Anda di halaman 1dari 14

BLOK TRAUMATOLOGI

LOGBOOK TUTORIAL SKENARIO 3

SKENARIO 3
AKIBAT LEDAKAN DI TEMPAT KERJA
Tuan hendra, seorang pekerja pabrik pria berusia 38 tahun merupakan korban sebuah
ledakan ditempat kerja. Ia datang ke klinik lima hari setelah terjadi ledakan dengan keluhan
pendengaran berkurang pada kedua telinga dan tinitus pada telinga kiri. Keluhan ini muncul
segera setelah ledakan. Pada pemeriksaan telinga, tampak ada perforasi kecil pada membran
timpani telinga kiri. Audiometri nada murni memberikan hasil adanya tuli yang berat pada
kedua telinga. Timpanometri rata pada telinga kanan dan normal pada telinga kiri. Dari
pemeriksaan 2,5 bulan kemudian terjadi penyembuhan perforasi dan pendengaran kembali
menjadi normal, apa yang terjadi pada kasus ini? dan bagaimana pencegahan anda sebagai
dokter di suatu pabrik.

Terminologi Asing :
1. Tinitus = Suara bising ditelinga seperti deringan, raungan atau bunyi klik
2. Audiometri = pengujuran ketajaman pendengaran untuk berbagai macam frekuensi
gelombang suara ( dorland ed 28, hal 119)
3. Perforasi = menembus, melubangi, digunakan untuk merujuk pada otot, saraf, arteri
dan vena yang melubangi struktur lain
4. Membran Timpani = struktur tipis antara meatus acusticus externus dan telinga tengah
(Dorland 29;468)
5. Timpanometri = Timpanometri merupakan teknik pemeriksaan yang objektif untuk
menilai aliran energi bunyi dalam liang telinga serta telinga tengah, tekanan yang
bervariasi pada telinga tengah akan digambarkan dalam bentuk grafik (timpanogram)
Rumusan Masalah :
1. Apa saja pertolongan utama yang dapat dilakukan?
2. Apa manfaat pemeriksaan tambahan timpanometri, setelah dilakukannya pemeriksaan
audiometri? dan apa yang membedakan kedua pemeriksaan tersebut?
3. Apa akibat yang di timbulkan bila ada ledakan di tempat kerja?
4. Bagaimana APD yang ideal untuk melindungi diri dari ledakan ditempat kerja?
5. Berapa nilai timpanometri dan audiometri yang normal?
Hipotesis :
1. Menghentikan proses luka bakar, mendinginkan luka bakar, memberikan obat anti
nyeri dan menutup luka bakar.
2. Pemeriksaan audiometri berguna untuk mendapatkan audiogram (grafik ambang
pendengaran). sedangkan timpanometri berugna untuk menilai kondisi liang telinga
(normal atau tdp kelainan). dengan kata lain timpanometri berguna untuk mencari
penyebab dari hasil penurunan audiogram.
3. Akibat terjadinya kecelakaaan kerja dan penyakit akibat dari ledakan. selain itu
perusahaan akan mengalami kerugian dalam bentuk dana karena perusahaan harus
mengeluarkan biaya pengobatan, biaya kerusakan properti dan masih banyak biaya
lainnya yang tidak ter duga.
4. Menurut Jenis Bahannya, berupa:
a. Kain (fabric), melindungi diri dari debu, cat semprot dsb,
b. Kain berlapis plastik, melindungi dari cuaca dingin, paparan caustiksoda, benda
korosif dsb,
c. Kulit (leather) untuk melindungi diri dari percikan api dsb.
d. Karet, agar kedap air dsb
e. Plastik, berfungsi seperti butir-b diatas

Menurut Bagian tubuh yang dilindungi (pelindung) :


a. Kepala (helm),
b.Mata,
c. Hidung/pernafasan (respirator)
d. Telinga,
e. Kaki,
f. Sabuk Penyelamat, dll. APD sesuai dengan standar K3
5. Audiometri
Kepekaan tehadap nada murni diukur pada frekwensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000,
6000 dan 8000 Hz. Kisaran normal ambang dengar antara 0-25 dB, Tuli Ringan
dengan ambang dengar 26-40 dB, Tuli Sedang dengan ambang dengar 41-50 dB, Tuli
Berat dengan nilai ambang dengar 61-90 dB dan Sangat Berat dengan
ambang dengar ≥ 90 dB.
Timpanometri
Pada umumnya hasil pengukuran timpanometri mulai dari +200 daPa sampai -400
daPa. Ukuran untuk dewasa normal +50 sampai - 250 daPa
Skema

Hendra 38 Tahun

Datang ke klinik

Pemeriksaan Fisik
Anamnesis Pemeriksaan Penunjang
Inspeksi :
Keluhan utama : Audiometri : Kedua
Pendengaran Oto Dextra : - telinga tuli berat
berkurang pada kedua
telinga sejak 5 hari Oto Sinistra : Membran Timpanometri :
lalu akibat ledakan timpani (Perforasi)
Oto Dextra : Rata
Keluhan utama : Auskultasi : -
Oto Sinistra : Normal
Tinitus pada telinga
kiri

Diagnosis
Tulli Konduktif
Learning Objektif
1. Anatomi dan fisiologi organ pendengaran
2. NAB kebisingan
3. Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kebisingan dan kecelakaan kerja
4. Macam-macam tuli
5. Klasifikasi kurang pendengaran akibat bising (KPAB)
6. Epidemiologi kurang pendengaran akibat bising (KPAB)
7. Patofisiologi perforasi membran timpani dan tinitus akibat ledakan
8. Penanganan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative
Pembahasan
1. Anatomi dan fisiologi organ pendengaran
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan diteruskan
ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Telinga merupakan organ
pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan
gelombang bunyi ke otak di mana bunyi tersebut akan dianalisa dan diintrepetasikan.
Telinga dibagi menjadi 3 bagian seperti pada gambar.
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus acusticus
eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga dibentuk oleh tulang
rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Kearah liang telinga lapisan tulang rawan
berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga
dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan
membran timpani.
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani, cavum
timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas membran timpani
disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan
luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa (membran propria)
yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan
sedikit serat elastin.
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis semi
sirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus
koklearis, dan duktus semi sirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis
periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula
(susunannya menyerupai spons) Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah
lingkaran. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala vestibuli (sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala
vestibuli dan skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis). Skala vestibuli
dan skala timpani berisi perilimfa dengan 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi
endolimfa dengan 144 mEq/l mEq/l. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala
vestibuli disebut membrana vestibularis (Reissner’s Membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membrana basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran.
Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3.000 sel dan tiga
baris sel rambut luar yang berisi 12.000 sel. Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia
yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, dikenal sebagai
membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung
yang terletak di medial disebut sebagai limbus.
Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap
lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis
(Sherwood, 2014).
1. NAB kebisingan
Untuk melindungi tenaga thd bahaya kebisingan di tmpat erja maka perlu ditetapkan
standara pemapran atau nilai ambang batas (NAB). Dlm hal ini pemerintah telah
mengeluarkan keputusan meneteri tenaga kerja. Kepmenaker no 51 th 1999 tentang
pelindung pendengaran. Pada kebisingan yg lebih tinggi, waktu pemaparan (tanpa alat
pelindung telinga) berkurang, dimana setiap kenaikan 3dB maka waktu pemaparan
perhari mjd ½ nya
2. Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kebisingan
Salah satu potensi bahaya yang dapat terjadi di tempat kerja dianatara faktor fisik
(kebisingan, getaran lingkungan. Kerja yang panas, lingkungan kerja dingin,
penerangan/pencahayaan, radiasi sinar UV), faktor bahaya kimia, faktor bahaya biologi,
faktor ergonomi, psikologi kerja.
NAB faktor bahaya fisik, seperti kebisingan, getaran, iklim kerja diatur dalam
Permenakaer No. 13/MEN/X/2011, utk pemaparan 8 jam kerja/hari atau 40 jam /mgg
Dasar hukum:
1) UU no. 1 (1970) tentang keselamatan kerja pasal 2, pasal 3 ayat 1,f,g,l,k,l,m pasal 5,
pasal8, pasal9, dan pasal 14
2) UU no3 (1969) tentang persetujuan konvensi ILO no 120 mengetahui Hygiene
dalam perniagaan dan kantor2 pasal 7
3) Perarutan menteri perburuhan no7 (1964) tentang syarat kesehatan kebersihan sert
peneranga dalam tmpat kerja
4) Peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no 13/MEN/X/2011 tentang nilai
ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tmpt kerja
5) Intruksi mentri tenaga kerja no2 2/M/BW/BK/1984 tentang pengesahan alat
pelindung diri

3. Macam-macam Tuli
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga." Pembagian gangguan
pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari
gangguan pendengaran ringan (20-39 dB). Gangguan pendengaran sedang (40-69 dB)
dan gangguan pendengaran berat (70- 89 dB). " Gangguan pendengaran dapat
diklasifikasikan sebagai: 1220
1) Tulikonduktif
Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga esterna, membrane tim
pani, atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 6
0dB karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tula
ng) bila intensitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis
ini pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebab
kan oleh otitis media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan
kelainan gangguan pendengaran melebihi 40dB.
2) Tulisensorineural
Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran danbat
ang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.Bila ker
usakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat bertahan
atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglio rusak, maka nervus
VIII akan mengalami degenerasi Wallerian. Penyebabnya antara lain adalah:
kelainan bawaan, genetik, penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandunga
n, proses kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina,
antibiotika seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin y
ang tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetic at
au infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang.
3) Tulicampuran
Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural terjadi bers
amaan gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) :
a. Tuli sementara (Temporaryt Treshold Shift =TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang
akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan
biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan
waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali.
b. Tuli Menetap (Permanent Treshold Shift =PTS)
Diakibatkan waktu paparan yang lama (kronis), besarnya PTS di pengaruhi
faktor-faktor sebagai berikut :
a) Tingginya level suara
b) Lama paparan
c) Spektrum suara
d) Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka kemungkinan
terjadi TTS akan lebih besar
e) Kepekaan individu
f) Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat
(pengaruh synergistik) ketulian apabila diberikan bersamaan dengan
kontak suara, misalnya quinine, aspirin, dan beberapa obat lainnya
g) Keadaan Kesehatan
c. Trauma Akustik
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh
alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau
beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-
ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang
dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau
saraf sensoris pendengaran.
d. Prebycusis
Penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia merupakan gejala
yang dialami hampir semua orang dan dikenal dengan prebycusis
(menurunnya daya dengar pada nada tinggi). Gejala ini harus diperhitungkan
jika menilai penurunan daya dengar akibat pajanan bising ditempat kerja.
e. Tinitus
Tinitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan
pendengaran . Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang
dapat merasakan tinitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan
hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan
audiometri (ILO, 1998). 30 dB : suara lemah berbisik 85 dB : batas aman,
sebaiknya gunakan pelindung telinga 90 dB: dapat merusak pendengaran
dalam waktu 8 jam, contoh: suara pemotong rumput, suara truck di jalanan
macet 100 dB :merusak pendengaran dalam waktu 2 jam, contoh :suara
gergaji mesin, suara melalui telephone 105 dB: merusak pendengaran dalam
waktu 1 jam, contoh : suara helikopter, suara mesin pemecah batu. 115 dB:
merusak pendengaran dalam waktu 15 menit, contoh : tangisan bayi, riuh di
stadion sepakbola 120 dB: merusak pendengaran dalam waktu 7,5 menit,
contoh : suara konser musikk rock 125 dB: ambang rasa nyeri ditelinga
bagian dalam, contoh : suara mercon dan sirene 140 dB: membahayakan
pendengaran dalam waktu singkat, contoh : suara tembakan dan mesin jet.
4. Klasifikasi kurang pendengaran akibat bising (KPAB)
Pajanan bising intensitas tinggi secara berulang dapat menimbulkan kerusakan sel- sel
rambut organ Corti di telinga dalam. Kerusakan dapat terlokalisasi di beberapa tempat di
cochlea.
1) Trauma akustik
Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi s
uara yang sangat besar. Cedera cochlea terjadi a- kibat rangsangan fisik berle
bihan berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut.Pad
a pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata- mata akibat proses fisika,
tetapi juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan
merangsang sel-sel ram- but sehingga terjadi disfungsi sel-sel ter- sebut. Aki
batnya terjadi gangguan ambang pendengaran sementara. Kerusakan sel-sel r
ambut juga dapat mengakibatkan gangguan ambang pendengaran yang perma
nen
2) Noise-induced temporary threshold shift
Pada keadaan ini terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secar
a perlahan-lahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung bebe
rapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai bebe- rapa minggu setelah p
emaparan. Kenaikan ambang sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi
4000 Hz, tetapi apabila pe- maparan berlangsung lama maka kenaikan nilai a
mbang sementara akan menyebar pa- da frekuensi sekitarnya. Makin tinggi i
nten- sitas dan lama waktu pemaparan makin be- sar perubahan nilai ambang
pendengaran- nya. Respon tiap individu terhadap kebi- singan tidak sama ter
gantung sensitivitas masing-masing individu.
3) Noise-induced permanent threshold shift
Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan terutama
pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling ba- nyak ditemukan dan bersifa
t permanen. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setel
ah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyada
ri bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakuk
an pemeriksaan audiogram.
Hilangnya pendengaran sementara aki- bat pemaparan bising biasanya sembu
h sete- lah istirahat 1-2 jam. Bising dengan inten- sitas tinggi dalam waktu ya
ng lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Cor
ti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Proses ini terjadi karena rangsan
gan bunyi yang berlebihan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan per
ubahan metabolism dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degene- rativ pa
da struktur sel-sel rambut organ Corti, akibatnya terjadi kehilangan pende- ng
aran yang permanen. Ini merupakan pro- ses yang lambat dan tersembunyi se
hingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pe- kerja. Hal ini hanya dapat
dibuktikan de- ngan pemeriksaan audiometrik. Apabila bi- sing dengan intens
itas tinggi tersebut ber- langsung dalam waktu yang cukup lama, a- khirnya p
engaruh penurunan pendengaran akan menyebar ke frekuensi percakapan (50
0-2000 Hz).
5. Epidemiologi kurang pendengaran akibat bising (KPAB)
WHO, 2012 menunjukkan data prevalensi gangguan pendengaran yang ada di Asia
Tenggara sebesar 27% atau berkisar 156 juta orang dari total populasi yang ada4.
Sebanyak 9,3% atau sekitar 49 juta orang dengan golongan usia dibawah kurang dair 65
tahun mengalami gangguan pendengaran yang dikarenakan suara bising yang diproduksi
dari lingkungan tempat mereka bekerja.
Hasil laporan oleh WHO tahun 2018 tentang ketulian dan gangguan pendengaran
menyatakan bahwa sebanyak 1,1 milyar orang dengan rentang usia 12 hingga 35 tahun
memiliki risiko kehilangan pendengaran mereka disebabkan oleh paparan kebisingan.
sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI) tahun
2013, menunjukkan hasil data prevalensi gangguan pendengaran secara nasional sebesar
2,6% yang diakibatkan oleh paparan bising secara berlebiha di area tempat kerja.
Ketulian yang terjadi di Indonesia secara nasional mencapai 4,6% di tahun 2007 dan
terus meningkat tiap tahunnya hingga terjadi penurunan di tahun 2013 yakni sebesar
2,6%. Walaupun demikian, diperkirakan angka tersebut akan terus meningkat tiap
tahunnya seiring dengan perkembangan industri.
Berdasarkan hasil data dari Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran
dan Ketulian tahun 2014, menunjukkan hasl bahwa gangguan pendengaran akibat bising
di Indonesia merupakan yang tertinggi se-Asia Tenggara dikarenakan mencapai 16,8%
atau berkisar 36 juta orang dari total populasi. Survei Multi Center di Asia Tenggara
menunjukkan hasil bahwa Indonesia tergolong dalam 4 negara yang memiliki prevalensi
ketulian yang cukup tinggi yakni sebesar 4,6%.
6. Patofosiologi perforasi membran timpani dan tinnitus akibat ledakan
Perforasi membran timpani:
Patofisiologi perforasi membran timpani tergantung pada etiologi yang mendasari. Pada
otitis media, perforasi terjadi karena akumulasi pus pada ruang telinga tengah yang
terbentuk akibat proses infeksi. Akumulasi pus akan menekan pembuluh darah membran
timpani sehingga menyebabkan iskemik dan nekrosis, lalu terjadi perforasi.
Pada perforasi membran timpani yang disebabkan oleh trauma, lokasi yang sering
terlibat adalah pars tensa kuadran anteroinferior. Jika dibandingkan dengan bagian
superior, pars tensa anteroinferior merupakan bagian yang paling luas, lebih tipis, dan
lebih mobile, sehingga lebih rentan mengalami perforasi.
Perforasi akibat barotrauma terjadi akibat perubahan gradien tekanan yang besar atau
cepat antara telinga bagian luar dan tengah. Perforasi membran timpani yang terjadi
akibat menyelam disebabkan oleh perbedaan tekanan antara telinga tengah dan saluran
telinga luar (kanalis auditori eksterna).
Perforasi membuat telinga lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang terbawa oleh air
yang masuk ke kanalis auditorius eksterna. Oleh sebab itu, perforasi membran timpani
merupakan kontraindikasi terhadap prosedur irigasi telingapada impaksi serumen.
Tinitus: kebisingan selain dapat menyebabkan tuli atau penurunan daya dengar yg
bersifat sementara tau menetap. Dimana telinga terasa berdengung yg sangat menggaggu
7. Penanganan meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
1) Promosi kesehatan
a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor risiko serta tanda dan
gejala dini gangguan pendengaran.
Kegiatan yang dilakukan antara lain
- pembuatan media informasi antara lain berupa leaflet, spanduk,
poster, banner, billboard, spot televisi, dan spot radio terkait
penanggulangan gangguan pendengaran.
- kampanye deteksi dini di fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas/tempat dilaksanakan Upaya Kesehatan Bersumber
Masyarakat (UKBM) untuk menemukan faktor risiko gangguan
pendengaran sedini mungkin terhadap individu dan/atau
kelompok yang berisiko atau tidak berisiko secara rutin. Bila
hasil deteksi dini positif berisiko gangguan pendengaran, harus
ditindaklanjuti dengan pengendalian faktor risiko.

b. 2. Membantu individu, keluarga, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam


deteksi dini gangguan pendengaran

c. 3. Mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh dukungan


kebijakan penanggulangan gangguan pendengaran

2) Habilitasi dan/atau Rehabilitasi.


a. Habilitasi merupakan upaya memberikan kemampuan yang baru (belum pernah
dipelajari sebelumnya) kepada penyandang disabilitas akibat gangguan
pendengaran melalui bantuan medik, sosial, psikologi dan keterampilan yang
diselenggarakan secara terpadu agar dapat mencapai kemampuan fungsionalnya.
Habilitasi pada gangguan pendengaran antara lain dilakukan melalui
pemasangan alat bantu dengar. upaya habilitasi pendengaran harus dilakukan
sedini mungkin, karena usia kritis proses melihat, berbicara dan mendengar
adalah 2-3 tahun.untuk pendengaran, jika anak mengalami tuli sensorineural
derajat sedang atau berat, maka harus dipasang alat bantu dengar atau implan
koklea. Setelah dilakukan pemasangan Alat bantu Dengar/Operasi Implan
Koklea harus dilanjutkan dengan terapi mendengar dan bicara.
b. Rehabilitasi
Merupakan upaya untuk menanggulangi dampak kondisi disabilitas akibat
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran untuk mencapai integrasi
sosial yang optimal. Rehabilitasi yang dilakukan antara lain melalui operasi
dan/atau penggunaan alat bantu.Pada gangguan pendengaran, upaya rehabilitasi
juga dilakukan dengan intervensi penggunaan alat bantu dengar ataupun dengan
operasi implan koklea. Seseorang dengan gangguan pendengaran umumnya
telah melupakan suara-suara tertentu, baik suara yang diinginkan maupun yang
tidak diinginkan (kebisingan), dengan rehabilitasi pendengaran akan membantu
orang dengan gangguan pendengaran dapat mengembalikan fungsi
pendengarannya yang hilang karena penyakit tertentu ataupun karena faktor
kebisingan atau faktor degenerasi. Pada kondisi tertentu dimana tidak lagi
memungkinkan tidak lagi dapat dilakukan perbaikan pendengaran, maka
dibutuhkan modifikasi komunikasi menggunakan baca bibir sampai bahasa
isyarat.
DAFTAR PUSTAKA

K3 (2022) MODUL HIPERKES DOKTER. Balai k3 DKI Jakarta


Liwang, Fetal (2020) KAPITA SELEKTA ED V. FKUI
Bashiruddin I, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar EA, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Telinga hidung tenggorokan kepala &
leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012.

Septiana N.R, Widowati E. Gangguan pendengaran akibat bising. Higeia 2017; 1: 73-
82.
WorldHealthOrganization.Globalestimatesonprevalenceofhearingloss. WHO. Geneva. 2012.
United States Departement of Labor. Occupational safety and health administration. USDL.
Washington DC. 2016.
National Center of Biotechnology Information. Occupational hearing loss among Chinese
municipal solid waste landfill workers. NCBI.China. 2015.

Anda mungkin juga menyukai