Anda di halaman 1dari 23

Kajian Etiopatogenesis dan Diagnosis Laringokel

REFERAT I

Diajukan Oleh :
dr. Pradhana Fajar Wicaksana
NIM : 17/420615/PKU/17013

Pembimbing :
dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc, Sp T.H.T.K.L (K)

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Dan Leher
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada/ RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta
2019
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………….i
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….iv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………. .1
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….. 3
BAB II URAIAN & PEMBAHASAN………………………………………………... 4
II.A. Anatomi Laring………………………………………………………….. 4
II.B.1 Definisi dan Epidemiologi…………………………………………….....5
II.B.2. Etiologi dan Patofisiologi........................................................................ 6
II.B.3. Faktor Risiko........................................................................................... 7
II.B.4 Gejala dan Klasifikasi ....................……………………………………. 7
II.B.5 Peranan Pencitraan……………………………………………………....9
II.C. Diagnosis Laringokel………………………………………..................... 10
II.D. Diferensial Diagnosis…………………………………………………….12
II.E. Penatalaksanaan…………………………………………………………. 13
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………....15
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….... 17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Potongan koronal laring ................................................ ......................5

Gambar 2.2 Mekanisme flap-valve..............…………………………………….…7

Gambar 2.3 Tipe laringokel………………………………………………………..8

Gambar 2.4 Potongan CT Scan axial laringokel ............................... ……..............9

Gambar 2.5 Endoskopi laringokel............................................................................11

Gambar 3.1 Algoritma laringokel ...................................................... …...........…..16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laringokel adalah dilatasi abnormal dari kantong laring ( saccule ) yang


memanjang hingga ke plika vestibular yang terisi udara dan berhubungan langsung
dengan lumen laring.1
Insidensi kejadian laringokel diperkirakan hanya 1 dari 2.5 juta populasi
penduduk per tahun. Dan dilaporkan lima kali lebih banyak terjadi pada laki – laki,
dengan mencapai puncak insidensi usia enam dekade kehidupan. Dan sekitar 87%
didapatkan unilateral. Istilah laringokel digunakan hanya pada lesi yang bergejala,
dapat dipalpasi atau terlihat saat laringoskopi atau ketika ditemukan pelebaran hingga
batas atas kartilago tiroid atau ditemukannya air filled sac pada radiografi.1
Laringokel dikategorikan menjadi 3 jenis berdasarkan hubungannya dengan
membran tirohioid, yaitu internal, eksternal dan kombinasi. Laringkokel internal
terbatas pada false vocal fold , medial hingga ke membran tirohioid. Laringokel
external yang memanjang ke arah superior dan secara lateral pada leher di membran
tirohioid dan nervus laringeal superior dan vena dan secara klinis ditandai dengan
adanya bengkak pada leher lateral. Laringokel kombinasi muncul sebagai lesi baik dari
medial maupun lateral ke arah membran tirohioid. Jenis yang tersering adalah
Laringokel kombinasi (86.2%).1,7
Etiologi laringokel seringkali dibahas, Negus berpendapat laringokel
merupakan sebuah fenomena yang diturunkan melalui proses evolusi. Yang kedua,
kelemahan kongenital atau defek merupakan predisposisi yang membentuk laringokel
dibawah pengaruh faktor faktor seperti peningkatan tekanan intraglotik pada pemain
trompet profesional, peniup seruling, penyanyi, mengejan saat defekasi, angkat beban
dan kanker laring. Upaya ekspirasi yang berat menyebabkan penutupan false cord dan
menyebabkan udara yang terperangkap. Merokok mempunyai peranan yang signifikan
pada gangguan saccular.2

1
Gejala tersering pada laringokel adalah suara serak dan pembengkakan di leher.
Terkesan merupakan lesi jinak akan tetapi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Pada pemeriksaan fisik, benjolan di leher teraba di superior dan lateral dari lamina
tiroid dan membesar saat dilakukan manuver valsava. Saat dilakukan kompresi
benjolan tersebut akan mengecil dan tidak sulit untuk mendengar suara mendesis, inilah
yang disebut Bryce’s sign.2
Diagnosis pada laringokel pada dasarnya adalah mutlak dari klinis. Kasus yang
sangat jarang terjadi ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para klinisi.
Terepresentasikan sebagai lesi jinak namun dapat mengancam nyawa karena dapat
menyempitkan saluran nafas. Anamnesis yang komprehensif termasuk faktor
pekerjaan dan riwayat personal adalah prasyarat penting mendiagnosis laringokel.
Meskipun demikian seringnya dihubungkan dengan faktor pekerjaan, laringokel juga
bisa terjadi pada orang – orang yang menderita konstipasi kronis atau gangguan
sumbatan traktus urinarius dengan mekanisme yang sama. Bryce’s sign yang positif
dan pembesaran ukuran benjolan pada saat valsava manuver mempermudah diagnosis.
Fleksible laringoskopi efektif melihat secara langsung defek pada sacculus. Foto polos
soft tissue leher bagian lateral bisa dipertimbangkan sebagai pemeriksaan lanjutan yang
cost effective untuk menunjang diagnosis. Meskipun demikian CT Scan tetaplah
menjadi modalitas superior terutama sebagai panduan untuk dilakukannya terapi.2

B. Perumusan Masalah
Laringokel merupakan gangguan sakular laring dan kasus ini sangat jarang
terjadi. Laringokel erat kaitannya dengan profesi pemusik tiup, penyanyi dan juga
dikaitkan dengan neoplasma. Insidensi kasus yang jarang terjadi menjadi kesulitan
tersendiri dalam menegakkan diagnosis. Pada tulisan ini akan dirangkum mengenai
kajian etiopatogenesis dan diagnosis laringokel.

2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah membahas kajian laringokel sehingga
para ahli THTKL dan terutamanya residen memahami bagaimana etiopatogenesis dan
penegakan diagnosis laringokel.

3
BAB II
URAIAN DAN PEMBAHASAN

A. Anatomi Laring
Laring tersusun oleh beberapa kartilago dan otot. Terdiri dari tiga kartilago
berpasangan dan tiga kartilago tidak berpasangan yang terhubung dengan bagian atas
tulang hioid, bagian bawah trakea, membrana dan ligamen. Kartilago yang berpasangan
terdiri dari kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago kuneiform. Kartilago
aritenoid yang mempunyai karakteristik berbentuk piramid, meliputi prosesus vokalis
yang menempel ke ligamen vokalis, prosesus muskularis yang menempel ke otot intrinsik
laring yang mempunyai peranan dalam pergerakan plika vokalis. Kartilago kornikulata
dan kartilago kuneiform membentuk plika ariepiglotik. Kartilago yang tidak berpasangan
terdiri dari kartilago tiroid dan kartilago krikoid.1
Otot penyusun laring dibagi menjadi otot ekstrinsik dan otot intrinsik yang
mempunyai peranan dan fungsi masing – masing. Otot ekstrinsik dibagi menjadi dua
bagian berdasarkan fungsi sebagai otot depresor dan elevator. Otot depresor terdiri dari m.
Sternohyoid, m. Sternotiroid dan otot omohioid. Otot elevator terdiri dari m. Geniohioid,
m. Digestrikus, m. Tirohioid, dan m. Stilofaringeus. Otot instrinsik laring terbagi
berdasarkan fungsi nya yakni sebagai adduktor dan abduktor. Otot adduktor yaitu m.
Tiroaritenoid, m. Lateral krikoaritenoid, m. Interaritenoid. Otot abduktor hanya terdiri dari
m. Posterior krikoaritenoid. Laring dipersarafi oleh cabang dari nervus vagus, yaitu nervus
laring rekuren dan nervus superior laring.1
Laring dibagi menjadi tiga regio, regio supraglotik, regio glotik dan regio subgotik.
Regio supraglotik tersusun oleh ventrikel – ventrikel, epiglotis dan lipatan ariepiglotik
dimana anatomi sakulus laring berasal dari ventrikel laring. Sakulus laring berlokasi
secara superior antara pita suara palsu, dasar epiglotis, dan permukaan bagian dalam
kartilago tiroid.1,17 ( Gambar 2.1 ). John Hilton dalam bukunya (Iversen, 1977)
mengemukakan pendapat yang pertama kalinya membahas sakulus laring yang
merupakan patogenesis dari laringokel. ( Gambar 2.1 ). Regio glotik yang terdiri dari true
vocal cord, komisura anterior dan posterior. Regio subglotik yang dimulai dari batas
inferior plika vokalis hingga margin inferior kartilago krikoid. 1

4
Gambar 2.1 Potongan koronal melintang laring3

B. Laringokel
1. Definisi dan Epidemiologi
Merupakan pembengkakan kista berisi udara akibat dilatasi dari sakulus. Sakulus
laringeal adalah kelenjar mukus yang terletak antara pita suara palsu dan kartilago tiroid.
Sakulus ini juga merupakan kantong yang keluar dari ventrikel laring dan meluas
sebagai kantong posterolateral yang buntu dan meluas ke pinggir epiglotis pada bagian
permukaan laring. Fungsi dari sakulus laring sendiri sampai saat ini masih belum
diketahui. Jaringan ikat di wilayah sakulus ini lebih lemah daripada di bagian lain laring
dan tidak mensuplai barier yang kuat antara ventrikel dan struktur sekitarnya.3
Secara histologi laringokel merujuk pada proses gangguan pada sakulus, dimana
sakulus dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar epithelium, merupakan sejenis
dengan struktur epitel pada traktus respiratori, kalenjar serosa dan mukosa banyak
ditemukan pada submukosanya. Pada anak – anak seringkali ditemukan sebukan
inflitrasi sel limfosit dan pembentukan folikel limfoid. Pada dewasa jaringan limfoid
secara khas hanya terlihat pada kondisi patologis seperti kasus karsinoma. Fungsi
sebenarnya dari sakulus laring masih belum bisa dijelaskan, tetapi Hilton berpendapat
fungsi sakulus untuk melumasi pita suara ipsilateral selama bicara dan saat menelan.

5
Beberapa studi pada mamalia, sakulus mempunyai fungsi lubrikasi dan meningkatkan
resonansi suara serta menghindari hiperventilasi saat vokalisasi yang cepat.3
Secara epidemiologi, laki – laki memiliki predominan tertinggi mengalami penyakit
ini. Lima hingga tujuh kali lebih sering pada laki -laki dengan insidensi dalam keenam
dekade kehidupan. Seringkali terlihat pada peniup trompet dan profesi glassblower.
3,6
Disfonia merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada laringokel . Adapun
gejala laringokel internal adalah dyspnea, serak, sensasi globus dan beberapa kasus
serius hingga obstruksi jalan nafas. Pada laringokel external tanda dan gejala pada
pernafasan diketahui lebih sedikit tetapi khas dengan ditemukannya benjolan pada leher.
Beberapa studi menyebutkan adanya hubungan karsinoma laring dan laringokel.
Dimana saat ditemukan laringokel, kanker harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
differensial.3
Mitroi et al pada tahun 2011 pernah bereksperimen bahwa tumor laring bisa
menyebabkan ball-valve effect, kondisi yang menyebabkan terperangkapnya udara dan
overinflasi pada sakulus yang menjadi cikal bakal laringokel.3

2. Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi dari laringokel sendiri sampai saat ini tidak jelas. Penyebab mungkin karena
sakulus kongenital yang besar atau karena memang terdapat kelemahan pada jaringan
laring.10 Di duga penyebabnya akibat dari peningkatan tekanan intralaring yang
disebabkan aktivitas tertentu seperti pada profesi peniup trompet dan instrumen musik
yang menggunakan tiupan angin yang menyebabkan pembesaran gradual pada sakulus
laring. Laringokel bisa terjadi akibat dari proses neoplasma yang dapat menyebabkan
mekanisme “flap-valve” (gambar 2.2 ) dimana udara dapat masuk ke katup submukosa
ventrikel sakulus tanpa bisa keluar lagi sehingga udara terperangkap dalam sakulus
laring.5 Upaya ekspirasi yang berat menyebabkan penutupan dari plika vestibuler dan
mencegah udara keluar; sfingter terdiri dari otot tiroaritenoid, tiroepiglottik dan
ariepiglottik. Plika vokalis juga menutup tetapi dengan penambahan tekanan udara
yang akan keluar melalui plika vokalis tetapi tidak melalui plika vestibularis. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan pada ventrikel dan sakulus sebagai asal muasal

6
pembentukan laringokel 2,5. Laringokel dapat berkembang menjadi suatu infeksi yang
serius dan dapat terisi pus yang dinamakan laringopiokel.12
Gambar 2.2 Mekanisme flap-valve5

3. Faktor Risiko
Faktor kongenital atau defek dipercaya sebagai faktor risiko kejadian laringokel.
Pada sebuah penelitian didapatkan defek sakulus yang menyebabkan laringokel
didapatkan pada hampir sebagian besar perokok.6 Profesi pekerjaan atau aktivitas yang
dapat meningkatkan tekanan intraglottis seperti pemain trompet profesional, glass
blowing, penyanyi, atlet angkat berat, kebiasaan mengeden saat buang air besar. Batuk
lama pada pasien bronkitis dan enfisema. Pasien dengan karsinoma laring
meningkatkan risiko kejadian laringokel karena dipercaya meningkatkan tekanan
intralaring.2,7,16.

4. Gejala dan Klasifikasi Laringokel


Keluhan utama yang sering muncul adalah suara serak/parau, batuk dan bila besar
dapat mengobstruksi jalan nafas. sekitar 17.2% pasien ditemukan tidak bergejala.
13.7% dengan riwayat dyspneu dan sensasi globus. Dan hampir separuhnya 62.0%
ditemukan dengan disfonia. Laringokel eksternal muncul sebagai bengkak yang hilang
timbul yang bertambah ukurannya bila batuk atau melakukan perasat valsava.4,6
Relevansi klinis jarang terjadi dan sering ditemukan laringokel pada pemeriksaan
postmortem pada orang yang asimptomatik. Dalam kasus lain mungkin muncul sebagai
suara serak, massa leher, obstruksi jalan napas, dan bahkan neoplasma.4

7
Laringokel diklasifikasikan menjadi tiga tipe, Laringokel internal yaitu terbatas dari
interior laring dan memanjang kearah posterosuperior ke dalam false vocal cord dan
lipatan ariepiglotika. Laringokel external yang memanjang ke arah superior dan secara
lateral pada leher di membran tirohioid dan nervus laringeal superior dan vena.
Laringokel kombinasi apabila didapatkan adanya struktur yang terlibat pada keduanya.
Laringokel eksternal secara klinis ditandai dengan adanya bengkak pada leher pada
level setinggi tulang hyoid anterior hingga m. sternokleidomastoid. Secara klasik,
bengkak pada leher tersebut akan membesar ketika dilakukan manuver valsava dan
mengecil saat di palpasi. Laringokel internal dan kombinasi terlihat pada laringoskop
sebagai pembengkakan yang halus pada supraglotis.4
Tipe yang paling sering adalah tipe kombinasi, tidak ada predominasi laringokel yang
terkena bagian kanan atau kiri. Lalu tersering kedua adalah tipe laringokel internal.4

Gambar 2.3 Tipe laringokel: A. Laring normal. B. Laringokel Internal. C. Laringokel Eksternal.
D. Laringokel kombinasi. 17

5. Peranan pencitraan dalam penegakan diagnosis laringokel


Selain endoskopi, penegakan diagnosis lainnya bisa didapatkan melalui studi
pencitraan. Foto polos leher mungkin akan berharga dalam kecurigaan laringokel.
Potongan koronal dan axial CT dan MRI baik dalam mendeskripsikan hubungan

8
dengan membran tirohioid. Laringokel biasanya muncul sebagai lesi yang berbatas
tegas pada sekitar false vocal cord. Karakteristik internal tergantung pada lesi yang
terisi udara atau kistik. Udara yang terisi pada sakulus dapat dengan mudah
diidentifikasi dari densitas yang rendah pada CT ( -1000 HU). Definisi hounsfield unit
(HU) adalah tingkat kepadatan dari berbagai jenis jaringan yang memiliki 4.096 warna
abu-abu, dan memiliki tingkat kepadatan yang berbeda-beda yang terdapat pada CT
scan. Densitas udara ditetapkan -1.000 HU, air: 0±5 HU, paru-paru: 700±200 , lemak:
-90±10, jaringan lunak: -15±65 HU, organ parenkim: 50±40 HU, tulang rawan:
130±100 HU, tulang padat: > 250 HU. Hubungan ventrikel sakulus dengan lumen
laring dapat terlihat jelas pada potongan tipis. Laringokel yang berisi cairan dapat
mendemonstrasikan densitas antara air dan jaringan lunak pada CT. Densitas mukoid
atau purulen mempunyai densitas yang lebih tinggi. Pada MRI, kista laringokel
menunjukkan sinyal intensitas tinggi pada T2-weighted imaging dan intensitas sinyal
lemah pada T1 weighted images. 5,18

Gambar 2.4 Potongan CT Scan Axial. Kiri: laringokel internal. Kanan: laringokel kombinasi1

C. Diagnosis Laringokel

9
Diagnosis laringokel dapat ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
laringoskopia indirek, Laringoskopi direk, Fiber – Optic Laringoscopy (FOL), Foto polos
leher AP dan lateral, CT Scan leher dan MRI.6
Diagnosis laringokel dapat ditemukan dari penemuan secara klinis, endoskopi
laring,dan studi pencitraan. Anamnesis riwayat secara terperinci termasuk pekerjaan dan
riwayat pribadi adalah prasyarat penting untuk diagnosis pasien dengan laringokel.
Anamnesis mengenai konstipasi kronik, riwayat merokok serta profesi yang dapat menjadi
faktor resiko laringokel wajib ditelusuri. Perhatikan tanda dan gejala, sekitar 17.2% pasien
ditemukan tidak bergejala. 13.7% dengan riwayat dyspneu dan sensasi globus. Dan hampir
separuhnya 62.0% ditemukan dengan disfonia. Pemeriksaan fisik dengan ditemukannya
benjolan pada leher, benjolan di leher teraba di superior dan lateral dari lamina tiroid dan
membesar saat dilakukan manuver valsava. Saat dilakukan kompresi benjolan tersebut
akan mengecil dan tidak sulit untuk mendengar suara mendesis, inilah yang disebut
Bryce’s sign.6,13
Laringokel dapat ditemukan secara klinis dengan adanya suatu benjolan atau massa
pada leher. Lokasi benjolan khas laringokel dapat ditemukan pada sisi leher lateral bisa
unilateral maupun bilateral. Biasanya lokasi benjolan pada leher dapat menentukan
predileksi suatu penyakit. Massa leher sisi lateral segitiga anterior bisa terjadi pada
limfonodi, pembesaran glandula saliva, ranula, kista bronkial, carotid body tumor,
aneurysma carotid, karsinoma bronkogenik atau pembengkakan tiroid, laringokel dan
pembengkakan parafaring. Massa yang berlokasi pada segitiga posterior bisa terjadi pada
cold abscess, limfonodi, Kistik higroma, lipoma and cervical rib. Kista Sebasea dan
neurofibroma juga dapat terjadi pada regio ini. Massa berlokasi di Midline atau leher
anterior dapat ditemukan pada goiter, limfonodi, pharyngeal pouch, subhyoid bursa,
ranula, angina Ludwig.6,13
Endoskopi laring merupakan prosedur baku emas dalam penegakan laringokel.
Pemeriksaan endoskopi laringokel dapat ditemukan komponen – komponen laringokel
yang terlihat sebagai massa halus di daerah false vocal fold dengan mukosa yang intak
menutupi massa. Endoskopi laring memberikan gambaran pembengkakan pita suara palsu
dan lipatan ariepiglottis. ( Gambar 2.5 ). Mukosa terlihat menonjol tetapi dengan
penampilan normal. Endoskopi laring kadang-kadang dapat menghasilkan kesan negatif

10
karena laringokel bergantung pada tekanan saluran udara sehingga seolah terdistensi, yang
suatu waktu distensi tersebut tidak ditemukan.4,6,10,15
CT Scan dan MRI memainkan peran yang lebih besar dalam diagnosis laringokel. Pada
laringokel pada potongan CT Scan dapat ditemukan adanya air-filled sac di area false
vocal fold dan membran tirohioid. CT Scan dapat membedakan laringokel dengan kista
sakular laring dan dapat menemukan kecurigaan adanya tumor laring. Pada kecurigaan
adanya keganasan, MRI dapat diandalkan dan lebih unggul dalam kemampuannya
mengevaluasi soft tissue. Kemampuan multiplanar ( potongan aksial, koronal, dan sagital)
dan resolusi kontras yang lebih tinggi dari CT memberikan visualisasi yang sangat baik
pada ventricle, saccule, dan paralaryngeal space. MRI lebih unggul dari CT Scan dalam
membedakan penyakit neoplastik dari mukosa dan inflamasi. Kecurigaan adanya
karsinoma laring pada beberapa kasus bersamaan dengan laringokel, jika didapatkan
kekhawatiran akan adanya tumor laring, MRI dapat menjadi modalitas pilihan terbaik.5,6,10

Gambar 2.5 Visualisasi endoskopi: tampak bulging area pada daerah false vocal cord,
Pada sisi yang berdekatan dengan plika ariepiglotika kanan.4

D. Differensial Diagnosis
1. Kista Sakular Laring

11
Kista sakular laring muncul paling sering pada masa bayi, merupakan gangguan pada
sakular. Sekitar 40% gejala kista laring akan muncul dalam beberapa jam setelah persalinan
dan 95% dari anak-anak memiliki gejala sebelum usia 6 bulan. Yang paling sering gejala
adalah stridor (90%), yang terutama stridor inspirasi, meskipun mungkin bifasik. Tangisan
pada bayi telah dilaporkan berkarakteristik lemah, teredam, melengking, serak, atau
normal. Dyspneu, apnea, dan sianosis dilaporkan pada 55% pasien. Pemeriksaan penunjang
seperti foto leher dada dan lateral, barium swallow, dan CT Scan sangat diperlukan untuk
evaluasi pra operasi tetapi bukan untuk menegakkan diagnosis. Sama seperti laringokel,
penegakan diagnosis adalah dengan direk laringoskopi. Kista biasanya dibagi menjadi kista
sakular dinding lateral dan kista sakular anterior. Kista sakular lateral paling banyak sering
terletak di lipatan ariepiglottik, epiglottis, atau dinding lateral laring. Kista sakular anterior
memanjang secara medial dan posterior diantara true vocal cord dan false vocal fold.
Perbedaan yang dapat ditemukan dengan laringokel adalah, pada kista sakular kantung
terisi cairan dan tidak berhubungan langsung dengan lumen laring. Pengobatan kista laring
mungkin memerlukan trakeostomi emergensi. Pada bayi, kista harus dirawat terutama
dengan deroofing endoskopi, yaitu prosedur aspirasi ataupun insisi drainase mikrolaring.
Risiko aspirasi yang minimal, tetapi insiden kekambuhan yang tinggi.10,11,15

2. Kista Tiroglosal
Kista tiroglosal muncul sebagai pembengkakan garis tengah pada tingkat thyrohyoid.
Meskipun asalnya bawaan, tetapi biasanya terlihat di usia selanjutnya. Pemeriksaan fisik
dapat ditemukan dengan adanya suatu benjolan pada leher anterior atau midline. Saluran
tiroglosus turun dari foramen caecum dari lidah antara otot genioglossus di depan,
melewati belakang tulang hioid ke batas atas kartilago tiroid dan berakhir di lobus
piramidal tiroid di glandula tiroid. Biasanya, saluran ini menghilang kecuali di bagian
bawah membentuk isthmus tiroid atau membentuk sebagian duktus. Area ini seringkali
terjadi retensi cairan yang lama kelamaan membengkak membentuk sebuah kantung kista
yang menginisiasi terbentuknya kista tiroglossal. Pembengkakan hanya dapat membesar
ke samping dan bergerak ke atas menyebabkan penonojolan lidah pada saat mengunyah.
Terapinya meliputi sistrunk’s operation yaitu eksisi dari traktus sepanjang tulang hyoid.13

12
3. Higroma kistik
Higroma kistik juga merupakan pembengkakan kistik kongenital mengandung beberapa
tempat getah bening, yang berkembang karena sekuestrasi bagian kantung jugularis, yang
gagal bergabung dengan sistem limfatik teratur. Biasanya terlihat pada posterior leher
bawah dan terlihat pada bayi.13

E. Penatalaksanaan

Prinsip manajemen penatalaksanaan laringokel adalah prosedur bedah. Pertimbangan


besar ukuran lesi dan pengalaman ahli bedah harus dipertimbangkan. Prinsip
pembedahan yakni memaparkan seluas – luasnya dengan minimal trauma pada laring.
Tatalaksana bedah laringokel biasanya secara tradisional berdasarkan pendekatan
external. secara tradisional, komponen internal dapat dilakukan melalui pendekatan
endoskopi. Eksternal dan laringokel kombinasi biasanya melalui pendekatan -
pendekatan eksternal seperti, lateral tiroidotomi, laringotomi lateral, laryngofissure.
Prosedur ini memiliki keuntungan dari akses mudah ke laringokel dengan tingkat
kekambuhan yang rendah, tetapi dengan kelemahan seperti asosiasi-morbiditas yang
tinggi, jaringan sikatrik pada leher, operasi yang lama serta kebutuhan trakeostomi yang
tinggi kasus dan periode rawat inap yang lebih lama yang memicu biaya yang lebih
besar.4,7,10

Myssiorek et al menggunakan pendekatan lateral laringotomi untuk reseksi laringokel.


Pendekatan external tanpa trakeostomi bisa mendapatkan keuntungan visualisasi yang
jelas dengan kecacatan minimal. Thome et al juga menambahkan pendekatan eksternal
melalui reseksi laringokel dan lateral tirotomi memiliki keuntungan paparan dan akses
operasi yang lebih baik pada spasium paraglotis dengan minimal morbiditas, rekurensi
berkurang dan komplikasi yang rendah.4,10

Laringokel kombinasi sepertinya masih menjadi dilema para klinisi. Szwarc dan
Kashima tahun 1997, telah menggambarkan kasus seperti itu yang ditangani oleh reseksi
laser CO2 dengan endoskopi, menjelaskan pendekatan ini menghindari potensi kerusakan
pada pembuluh laring superior dan morbiditas operatif lebih rendah daripada pendekatan

13
eksternal namun beberapa jurnal menyebutkan tipe kombinasi sering dilakukan dengan
tindakan pendekatan eksternal karena ukuran yang besar dan keterlibatan struktur lain
serta menghindari angka kekambuhan.7,10

Ukuran dan lokasi lesi menentukan pendekatan untuk eksisi. Lesi yang lebih kecil dapat
dipotong secara endoskopi baik dengan atau tanpa laser CO2 direkomendasikan pada
kasus laringokel internal. Prosedur ini memiliki keuntungan edema yang minimal dan
post operatif yang lebih baik dibandingkan metode konvensional. Di lain hal prosedur ini
juga memiliki kelemahan yaitu akses yang terbatas untuk dilakukan operasi terutama
pada lesi yang besar, memicu jaringan parut pada endolaring, dan membutuhkan ahli
bedah yang berpengalaman dengan instrumen. 4,10

Namun, lesi yang lebih besar misal pada laringokel kombinasi atau laringokel eksternal
mungkin memerlukan pendekatan eksternal dalam bentuk thyrotomy median dan lateral,
faringotomi lateral, laryngofissure atau transhioid. Lesi tidak dapat direseksi sepenuhnya
pada bedah mikrolaring karena aksesnya sulit, eksisi lesi dapat dilakukan melalui
pendekatan laryngofissure dan trakeostomi untuk melindungi jalan napas. Ettema et al
memberi pendapat sebaiknya pendekatan endoskopi dan eksternal dilakukan bersama
sebagai upaya mengangkat laringokel secara komplit dan luas 7,10

14
BAB III
KESIMPULAN

Laringokel adalah dilatasi abnormal dari kantong laring ( saccule ) yang memanjang hingga
ke plika vestibular yang terisi udara dan berhubungan langsung dengan lumen laring. Laringokel
diklasifikasikan menjadi tiga tipe, 1). laringokel internal yaitu terbatas dari interior laring dan
memanjang kearah posterosuperior ke dalam false vocal cord dan lipatan ariepiglotika. 2).
Laringokel external yang memanjang ke arah superior dan secara lateral pada leher di membrane
tirohioid dan nervus laryngeal superior dan vena. 3). Laringokel kombinasi apabila didapatkan
adanya struktur yang terlibat pada keduanya. Etiologi nya hingga saat ini belum jelas. Fungsi
sebenarnya dari sakulus laring masih tetap menjadi misteri, tetapi Hilton berpendapat fungsi
sakulus untuk melumasi pita suara ipsilateral selama bicara dan saat menelan. Beberapa studi pada
mamalia, sakulus mempunyai fungsi lubrikasi dan meningkatkan resonansi suara serta
menghindari hiperventilasi saat vokalisasi yang cepat.

Diagnosis laringokel dapat ditemukan dari penemuan secara klinis, endoskopi laring,dan studi
pencitraan. Anamnesis yang komprehensif termasuk faktor risiko pekerjaan dan riwayat pribadi
adalah prasyarat penting untuk diagnosis pasien dengan laringokel. Endoskopi laring mendukung
visualiasi lesi secara langsung dan struktur lain yang terlibat. CT Scan merupakan modalitas
terbaik mendukung penegakan diagnosis.

Tatalaksana laringokel adalah pembedahan. Pada prinsipnya prosedur pembedahan pada


laringokel adalah mengambil lesi seluas – luasnya namun juga meminimalisir kecacatan dan
trauma pada laring. Pembedahan dilakukan dengan berbagai pertimbangan termasuk ukuran lesi
dan keahlian ahli bedah dalam menggunakan instrumen. Bila dicurigai lesi membahayakan jalan
nafas dapat dilakukan trakeostomi untuk melindungi jalan nafas. Pembedahan dilakukan bisa
melalui pendekatan ekternal maupun melalui prosedur endoskopi dengan atau tanpa CO2. Beberapa
studi menyebutkan dapat dilakukan kombinasi keduanya.

15
Anamnesis :
RPD, RPS, Riwayat
pekerjaan

Pemeriksaan fisik: Laringoskopi direk, foto


Inspeksi, palpasi leher. polos leher, CT Scan, MRI
Manuver valsava, indirek
laringokospi

LARINGOKEL

Gambar 3.1. Algoritma sistematis penegakan diagnosis Laringokel

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Zelenik K, Stanikova L,Smatanova K, Cerny M, Kominek P. 2014. Treatment of


Laryngoceles: What Is the Progress overthe Last Two Decades? : Review article.
Bio Med Research International.Vol: 2014. Available from:
http://dx.doi.org/10.1155/2014/819453. [1 April 2018].
2. Prasad S. Vijayalakshmi S,Prasad C. 2008. Laryngoceles: presentations and
management: Main article. pp. 60:303–308. Indian J. Otolaryngol. Head Neck
Surg. Available from : Dept. of Otolaryngology – Head & Neck Surgery, Kasturba
Medical College, Mangalore, India. [ 1 April 2018 ].
3. Porter P, Vilensky J. 2002.. The Laryngeal Saccule: Clinical Significance. pp.
00:000–000. Clinical Anatomy. Indiana. Available from :
http://dx.doi.org/10.1002/ca.22015. [ 22 Mei 2018 ]
4. Erol Keles E, Alpay HCa , Orhan I, Ildirim H. 2010. Combined laryngocele: A
cause of stridor and cervical swelling. pp. 37 117–120. Auris Nasus Larynx
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2009.02.011. [ 1 April 2018 ].
5. Huang B, Solle M, Weissler M. 2012. Anatomic Imaging for Diagnosis and
Management of the larynx. pp. 1325–1361. Otolaryngol Clin N Am. Available
from : http://dx.doi.org/10.1016/j.otc.2012.08.006. [ 1 April 2018 ].
6. Cohen D, Tzelnick S, Galitz YS, Hagit Shoffel-Havakuk HS, Hain M,Halperin D, Lahav
Y. 2016. Potential Causative Factors for Saccular Disorders: Association with Smoking
and Other Laryngeal Pathologies. pp. 0892-1997 Journal of Voice. Available from :
http://dx.doi.org/10.1016/j.jvoice.2017.01.004. [ 1 April 2018 ].
7. Devesa PM, Ghufoor K, Lloyd S, Howard D. 2002. Endoscopic CO 2 Laser
Management of Laryngocele. pp.1426-1430. The Laryngoscope. Available from :
The Professorial Unit of the Royal National Throat, Nose and Ear Hospital,
London, United Kingdom. [ 1 April 2018 ].
8. Satou T, Takeo NaitoT, Hayashi Y, Hashimoto S, Sugiyama S. 1999. Sudden
death case of laryngocele accompanied by infarction of the dorso-lateral portion
of the medulla oblongata. 1 : 257-61. Available from : Legal medicine. [ 1 April
2018 ].

17
9. Heyes R, Lott DG. 2017. Laryngeal Cysts in Adults: Simplifying classification
and management. 1–12. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. Available from
: http://dx.doi.org:10.1177/0194599817715613. [ 1 April 2018 ].
10. Dursun G, Ozan B, Ozgursoy OB, Beton S, Hunkar Batikhan H. 2007. Current
diagnosis and treatment of laryngocele in adults. pp:136, 211-215.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. available from:
http://dx.doi.org:10.1016/j.otohns.2006.09.008. [ 1 April 2018 ].
11. Ballenger JJ. 2009. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck, chapter
29,31-33,37, pp.570-588,605-41,682-746. Lea & fabiger, Philadelphia

12. Bailey BJ and Pillsburry III HC. 2014. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.
chapter 68, pp.989-1003. JB Lippincott Co, Philadelphia.

13. Tuli BS. 2014. Textbook of Ears, Nose and Throat. chapter 53, pp.363-370. Jaypee
Medical Inc, New Delhi.

14. Storck C and Tellez BC. 2012. Multidetector computed tomography


innonmalignant laryngeal disease. 20:443–449. Lippincott Williams &Wilkins.
Available from : http://dx.doi.org/10.1097/MOO.0b013e328359f358. [ 8
November 2018 ].
15. James B. Snow Jr. 2003. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery. pp: 381-382. Hamilton, London.
16. Celin, S. E., Johnson, J., Curtin, H., & Barnes, L. (1991). The Association of
Laryngoceles With Squamous Cell Carcinoma of the Larynx. The Laryngoscope,
101(5), 529???536. Available from : http://dx.doi.org/10.1288/00005537-
199105000-00016. [ 21 Januari 2019 ].
17. Cummings CW. 2007.Cumming’s Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th
Ed. Elsevier, USA
18. Hofer M. CT teaching manual. Institute for diagnostic radiology. New York:
Thieme; 2000. p. 1-15.

18

Anda mungkin juga menyukai