Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk


mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu
pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual
diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status
perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan


data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka
semakin banyak yang baik.

B. Tujuan DVI (Disaster Victim Identification)

Tujuan DVI secara umum adalah sebagai berikut:

a. Dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan


secara hukum, sempurna dan paripurna degan semaksimal mungkin
sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia, dimana seorang
mayat mempunyai hak untuk dikenali
b. Awal penyidikan
c. Kepentingan civil legal aspect seseorang( asuransi, warian)

C. Tugas Utama DVI

Tugas utama DVI secara umum adalah sebagai berikut :

a. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk


melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian.
b. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat
rujukan korban meninggal.
c. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya
yang ada.
d. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
e. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait.

D. Tahap DVI

Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya


mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :

a. Fase I – TKP (The Scene)

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian


peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling
utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah
organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus,
polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan.
Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas
polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi
berikut :

1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat


untuk area bencana
2) Perkiraan jumlah korban
3) Keadaan mayat
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI
6) Metode untuk menangani mayat
7) Transportasi mayat
8) Penyimpanan mayat
9) Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs


bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau
untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk
mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI


harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak
menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak


berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI


harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti
yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando


DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah
diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk
kemudian dievakuasi.

b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska


kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh
organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai
pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat
data selengkap–lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan
data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah


korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam
jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan
ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang
yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga
cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke


dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)


2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga


sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska
kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada
lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

c. Fase III – Ante Mortem

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah


sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah
maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat
berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah
(tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data
sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat
korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan
untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian
terakhir yang dikenakan korban.

d. Fase IV – Rekonsiliasi

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi
positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak
cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah
tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan
temuan post mortem jenazah.
e. Fase V – Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan


kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk
dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

E. Pemulihan dan Pengumpulan Bukti

Seperti aturan, pencarian mayat korban bencana tidak bisa dimulai


sampai semua korban telah diselamatkan. Unit-unit penyelamatan darurat yang
tiba di lokasi bencana depan tim pemulihan harus diinformasikan sesuai itu,
sementara penyelamatan kehidupan dan perawatan medis didahulukan,
perawatan harus diambil selama darurat untuk memastikan bahwa
banyak tubuh dan bukti bagian tubuh sebagaimana bukti lainnya, efek
personal, dll, yang tidak tersentuh.

Pemulihan tubuh / bagian tubuh dan menyimpan bukti / barang pribadi


yang ditemukan dilokasi bencana merupakan langkah pertama dalam proses
identifikasi korban, dan operasi inidalam kebanyakan kasus mulanya kacau dan
tidak terorganisir. Karena sejumlah besar unitorganisasi sering sangat berbeda
terlibat dalam proses ini, komunikasi dan koordinasi fungsi dan tanggung
jawab sangat sulit.

Untuk mengatasi kekacauan awal, pencarian terstruktur dan fase


penemuan harus disiapkan bekerjasama dengan Tim Pengumpul Bukti
(Evidence Collection Team) Tim Investigasi Bencana(the Disaster
Investigation Team) dan Tim Kontrol Akses dan Keamanan ( Access Control
and Security Team). Fase ini meliputi pencarian untuk tubuh, properti dan bukti
(yang juga dapat digunakan dalam penyelidikan berikutnya ke penyebab
bencana).

Dalam kasus bencana dengan sejumlah besar korban, pembentukan


bagian operasional untuk pengumpulan bukti pemulihan dan merupakan
kebutuhan mutlak. Bagian operasional bertanggung jawab untuk:

a) rekoveri/pemulihan semua badan dan bagian tubuh di lokasi bencana;


b) pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi bencana
yang tidak secara langsung sesuai dengan pemulihan kembali dari suatu
bagian tubuh atau badan;
c) pengumpulan dan pelestarian efek pribadi lainnya dari korban bencana
yang ditemukandi sekitarnya/sekeliling daerah bencana (misalnya barang-
barang pribadi korban di hotel,dll).

Sedapat mungkin, tanggung jawab untuk pemulihan dan operasi


pengumpulan bukti harusditempatkan di tangan polisi, spesialis seperti
odontologists dan patologist yang dilatih untuk mengenali dan membedakan
jaringan manusia yang diperlukan.

a. Pemulihan dan pengumpulan bukti / pelestarian prosedur

Sebelum dimulainya operasi, personil operasional harus diberikan


pengarahan mengenaisituasi keseluruhan. Lokasi bencana dicari dan
diproses secara metodis sector per sektor. Setiaptim individu harus diberi
sektor tertentu dari daerah bencana ditentukan oleh komandan
sektor operasi. Sebelum memasuki daerah bencana, personel operasional
harus dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang tepat dan pakaian
(helm, overall, sepatu bot, sarung tangan karet, dll)dan disediakan oleh
Pusat Komando Pemulihan (Recovery Command Centre) dengan
dokumenyang diperlukan untuk pemulihan setiap bagian tubuh / badan dan
barang bukti. Tim ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
pencarian menyeluruh dari sektor ditugaskan dilakukan.
Dalam rangka untuk melakukan tugas secara bertanggung jawab,
prinsip-prinsip berikutharus diperhatikan:

1) pencocokan bagian tubuh yang terpisah harus dilakukan hanya oleh ahli
medis forensik berwenang, dan bukan oleh personil
pemulihan/rekoveri. Lebih umum, itu harus dihindari dansetiap bagian
tubuh harus diberi label. Ahli medis dan gigi harus di tempat untuk
membantu polisi dalam mengumpulkan bagian-bagian tubuh dan
khususnya tulang dan gigi.
2) selama operasi pemulihan, personil seharusnya tidak mencari bukti
identitas atau menghilangkan objek-objek dari pakaian korban
(pengecualian: tim koleksi bukti, di sinidokumentasi menyeluruh harus
dilakukan) atau tempat benda-benda tersebut dalam korban pakaian.
3) seharusnya jelas selama operasi pemulihan bahwa kondisi tubuh dapat
berubah dengan cepatkarena pengaruh eksternal (cuaca, dll); sampel
DNA (dari seluruh darah) harus diperoleh darikorban sebelum
dimulainya operasi pemulihan. (Sebuah perintah yang sesuai harus
dikeluarkanoleh komandan Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti.)

Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti melakukan tugas-tugas berikut


yang berkaitan dengan pemulihan tubuh:

1) Lokalisasi semua badan / bagian tubuh


2) Eksposur tubuh, jika perlu (dengan bantuan dukungan personil yang
tepat dan peralatanyang sesuai)
3) Marking tubuh / bagian tubuh dengan pelat nomor bukti yang jelas
dibaca dan tidak dapat dihapus.
4) Penempatan pisahan unik untuk setiap bagian tubuh / badan
5) Dokumentasi situs penemuan (deskripsi, foto, sketsa atau survei dari
posisi tubuh dengan bantuan GPS dan/atau instrumen survei TKP)
6) Dokumentasi foto tubuh untuk file pemulihan dan pemeriksaan medis
forensik
7) Melampirkan nomor pemulihan untuk bagian tubuh / badan. Nomor
ini digunakansebagai nomor referensi tubuh dan tetap ditempelkan di
bagian tubuh / tubuh selama proses identifikasi keseluruhan.
8) Perampungan Formulir DVI Interpol Post Mortem (merah muda),
Bagian B, (DataRecovery), dengan mengacu ke nomor pemulihani
9) Penempatan bagian tubuh / tubuh dalam kantong mayat, lampiran
nomor pemulihanuntuk bagian luar kantong mayat, penyegelan
kantong mayat
10) Transportasi bagian tubuh / tubuh ke Pusat Komando Pemulihan
11) Perbaikan dan penyusunan dokumen pemulihan dan penyerahan
dokumentasi ke PusatKomando Pemulihan; pengadaan dokumen
pemulihan baru bila diperlukan
12) Transfer bagian tubuh / badan dan dokumen pemulihan untuk Pusat
Komando Pemulihan(Recovery Command Centre)
b. Titik Pengumpulan (collection points)

1. Pusat Komando Pemulihan (Recovery Command Centre)

Dalam konsultasi dengan komandan sektor operasi, Pusat


Komando Pemulihan harusdidirikan di sekitar lokasi bencana sebagai
stasiun kamar mayat, sebagai pusat koleksi tubuh(situs) untuk tubuh
dan bagian tubuh yang disampaikan oleh Tim Pemulihan dan Bukti
Koleksi.Pusat Komando menjamin penyimpanan sementara yang tepat
dari tubuh / bagian tubuh danmemelihara daftar korban pemulihan
berdasarkan data yang diperoleh dari laporan pemulihan.

Pusat Komando Pemulihan juga menyediakan untuk edisi


pemulihan dokumen ataupun barang-barang untuk Tim Pemulihan dan
Koleksi Bukti yaitu:

a) laporan rekoveri (Formulir Interpol DVI Post Mortem (merah


muda), Bagian B)
b) daftar bukti
c) pelat nomor
d) kantung mayat
e) segel

Dokumen pemulihan direview oleh Pusat Komando Pemulihan


untuk memastikan kelengkapan baik di saat ini dan pengembalian.

2. Pusat Koleksi Bukti / Properti (Evidence/Property Collection Centre)

Pusat Koleksi Bukti / Properti juga harus didirikan di sekitar


lokasi bencana dalamkonsultasi dengan Komandan Tim Pemulihan dan
Koleksi Bukti. Bukti / properti ditemukan dilokasi bencana
dikumpulkan di Pusat Koleksi bersama dengan efek pribadi para korban
bencana.Objek yang relevan diidentifikasi dan didaftar secara sesuai.
Informasi yang berkaitan denganidentitas pribadi yang berasal dari
benda-benda ini diteruskan ke Tim Identifikasi Korban. PusatKoleksi
Bukti / Properti juga melakukan fungsi-fungsi berikut:

a) penyegelan dan penyimpanan benda-benda yang dikumpulkan


dengan tepat
b) persiapan catatan di atas tangan untuk barang-barang bukti yang
harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk tujuan identifikasi
atau analisa forensik sebelum perampungan scene‐of‐crime
operations
c) pengujian barang properti yang relevan untuk diidentifikasi dan
klasifikasi sebagai bukti,yang diperlukan (misalnya item nilai /
dokumen pribadi, dll). penyimpanan terpisahobjek-objek yang
diidentifikasi sebagai properti dan notasi sebagai "properti" di
bagian"Keterangan" dari daftar bukti.
d) persiapan foto barang properti yang diperlukan untuk keperluan
identifikasi / pencocokan
e) menyusun pengembalian properti kepada pemilik / penerima yang
berhak
F. Koordinasi Respon DVI dengan Disiplin Lain

Ada banyak lembaga spesialis yang terlibat dalam tanggap bencana dan
oleh karena itu penting untuk mengakui dan menghargai bahwa masing-masing
memiliki fungsi dan area tanggung jawab yang sangat penting. DVI merupakan
bagian dari tanggap darurat tersebut dan untuk memastikan bahwa manajemen
DVI secara efektif memaksimalkan keahlian, saran dan sumber daya yang ada
dari lembaga penyumbang tersebut, struktur, rencana dan pengaturan
hubungan yang efektif perlu diciptakan dan dilaksanakan.

Koordinasi operasi penanggulangan bencana yang efektif hanya dapat


diyakinkan jika komando dan struktur organisasi yang berfungsi dengan benar
diterapkan. Hal ini terutama terjadi pada DVI, di mana banyak lembaga dan
organisasi, dengan fungsi dan tanggung jawab yang beragam dan bersaing
diperlukan untuk bekerja sama. Implementasi struktur komando dan jalur
komunikasi yang jelas dapat menghindari kebingungan dan disfungsionalitas.
Karena respons DVI merupakan bagian dari keseluruhan tanggap bencana,
berbagai elemen perintah DVI perlu digabungkan secara efektif ke dalam
struktur organisasi otoritas utama. Yang terpenting, pola pikir fleksibilitas
harus berlaku saat mengintegrasikan operasi DVI ke dalam respons darurat
multidisiplin sehingga kebingungan dapat diminimalisir dan tujuan umum
dapat dikejar. Setelah tinjauan awal dan penilaian atas situasi telah diperoleh
dari lokasi bencana, unit operasional yang berbeda harus dibentuk untuk
melaksanakan kegiatan tanggap bencana. Unit-unit ini harus dapat dikenali
dengan jelas dan ditugaskan untuk tugas dan tanggung jawab tertentu. Otoritas
utama juga harus menetapkan struktur untuk mempromosikan komunikasi
yang efektif antara unit operasional untuk memastikan bahwa informasi
penting disampaikan ke dan dari penerima yang tepat. Selama tanggapan multi-
nasional, keputusan awal mengenai prosedur, bahasa dan struktur misi
tanggapan sangat penting untuk meningkatkan koordinasi.
Dalam hal agen respons khusus yang cenderung hadir dilokasi
bencana, pada awalnya terbatas pada polisi, pemadam kebakaran dan
ambulans.

Bagan 1. struktur respons multidisiplin terhadap kejadian bencana


Bagan berikut adalah contoh dasar struktur respons multidisiplin
terhadap kejadian bencana. Bergantung pada sifat respons, prosedur lokal dan
lembaga pemberi kontribusi, struktur dan saluran pelaporan mungkin berbeda
secara signifikan. Namun, contoh ini menyoroti kebutuhan untuk menyadari
bahwa peristiwa korban massal mungkin melibatkan berbagai lembaga dan
otoritas yang harus dikenali dan disusui oleh DVI.
Hal yang kritis terhadap proses DVI adalah keterlibatan spesialis
terlatih dan berpengalaman. Berikut ini diakui sebagai disiplin utama yang
terlibat dalam aspek teknis proses DVI ahli Patologi Forensik, ahli forensik
odontologi, ahli Sidik Jari - (Pakar Gesekan Ridge), ahli biologi forensik /
ahli genetika, antropolog Forensik.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode
dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol
menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical,
Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang
cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang
sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.

Bagan 2. disiplin utama yang terlibat dalam aspek teknis proses DVI

G. Identifikasi Korban

Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang)


pada awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu
tindak pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan
adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan
yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia. Pengetahuan
identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis
pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan
memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna
rambut, mata dan lain-lain.

Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahan-


perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya
usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.
Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik
jari (Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun
1614- 1712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan
dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan Francis
Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan
matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai
ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang
memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari sistem ini
adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk
pembanding. Adanya perkembangan ilmu pengetahun, saat ini berbagai
disiplin ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk meng- identifikasi
seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai disiplin ilmu
kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui
sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai Identifikasi Medik. Manfaat
identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal
(mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk
kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris
dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.

H. Metode Identifikasi

Dalam insiden kematian massal, konfirmasi identitas jenazah manusia


hanya boleh dilakukan oleh Dewan Identifikasi atau otoritas lokal setelah
dilakukan penilaian dan evaluasi yang cermat terhadap data yang relevan dan
dapat diandalkan.
Korban bencana skala besar diidentifikasi berdasarkan penilaian
beberapa faktor. Tingkat dimana sisa-sisa manusia rusak, saat sisa-sisa
manusia dibiarkan terbuka dan perubahan yang terkait dalam kondisi jenazah
manusia akan mempengaruhi sifat dan kualitas data post-mortem. Ini juga
akan mempengaruhi dan menentukan metode identifikasi spesifik yang
mungkin dilakukan dan paling tepat dalam situasi ini.
Metode identifikasi yang digunakan dalam kasus bencana harus secara
ilmiah masuk akal, dapat diandalkan, dapat diterapkan dalam kondisi
lapangan dan mampu diimplementasikan dalam jangka waktu yang wajar.
Alat identifikasi utama dan paling dapat diandalkan adalah analisis ridge
gesekan, analisis gigi komparatif dan analisis DNA. Nomor seri unik dari
implan medis juga bisa menjadi pengenal yang dapat diandalkan dalam hal
membuktikan identitas. Alat identifikasi sekunder meliputi deskripsi pribadi,
temuan medis, tato, serta properti dan pakaian yang terdapat di tubuh. Alat
identifikasi ini berfungsi untuk mendukung identifikasi dengan cara lain dan
biasanya tidak memadai sebagai satu-satunya alat identifikasi (walaupun
tergantung pada keadaan, mungkin ada beberapa pengecualian).
Identifikasi berdasarkan foto bisa sangat tidak dapat diandalkan dan
harus dihindari sebagai satu-satunya alat identifikasi. Identifikasi visual oleh
saksi dapat memberikan indikasi identitas namun tidak cukup untuk
identifikasi positif korban bencana skala besar, karena korban dapat
mengalami cacat, sehingga perbandingan visual menjadi tidak dapat
diandalkan. Tekanan psikologis sering dilibatkan.
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan
berbagai metode dari yang sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
1. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini
mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa
profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat
telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor
psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2. Melalui kepemilikan (property), identititas cukup dapat dipercaya
terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri)
masih melekat pada tubuh korban.

3. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan
lain sebagainya.
b. Metode ilmiah
1. Sidik jari,
2. Serologi,
3. Odontologi,
4. Antropologi
5. Biologi.
Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai
disiplin ilmu ternyata dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak
dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan akurasi yang sangat tinggi
dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Metode ilmiah
yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara
ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan
sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu
diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara
yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja,
segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena
semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat.
Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan
memberikan hasil yang positif (tidak meragukan). Prinsip dari proses
identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan datadata
tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin
banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau
DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan
primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus
dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri
identitas yang pasti.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah
dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak,
seperti halnya kebakaran.

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi,


kita dapatkan 2 kemungkinan:
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi
atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara
lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas
umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data
orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur
atau jeniskelamin. Ciri-ciri demikian antara lain :misalnya adanya gigi
yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga
dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto
korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara
tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.
c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya
dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan tehnik
ini adalah:
1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode
identifikasi yang dipakai yaitu:
a. Primer/utama yaitu dengan gigi geligi, sidik jari, DNA
b. Sekunder/pendukung yaitu dengan visual, properti, medik

I. Setelah Korban Teridentifikasi

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan


jenazah yang meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas
khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan
pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga
dengan korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana Perawatan jenazah setelah
teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini
Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.
Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat
sulit mengingat berapa hal di bawah ini jumlah korban banyak dan kondisi
buruk, lokasi kejadian sulit dicapai, memerlukan sumber daya pelaksanaan
dan dana yang cukup besar, bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan
koordinasi yang baik. Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi
massal ini adalah koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan
peralatan komunikasi dan transportasi. Pada prinsipnya, tim identifikasi pada
korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah
terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi
terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas
Kesehatan Tk. I Sumut, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah
Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak dan Satlak.10
Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi
(Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab
dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban
banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain
tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan,
kelalaian ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai
jumlah korban untuk dimasukkan dalam kriteria korban massal.

DAFTAR PUSTAKA

Singh, Surjit. 2008. Disaster Victim Identification (DVI). Available from :


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-
41%20(11).pdf Accessed on 15 oktober 2014
Yuliyanti, Arrum C. Disaster Victim Identification (DVI). Available from :
https://www.scribd.com/doc/146509758/DVI Accesed on 17 oktober 2014

Sidiek, Aboesina,dkk. 2012. Disaster Victim Identivication (DVI) Pada Bencana


Letusan Gunung Merapi dan Serangan Terorisme Bom Bali I. Universitas
Diponegoro. Semarang.

Badan nasional penanggulangan bencana.2011. Disaster Victim Identification


(DVI) Indonesia. Available from:
http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp?id=328. Accessed on 17
desember 2011

G, Lau, W.F. Tan, P-H. Tan, 2005, After the India Ocean Tsunami: Singapore ’s
Contribution to the international Disaster Victim Identification Effort in Thailand:
Ann Acad Med Singapore; 34:341-51, Access on 11 december 2011

INTERPOL. 2009. Disaster Victim Identification Guide. chapter 3 pp 11-14.


London: INTERPOL.

Kementrian kesehatan RI. 2010. Disaster Victim Identification (DVI). Available


from:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:disa
ster-victim- identification-dvi- . Accessed on 17 desember 2011

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no 17 Tahun 2009


Tentang Manajemen Penanggulangan Bencana. 2009. Hlm,1. Diunduh dari

https://www.polri.go.id/pustaka/pdf/PERATURAN%20KAPOLRI%20NO
MOR%207%20TAHUN%202009%20TENTANG%20SISTEM%20LAP
ORAN%20GANGGUAN%20KEAMANAN%20DAN%20KETERTIBA
N%20MASYARAKAT.pdf

Interpl Disaster Victim Identification Guide. 2014. Hlm. 15-18 Diunduh dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3
&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjK05OyueXVAhXGpY8KHf_rDoEQF
gg1MAI&url=https%3A%2F%2Fwww.interpol.int%2FMedia%2FFiles%
2FINTERPOL-Expertise%2FDVI%2FDVI-Guide-
20082&usg=AFQjCNEdMVldpcx8zP6_4C--XQ8oEtHepQ
Singh, S. Penatalaksanaan Identifikasi Korban: Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 41 No. 4, Desember 2008. Hlm. 254-25

Anda mungkin juga menyukai