakit yang diderita yang tak dapat disembuhkan lagi
- Cacat yang tak dapat diperbaiki lagi yang membawa si
penderita kepada invalid berat
- Cacat bawaan lahir yang tak mungkin dinormalkan
- Dan lain-lain
Apakah seseorang itu pembunuh jika ia melakukan
euthanasia tersebut? Dapat dicatat bahwa : perkembangan
hukum adalah sejajar dengan lahirnya hak-hak yang baru.
Jika kita melihat jalannya perkembangan hukum di Eropa
Barat dan Amerika, misalnya saja di negeri Belanda, maka
keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Diakui adanya apa yang disebut dalam bidang
hukum sebagai Klaiseke Grondrecten yang mana hal ini
terbagi pula atas dua bagian yakni yang berupa Politieke
Grondrechten dan Individuele Grondrechten.
Adapun yang diamaksud dengan Politieke
Grondrechten itu adalah hak-hak yang memberikan
kebebasan untuk berhimpun dan berapat, kebebasan untuk
dipilih dan memilih, kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat.
Adapun yang dimaksud dengan Individuele
Grondrechten adalah hak-hak untuk kebebasan bergerak,
kebebasan dalam rumah tempat tinggal, kebebasan dalam
surat menyurat, perlindungan atas hak milik, hak untuk
mendapatkan keadilan, dan lain-lain.
Terlepas dari kedua jenis yang disebut di atas,
belakangan ini berkembang terus dengan pesatnya apa yang
disebut Sociale Grondrechten, dalam hal ini mulai menonjol
dimensi social dari seseorang dalam relasinya dengan
masyarakatnya dimana ia merupakan salah seorang
anggotanya, tegasnya merupakan hubungan timbal balik hak
dan kewajiban antara seorang dengan masyarakat dimana ia
berada dengan istilah lain disebut pula participatierechten.
Bentuk hak-hak ini antara lain berupa : hak untuk
mendapatkan jaminan sosial, hak untuk mendapatkan
jaminan kesehatan, dan lain-lain.
Sehubungan dengan diakuinya hak untuk
mendapatkan jaminan kesehatan itu maka dalam perundang-
undangannya munculah bentuk-bentuk peraturan tentang
antara lain : abortus provokatus, sterilisasi dalam
hubungannya dengan “family planning” dan lain-lain.
Tampaknya berdasarkan hak untuk mendapatkan
jaminan kesehatan inilah persoalan boleh tidaknya
perbuatan abortus provokatus dan euthanasia akan ditarik ke
arah dekriminalisasi (dekriminalisasi berarti menetapkan
apa yang semula dipidana, menjadi tidak dipidana lagi.
Lawan dari pengertian kriminalisasi).
Terdengarlah jeritan-jeritan yang militant dari
penyokongnya berupa : “kaum ibu adalah chef perutnya
sendiri” dan pendapat bahwa melalui hak untuk
mendapatkan jaminan kesehatan (Gezondheidsrecht) kita
dapat hak untuk memilih cara mati kita (het recht op
sterven).
Dari gambaran perkembangan pendapat di bidang
hukum di atas maka tidak lagi mengherankan bagi kita
jikalau dalam hal-hal delik abortus dan euthanasia itu
terutama masyarakat Eropa Barat dan Amerika
menganggapnya sebagai hal yang harus dibolehkan untuk
dilakukan, kebebasan perbuatan medis turut terpengaruh
untuk diperluas dari batas-batasnya yang semula ada dalam
KUHP yang berlaku.
Menurut hemat saya pandangan golongan
masyarakat di Eropa Barat dan Amerika yang demikian itu
telah begitu rupa terdorongnya sehingga telah meninggalkan
sikap bertanya, alasan-alasan pengecualian dari hukum
bagaimanakah yang dapat diterima ke dalam sfeer
bekerjanya pasal-pasal yang mempidana perbuatan-
perbuatan itu, dan dengan memakai peraturan tertentu
misalnya undang-undang abortus. Undang-Undang Pokok
Kesehatan dan lain-lain yang ingin menjamin hak seseorang,
jadinya mereka itu telah menempatkan posisi para dokternya
yang pada mulanya menurut KUHP yang berlaku dapat
sebagai pembuat dari kejahatan terhadap nyawa manusia
akhirnya menjadi berubah posisinya justru sebagai pihak
yang dapat menentukan hidup matinya seseorang dalam
suasana tertentu dan perbuatan itu bukan pula sebagai
perbuatan pidana yang dapat dipidana lagi.
Jelasalah bagi kita bahwa sejajar dengan
perkembangan hukumnya, mereka di Eropa Barat dan
Amerika, menjurus kepada tidak menghukum lagi
perbuatan-perbuatan abortus dan euthanasia. Pasal-pasalnya
dalam KUHP minta segera dihapuskan. Mereka bukan
pembunuh lagi.
Adakah euthanasia itu dilakukan di Indonesia?
Jikalau gambaran tentang hal ini tidak jelas (berupa
hasil penelitian), tetapi membuat undang-undang dengan
jelas mengancam dilakukannya perbuatan itu dengan
hukuman (lihat Pasal 344 KUHP).
Bagaimanakah sikap kita terhadap perbuatan
euthanasia itu saat ini?
Memperbandingkannya dengan di Negeri Belanda
maka terdapat persamaan berupa masih
dihukum/dipidananya perbuatan euthanasia itu hingga saat
ini. Adapun perbedaannya adalah di Negeri Belanda saat ini
persoalan euthanasia menjadi sangat berkembang dan
mendesak masyarakatnya agar menentukan sikapnya.
Vonnis Rechtbant Leeuwaarden, tanggal 12 Februari
1973, merupakan batu ujiannya, dimana terjadi kasus
euthanasia sebagai berikut :
Seorang anak perempuan (dokter) membunuh ibu
kandungnya yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan sangat menderita si ibu itu, dengan
memberikan morfine dalam dosis yang mematikan. Vonis
hakim menetapkan hukuman 1 minggu dengan masa
percobaan selama 1 tahun.
Dari hasil penelitian Nipo, 35% dari penduduk
Belanda berpendapat menerima euthanasia pasif. Timbul
sikap meminta dihapuskannya artikel 293 dan 294 KUHP-
Belanda (sama dengan pasal 344 dan 345 KUHP-Indonesia).
Di samping itu masih terdapat pula pendapat lainnya agar
euthanasia aktif harus tetap merupakan perbuatan yang
dipidana. Nederlands hervormen en niet kerkelijken adalah
merupakan golongan yang tidak keberatan atas
“penyuntikan maut”. Bagaimana di negeri lain? Di Inggris:
76% dari para dokter dapat menerima dilakukannya
euthanasia pasif (1965). Di Amerika: situasinya mirip
Inggris, disana tidak ada pasal khusus tentang euthanasia.
Para hakim menggunakan pasal pembunuhan (murder).
Keucali itu kurang sekali kasus-kasus pembunuhan dimana
dokter turut terlibat. Biasanya anggota keluargalah yang
melakukan “mercy killing” tersebut. Di Swedia: euthanasia
adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dipidana
sebagai pembunuhan berencana (sesuai pasal 340 KUHP
Indonesia). Di Jerman: tetap dihukum, dalam kasus-kasus
tertentu dapat diberikan alasan pengecualian dari hukuman
(dari luar undang-undang). Di Hongaria: KUHP-nya (1962)
melarang perbuatan euthanasia. Hal kejahatan yang
ditujukan terhadap jiwa manusia/nyawa tidaklah disangkut-
pautkan dengan kesehatan si korban. Di Swiss: banyak
penulis memandang bahwa Swiss adalah negara yang dalam
hal euthanasia ini sebagai yang hampir melegalisirnya/tidak
lagi menghukum perbuatan tersebut. Di Uruguay: mirip di
Swiss. Di Perancis: tidak dikenal adanya aturan khusus
tentang euthanasia ini.
Di Indonesia: euthanasia adalah perbuatan yang
dapat dihukum (pasal 344, 345 KUHP) dan menurut hemat
saya euthanasia ini pada saat sekarang mulai tumbuh dan
bergerak untuk mendesak kita pula agar menentukan sikap
yang tegas terhadapnya. Apakah kita tetap menghukumnya
ataukah Hakim akan memberikan alasan pengecualian dari
hukuman dalam kasus tertentu ataukah melegalisirnya?
Hingga saat ini saya belum melihat adanya suatu
khasus euthanasia yang menguji coba sikap kita dan rasanya
sudah perlu adanya penelitiannya. Sebenarnya masalah
euthanasia ini sejalan dengan persoalan abortus provokatus.
Sungguh terasa bagaiman tajamnya hak individu
gaya Eropa Barat itu. Apakah kita sebagai bangsa yang
berkepribadian dan berpandangan Pancasila (ber-
Ketuhanan/Agama) terlena pula dan tak terasa telah terhirup
udara hak individu/azasi gaya Eropa Barat itu?
Akan terdengarlah nanti jeritan-jeritan di tanah air
kita berupa : “menggugurkan kandungan adalah hak azasi
kami”, begitu pula untuk memilih cara mati sendiri? Akan
tergoncangkah Etik Kedokterkan kita?
Baukankah doker itu menurut etika tersebut harus
berusaha mempertahankan hidup seorang manusia,
berdasarkan ilmu kedokterannya, dan tidak akan bertindak
sebagai algojonya, walaupun tugas yang suci itu tak jarang
bertentangan dengan kehendak pasien?
Semoga perbuatan para dokter Indoneisa
mendapatkan jalannya yang diridhoi Allah SWT dalam
usahanya mempertahankan hidup seorang manusia, sesuai
Etik, Moral, dan Agama.
Mengenai kriteria “mati”, sistim hukum yang
berlaku tampaknya tidak mengatur tentang cara untuk
menetapkan “mati” itu, akan tetapi hanya memintakan
adanya surat keterangan tentang telah matinya seseorang itu
(verklaring van overladen).
Para dokter selalu dimintakan surat keterangan
tentang kematian seorang itu sedangkan hukum tidak
memberikan pedoman pada mereka. Umunya diikuti
pandangan kedokteran tentang kriteria “mati” itu.
Sekarang terasa sebagai masalah perlu tidaknya
pembuat undang-undang untuk menetapkan kriteria dari
“mati” itu di dalam undang-undang dengan tegas
menetapkan siapa-siapa yang disebut “mati” karena telah
memenuhi kriteria tersebut.
Adapula suatu pendapat yang memandang adanya
“fase antara” (tussen fase) antara hidup dan mati itu,
misalnya dalam hal mati otak, dimaan secara organis ia telah
mati tetapi belum menjadi “mayat”.
Van Till, berpendapat bahwa pandangan demikian
itu tidak dapat dibenarkan dari sudut hukum, dimana
seseorang dikatakan telah meninggal dunia/mati, tetapi
belum menjadi mayat. (Medisch Juridische aspecten van het
menselijk leven: proefschrift Rijksuniversiteit, Leiden,
1970).
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa :
“Berhenti berfungsinya otak secara sepenuhnya dan
tidak dapat lagi dikembalikan untuk berfungsi sebagai
semula, termasuk batang otak (hersenstam), adalah suatu
gambaran kriteria “mati”, yang paling tepat, baik ditinjau
dari sudut medis-biologis, maupun juridis”.
Penulis lainnya Sluyters, tidak antusias mengenai
dimasukkannya kriteria “mati” itu kedalam perundang-
undangan, setidak-tidaknya untuk saat sekarang ini, ia
memerlukan untuk menunggu perkembangan lebih lanjut,
sampai pengertian “mati otak” sebagai kematian seseorang
itu, yang tumbuh di kalangan dokter tersebut, diterima pula
oleh disiplin lain dan akhirnya oleh masyarakat.
Kebanyakan dari penulis Belanda berpendapat
bahwa pengaturan tentang kriteria “mati” itu sebaiknya
diatur dalam peraturan tersendiri, berdasarkan metode-
metode medis.
Perancis, adalah satu-satunya negara yang mengenal
kriteria “mati” itu dalam perundang-undangannya (1968),
berdasarkan undang-undang tersebutlah transplantasi
jantung yang pertama dapat dilaksanakan (de
Boblaintransplantatie).
Para ahli bedah di Perancis dapat memindahkan
jantung si donor apabila alat elektronis-encephalogram telah
menyatakan bahwa fungsi otak telah sama sekali tidak
berfungsi/bereaksi lagi sekurang-kurangnya 10 menit.
Kennedy, penulis Inggris, menyatakan bahwa
kriteria “mati” yang tradisional selama ini, sudah tidak
cocok untuk dipakai lagi. dirasakan bahwa si donor itu telah
mati secara klinis tetapi masih hidup secara juridis.
Di Jepang, ahli bedahnya yang melakukan
transplantasi jantung yang pertama kali, dinyatakan bersalah
karena melakukan pembunuhan.
Di Amerika dan Argentina dalam beberapa kasus
serupa, dokternya dituntut. Selanjutnya oleh Kennedy
dinyatakan bahwa kriteria yang baru tentang “mati” itu
haruslah dilahirkan dari pihak kedokteran, walaupun hal
yang besar artinya ini beum mendapat konsensus yang sama
di kalangan para dokter sendiri.
Ada pula penulis lainnya yang berpendapat bahwa
setidak-tidaknya penegasan kriteria “mati” itu diperlukan
untuk persoalan transplantasi, sedang untuk lainnya dapat
dipakai kriteria “mati” yang tradisional selama ini.
Ditinjau dari bidang perundang-undangan, di
Amerika tidak ada penentuan kriteria “mati” itu dalam
perundang-undangannya, hal tersebut dipandang sebagai
persoalan kedokteran (medische kwestie). Anatomical Gift
Act. 1961.
Juga di Inggris, The British Human Tissue Act, 1961
tidak mengenal kriteria “mati” tersebut.
Afrika Selatan, The Anatomical Donations and Post
Mortem Act, 1970 juga tidak.
Di Itali, undang-undangnya 1965 tidak menetapkan
kriteria “mati” akan tetapi menetapkan beberapa metode
yang harus digunakan untuk menetapkan kematian
seseorang itu. Kematian seseorang itu harus ditetapkan oleh
suatu komisi khusus yang terdiri dari para dokter.
Di Swiss juga tidak mengenal kriteria “mati” dalam
perundang-undangannya.
Di Negeri Belanda, pada permulaan tahun 1974, De
Commisie Orgaan Transplantatie van de Gezondheidsraad
mengusulkan agar dalam undang-undang ada memuat
formulasi tentang bila hidup itu mulai dan bila berakhirnya.
Di Indonesia, dalam KUHP, tidak ada kriteria “mati”
itu.
Dalam usaha Badan Pembinaan Hukum Nasional
untuk menyusun Buku I, KUHP Nasional (Lokakarya,
Desember 1982 di Jakarta) diperoleh sumbangan pikiran
yang mengusulkan agar pengertian “hidup”, “mati” dan
“kandungan” dijelaskan dalam Buku I KUHP Nasional
tersebut
Alasan Pengecualian dari Hukuman dan
Dekriminalisasi
Dalam KUHP “Ada alasan pengecualian dari
hukuman” yang dasar pemberiannya diperoleh baik dari
dalam KUHP itu sendiri (lihat pasal 44 s/d 51 KUHP),
antara lain :
- Pasal 48 KUHP : Tidaklah dapat dihukum barang siapa
melakukan suatu perbuatan dibawah pengaruh suatu
keadaan memaksa
- Pasal 50 KUHP : Tidaklah dapat dihukum, barang siapa
melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan
sesuatu peraturan perundang-undangan
- Pasal 51 KUHP : Tidaklah dapat dihukum barang siapa
melakukan suatu perintah jabatan, yang diberikan oleh
kekuasaan yang berwenang. Suatu perintah jabatan
yang diberikan tanpa kewenangan, tidak meniadakan
hukuman, kecuali apabila perintah tersebut oleh
bawahan yang bersangkutan dengan itikad baik
dianggap sebagai telah diberikan sesuai dengan
kewenangannya dan pelaksanaan dari perintah tersebut
terletak di dalam ruang lingkup pekerjaannya sebagai
seorang bawahan, maupun dari luar Undang-Undang
(KUHP) itu sendiri
Misalnya, berdasarkan kebiasaan, adat, kesusilaan,
dan lain-lain, antara lain berupa :
- Perbuatan orang tua terhadap anaknya
- Perbuatan seorang ahli dalam lapangan ilmu
pengetahuan
- Perbuatan membedah dari seorang ahli bedah
Meneliti perkembangan kemajuan di bidang Ilmu
Kedokteran terlihat pula beberapa hasil-hasil baru yang
muncul di luar jangkauan KUHP yang berlaku tegasnya
merupakan hal yang belum diatur dalam KUHP yang
berlaku itu di samping mana beberapa hal yang selama ini
telah diancam dengan pidana (delik) menjadi teruji untuk
ditinjau kembali apakah hal itu masih tetap sebagai
perbuatan yang dapat dipidana atau menjadi dibolehkan dan
tidak merupakan delik lagi. Munculah soal dekriminalisasi.
Prof. Sudarto, SH menegaskan bahwa pengertian
dekriminalisasi mengandung arti suatu proses dimana
dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya sesuatu
perbuatan.
100
PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
6. 1 PENDAHULUAN
“Saya tidak hidup. Saya dibuat untuk hidup. Saya
tetap hidup. Untuk siapa, untuk apa yang tak saya ketahui,
yang saya tahu saya hanyalah mayat hidup!” ratap Vincent
Humbert. Kondisi tanpa daya ini membuat Vincent tak mau
meneruskan hidupnya. Pada November 2002, ia
mengirimkan surat kepada Presiden Prancis, Jacques Chirac,
meminta agar ia diberi hak untuk mati. Chirac membalas
surat Vincent dan menelponnya ke rumah sakit, menjelaskan
bahwa ia tak bisa memenuhi permintaannya itu. Vincent pun
akhirnya menyusun rencana kematian bersama ibunya,
Marie Humbert. Ia juga menulis buku berisi penjelasan soal
kasusnya dibantu seorang wartawan bernama Frederick
Veille.
Kemudian tepat tiga tahun setelah kecelakaan, Vincent
dan Marie melaksanakan rencana mereka, Marie
menyuntikkan obat penenang dengan dosis berlebih ke
pembuluh darah putranya. Hari berikutnya, buku karya
Vincent, Jé Vous Demande le Droit de Mourir (Saya
Meminta Pada Anda Hak untuk Mati) terbit.
Di Indonesia pun pernah heboh soal euthanasia.
Menjelang pengumuman putusan permohonan penetapan
euthanasia oleh Hasan Kesuma atas nama istrinya, Agian
Isna Nauli oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua
Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan
Iskandar Sitorus sebagai kuasa hukum Hasan mengatakan
pihaknya sudah mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan.
“Apabila PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan
kami, maka kami akan melanjutkan dengan meminta pihak
yang akan melakukan eksekusi. Sedangkan kalau PN Jakarta
Pusat menolak gugatan kami, maka kami akan mengajukan
upaya hukum berupa penetapan ke Mahkamah Agung”,
jelasnya.
Iskandar mengatakan kekecewaannya kepada Menteri
Kesehatan Siti Fadillah Supari yang pernah menjanjikan
akan menanggung biaya Ny. Agian selama berada di Rumah
Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) Jakarta beberapa
waktu lalu di hadapan media massa. Tapi kenyataannya
menurut Iskandar, sampai saat ini hal tersebut belum
terealisasi.
SEPUTAR EUTHANASIA
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan
membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena
proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak
wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Dalam tulisan ini, kita akan berbicara mengenai
euthanasia saja. Pertama-tama perlu diklarifikasi arti kata
euthanasia itu sendiri. Euthanasia bukanlah pengertian yang
jelas dan baku, sebab di balik istilah yang sama ternyata ada
pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini terjadi
dalam perjalanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang
terjadi perbedaan persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis
dengan pihak Gereja sendiri. Setidaknya dengan
penelusuran arti euthanasia, kita semakin mampu
menangkap apa itu euthanasia menurut Gereja apabila
Gereja menolaknya dengan tegas. Pada bagian ini akan
dibahas euthanasia dalam tiga segi yaitu arti, sejarah serta
macamnya yang ditinjau dari berbagai sudut. Namun harus
diperhatikan juga bahwa pembagian euthanasia dalam
berbagai istilah tersebut terkadang membingungkan karena
masing-masing ahli terkadang mendefinisikan jenis-jenis
euthanasia dengan berbeda-beda.
6. 3 DEFINISI
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa
Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara
harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang
baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata
lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut
misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak,
atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan
mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”.
Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti
kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dalam
arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara
seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai,
namun bukan pada percepatan kematian.
Dewasa ini orang menilai euthanasia terarah pada
campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan
penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul
maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini
disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum
waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia
dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena belas
kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah
terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak
tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup
yang dianggap tidak bahagia itu diperpanjang dan menjadi
beban bagi keluarga serta masyarakat. Demikian pula orang
merasa lebih baik mati daripada mengalami degradasi
martabatnya. Orang macam ini melihat bahwa orang yang
tidak mampu lagi bergerak, menderita, tak mampu berbuat
apa-apa sebagai penurunan martabatnya. Maka daripada
hidup tanpa martabat, lebih baik mati dengan martabat
ketika orangnya masih kuat dan masih punya kontrol penuh
atas hidupnya.
Dari perjalanan waktu, arti euthanasia sendiri
mengalami pergeseran arti. Euthanasia yang pada awalnya
berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai
tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting
memahami arti euthanasia itu sendiri sebelum dinilai secara
etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti
euthanasia menurut Gereja.
Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh
Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman mendefinisikan
euthanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak
yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja
mendatangkan kematian, untuk dengan demikian
menghentikan rasa sakit. Jadi, euthanasia dilihat pada taraf
intensi dan juga metode yang dipakai. Dalam bahasa Inggris
dikatakan demikian, “By euthanasia is understood an action
or an omission which of itself or by intention causes death,
in order that all suffering may in this way be eliminated.
Euthanasia’s terms of reference, therefore, are to be found in
the intention of the will and in the methods used“.
Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam
perbuatan itu sendiri atau dalam intensi menyebabkan
kematian agar dengan cara ini semua penderitaan dapat
dihilangkan). Dalam hal ini, yang harus diperhatikan adalah
metode (berbuat/tidak berbuat) dan intensinya
(menyebabkan kematian). Pemakaian kata euthanasia
sekarang ini tidak lagi merefer pada makna aslinya.
Arti euthanasia yang diberikan oleh Kongregasi Suci
pada tahun 1980 ini dikutip kembali oleh Dewan para
Uskup Kanada untuk menentukan mana yang dianggap
euthanasia dan mana yang bukan. Pada tahun 1994,
Dewan para uskup Kanada itu menyebutkan bahwa sebuah
suntikan yang mematikan merupakan salah satu contoh
tindakan euthanasia. Orang sering menyebut injeksi yang
mematikan ini sebagai euthanasia aktif.
Dengan demikian pengertian euthanasia dalam Gereja
Katolik menyangkut tiga hal yaitu: pertama, sebuah
tindakan atau tidak berbuat; kedua, dengan intensi pada
kematian seseorang; dan ketiga, dengan maksud mengakhiri
penderitaan seseorang. Oleh karena itu, penilaian atas
sebuah tindakan sebagai euthanasia atau tidak terletak pada
intensi dan tindakannya. Untuk pembahasan selanjutnya,
kalau kita berbicara mengenai definisi euthanasia,
pengertian dalam Gereja Katoliklah yang akan kita gunakan.
Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain lagi:
assisted suicide atau “bunuh diri yang dibantu dokter”.
Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk
membunuh dirinya jika ia memilih mengakhiri
penderitaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan
menulis
resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar.
Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien terminal
membunuh dirinya sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh
dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis bunuh diri
dengan bantuan seperti itu barangkali tidak membebani hati
nurani profesi medis daripada euthanasia langsung, tetapi
secara etis tidak ada banyak perbedaan. Dalam hal
euthanasia maupun bunuh diri dengan bantuan, dokter
adalah pelaku utama untuk akibat yang sama. Bagi pasien
terminal, bunuh diri dengan bantuan mempunyai
konsekuensi bahwa kemungkinannya cukup terbatas karena
banyak pasien terminal tidak sanggup lagi meminum obat
atau melakukan tindakan lain yang perlu untuk mengakhiri
hidupnya.
6. 4 SEJARAH EUTHANASIA
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang
baru, sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah
diperdebatkan dan dipraktekkan. Sekilas, kita akan
melihatnya.
Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari
pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang
pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi,
menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa,
tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik
(Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar
tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah
‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis
Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang
hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian
Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian
yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia
hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya
dan bagi keluarganya agar dapat meninggal dengan cepat
dan tanpa penderitaan, Itulah kata yang dipakainya” (Divus
Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar
tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti
‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’
(Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri
tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada
sengsara merana“.
Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia
diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis
Bacon dalam “Nova Atlantis”, mengajukan gagasan
euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya
memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk
menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan
penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu
dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang
menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More
dalam “the Best Form of Government and The New Island
of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan
gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara
secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun
yang membiuskan.
Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi
tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the
suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the
late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi
dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.
Tahun 20-30–an abad XX dianggap penting karena
mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-
sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan
Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai
pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup.
Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : “Die
Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig
1920”. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan
praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit,
gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan
Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang
ditandatangani Hitler.
Sekarang Ini
Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika
Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan
teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan
legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan
euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg.
Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah
banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal
hal itu dilarang.
MACAM-MACAM EUTHANASIA
Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan
teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam
euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia.
Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan
dalam tiga hal:
110
a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk
melaksanakan dengan tujuan menghentikan
kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan
oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien,
misalnya : melakukan injeksi dengan obat tertentu
agar pasien terminal meninggal.
b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak
mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi.
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja
tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup kepada pasien, misalnya :
terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak
ada biaya, tidak ada alat, ataupun terapi tidak
berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang
telah dimulai dan sedang berlangsung.
c. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak
secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan
diarahkan langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan
tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk
maksud lain misalnya meringankan penderitaan.
Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita, euthanasia dapat dilihat
dalam tiga jenis:
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau
tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak
(incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan
kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted
judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh
orang lain (substituted judgement).
Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan
menjadi dua:
a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita
sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan,
entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau
karena sebab lain.
b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang
meminta agar seorang pasien dihentikan
kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu
misalnya keluarganya dengan motivasi untuk
menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga,
prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi
tertentu atau kepentingan yang lain.
BEBERAPA ASPEK EUTHANASIA
Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia,
khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya
euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut
atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan
pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki
kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal–pasal dalam undang undang yang
terdapat dalam KUH Pidana. Beberapa pasal KUHP yang
berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345,
dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau
dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan
1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di
Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu
terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan.
Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup,
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini
terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan (kedokteran)
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi
hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia–sia,
bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan,
karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang
mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek
umurnya sendiri. Pernyataan ahli–ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan
kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat,
dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan
dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati
pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat,
tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu
ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur,
sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter
dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang
umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak
akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati
penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya
memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi
upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan
kehendak Tuhan. Dalam hal–hal seperti ini manusia sering
menggunakan standar ganda. Hal–hal yang menurutnya
baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau
bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal
tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah
berbagai dalil untuk menopangnya.
CARA-CARA EUTHANASIA
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa
cara, yakni:
a. Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian
dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini
dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu
bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga
pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat
mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c. Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan
dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan
tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling
mendekati moral.
Pandangan tentang Euthanasia di Beberapa Agama
dan Negara
Ada berbagai macam pandangan euthanasia di beberapa
agama. Secara sekilas, kita akan melihatnya.
Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia
didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Akumulasi terus menerus dari “karma” yang
buruk adalah penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan
dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti
kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di
dalam ajaran Hindu sebab perbuatan tersebut dapat menjadi
faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma”
buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam
kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila
seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan
masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di
dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan
hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia
menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada
usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60
tahun. Maka selama 43 tahun rohnya berkelana tanpa arah
tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima
hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”nya terdahulu
yang belum selesai dijalaninya.
Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk
membunuh makhluk hidup. Ajaran ini merupakan moral
fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa
euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat
menekankan pada “welas asih” (“karunia”). Mempercepat
kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha.
Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma” buruk
kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia
tersebut.
Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati,
namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis
yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut,
“Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat
lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu
sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut
qatl ar-rahmah atautaisir al-maut (euthanasia), yaitu
tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan
tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang
kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga.
120
bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat yang diwajibkan
cukup ketat: usia minimal 18 tahun, kemungkinan hidup
tinggal 6 bulan, harus mengajukan secara tertulis sebanyak 3
kali dan 2 kali secara lisan dengan saksi. Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu
tidak berada dalam gangguan mental. Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Polling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung
dilakukannya euthanasia.
Kanada. Secara tegas Kanada menolak euthanasia.
Euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.
Kolumbia. Secara hukum, Kolumbia masih ambigu
dalam menetapkan peraturan yang jelas. Pada tahun 1997,
euthanasia diterima oleh mahkamah konstitusional tetapi
belum pernah diratifikasi oleh kongres/parlemen.
Indonesia. Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia
adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, melawan
Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana: ”Barang
siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun”, dan pasal 345, ““Barangsiapa sengaja mendorong
orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam
dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi
bunuh diri.”
Swiss. Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan
baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing
apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
Luxemburg. Baru-baru ini, Luxemburg menjadi negara
selanjutnya yang menyetujui tindakan euthanasia. Ketetapan
ini baru diberlakukan 19 Februari 2008 yang lalu. Parlemen
telah menyetujui UU yang mengatur euthanasia ini.
Inggris. Di Inggris, masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum. Kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran
Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara
tegas menentang euthanasia dalam bentuk apa pun.
Jepang. Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang
mengatur tentang euthanasia. Demikian pula Pengadilan
Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus
euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya
pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai
“euthanasia pasif”. Kasus yang satunya lagi terjadi setelah
peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang
dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ”.
Republik Ceko. Di Republik Ceko euthanasia
dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan
peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan
dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri
Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam
rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan
ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan
Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara
tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial
tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
India. Di India euthanasia adalah suatu perbuatan
melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia
terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India
(Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan
aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya
dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya
didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini
hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di
mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di
mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia
tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara
tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.
Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan
secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya
pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama “Wang
Mingcheng” meminta seorang dokter untuk melakukan
euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkap juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan
tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan
mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng
menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk
dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh
rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia
dalam kesakitan.
MASALAH EUTHANASIA
Persoalan euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri
sendiri. Ada banyak soal di balik euthanasia yang amat
mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk melakukan atau
tidak melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut
adalah:
Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupan
serta Kemajuan Iptek Kedokteran
Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan
untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati
atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya
secara irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia
sebagai organisme secara keseluruhan, baik mental maupun
fisik. Namun kriteria kematian seseorang sendiri berubah
seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Jaman modern mencatat bahwa kriteria kematian telah
berubah dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut
jantung dan pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu
kematian seluruh otak yakni batang otak dan otak besar.
Dalam perkembangan sejarah, kapan orang dikatakan mati
merupakan masalah serius dan menimbulkan banyak
perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib orang
mati suri yang terlanjur dikubur dipecahkan dengan
memasang sistem pembebasan dari peti mati, misalnya: tali
untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru mati dijaga
kalau-kalau memberi tanda-tanda kehidupan.
Munculnya aneka macam alat kedokteran seperti
stetoskop (abad XIX) membantu para dokter untuk
mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga
lebih bisa memastikan apakah seseorang sudah mati atau
belum. Pada abad XX ditemukan Electrocardiogram (ECG)
yang merupakan sarana teknis yang lebih cermat untuk
memeriksa kegiatan jantung. Sekarang ada alat yang lebih
canggih lagi, Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter
dapat memantau kegiatan elektris dalam otak, misalnya
interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.
Permasalahan kekaburan kematian manusia tidak
hanya berhenti pada cara penentuan kematian seseorang,
melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan
teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia
dapat didukung oleh teknologi baru, sehingga orang yang
secara klinis mati dapat “dihidupkan kembali” dengan
sarana-sarana artifisial. Kesepakatan mengenai kematian
seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang sama.
Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut
dengan gembira, tapi di sisi lain menimbulkan kekuatiran
dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi
manusia untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk
karena usaha melanjutkan kehidupan berarti juga
memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian.
Kewajiban Memelihara hidup
Permasalahan euthanasia berkait erat dengan kewajiban
memelihara hidup. Misalnya saja sumpah Hipokrates
mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong
penderita dan menolak membantu orang untuk bunuh diri.
Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam aneka kode
etik kedokteran dewasa ini. Sumpah ini membantu para
tenaga medis untuk menghadapi situasi dan masalah baru
karena kemungkinan “penundaan” saat kematian yang
bahkan menjadi kabur dengan teknologi canggih.
Otonomi Penderita
Euthanasia juga berhadapan dengan gagasan tentang
otonomi manusia (penderita). Keyakinan akan martabat
pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak asasi makin
meningkat, justru dalam berhadapan dengan kemungkinan-
kemungkinan baru yang disediakan ilmu dan teknologi
kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia
setidaknya menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan
hak untuk menolak penanganan serta hak untuk mati.
Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati
berarti hak asasi untuk menolak penanganan (basic right to
refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti
hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup
(the right to refuse life-saving treatment). Gagasan ini
timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena
alasan keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah,
meskipun transfusi darah termasuk sarana biasa atau
proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak
penanganan yang memperpanjang proses meninggal (the
right to refuse death-prolonging treatment) juga berarti hak
agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan
penderita atau keluarganya.
Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk
menolak penanganan yang menyelamatkan hidup
berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak
penanganan yang menunda kematian seseorang berdasarkan
hak privacy. Perkembangan menjadi hak untuk mati dapat
dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving
treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-
support system berarti kematian.
PRO DAN KONTRA EUTHANASIA
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada
sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian
pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya
batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari
Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia.
Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh
suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara
sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sebagai
berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi
manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh
atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai
kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya
demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah
pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?
Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia
dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama
menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang
menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa
manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan
utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen
yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar
belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat
dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih.
Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa
kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa
sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si
pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung
terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu
pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki
hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun
hak untuk mati.
Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia.
Orang-orang tidak beragamapun, yang tidak menerima
argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa
hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi.
Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan
yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama,
euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan
dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup
adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga
tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak
mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut.
Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
tidak memiliki hak untuk mati.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan
penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”.
Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia
tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga.
Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif
karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery
slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam
proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible
maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai
membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa,
anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara
sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh
diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.
Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal
mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara
bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan
kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang
lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian
secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”.
Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas
manusia agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai
kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap
horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit,
penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan
bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang
dan dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.
TINJAUAN KEDOKTERAN
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan
euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman
tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama
Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan
si sakit dengan memberikan obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang
sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia
mengandung unsur–unsur sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau
tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit
untuk disembuhkan.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau
keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang
euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk
menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis
adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak
kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya,
“Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan
ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka
yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar
sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia.
Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang
membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia
tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa
seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.
Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian
batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati
walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara
keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
130
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan
demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien
dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum
ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang
euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang.
Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan
meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa
tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada
gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran
yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas
ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila
suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter
tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.8
TINJAUAN FILOSOFIS - ETIS
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan
erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di
mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh
sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia
akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai
euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama
penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus
mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya
sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri
hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran
penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah
apakah pengakhiran hidup seperti itu dapat dibenarkan?7
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted
suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya
euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan
pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini
bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut,
atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu
prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus
menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu.
Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the
sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus
dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-
sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan
adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya
manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh
orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggung
jawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri.
Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya
sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu
oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung
euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak
pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika
pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang
tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh
diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang
baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
TINJAUAN TEOLOGIS
Euthanasia dalam Perspektif Kitab Suci
Hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus
sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan
manusia dan juga untuk setiap hidup bersama masyarakat.
Kitab Suci memandang hidup manusia itu suci karena
berasal dari Allah sendiri, “Tuhan, Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas
hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Karena itu,
pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan
hukum ilahi, “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Hidup dan
mati manusia berada di tangan Tuhan karena, “kita adalah
milik Tuhan” (Rom 14:8; bdk. Fil 1:20). Hidup manusia itu
suci karena sejak awal mula melibatkan karya penciptaan
Allah dan hal ini tetap berlangsung selamanya dalam
hubungan yang sangat khusus dengan Sang Pencipta yang
adalah satu-satunya tujuan akhir hidup manusia. Kesucian
manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah
tetapi juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali
kepada-nya (penebusan). Karena itu, hidup manusia tidak
boleh dilanggar (violated) dan dihancurkan, tetapi harus
dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.
Euthanasia dan bunuh diri merupakan penolakan
terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas kehidupan dan
kematian, seperti dinyatakan dalam doa Israel kuno,
“Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau membawa
kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali” (Keb
16:13; bdk. Ayub 13:2).
Euthanasia dalam Declaration on Euthanasia
Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah
berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin
mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita
sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral
Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup.
Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk
program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan
juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern
penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara
jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada
tanggal 5 Mei 1980, Kongregasi untuk Ajaran Iman
menerbitkan Declaration on Euthanasia yang menguraikan
pedoman ini lebih lanjut, teristimewa mengingat semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup
dan gencarnya promosi euthanasia sebagai sarana yang sah
untuk mengakhiri hidup. Dokumen ini memandang bahwa
euthanasia merupakan penyerangan langsung terhadap
hidup manusia yang tidak berdosa. Dokumen ini
menyatakan secara jelas:
“It is necessary to state firmly once more that nothing
and no one can in any way permit the killing of an innocent
human being, whether a fetus or an embryo, an infant or an
adult, an old person, or one suffering from an incurable
disease, or a person who is dying. Furthermore, no one is
permitted to ask for this act of killing, either for himself or
herself or for another person entrusted to his or her care, nor
can he or she consent to it, either explicitly or implicitly.
Nor can any authority legitimately recommend or permit
such an action. For it is a question of the violation of the
divine law, an offense against the dignity of the human
person, a crime against life, and an attack on humanity.“10
Di lain pihak, euthanasia tidak langsung dalam kondisi
tertentu diperbolehkan. Para Uskup Amerika Serikat
mengeluarkan ajaran resmi, “Seseorang tidak wajib
menggunakan baik sarana-sarana yang ‘luar biasa’ atau
sarana-sarana yang ‘tidak sepadan’ untuk mempertahankan
hidup, yaitu sarana-sarana yang dipahami sebagai
pemberian harapan akan manfaat yang tidak masuk akal
atau sebagai keterlibatan beban-beban yang terlalu berat”.
Penentuan apakah suatu tindakan itu “biasa” atau “sepadan”
versus “luar biasa” atau “tidak sepadan” melibatkan
pengukuran “jenis tindakan yang dilakukan, tingkat
kompleksitas atau risiko, biaya dan kemungkinan-
kemungkinan menggunakannya” berlawanan dengan “hasil
yang bisa diharapkan, mengingat keadaan si orang yang
sakit dan sumber-sumber fisik dan moral”. Umumnya,
sarana pendukung hidup menawarkan harapan
penyembuhan yang masuk akal kepada para pasien tanpa
biaya atau kesulitan yang berat.
6.14.3 Euthanasia dalam Evangelium Vitae
Ensiklik Evengelium Vitae yang dikeluarkan oleh
Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1995 juga
berbicara mengenai euthanasia. Secara khusus, ensiklik ini
membahas euthanasia pada artikel no 64-67. Paus Yohanes
Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktek euthanasia, memperingatkan kita untuk melawan
“gejala yang paling mengkhawatirkan dari ‘budaya
kematian’ …. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah
yang meningkat dianggap sebagai beban yang
mengganggu”. Euthanasia yang “mengendalikan maut dan
mendatangkannya sebelum waktunya, dengan secara
“halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain
….. nampak tidak masuk akal dan melawan
perikemanusiaan“. Euthanasia merupakan “pelanggaran
berat terhadap hukum Allah, karena itu berarti pembunuhan
manusia yang disengaja dan dari sudut moral tidak dapat
diterima”. Sebagai pendasaran, teks tersebut menunjuk pada
hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum
Gereja Katolik.
6.14.4. Euthanasia dalam Katekismus Gereja Katolik
1997
Katekismus Gereja Katolik 1997 (No 2276-2279 dan
2324) juga memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja
Katolik kita tentang hal ini. Gereja Katolik menolak dengan
tegas euthanasia aktif. Katekismus no 2277 memberikan
penjelasan mengenai hal itu:
“Whatever its motives and means, direct euthanasia
consists in putting an end to the lives of handicapped, sick,
or dying persons. It is morally unacceptable. Thus an act or
omission which, of itself or by intention, causes death in
order to eliminate suffering constitutes a murder gravely
contrary to the dignity of the human person and to the
respect due to the living God, his Creator. The error of
judgment into which one can fall in good faith does not
change the nature of this murderous act, which must always
be forbidden and excluded.“
Euthanasia pasif, dalam arti tertentu, masih
diperkenankan dengan catatan bukan kematian yang
dikehendaki melainkan penghentian penanganan medis yang
membebani. Apa pun bentuk motivasinya, euthanasia yang
dikehendaki merupakan suatu pembunuhan. Euthanasia
melawan martabat pribadi manusia dan hormat terhadap
Allah yang hidup, Penciptanya. Dalam keadaan yang sudah
sangat sekarat pun tidak dibenarkan menghentikan
perawatan yang biasanya diberikan kepada orang sakit.
BEBERAPA PREMIS PENILAIAN MORAL
ATAS EUTHANASIA
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari
bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah
euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu terkait
dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di
sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari
segi moral kehidupan.
Pandangan mengenai hidup
Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu
sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat
menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas
di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis.
6.15.2 Hidup sebagai anugerah
Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi
perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan,
kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan
menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya
adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau
mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak
berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius dari
Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan.
Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu kontingen,
dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de facto ada
karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia
sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan
Santo Paulus ”Bila kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila
kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup atau
mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 bdk.Fil1:20)“.
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri.
manusia administrator hidup manusia yang harus
mempertahankan hidup itu.
Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak
apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik
hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia
adalah bentuk dari pembunuhan, itu karena euthanasia
mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (assisted
suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana
manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri
yang adalah Tuhan atas kehidupan. Hal ini ditegaskan
Peschke demikian:
“Euthanasia offends against the exclusive right of
disposition by God the Creator over life and death of a
human being; It offends against the good of the society; and
it contradicts the love of self as well as the value of life as
the most fundamental earthly good of man.“
Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup
merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya
menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga
merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti
tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana.
Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada
dalam status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative
Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu.
Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-
haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan
sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah
meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang
bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi
Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi
dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia
dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal
yang mengancamnya. Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan perlindungan atas kehidupan ini:
140
penalaran akal budi tanpa data dari wahyu kristiani. Gereja
Katolik harus mempertimbangkan kematian sebagai sebuah
peristiwa natural. Keterbatasan obat dan kondisi manusia
harus dimengerti dengan baik. Tidak ada harapan bahwa
kehidupan fisik dapat dijaga dengan seluruh biaya yang ada.
Kita berharap bagaimana dalam kondisi serta pemahaman
yang benar, orang dapat menerima kematian dengan ikhlas.
PENUTUP
Sampai saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan
dalam hidup umat manusia. Ada yang bersikap pro dan ada
yang bersikap kontra terhadap euthanasia. Beberapa negara
bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek euthanasia.
Gereja sendiri secara tegas menolaknya dalam berbagai
kesempatan. Ajaran Gereja selalu menolak pelaksanaan
euthanasia. Declaration on Euthanasia (1980),
EnsiklikEvengelium Vitae (1995), dan Katekismus Gereja
Katolik (1997) dengan tegas menolak euthanasia.
Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat
pribadi manusia dan hormat kepada Allah Sang Pemberi
Hidup. Gereja Katolik selalu menekankan kesucian hidup
manusia, penghargaan terhadap martabat pribadi manusia
dan hormat kepada Allah. Euthanasia merupakan kejahatan
melawan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
150
meningkat, maka wajar kita membicarakannya, guna
mencapai kesepakatan yang dapat ditempuh oleh dokter
bersama pasien atau keluarga pasien, sehingga terhindar dari
tuntutan perdata dari anggota masyarakat.
Banyak faktor serta tidak sama untuk setiap daerah /
negara karena tingkat kecerdasan masyarakat itupun berbeda
yang mengakibatkan lahirnya suatu tuntutan perdata
terhadap seorang dokter atau petugas kesehatan lainnya,
yang benar-benar mengobati orang sakit.
Pertama-tama mental attitude sipelayan kesehatan
tersebut, kedua payah dipanggil atau tidak konsultasi,
terutama pada saat-saat pasien kritis, ketiga seakan-akan ada
pakasaan untuk sesuatu, misalnya terpaksa dioperasi,
terpaksa pakai obat ini/itu, dan seterusnya, yang harganya
cukup mahal, keempat mengambil keputusan pada waktu
yang tidak tepat, kelima adalah salah tempat menyampaikan
informasi yang diperlukan, terakhir karena pendapat medis
itu sendiri berbeda-beda tentang tindakan yang harus
dilakukan (diagnosa), sehingga dengan kejadia seperti ini
bagi keluarga sipasien kematian itu benar-benar akibat
kesalahan dokter tersebut.
Bukankah sebenarnya masalah kematian itu diluar
jangkauan ilmu manusia. Dalam rangka penyembuhan inilah
pula kadang-kadang tidak dapat dipisahkan oleh masyarakat
apakah itu penyembuhan atau pembunuhan, sebagaimana
uraian kami terdahulu tentang perkembangan pendapat
pemikiran masyarakat tentang hubungan dokter/pasien
tersebut.
Euthanasia yang tidak langsung cukup banyak terjadi
di masyarakat kita, seperti misalnya seorang pasien yang
menurut informasi dokter adalah penderita kanker
ganas/jahat, maka keluarga si pasien terus meminta pada
dokter agar membawa pasien pulang kerumah dan diobati
dengan obat-obat tradisional sampai akhir hayatnya.
Menurut hemat kami ini adalah salah satu euthanasia yang
tidak langsung (pasif).
PENUTUP
Menurut hemat kami euthanasia secara aktif tidak dapat
dibenarkan, sedangkan euthanasia pasif (secara tidak
langsung), ada kalanya dapat dituntut secara pidana, tetapi
dapat juga terhindar dari tuntutan pidana. Apabila telah
terbukti, dihukum melalui putusan hukum pidana yang telah
berkekuatan tetap baru dapat diajukan tuntutan perdatanya
yakni tuntutan ganti rugi.
Langkah-langkah yang harus diambil untuk
menghindari tuntutan perdata/pidana tersebut yaitu : harus
diciptakan hubungan yang serasi antara si pelayan kesehatan
dengan pasien/keluarga pasien tersebut. Kedua walaupun
keluarga pasien meminta/ pasien akan di bawa ke rumah
misalnya, harus ada pernyataan yang tegas dari keluarga
pasien, dan untuk itu si pelayan kesehatan harus bijaksana
menyampaikan keadaan si pasien baik tentang keadaan
penyakit dan biaya pengobatannya.
BAB. 8
PANDANGAN ISLAM
TERHADAP EUTHANASIA
PENDAHULUAN
Agama Islam memandang manusia sebagai makhluk
yang mulia. Termulia dari seluruh makhluk lainnya, Allah
menciptakan manusia dengan tangan (kekuasaan)-Nya
sendiri, meniupkan roh/jiwa dari-Nya kepada manusia.
Memerintahkan sujud semua Malaikat kepadanya,
memudahkan segala apa yang ada di bumi maupun di langit
kepadanya. Menjadikan manusia sebagai Khalifah-Nya di
Bumi ini.
Agama Islam menjamin hak-hak manusia, diantara hak-
hak yang paling utama yang dijamin oleh Islam adalah hak
hidup, hak pemilihan, hak memelihara kehormatan, hak
kemerdekaan, hak persamaan dan menuntut ilmu
pengetahuan.
Hak-hak tersebut merupakan hak milik manusia secara
mutlak, berdasarkan pandangan dari sisi manusia tanpa
membedakan warna kulit, agama, bangsa, negara, dan
posisinya dalam masyarakat.
Dalam hal ini Allah berfirman disurat Isra’ ayat 70.
Yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan”(Al-Isra’
ayat:70)
Sabda Rasulullah SAW dalam Khutbah Haji Wada’
berpesan:
“Wahai Ummat Manusia, sesungguhnya darah dan
harta benda kamu adalah mulia, sama dengan mulianya hari
dan bulanmu ini, serta negerimu ini. Ingatlah aku telah
menyampaikan : ya Allah! Semoga Engkau saksikan, bahwa
setiap Muslim terhadap muslim lainnya harus menghormati
darah, harta benda, dan kehormatannya masing- masing.
(Fiqh Sunah, Said Sabiq, Juz 10 hal.14)
Diantara hak-hak yang telah disebutkan tadi, adalah hak
hidup. Hak ini, paling penting dan paling perlu mendapatkan
perhatian diantara hak-hak yang lain. Hak hidup, ini adalah
hak suci tidak dibenarkan secara hukum dilanggar
kemuliaanya, dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya.
Al-Qur’an secara tegas melarang membunuh jiwa seseorang
karena jiwa seseorang telah diharamkan Allah
membunuhnya. Seperti pembunuh yang berhak dibunuh.
Disurat Isra’ ayat 33 Allah menjelaskan, yang artinya: “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang
benar”
Adapun yang membolehkan nyawa seseorang
dihilangkan, ialah sebagaimana dijelaskan oleh Rasul SAW
dalam Sabdanya berdasarkan Riwayat Sahabat Abdullah
Ibnu Mas’ud r.a. yang artinya:
“Darah seseorang Muslim yang telah bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan aku (Muhammad)
adalah sebagai Rasul-Nya, tidaklah halal, kecuali
disebabkan oleh salah satu diantara tiga hal, yaitu
orang telah kawin berzina, membunuh seseorang
(tanpa alasan yang dibenarkan syariat islam) dan
orang yang meninggalkan agamanya serta
memisahkan diri dari jama’ah (orang Murtad)”.
Ancaman Allah terhadap pembunuh adalah azab yang
sangat luar biasa dan kekal dalam neraka, sesuai dengan
firman Allah yang artinya:
“Dan barang siapa yang membunuh seseorang
Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah
Neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mngutuknya serta
menyediakan azab yang pedih baginya”(Surat An-
Nisa ayat:93)
Mengingat arti dari ayat tadi, maka Sahabat Ibnu Abbad
mengatakan, bahwa tiada pengampunan bagi orang yang
membunuh orang Mukmin secara sengaja, sebab ayat
tersebut merupakan ayat terakhit turunnya, dan tak ada ayat
lainnya yang menasahkannya. Ditambah pula dengan Sabda
Rasul SAW yang artinya:
“Sesungguhnya kehancuran dunia bukan merupakan
apa-apa disisi Allah dibandingkan dengan
pembunuhan terhadap orang Mukmin tanpa hak”
(Hadits R.Ibnu Hajar)
Lebih tegas lagi Imam At-Turmuziy meriwatkan dari
Abu Sa’id r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Seandainya semua penghuni langit dan bumi saling
bekerja sama dalam membunuh seorang mukmin,
maka pastilah Allah SWT, melemparkan mereka
semua kedalam Neraka”.
Sungguh-sungguh pembunuhan itu sangat dilarang oleh
Allah SWT, dan sebesar apapun keikutsertaan seseorang
dalam pembunuhan mendapat murka Allah dan kerugian
yang sebesar-besarnya. Satu kata saja orang turut dalam
suatu pembunuhan, putus rahmat Allah dari padanya. Hal ini
sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang membantu dalam pembunuhan
terhadap orang Islam dengan sepatah kata saja, kelak
di hari kiamat dituliskan diantara kedua matanya
satu kalimat Orang yang tidak berpengharapan
mendapat Rahmat Allah” (Riwayat Al-Baihaqy dari
Ibnu Umar r.a.).
Pembunuhan itu menghancurkan tata nilai hidup
yang telah dibangun oleh kehendak Allah SWT, dan
merampas hak hidup orang yang menjadi korban. Dalam hal
ini sama saja dilarangnya membunuh baik Muslim maupun
kafir atau membunuh diri sendiri.
Khusus membunuh diri sendiri (bunuh diri) dengan cara
apapun sangat dilarang. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah sangat penyayang terhadap
kamu”. (An-Nisa ayat:29)
Pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, seperti
diriwayatkan oleh Jundab Ibnu Abdillah, Rasul pernah
berkata:
“Pada zaman sebelum kamu terdapat seorang laki-
laki yang terkena luka ditangannya, ia merasa kesal
(karena tidak sembuh-sembuh) lalu ia mengambil
pisau dan memotong tangannya yang terluka itu,
terjadilah perdarahan sampai ia mati, Allah
berfirman: “Hamba-Ku mendahului (takdir) Ku
terhadap dirinya, maka Kuharamkan baginya masuk
syurga (tidak masuk Surga) (Riwayat Imam Bukhari)
(Fiqh Sunnah Said Sabiq, Juz.10 hal.20)
Sebagai penegasan dari Azab di hari akhirat bagi yang
membunuh diri dengan menggunakan alat-alat pembunuh
seperti pisau, pistol, baygon, dan sebagainya, Rasul dalam
sebuah Haditsnya ada menyebutkan:
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan
sesuatu, maka kelak ia akan disiksa di hari kiamat
nanti dengan benda/barang tersebut”
Maksudnya kalua orang itu membunuh dirinya dengan
pisau, maka di Neraka nanti ia terus menusuk dirinya
dengan pisau.
Mengenal Ajal atau Akhir Umur Manusia
Ajal manusia adalah hak mutlak kekuasan Allah.
Allah yang menghidupkan dan Dia pula yang mematikan,
karena itu dalam hal ajal ini campur tangan manusia sangat
dilarang. Usaha-usaha manusia untuk berobat apabila sakit,
memang disuruh, tetapi bukan memperlambat atau
mempercepat ajal. Upaya mempercepat ajal atau
memperlambat mati itu melanggar hak Allah SWT.
Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat
185 yang artinya : “Maka apabila ajal/waktu mati telah tiba,
tidak dapat dipercepat atau diperlambat sesaatpun.”
Disurat Yunus ayat 56, lebih tegas Allah menegaskan:
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada-
Nya kamu semua akan kembali”.
Manusia hanya dapat menyatakan, apabila kedatangan
mati dari salah seorang keluarganya.
“Sesungguhnya kita kepunyaan Allah, dan kita kepada-
Nya akan kembali”.(Surat Al-Baqarah ayat 156). Pernyataan
ini adalah bukti nyata bahwa hamba Allah ini berserah diri
kepada Allah dan menerima ketentuan dan ketetapan dari
Allah SWT secara pasrah.
Euthanasia dan hukumnya menurut pandangan Agama
Islam
Sesuai dengan artinya EUTHANASIA ialah mati
dengan mudah tanpa melewati rasa sakit atau penderitaan
yang berkelanjutan. Dalam Kode-Etik Kedokteran Indonesia
disebutkan bahwa Euthanasia berarti:
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman
tanpa menderita, dan bagi mereka yang beriman
mengucapkan nama Allah.
2. Mengakhiri hidup dengan cara menggunakan obat-
obat penenang, untuk meringankan penderitaan.
3. Sengaja memberikan bantuan kepada penderita
untuk mengakhiri hidupnya, atas permintaan
penderita atau keluarga penderita.
Dari uraian arti Euthanasia, dan uraian dalil-dalil di atas
nampak jelas bahwa dengan dalil apapun seorang dokter
tidak boleh melakukan EUTHANASIA tersebut. Karena
dokter hanya dibolehkan meringankan sakit pada orang
yang hidup. Jadi tidak dibenarkan meringankan sakit dengan
menghantarkan kepada kematian yang tenang dan mudah.
Agama Islam sangat menghargai waktu-waktu terakhir
bagi seseorang yang akan meninggal dunia. Karena waktu
tersebut bisa digunakannya untuk berwashiyat, bertaubat,
berdzikir dan sebagainya. Bahkan apabila pada akhirnya
hayatnya sempat mengucapkan “LA ILAHA ILLALLAH”,
adalah suatu jaminan untuk masuk surga, sesuai dengan
hadits Nabi SAW.
Selanjutnya pula penderitaan yang dialami si
penderita sakit walaupun lama waktunya, itu bisa
sebagai pengampunan dosanya, sehingga ketika ia
meninggal dunia ia telah bersih dari dosa dan
kesalahan. Ia kembali kepada Allah SWT, dalam
keadaan suci bersih dan diridhai Allah SWT.
Oleh karena itu, segala upaya yang menyebabkan
terjadinya kematian dilarang oleh Agama Islam dan
pelakunya dikenai dosa besar. Walaupun sekedar
saran/pendapat untuk menganjurkan atau mengizinkan
dilakukannya Euthanasia. Di dalam Islam tidak saja
mengupayakan mati dilarang, tetapi mendo’a minta
dimatikan dilarang pula, bahkan mencita-cita mati pun tidak
dibolehkan atau makruh hukumnya. Ada sebuah Sabda
Rasul mengatakan yang artinya:
“Jangan kamu meminta mati karena sesuatu
kesulitan yang menimpamu, kalau hendak mendo’a,
doa’kan “Ya Allah hidupkan aku jika hidup ini baik
untukku dan wafatkan aku jika wafat itu baik
untukku”.(Riwayat Jama’ah dari Anas)
160
Adapun minta dimudahkan menghadapi Sakaratul maut
itu dibenarkan, dengan harapan ketika akan mati
dimudahkan oleh Allah SWT, seperti do’a: “Ya Allah
mudahkan kami dalam menghadapi Sakaratul maut”, dan
sebagainya
PENUTUP
Dari seluruh uraian diatas , maka dapat disimpulkan
beberapa hal penting terkait dengan Euthanasia , yaitu :
1. Mati sepenuhnya dalam urusan Tuhan, dan tidak perlu
campur tangan manusia. Manusia tidak tahu secara pasti
kapan ia mati, dan kapan waktu mati itu tiba.
2. Melakukan Euthanasia dengan sengaja dengan alasan
apapun dilarang oleh Agama Islam, dan Haram
Hukumnya, karena Euthanasia itu apabila dilakukan
menyebabkan seseorang mati.
3. Membunuh dengan sengaja terhadap seseorang tanpa
yang dibenarkan oleh Syara’, adalah delik Hukum dan
mendapat laknat Allah dan Azab Neraka di Akhirat
kelak.
4. Bunuh diri adalah sikap seseorang yang ingin
mendahului ketentuan Allah, oleh karenanya Allah
sangat murka terhadap perbuatan orang yang bunuh diri,
dan menghukumnya dengan siksaan yang berat, sesuai
dengan alat yang digunakan di dunia.
5. Waktu terakhir bagi seseorang yang akan mati, adalah
waktu yang sangat berharga untuk mengejar
kekurangannya selama hidupnya, dengan berwashiyat,
bertaubat, berdzikir dan sebagainya.
BAB. 9
EUTHANASIA
DIPANDANG DARI SUDUT
AGAMA KRISTEN PROTESTAN
PENDAHULUAN
Dengan kemajuan ilmu kedokteran yang pesat, masalah
euthanasia makin timbul ke permukaan untuk ditinjau dari
sebanyak mungkin segi : segi medis, hukum, psikologi,
sosiolosi dan agama. Nampaknya masalah ini lebih banyak
mendapat perhatian di dunia barat karena seringnya terjadi
euthanasia aktif, namun melihat faktor saling mempengaruhi
di dunia ilmu sebagaimana juga di dunia budaya, maka ada
baiknya kita memberi perhatian juga.
Adalah waiar apabila timbul perbedaan-perbedaan
pendapat karena tiap bidang ilmu memandang masalah itu
dalam keterbatasannya masing-masing Semua ilmu berhak
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan, tetapi batasan-batasan yang ada tidak
mengizinkan ilmu pengetahuan meneliti dan membicarakan
arti hidup dan maut. Nampaknya masalah arti hidup dan
maut berada di bidang Filsafat dan Agama. Namun
pendirian filosofis dan theologis yang formal tidak dapat
menjamin adanya kesamaan pendapat mengenai euthanasia,
karena pandangan pribadi yang subyektif juga memainkan
peranan. Dalam hal inilah kelihatan manfaat dari pertemuan-
pertemuan dialog dan diskusi untuk mencapai sikap "saling
mengerti" sebagai tujuan minimal.
Pengertian Euthanasia.
lstilah itu berasal dari bahasa Yunani, ”eu" (bagus) dan
"thanatos" (maut); maka ”euthanasia” secara istilah berarti
"maut/kematian yang indah". Kata ini dipilih untuk
menyatakan adanya kematian yang dibuat gampang ("easy
death") atau kematian yang tidak usah ditakuti karena
senang memasukinya : senang karena pertolongan
menghabisi penderitaan. Dipandang dari sudut ini, kematian
yang demikian memang "indah"; makanya dipilih kata
"eu”.
Pengertian itu berlawanan dengan sikap umum terhadap
kematian, yaitu sikap takut. Manusia dengan segala usaha
menghindarkan atau menolak kematian karena dianggap
tldak wajar, bahkan dianggap sebagai "musuh terbesar" atau
”musuh terakhir". Euthanasia adalah usaha dengan sengaja
mengundang maut dengan satu maksud yaitu mengakhiri
penderitaan secara medis.
170
Dalam kesengsaraan, Tuhan Allah juga bicara
kepada manusia untuk meningkatkan kedewasaan
kerohaniannya. Walaupun sebahagian manusia menolak
Anugerah itu dan memilih sikap putus asa, sebahagian besar
dalam kesengsaraannya beroleh telinga yang makin
dipertajam dan benar-benar menerima pengarahan sorgawi
dan makin mengerti akan arti hidup dan tujuannya, hal yang
menyanggupkan dia tabah dalam arli yang sebenarnya
Betapa benar bahwa kesengsaraan menunjukkan kedalaman
dimensi kehidupan.
5. Pengertian Kehidupan.
Euthanasia dipermasalahkan karena kaitannya dengan
pengertian kehidupan. Namun kehidupan demikian luas
cakupan dan artinya, sehingga pembicaraan harus dibatasi
pada pokok-pokok yang langsung berkaitan dengan judul.
Maka secara ringkas kita membicarakan Pencipta
kehidupan, Pemilik kehidupan dan Tujuan hidup.
Menurut Iman Kristen timbulnya kehidupan bukan
atas dasar kebetulan dan bukan karena hukum evolusi dalam
alam. Tuhan Allah sendiri yang adalah Chalik langit dan
bumi dengan segala isinya. Dialah yang menciptakan
kehidupan. ini berarti bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan
Allah. Keyakinan akan pernyataan demikian penentuan
RahmatNya, bukan oleh kemauan sendiri atau penentuan
orang lain, bahwa kehidupan harus diarahkan kepada
Penciptanya, dan membiarkan Dia Yang Mahakuasa
menentukan inti dan sifat kehidupan seseorang dan
menentukan saat berakhirnya kehidupan. Walau
bagaimanapun isi dan sifat kehidupan, penuh kebahagiaan
atau penuh penderitaan, kehidupan itu tetap mulia karena
bersumber dari Dia Yang Maha Mulia.
Selanjutnya kehidupan adalah milik Allah, bukan
milik manusia atau roh-roh lain. Hanya Tuhan Allah yang
berhak atas kehidupan dan menentukan arahnya. Manusia
hanya dapat membuat rencana. Dia melindungi dan
menyelamatkan milikNya, maka manusia dari pihaknya
harus menghormati dan memelihara nilik Tuhan Allah yang
ada dalam dirinya. Tidak ada pengalaman manusia, yang
pahit dan yang manis, dapat meniadakan pemilikan Tuhan
Allah atas kehidupan. Banyak hal yang tidak kita mengerti
dalam kehidupan, umpamanya adanya kesengsaraan dan
kegagalan, hal-hal yang dimengerti hanya oleh Pemiliknya.
Maka manusia harus tabah dalam imannya karena penentu
dalam ke hidupan hanyalah Pemiliknya.
Maka membunuh orang, dengan cara yang mulia atau
hina, untuk beroleh "easy death” atau "mercy death” atau
dengan pelaksanaan "mercy killing” berarti merampas dan
merusak milik Tuhan Allah. '
Keyakinan ini tentu boleh ditantang dengan
pertanyaan, "Bukankah Tuhan Allah dapat memperalat
manusia dalam melaksanakan kehendaknya : Bukankah
dalam euthanasia Tuhan Allah memperalat dokter
mengakhiri hidup si penderita ?”. Jawab Iman Kristen
sederhana saja namun tegas : Benar bahwa dalam
melaksanakan kehendaknya, Tuhan Allah sering
memperalat manusia. Namun dalam hal mengakhiri
kehidupan dengan sengaja, apakah dasar si dokter
mengatakan bahwa itu merupakan kehendak Tuhan Allah?
Rasa kasihan di pihak manusia dalam hal ini tidak selalu
identik dengan kehendak Tuhan Allah; pertimbangan
psikologis akan diri si pasien yang menderita, bukan
menjadi petunjuk mengenal kehendak Tuhan Allah.
Mengenai hidup dan mati, kita mengenal kehendak Tuhan
Allah hanya berdasarkan pernyataannya dalam Kitab Suci
yang mematokkan norma-norma yang kita sebut "norma
keagamaan", dan norma itu tidak pernah mengizinkan
pembunuhan.
Pokok pembicaraan kita dapat juga didekati dari lesi
"tujuan hidup". Merumuskan tujuan hidup termasuk
pekerjaan ratio yang sangat sukar karena dengan
pertimbangan rasional saja tujuan itu tidak menampakkan
diri. Rumusan yang berbeda-beda membuktikan hal itu.
Apabila tujuan hidup diartikan sebagai kebahagiaan, maka
manusia yang tidak bahaya. terlebih-lebih yang menderita,
akan dianggap sebagai manusia yang gagal dan wajar
mendapat perlakuan tertentu seperti yang pernah
direncanakan Hitler terhadap orang-orang yang hidupnya
dianggap tidak berarti. Lagi pula pengertian bahagia sangat
subyektif dan relatif.
Agama Kristen Protestan mengajarkan bahwa Tuhan
Allah yang adalah Pemilik Kehidupan. Dialah yang
menentukan tujuan hidup manusia. Dalam
KemahabijaksanaanNya‘ Dia memberikan juga kebebasan
kepada manusia untuk mengatur kehidupannya, namun
kebebasan oti adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Manusia terikat kepada tanggung jawab untuk berada terus
dalam hubungan dengan Alkhaliknya, untuk melaksanakan
kehendak dari Pemiliknya selagl bernafas dan kembali
kepada Yang Maha Kuasa pada akhir khayatnya di atas
bumi. Inilah tujuan yang asli dan proses itu disebut juga
”memuliakan Tuhan". Dengan perkataan lain memuliakan
Tuhan Allah berarti menyerahkan kepada Pemilik hidup itu
untuk menentukan tujuan hidup. Maka tujuan itu tidak
identik dengan tujuan yang dipatokkan manusia. Manusia
menyangka bahwa kehidupan yang tidak bernilai (menurut
pendapatnya) adalah manusia yang gagal mencapai tujuan
hidup; umpamanya manusia yang irnbesil, moron. orang
gila dan manusia yang penyakitnya tidak dapat
disembuhkan lagi. Mereka merasa bahwa adanya kehidupan
yang demikian tidak layak diatas bumi. Demikianlah selalu
apabila tujuan hidup dipisahkan dan pengertian "Kehidupan
adalah milik Tuhan Allah" dan dari pengertian
"Tujuan hidup ditentukan oleh Pemiliknya sendiri".
PENUTUP
PENDAHULUAN
Dalam bagian pertama kami akan membatasi,
memberi keterangan mengenai Euthanasia. Hal ini kami
anggap perlu untuk menghindari percabangan pengertian;
tak jarang untuk istilah yang sama diberi isi yang berbeda.
Dalam bagian ke dua kami akan menyoroti pokok ini dari
segi Theologia Moral dengan memakai ajaran resmi Gereja
Katolik dan refleksi theologis atasnya.
Apa itu 'euthanasia'?
Kata ’euthanasia’ berasal dari bahasa Junani: eu =
baik, thanatos = kemampuan; eutanateo = menjalani
kematian yang layak. Eutanathos (kata sifatnya) = mati
dengan mudah, tenang, bahagia. Pada tulisan-tulisan kuno
seperti Possidippos, sekitar tahun 300 sebelum Masehi,
Philo, ’de scrificiis Abeli et caini', Suetonius, yang
memberikan kematian Agustus ’Divus Agustus 99’ jelas
sekali bahwa euthanasia dimengerti sebagai kematian biasa,
layak, wajar, tenang.
Perkembangan kemudian
Aliran Stoa, misalnya, Seneca mengajarkan bahwa lebih
baik mati dari pada sengsara, merana. Di zaman
'renaisaance' muncul gagasan 'euthanasia medica': dokter
hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan saja untuk
menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan
penderitaan menjelang mati. (Francis Bacon dalam ' 'Nova
Atlantis”). Thomas Morus dalam ; The Best Form of
Government and the New Island of Utopia, tahun 1516,
menguraikan gagasan mengakhiri kehidupan yang penuh
sengsara secara bebas dengan berhenti makan atau dengan
racun yang membiuskan. '
Pada abad XIX - XX muncul diskusi hebat sekitar
’euthanasia’ baik antara para pakar hukum dan ilmu
kedokteran. David Hume menggugat argumentasi
tradisional mengenai larangan bunuh diri (Essays on the
suicide and the immortality of the soul, London 1785); F.
Paulsen, A Jost mulai bicara mengenai hak atas kematian
(Das Recht auf den Tod. Sociale Studie. Gottingen 1895).
Pendapat-pendapat sejenis mendapat angin kuat pada
zaman Nazi dan dilaksanakan dengan sebutan ”Aktion T 4"
dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani
Hitler. Kurbannya 70.000 orang cacat dan sakit jiwa.
Demikian istilah euthanasia mendapat nama yang
buruk. Dalam proses Nurenberg 1946 (pengadilan penjahat
perang) istilah euthanasia masih dipakai dalam arti
perbuatan kriminal para dokter Nazi: pembunuhan manusia
yang dianggap tidak berguna.
Dewasa ini diskusi mengenai euthanasia mempunyai
konteks lain, sehingga pengertian dan persoalan juga
menjadi lain.
Pengertian euthanasia dan bentuk-bentuknya
Dari sejarah dapat disimpulkan bahwa istilah euthanasia
dipakai dalam pelbagai arti dan kemajuan ilmu kedokteran
yang sangat pesat akhir-akhir ini telah mengubah persoalan
sekitar euthanasia, pun diperdebatkan sampai mana
jangkauan lingkup pengertian euthanasia. Disamping itu
masih ada sebutan-sebutan yang ditambahkan kepadanya
seperti: euthanasia aktif dan pasif, direk dan indirek. Juga
istilah-istilah ini seringkali tidak dipakai dengan tepat dan
dengan pengertian yang sama maka sering membingungkan.
Maka ada gunanya kami menjelaskan apa yang kami
maksudkan dengan euthanasia dalam tulisan ini terutama
dengan menjelaskan muatannya.
Menurut ”Declaratio de euthanasia” SC pro Doctrina
Fidei, Roma 5.5. 1980:
Dalam dokumen Gereja ini terdapat empat muatan
istilah euthanasia:
1) Arti etimologis/asli: kematian tenang tanpa campur
tangan dokter;
2) Campur tangan medis untuk meringankan
penderitaan juga dengan bahaya memperpendek
hidup;
3) Dalam arti lebih sempit: mematikan karena
belaskasihan, entah untuk mengurangi penderitaan,
entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa,
atau sakit tak tersembuhkan, agar janganlah hidup
tak bahagia diperpanjang, menjadi beban bagi
keluarga dan masyarakat;
4) Tindakan atau pantang tindakan (tidak membuat
sesuatu) yang objektif (menurut struktur perbuatan)
atau subjektif (menurut maksud) membawa kematian
untuk mengakhiri penderitaan.
Dalam dokumen yang sama langsung dinyatakan bahwa
muatan pengertian (ad 3) diatas harus dikecualikan dari
muatan pengertian euthanasia. Hal ini dipertegas lagi dalam
dokumen ”Pontificium Concilium Cor Unum” Questions of
Ethics regarding the Fatally ill and the Dying, Vatican 1981.
: Sampai sekarang belum ada definisi euthanasia yang
diakui oleh semua pihak terutama antara para ahli hukum
dan kedokteran dan ahli moral.
Isi/muatan/konteks euthanasia
Euthanasia biasanya dikaitkan dengan unsur bantuan :
euthanasia adalah bantuan bagi orang yang diperkirakan
dengan pasti meninggal dalam waktu dekat karena berada
dalam proses kematian yang Irreversible, agar dapat
meninggal selaras dengan martabat manusia. Memang bisa
diperdebatkan apa artinya meninggal sesuai dengan
martabat manusia. Martabat manusia tidak dipandang dari
segi kegunaannya bagi masyarakat. Martabatnya berasal dan
bersumber dari Allah sendiri (citra Allah), maka ia selalu
harus diperlakukan sebagai pribadi manusia yang bebas,
maka kehendaknya perlu diperhatikan sedapat-dapatnya,
demikian juga kebutuhan-kebutuhannya sebagai pribadi
manusia. Kepadanya harus diberi kesempatannya sebagai
pribadi manusia. Kepadanya harus diberi kesempatan dan
dibantu untuk mengolah dan menjalani proses meninggal
dunia secara personal juga. Maka penderitaannya sedapat
mungkin diringankan juga.
Manusia dalam proses kematian irreversible
Dokter (team dokter) lah yang berwewenang menilai
keadaannya, biasanya dipakai istilah 'terminally ill’ atau
karena kecelakaan sudah tiada harapan lagi atau sudah tiba
saatnya. Proses kematian bisa berjam-jam, berhari-hari,
180
berbulan-bulan. Bila orang itu memasuki tahap akut yang
tampak dari pelbagai tanda klinis disebut 'moribundus'.
Bantuan dalam arti luas dan menyeluruh: mendampingi
pasien sedemikian rupa sehingga ia mampu menjalani tahap
terakhir hidupnya secara manusiawi/personal, a.l.:
Perawatan medis, mental dan spiritual (kerohanian).
Diperdebatkan apakah hanya diperbolehkan bantuan . dalam
proses kematian atau bantuan untuk mati (dalam yang kedua
termasuk menolong/mempercepat kematian)?
Bentuk-bentuk bantuan
Aktif dengan tindakan, memakai sarana (mis.
injeksi)
Pasif, tidak memakai sarana (terapi) atau
menghentikannya
Direk, menghendaki akibat buruk, yakni
perpendekan hidup,
Indirek, menghendaki pengurangan penderitaan,
sedangkan perpendekan hidup hanya effek
sampingan. Istilah-istilah ini mungkin
membingungkan. tapi maksudnya sederhana:
1. Membantu orang dalam proses kematian dengan
memperpendek hidupnya dengan sengaja (aktif
dan direk, mercy killing)
2. Mengurangi penderitaan orang yang sedang
menjalani proses kematian, tapi sebagai effek
sampingan terapi itu, orang itu lebih cepat
meninggal (aktif-indirek)
3. Membantu orang dalam proses kematian dengan
membiarkannya meninggal (allowing him to die)
dengan tidak memakai sarana untuk
memperpanjang hidupnya(life support system).
Sarana itu bisa yang biasa (misalnya tabung
oxigen) dan luar biasa (macam –macam
alat/mesin bantu modern).
Tinjauan Moral atas euthanasia
Yang menjadi masalah utama ialah : Sejauh mana
manusia berhak dan boleh bebuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu yang mengakibatkan kematian ‘sebelum saatnya’?
Ada orang mendekati soal ini dari segi kewajiban: Sejauh
mana manusia wajib memperpanjang hidupnya/orang lain
dan dengan sarana/sarana mana saja (biasa atau luar
biasa?).
Hak atas kematian
Kita hendak membahas pertama-tama tentang
wewenang/ kuasa manusia atas hidupnya, terutama hak atas
kematian. Meskipun soal ini langsung menyangkut segi
hukum namun disini hendak didekati dari segi moralnya.
Apakah dimaksud dengan hak atas kematian atau hak untuk
mati (right to die)? Gagasan ini muncul dan berkembang
dikalangan penganut humanisme sekular Inggris dan
Amerika.
Gagasan ini rupanya pertama kali muncul tahun 1885
dengan terbitanya buku T.O.Bonser, The Right to Die,
dimana diuraikan: hak atas kematian (euthanasia) sukarela,
hak atas kematian eugenic (tidak sukarela, pasien tidak
dapat menyatakan persetujuannya dan tidak ‘fit’ untuk
hidup), hak atas bunuh diri. Di kalangan Amerika
berkembang 'basic right to refuse treatment/ hak dasar untuk
menolak pengobatan” karena alasan pribadi (rellgius ) Dan
lain-lain dan ' the right too refuse death-prolonging
treatment / hak juga menolak pengobatan untuk mati'; yang
sudah mulai dan berlangsung, agar dihentikan atas
permintaan pasien / keluarganya.
Hak untuk boleh meninggal sesuai dengan martabat
manusia
Meninggal dapat dipandang sebagai tugas besar
terakhir dalam hidup Seseorang, menjalani secara aktif dan
personal situasi kebebasan terakhir di dunia ini untuk
mengambil keputusan mendekatkan diri pada Tuhannya.
Maka bila saatnya tiba, manusia mempunyai hak untuk
meninggal dan menolak untuk "dipaksa". Dengan sarana-
sarana yang luar biasa atau non proporsional untuk
memperpanjang hibupnya secara biologis dengan disertai
keadaan atau gejala yang tidak sesuai dengan martabat
manusia sebisa-bisanya menyelesaikan hidupnya dengan
sadar. Memang terkadang ada dilemma: kalau penderitaan
dikurangi dengan obat, kesadaran juga berkurang!
Wewenang manusia atas hidup dan mati, bila saatnya
tiba,
Sebagai orang beragama kita harus mendasarkan
larangan mematikan pada kuasa mutlak Allah atas hidup dan
mati, sehingga kuasa manusia dalam hal ini menjadi sangat
terbatas. Tuhanlah menganugerahkan kehidupan yang
terbatas pada manusia. Tuhan sendiri menentukan batas
kehidupan di dunia yaitu kematian. Sadar akan keterbatasan
hidup maka hidup juga nilainya terbatas, maka tak perlu
dipertahankan ' at any price/apapun harga'. Maka juga tak
ada kewajiban mempertahankan hidup dengan biaya di luar
kemampuan! Biaya perawatan intensif umumnya tidak
tertanggungkan orang biasa (umum) tanpa mengorbankan
miliknya yang justru menjadi topangan/modal/sumber hidup
keluarga yang ditinggalkan (rumah, tanah, hutang besar dll).
Orang hanya wajib mempertahankan (mengobati) dirinya
dengan sarana biasa yang terbatas olehnya (keluarganya).
Penilaian atas beberapa bentuk euthanasia
Dari prinsip-prinsi yang disebutkan atas sebagai
gagasan pokok dapat diambil pedoman untuk menilai
bentuk-bentuk bantuan bagi orang sakit terminal pria dan /
atau euthanasia:
a. Eutahanasia direk terhadap orang yang tidak berada
dalam proses meninggal, melainkan yang hidupnya
dianggap tidak bernilai: orang cacat entah fisik atau mental,
orang jompo dan lain-lain. Baik secara aktif dengan
tindakan mematikan maupun secara pasif dengan
membiarkan mati, tidak dapat dibenarkan dengan alasan:
dalam hal ini berlaku larangan membunuh, Manusia tidak
dinilai dari gunanya; Kita menolak ideologi non religius
seperti utilitarisme-matealisme.
b. Euthanasia direk terhadap orang yang berada dalam
proses meninggal; "Direk" yang berarti dituju ialah
kematian itu sendiri, jadi maksudnya memang mengakhiri
hidup. Euthanasia dalam arti ini dalam bahasa inggris
disebut: Mercy killing ".Jerman "Gnadentod " "Totung auf
Verlangen". Gereja Katolik tidak dapat membenarkan
tindakan diatas. Bdk Amanat Pius XII, 11 September 1947
dan diulangi dalam banyak kesempatan lain," Gaudium et
Spes " no. 27. Declaratio de euthanasia SC pro Doc trina
Fidei, 5 Mei 1980 menegaskan : tak seorangpun dan tak
sesuatupun dapat dengan cara apapun memberikan ijin
untuk mematikan manusia yang tak bersalah entah itu fetus
atau embrio, anak atau dewasa atau lanjut usia, entah
terkena Penyakit yang tak tersembuhkan, entah berada
dalam sakratul maut. Selain itu tak seorangpun boleh minta
tindakan yang mematikan itu untuk dirinya sendiri atau
untuk orang lain yang dipercayakan kepada
tanggungjawabnya, dan ia bahkan tak boleh menyetujuinya
secara eksplisit atau implisit. Dan tak ada suatu otoritaspun
yang dapat secara syah memerintahkan atau
mengijinkannya. Sebab hal itu merupakan pelanggaran
hukum illah, pemerkosaan terhadap martabat pribadi
manusia, kejahatan melawan hidup, kedurhakaan terhadap
umat manusia ".
c. Euthanasia indirek aktif
Tujuan ialah mengurangi penderitaan tapi sebagai
efek samping bisa jadi umur orang diperpendek.
Berdasarkan prinsip perbuatan dengan akibat ganda hal ini
dibenarkan oleh Paus Pius XII, dalam amanatnya 12
Pebruari 1957 Bila antara narkose dan perpendekan hidup
tiada jalur kausal direk…dan bila pemberian narkotika
membawa diri sendirinya akibat yang berbeda, di satu pihak
peringanan penderitaan, dan di pihak lain Perpendekan
hidup, maka halal.
d. Euthanasia indirek pasif
Bolehkah membiarkan orang mati (allowing to
die/memungkinkan untuk mati) Jawaban atas soal ini
menyangkut kewajiban mempergunakan sarana yang dapat
menyelamatkan kehidupan atau hak untuk tidak
mempergunakan sarana sarana tertentu dalam keadaan
tertentu. Umumnya dikatakan orang hanya wajib memakai
sarana biasa yang dapat dibayar. Apa yang dianggap sarana
biasa berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi orang
yang bersangkutan dan perkembangan ilmu kedokteran.
Dalam menghadapi kasus-kasus kongkrit sering kali
sulit menerapkan prinsip ini. Baik dilihat dari segi pasien
sendiri; kemauannya untuk hidup, biaya pengobatan dan
peran / tanggungjawabnya/jabatannya dalam masyarakat
semuanya harus menjadi bahan pertimbangan. Dari segi
dokter yang merawat: harapan akan bisa disembuhkan,
risiko kegagalan, dll. Sering juga kurang jelas. Yang jelas
bahwa biaya akan meninggi. Maka dalam kasus kongkrit
seringkali keputusan harus diambil berdasarkan penilaian
hati nurani orang sakit atau mereka yang secara syah
mewakilinya bersama para dokter.
Sering sulit sekali menentukan kapan harus berhenti
alat-alat bantu untuk memperpanjang kehidupan. Dalam hal
ini hendaknya diperhatikan keinginan wajar orang yang
sakit dan keluarganya, pendapat para dokter yang sungguh
ahli: mereka inilah mempertimbangkan selayaknya, apakah
pengerahan sarana-sarana untuk itu sesuai hasil yang
dinantikan, dan apakah bantuan medis yang diberikan
member hasil yang dinantikan, dan apakah bantuan medis
yang diberikan lebih memberatkan beban/memperpanjang
penderitaan orang sakit daripada bermanfaat
Namun selalu boleh puas dengan sarana-sarana biasa
yang bisa disediakan oleh ilmu kedokteran dan dapat
dibayar. Penolakan memakai sarana luar biasa yang mahal
tidak boleh disamakan dengan bunuh diri apalagi
pembunuhan; Lebh dapat dipandang sebagai penerimaan
biasa keadaan manusia; Tidak dapat memberi beban yang
terlalu berat kepada keluarga atau masyarakat.
Bila kematian mendekat dan tidak bisa dicegat
dengan pemakain sarana apapun, maka orang boleh
mengambil keputusan dalam hati nurani untuk menolak
terapi yang hanya bisa membawa perpanjangan hidup
sedikit dan penuh penderitaan. Tapi janganlah
menghentikan perawatan biasa yang harus diberikan kepada
orang-orang sakit dalam kasus-kasus serupa. Bila demikian
maka tak ada alasan bagi dokter atau famili untuk cemas,
seolah-olah menolak memberikan bantuan kepada orang
yang berada dalam bahaya.
PENUTUP
Gereja Katolik, seperti dijelaskan dalam Declaratio de
Euthanasia yang dikeluarkan di Vatikan tg1 5-5- 1980
menyatakan bahwa:
1. Tak pernah dapat dibenarkan euthanasia
langsung/directa untuk orang yang tidak berada
dalam proses meninggal tapi karna hidupnya
dianggap tidak bernilai /tidak berguna .seperti cacat
fisik dan mental,orang tua Jompo dll
2. Juga tidak bisa dibenarkan euthanania directa
terhadap orang yang berada dalam proses meninggal.
Kematian Pasien tak bisa dijadikan tujuan nuatu
tindakan
3. Dapat diterima euthanasia indirecta activa dalam arti
yang dikehendaki ialah pengurangan penderitaan
tapi tindakan itu membawa effek sampingnya
perpendekan hidup.
4. Dapat dibenarkan euthanasia indirecta passive dalam
arti terhadap seorang yang dalam proses meninggal
(irreversible ill/tidak masuk akal sakit) tidak diberi
terapi istimewa atau menghentikan terapi istimewa
dan membiarkan (allowing to die/ membiarkan mati)
pasien mati dengan wajar.
Gereja katolik sangat menganjurkan Pastoral atau
Pendampingan bagi orang yang sedang dalam proses
meninggal. Pendampingan ini hendaknya dilaksanakan
bersama-sama oleh tenaga medis / para medis, keluarga /
sanak saudara, rohaniwan. Tujuan pendampingan ini adalah
menciptakan suasana hangat dan penuh kepercayaan, yang
menghalau kesepian dan ketakutan . Suasana yang demikian
bisa menolong si pasien untuk mengolah proses kematian
sampai ia menerima kenyataan itu. Untuk itu dapat berguna
hasil penelitian E.Kubler-Ross, on Death and Dying,
London Mac illan Corp., 1969
BAB 11
PANDANGAN SUDUT AGAMA
BUDDHA TERHADAP EUTHANASIA
PENDAHULUAN
Mengingat akan kemajuan pesat teknologi dewasa
ini, saya menganggap Temu Ilmiah yang diadakan
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia wilayah
Sumatera Utara ini sangat besar manfaatnya untuk
mendapatkan dan mengambil suatu rumusan / kesimpulan
atau kesepakatan bersama dalam membahas suatu masalah
yang sedang dihadapi, khususnya dalam hal ini masalah
Euthanasia.
Kita sangat mengharapkan, hasil dari pertemuan
ilmiah ini akan dapat merupakan suatu masukan yang sangat
berharga dan bermanfaat guna mengambil suatu kesimpulan
dan merupakan suatu pegangan bagi semua pihak yang
terkait dalam hal ini pihak Kedokteran, pihak Hukum, pihak
masyarakat dan juga pihak Agama.
Masalah Euthanasia ini adalah masalah yang harus
benar-benar dibahas dan dijalankan secara hati-hati, oleh
karena masalah ini merupakan masalah jiwa dan kehidupan
seorang, oleh karena masalah ini, merupakan suatu
kewajiban kita bersama untuk lebih waspada dalam
penyelesaian dan mengatasi Masalah Euthanasia ini.
190
PANDANGAN SUDUT AGAMA BUDDHA
TENTANG EUTHANASIA
Sebelum menguraikan masalah tensebut di atas, ada
baiknya saya uraikan lebih dulu tentang masalah-masalah
kelahiran, kehidupan dan kematian.
1. Menurut psikologi dan falsafah agama Buddha seorang
makhluk hidup (manusia) itu tidak hanya dilahirkan,
hidup dan mati sekali saja, akan tetapi berulang kali.
Hal ini ditegaskan menurut Hukum Tumimbal Lahir
Agama Budha. Pandangan agama Buddha menyatakan
bahwa lahir, hidup dan mati merupakan suatu aspek
falsafah yang relatip.
2. Hukum Punarbhava berdasarkan Karma / perbuatan
makhluk manusia individu selama hidup. Karma dalam
arti umum mencakup semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan baik dan buruk lahir atau batin. Sang
Buddha pernah bersabda:
"Sesuai dengan benih yang telah ditabur
Demikianlah buah yang akan dipetiknya
Perbuatan kebaikan akan peroleh kebaikan
Perbuatan kejahatan akan membuahkan kejahatan
pula"
Menurut Kitab suci Samyutta Nikaya 1: 227
Kehidupan berdasarkan Kerohanian menurut ajaran Sang
Buddha yaitu Ketuhanan yang berarti pula suatu Way of
life, yang digariskan sang Buddha dalam kitab suci
Dhamma pada ayat 183 yang berbunyi:
"Sabba papassa akaranam
Kusalassa upasampada
Sacitta pariyo dapanam
Etam Buddhana sasanam"
Artinya: “Janganlah berbuat kejahatan
Pupuklah kebajikan
Sucikanlah hati dan pikiran
Inilah ajaran semua Buddha "
3. Hukum Tumimbal Lahir atau Hukum Kelahiran
Kembali
Makhluk manusia dilahirkan kembali disebabkan ia
masih terikat dengan Bhavatanha atau keinginan untuk
dilahrkan kembali. Hanya orang yang telah mencapai
tingkat kesucian Arahat yang tidak akan dilahirkan
kembali disebabkan ia telah membebaskan diri dari
kelahiran dan kematian,
200
HAKIKAT KEHIDUPAN DAN KEMATIAN
Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan yang
paling sempurna di dunia ini la bukanlah merupakan rakitan
zat (unsur alam) yang menyatu sebagai hasil proses biologis
semata-mata, melainkan sesuatu wujud yang dirancang
dengan sempurna (Nar Narayani) yang penuh misteri,
memiliki inti hidup yang bersifat transcendental.
Manurut Agama Hindu Sanghyang Widhi Wasa
sebagai segala ciptaan ( Maha Purusa)menciptakan benih
alam yang disebut Pradana.
Melalui hukumnya yang absolut transcendental
(Rita) benih alam itu berevolusi, kemudian memunculkan
benda-benda alam. Benih alam itu adalah Panca Tanmatra
yaitu lima benih unsur energy yang terdiri dari ether, sinar,
hawa, zat cair dan zat padat. Melalui evolusi di bawah
pengaruh Rita maka Panca Tanmatra berubah menjadi atom-
atom yang disebut Panca Mahabhuta yaitu ether (akasa),
Sinar (Teja), hawa (Bayu), zat cair (Apah), dan zat padat
(Prthiwi). Kemudian dari Maha Purusa keluar pula secara
evolusi alam pikiran dan perasaan yang disebut Citta, terdiri
dari Buddhi(alat pikir untuk mengetahui dan rnenentukan
seauaru), manah ( akal dan perasaan), Ahamkara (alat
penyadar yang mengakibatkan rasa bertindak) Selanjutnya
Sanghyang Widhi Wasa mernancarkan inti/sumber hidup
yaitu Atman yang bersifat kekal, tak terlahirkan, tak
termusnahkan maka terciptalah makhluk hidup termasuk
manusia, yang dapat bergerak, berfikir, dan merasakan.
Dernikiankah disebutkan didalam Weda maupun
Brahmanda Purana.
Ditinjau dari sudut psiko-pisiologi menurut Agama
Hindu manusia terdiri dari dua aspek yaitu aspek Purusa
yang bersifat lenggeng dan aspek Pradana yang mempunyai
sifat berubah, is terdiri dart tiga lapis yaitu badan kasar
(Sthula Sarira), badan halus (Suksma Sarira)dan badan
penyebab hidup (Anta Karana Sarira). Ketiga lapis itu
disebut Tri Sarira yang dipengaruhi oleh Trl Guru (Tiga
pengaruh sifat) yaitu sifatTamas membawa pengaruh gerak
kerja yang lamban, berat, rnalas, kurang puasdan
sebagainya, Sifat Rajas membawapengaruh gerak kerja
keinginanmenggelora,gelisah dan sebagainya, sedangkan
Sifat Satwam membawa pengarut, gerak kerjas ya tenang,
sabar, adil, disiplin, bijaksana dan sebagainya.
Manusia sebagai mahkluk sempurna disamping
memiliki unsur PancaTanmatra,Panca Mahabhuta dan Citta,
juga memiliki sepuluh saluran/jalan bagi sinar kekuatan
Atma/Jiwa yang disebut Dasa Golakatma yang
menyebabkan sepuluh indria dapat bekerja. Kesepuluh
indria itu disebut Dasendria yang terdiri dari Panca
Buddhindria dan Panca Karmendria.
a) Panca Biddhindria yaitu :
1) Caksuindria adalah indria yang menilai balk
buruknya rupa melalui rnata.
2) Srotendria adalah indria yang menilai balk buruknya
suara melalui telinga;
3) Bhranendria adalah indria yang menilai balk
buruknya bau melalui hidung;
4) Jihwendria adalan indria yang menllai rasa (pedas,
asam, manic, asin, pahit, sepat) melalui lidah;
5) Twakindria adalah -indria yang menilai perasaan
sentuhan halus, kasar, panas, dingin melalui kulit.
b) Panca Karmendria yaitu :
1) Panindria adalah indria pekerja dengan tangan;
2) Padendria adalah indria pekerja dengan kaki;
3) Gharbendria adalah indria pekerja dengan perut;
4) Upastendria adalah indria pekerja dengan kelamin
pria, dan Bhagendria dengan kelamin wanita;
5) Payuindria adalah indria pekerja dengan dubur
c) Alat- alat tubuh/ raga yang lain seperti jantung, paru-
paru, ginjal, empedu, lambung, dan lain- lain terbentuk
melalui benih unsur Panca Mahabahta dan Panca
Tanmatra
210
yang penuh dengan sinar budipekerti luhur,
mencapai kerajaan Purusa sedangkan sloka25
menyebutkan waktu yang kurang baik untuk
ditempuh apabila ajal tiba, karena merupakan jalan
yang masih diselitnuti kegelapan yang
membelenggu Jiwa. Saat ajal ini bergantung dari
amal/karma manusia pada saat hidupnya, namun
diatur oleh orang yang memiliki kesadaran
Ketuhanan. Dalam Hal ini maka bantuan terhadap
terhadap pasien menjelang ajal diupayakan untuk
memilih ketentuan pada sloka 24
Tinjauan melalui aspek Desa
Berkaitan dengan aspek Desa, yang harus menjadi
dasar pertimbangan adalah unsur kebiasaan/tradisi
masyarakat setempat dan keyakinan yang dianut oleh pasien
ataupun sanak keluarganya. Apakah bantuan medis terhadap
pasien dipertahankan walaupun mengakibatkan
penderitaanya bertambah memilkukan dan menjadi beban
berat bagi keluargnya, atau sebaliknya.
SARAN
Dalam rangka pendampingan pasien menjelang ajal
agar di setiap Rumah Sakit memiliki konsultan rohani
(rohaniawan) untuk menuntun secara spiritual menurut
keyakinan agamanya.
PROFIL PENULIS
218
USU/RSUP.H.Adam Malik Medan, Sumatera Utara sejak
tanggal 1 Nopember 2016.
Jabatan : Plh Sekretaris Program Studi (SPS)
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
FK-USU/RSUP.H.Adam Malik Medan
219