Anda di halaman 1dari 33

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

Oleh :
Baginda Asyraf Hasibuan 120100342
Febrina Fajria 120100160
Janette Golda Meir Putri 120100336
Candys Libio 120100210
Marizka Jasmine 120100054
Arvind Qumar a/l Thivakaran 120100436
Pembimbing :

Prof. Dr. Amri Amir, SpF(K), DFM, SH, Sp.Ak. 1


DISASSTER VICTIM
IDENTIFICATION (DVI)
Suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban
meninggal akibat bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum
dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL

2
DISASTER VICTIM
IDENTIFICATION (DVI) INTERPOL
DI INDONESIA :

Mulai diterapkan pada identifikasi kasus


”Bom Bali” (Oktober 2002).

Korban mati sebanyak 202


orang.
Teridentifikasi -/+ 99%
dalam waktu
kurang dari 4 bulan.
3
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan
aparat keamanan untuk melakukan evakuasi
korban meninggal dari tempat kejadian.
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit
setempat/rumah sakit tempat rujukan korban
meniinggal.
3. Melakukan identifikasi terhadap korban
meninggal dengan sumber daya yang ada.
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil
pemeriksaan.
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan
4
pemerintah terkait.
BENCANA

Pengukuran Unit-unit
Kegawatan Operasional

- Pertolongan pertama - Central Emergency


bagi korban luka Rescue unit
- Pengukuran Personal - Central Investigation
security Unit
- Pengukuran property - Victim Identification
security Unit
-Disaster Investigation
Unit
5
Central Emergency Rescue unit
1. Langkah-langkah untuk memastikan
bahwa tenaga medis dapat segera dikenali 8. Pembentukan sebuah rumah sakit
2. Penyelamatan dan perawatan medis pertolongan pertama / lapangan staf
korban yang selamat dengan dokter dan asisten medis sebagai
3. Membentuk kesiapan darurat dengan tempat transit untuk semua korban yang
stand by di rumah sakit setempat (rencana diperlukan.
krisis) 9. Tanggung Jawab berubah setelah korban
4. Tentukan kapasitas rumah sakit; telah dihapus dari lokasi bencana. Operasi
mengkoordinasikan transportasi korban penyelamatan terus berlanjut, namun para
luka-luka ahli teknis dan ahli identifikasi korban
5. Membuat tempat perawatan medis sekarang dapat melakukan tugas masing-
sementara di sekitar lokasi bencana yang masing di bawah otoritas mereka sendiri.
diperlukan. Dan penentuan jumlah korban 10. Jika selama operasi penyelamatan, perlu
telah meninggalkan situs dalam panik untuk memindahkan mayat, adalah
karena shock. penting untuk mengetahui yang pindah
6. Siapkan dokumentasi pada kondisi dan dari dan ke mana. Hindari membuka
jumlah, dan identitas orang cedera baju atau penghapusan perhiasan di
sebagai dasar untuk pelaporan terus tubuh.
menerus ke komando operasi bencana. 11. Untuk dapat mempersiapkan daftar orang
7. Penyediaan informasi untuk pengumpulan hilang (PM), itu adalah keharusan untuk
korban terluka, rumah sakit dan klinik tahu persis di mana para korban terluka6
rawat jalan telah diambil
Central Investigation Unit
1. Penahanan daerah situs bencana, seperti memastikan pemrosesan yang lebih
keamanan yang lengkap, sangat penting lengkap dan efektif dari sektor terkait.
dalam rangka untuk memastikan Pengaturan sektor dalam pola papan catur
kemajuan yang optimal dari operasi akan memudahkan pencarian berikutnya
penyelamatan darurat dan untuk untuk bukti
melindungi bukti dan masyarakat. 6. Pembentukan jalur tetap dengan pintu
2. Survei lokasi bencana / daerah yang masuk yang spesifik dan exit point
diperlukan (GPS, peralatan survei leser, sedapat mungkin. Melakukan
dokumentasi fotografi, Fotogram survei pemeriksaan identitas individu masuk
metrik) atau keluar pada titik-titik.
3. Mengamankan lokasi bencana untuk 7. Penugasan tanggung jawab khusus untuk
mencegah akses oleh orang yang tidak sukarelawan sipil yang sesuai.
sah (pagar, hambatan, jika perlu penjaga) 8. Individu tanpa perlu atau otorisasi untuk
4. Memastikan keselamatan sebelum akses hadir di lokasi bencana harus
ke lokasi bencana. Pengadaan wide-area diperintahkan untuk meninggalkan situs.
foto, peta dan / atau layout dari situs 9. Pengadaan data pribadi dari para saksi
bencana (bernomor lantai bangunan) mungkin.
5. Penyusunan grid direkomendasikan untuk 10. Pendirian pusat kontrol transportasi, area
bencana luar ruangan (kecelakaan parkir, masuk dan jalan keluar, landasan
pesawat, kecelakaan kereta api dan helikopter, dll
sejenisnya), dalam rangka untuk 7
Victim Identification Unit

1. Identifikasi dan penyediaan sumber daya


personil untuk unit 8. Hubungan masyarakat dan pers
2. Pembuatan jadwal operasional 9. Penentuan aliran informasi dari
3. Organisir saluran komunikasi, koordinasi identifikasi korban penerbitan sertifikat
arus informasi kematian
4. Pengadaan informasi mengenai bencana 10. Dukungan teknis untuk identifikasi dan
5. Pelaporan ke otoritas operasional yang dokumentasi
relevan. 11. Hubungan dengan kedutaan besar, antar-
6. Pengadaan kendaraan operasional untuk lembaga, organisasi internasional, dll
personil
7. Pembentukan dan pemeliharaan kontak
dengan lembaga-lembaga domestik dan
asing yang terlibat dan organisasi lainnya
(misalnya agen perjalanan, maskapai
penerbangan)

8
TAHAPAN (FASE-FASE)
PENANGANAN DVI :
1. Initial Action at the Disaster Site (THE
SCENE)
2. Collecting Post Mortem Data
(POSTMORTEM)
3. Collecting Ante Mortem Data (ANTE
MORTEM)
4. RECONCILIATION
5. Returning to the Family (DEBRIEFING)

9
FASE I (THE SCENE)
1. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana
dan pemberian koordinat untuk area bencana.
2. Perkiraan jumlah korban.
3. Keadaan mayat.
4. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk
melakukan DVI.
5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan
membantu proses DVI.
6. Metode untuk menangani mayat.
7. Transportasi mayat.
8. Penyimpanan mayat
9. Kerusakan properti yang terjadi. 10
• Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan, misalnya dengan memasang police line.
• Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
• Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
• Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk
mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke
lokasi bencana.
• Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan
tujuan kehadiran dan otorisasi.
• Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana.

• mengumpulkan korban – korban bencana dan


mengumpulkan properti yang terkait dengan
korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban.

• organisasi yang memimpin komando DVI


mendokumentasikan kejadian bencana dengan
cara memfoto area bencana dan korban kemudian
memberikan nomor dan label pada korban. 11
FASE II (POSTMORTEM)

Pengumpulan data post-mortem atau data yang


diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-
mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi
yang memimpin komando DVI. Pada fase ini
dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya
dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data
selengkap – lengkapnya mengenai korban.

(Didapati minimal 1 data primer atau


minimal 2 data sekunder).
12
a. Metode Sederhana
 Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik,
cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan
luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang
berduka, stress, sedih, dll)
 Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat
dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian,
perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
 Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau
SIM dan lain sebagainya.

13
THE SECONDARY
METHODS OF
IDENTIFICATION

MEDICAL DATA PHOTOGRAPHY PROPERTY

14
15
16
17
b. Metode Ilmiah
 Penandaan dan mengantongi tubuh,
 Sidik jari,
 Patologi forensik, dan
 Kedokteran gigi forensik. Mayat-mayat itu, tentu
saja, didinginkan baik sebelum dan setelah
prosedur, dan kemudian dibalsemkan setalah itu
dipulangkan.

18
THE PRIMARY
METHODS OF
IDENTIFICATION

FINGER PRINT DENTAL RECORD DNA ANALYSIS

19
Sidik jari
(Fingerprints)

Data
Primer
20
Data
Primer
DATA GIGI GELIGI

21
Data
Primer

DNA
22
FASE III (ANTE MORTEM)
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga
jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data
yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup,
interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari
korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun
kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan
dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi,
misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.
23
Data Ante Mortem

24
FASE IV (RECONCILIATION)
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem
dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain
yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka
dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data
yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah.
25
FASE V DEBRIEFING
1. Check dan recheck hasil kerja dari unit
pembanding data.
2. Menyatakan hasil identifikasi korban
(teridentifikasi atau tidak).
3. Membuat surat keterangan kematian untuk korban
(mati) yang sudah teridentifikasi dengan surat-
surat lain yang diperlukan.
4. Menerima keluarga korban untuk serah terima
korban dan barang-barang korban.
5. Publikasi yang benar dan terarah (team
identifikasi) kepada masyarakat agar mendapat
informasi yang terbaru dan akurat.
26
PEMULIHAN DAN
PENGUMPULAN BUKTI
Karena sejumlah besar
Pemulihan tubuh/bagian
unit organisasi sering
tubuh dan menyimpan
operasi ini dalam sangat berbeda terlibat
bukti/barang pribadi
kebanyakan kasus dalam proses ini,
yang ditemukan di lokasi
mulanya kacau dan komunikasi dan
bencana merupakan
tidak terorganisir koordinasi fungsi dan
langkah pertama dalam
tanggung jawab sangat
proses identifikasi korban
sulit.

Pencarian terstruktur &


fase penemuan harus
disiapkan bekerjasama
Fase ini meliputi
dengan Tim Pengumpul
pencarian untuk tubuh,
Bukti, Tim Investigasi
properti dan bukti.
Bencana, dan Tim
Kontrol Akses dan
Keamanan 27
Dalam kasus bencana dengan sejumlah besar korban,
pembentukan bagian operasional untuk pengumpulan bukti
pemulihan dan merupakan kebutuhan mutlak. Bagian
operasional bertanggung jawab untuk:

 rekoveri/pemulihan semua badan dan bagian tubuh di lokasi


bencana;
 pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi
bencana yang tidak secara langsung sesuai dengan pemulihan
kembali dari suatu bagian tubuh atau badan;
 pengumpulan dan pelestarian efek pribadi lainnya dari korban
bencana yang ditemukan di sekitarnya/sekeliling daerah
bencana (misalnya barang-barang pribadi korban di hotel, dll).

28
I. Pemulihan dan pengumpulan bukti
/ pelestarian prosedur
 Pencocokan bagian tubuh yang terpisah harus dilakukan hanya oleh ahli
medis forensik berwenang, dan bukan oleh personil pemulihan/rekoveri.
Lebih umum, itu harus dihindari dan setiap bagian tubuh harus diberi
label. Ahli medis dan gigi harus di tempat untuk membantu polisi dalam
mengumpulkan bagian-bagian tubuh dan khususnya tulang dan gigi.
 Selama operasi pemulihan, personil seharusnya tidak mencari bukti
identitas atau menghilangkan objek-objek dari pakaian korban
(pengecualian: tim koleksi bukti, di sini dokumentasi menyeluruh harus
dilakukan) atau tempat benda-benda tersebut dalam korban pakaian.
 Seharusnya jelas selama operasi pemulihan bahwa kondisi tubuh dapat
berubah dengan cepat karena pengaruh eksternal (cuaca, dll); sampel
DNA (dari seluruh darah) harus diperoleh dari korban sebelum dimulainya
operasi pemulihan. (Sebuah perintah yang sesuai harus dikeluarkan oleh
komandan Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti)
29
II. Titik Pengumpulan (Collection Points)

1. Pusat Komando Pemulihan  Untuk edisi pemulihan dokumen


(Recovery Command Centre) ataupun barang-barang untuk Tim
 Harus didirikan di sekitar lokasi Pemulihan dan Koleksi Bukti
bencana sebagai stasiun kamar yaitu:
mayat, sebagai pusat koleksi tubuh  laporan rekoveri [Formulir Interpol
(situs) untuk tubuh dan bagian DVI Post Mortem (merah muda),
tubuh yang disampaikan oleh Tim Bagian B]
Pemulihan dan Bukti Koleksi.  daftar bukti
Pusat Komando menjamin  pelat nomor
penyimpanan sementara yang tepat
dari tubuh / bagian tubuh dan  kantong mayat
memelihara daftar korban  segel
pemulihan berdasarkan data yang  Dokumen pemulihan direview oleh
diperoleh dari laporan pemulihan. Pusat Komando Pemulihan untuk
memastikan kelengkapan baik di
saat ini dan pengembalian. 30
II. Titik Pengumpulan (Collection Points)

2. Pusat Koleksi Bukti / Properti diperlukan (misalnya item nilai /


(Evidence/Property Collection dokumen pribadi, dll).
Centre) penyimpanan terpisah objek-objek
 penyegelan dan penyimpanan yang diidentifikasi sebagai properti
benda-benda yang dikumpulkan dan notasi sebagai "properti" di
dengan tepat bagian "Keterangan" dari daftar
 persiapan catatan di atas tangan bukti.
untuk barang-barang bukti yang  persiapan foto barang properti yang
harus menjalani pemeriksaan lebih diperlukan untuk keperluan
lanjut untuk tujuan identifikasi atau identifikasi / pencocokan
analisa forensik sebelum  menyusun pengembalian properti
perampungan scene‐of‐crime kepada pemilik / penerima yang
operations berhak
 pengujian barang properti yang
relevan untuk diidentifikasi dan
31
klasifikasi sebagai bukti, yang
KESIMPULAN
 Tim DVI mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua
usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku
secara nasional maupun Internasional pada korban-korban mati massal
akibat bencana (Disaster Victim Identification).
 Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang
berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik
secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian
yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya,
sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan
bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.
 Proteksi pada kehidupan memiliki prioritas utama dibandingkan yang lain,
ini berlaku tidak hanya untuk korban bencana tapi ini juga berlaku pada
personil. Cara lain dalam mencegah atau mengurangi bahaya lebih lanjut
itu dapat dilakukan dengan cara pengamanan daerah bencana sehingga tim
dapat bekerja maksimal tanpa ada gangguan dari luar seperti penonton,
wartawan, dll. 32
33

Anda mungkin juga menyukai