Anda di halaman 1dari 14

Identifikasi korban bencana massal ( Disaster victim identification/DVI).

A. Definisi

Pengertian bencana dari World Health Organization (WHO) adalah setiap


kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia
atau memburuknya derajat keehatan atau pelayanan kesehatan dari luar masyarakat
atau wilayah yang terkena.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, bencana adalah


peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang bermakna, sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. (Silver,
2009; Pusponegoro, 2006)

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk


mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol. Proses DVI
menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah menentukan
adanya Primary Identifiers yang terdiri dari analisis sidik jari, rekam analisis
kedokteran gigi forensik, dan analisis DNA, sedangkan Secondary Identifiers terdiri
atas medical data (M), property (P) dan photography (PG). (Prawestiningtyas,
2009; Interpol, 2014). Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang
cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers

Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban


massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar,
kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan
insiden lainnya dalam pencarian korban.

Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya


identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober
2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi
yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99%
yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.

B. Tugas Utama DVI:

1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan
evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat
rujukan korban meniinggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang
ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait

Setiap operasi respon bencana dimulai dengan pengukuran kegawatan untuk


mencegah atau mengurangi bahaya yang lebih lanjut :
1. Pertolongan pertama bagi korban luka
2. Pengukuran Personal security
3. Pengukuran property security

C. Identifikasi korban
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh
dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun
1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran
anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak
kendala-kendalanya oleh karena perubahan- perubahan yang terjadi secara
biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam
menyimpan data secara sistematis.
Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik
jari (Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun
1614-1712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan
dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan
Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan
perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi
mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkina adanya 2 orang

yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari
sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk
pembanding.
Adanya perkembangan ilmu pengetahun, saat ini berbagai disiplin ilmu
pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang
paling berperan adalah berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali
adalah manusia. Identifikasi melalui sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai
Identifikasi Medik.
Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang
kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk
kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan
menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan. 4,5,6

Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama


Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol
Kep/40/IX/2004 2

D. Proses Disaster Victim Identification


Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua
tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made
disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan
pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan
pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai
institusi.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai
dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam
masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI
fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di
TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih
berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah
a) Metodologi dan fase DVI
Pada prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu :

1 Initial Action at the Disaster Site

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana.
Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa
luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando
operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul
tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala
tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP
untuk mengevaluasi situasi berikut :
1. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk
area bencana.
2. Perkiraan jumlah korban.
3. Keadaan mayat.
4. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
6. Metode untuk menangani mayat.
7. Transportasi mayat.
8. Penyimpanan mayat.
9. Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga
langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua
adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau
pelabelan.

1) To Secure
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

 Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak


berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
 Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
 Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
 Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
 Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehadiran dan otorisasi.
 Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana.

2) To Collect
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.

3) Documentation
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi
nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

2 Collecting Post Mortem Data


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan
oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando
DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban.

Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari


yang sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena
identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara
ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih,
dll)
2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila
kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh
korban.
3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagai
b. Metode ilmiah,
Prosedur identifikasi korban terdiri dari 4 utama tahap, yaitu:
1) penandaan dan mengantongi tubuh,
2) sidik jari,
3) patologi forensik, dan
4) kedokteran gigi forensik. Mayat-mayat itu, tentu saja, didinginkan baik sebelum
dan setelah prosedur, dan kemudian dibalsemkan setalah itu dipulangkan.

Body Tagging and Bagging

Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi yang unik, diikuti oleh
penempatan di dalam kantong kedap air tubuh dilakukan oleh tim DIV. DVI merancang
sistem pelabelan yang terdiri urutan angka berikut: telepon kode negara internasional-situs
nomor - (5-digit) tubuh nomor (misalnya 65-1-00123) .

Fingerprinting
Sidik jari dari tubuh yang sangat membusuk atau mengalami lebam mayat( post
mortem), yang hampir selalu menunjukkan deskuamasi (mengelupas) kulit yang
meluas, menimbulkan tantangan yang cukup untuk petugas polisi yang ditugaskan untuk
tugas itu. Identifikasi fingerprinting mengunakan "teknik bubuk", yang memerlukan
aplikasi hati-hati dan lembut, dimana prosesnya menabur bedak kering ke ujung jari
dengan kuas, disertai permukanan dari kulit longgar di bagian distal dari jari-jari yang
berisi lipatan kulit yang unik, teknik ini bekerja dengan cukup sukses

Forensic Pathology
Setiap tubuh berlabel dan sidik jarinya diperiksa oleh tim 4-anggota DVI, yang terdiri
dari ahli patologi forensik, seorang teknisi anatomis, seorang penulis (biasanya seorang
perwira polisi atau penyidik forensik kematian), dan seorang fotografer (biasanya adegan-
of-kejahatan atau petugas FMB). Dalam bencana massal hebat, tujuan dari pemeriksaan
post-mortem (AM) adalah untuk mendapatkan petunjuk yang mungkin menyebabkan
identifikasi positif dari para korban yang meninggal, bukan untuk menetapkan penyebab
kematian (yang sebagian besar akan terjadi karena tenggelam atau beberapa luka-luka
yang ditimbulkan oleh bencana alam). Sebuah prosedur yang disederhanakan karena itu
didirikan untuk mempercepat pemeriksaan apa yang ribuan tubuh yang sangat busuk.
Prosedur ini terdiri langkah-langkah berikut:
a) Tubuh dikirm ke kamar mayat oleh bagian sidik jari.
b) Penulis menerima dan menandatangani formulir pelacakan.
c) Ahli patologi dan juru tulis mengkomfirmasikan nomor tubuh, menggunakan
formulir
PM merah muda DVI (seperti yang ditentukan oleh
Interpol). d) Nomor tubuh difoto.
e) Teknisi mengangkat dan mencuci pakaian korban(jika ada) untuk menampilkan
masing- masing merek, ukuran, warna dan desain, pakaian itu kemudian difoto dan
dicatat.
f) Semua efek perhiasan dicuci, difoto dengan tubuh tempat terpasangnya
perhiasan , dijelaskan dan direkam; mereka kemudian ditempatkan dalam
kantong tertutup yang, pada gilirannya, ditempatkan dalam kantong mayat.
g) Sebuah pemeriksaan luar tubuh dilakukan antara lain untuk menentukan jenis
kelamin, tinggi, usia diperkirakan (kebanyakan mustahil), melihat tato, bekas
luka (trauma dan terapi), fisik kelainan dan karakteristik lainnya dicatat.
h) membuat sayatan pada garis tengah untuk memeriksa ada/tidaknya kantong
empedu, usus buntu, genitalia interna wanita, dan bukti visum lain. Dalam hal ini,
i) penulis pertama ditemui kasus laparotomi sebelumnya, laparoskopi kolesistektomi
dan histerektomi total halaman dan bilateral salpingo-ooforektomi. Kadang-kadang,
degradsi post-mortem yang cepat menjadikan sulit untuk menetapkan adanya
tindak kekerasan, meskipun bekas luka apendisektomi akan membantu. Dibuat
sayatan lain, di mana diperlukan, misalnya, di mana ada bekas luka
sternotomy garis tengah, yang menunjukkan sebelumnya bedah kardiotoraks,
atau bekas luka bedah terkait dengan pinggul total atau operasi penggantian lutut.
j) Bukti dari setiap penyakit lain diidentifikasi, dicari dan dicatat.
k) pembersihan mandibula untuk memfasilitasi selanjutnya pemeriksaan gigi
forensik.
Tubuh akhirnya disampaikan ke bagian gigi.

Forensic Dentistry
Ilmu gigi forensik terdiri 2 bagian: pemeriksaan gigi dan radiologi gigi. Tim dari
odontologists diawasi oleh seorang odontologist senior ("dokter gigi super"), bekerja di
bagian ini. Untuk memudahkan pemeriksaan gigi. Untuk memudahkan pemerikasaan
dilakukan insisi bilateral dari leher anterior atas ke bagian belakang telinga. Kulit dan
jaringan di bawahnya kemudian terdorong ke atas seluruh wajah untuk mengekspos rahang
atas dan rahang bawah.

Pada bagian pemeriksaan gigi, 1 dokter gigi (pemeriksa) memeriksa gigi tetap,
sementara yang lain (juru tulis) mendokumentasikan hasil. Jumlah tim bisa sampai dengan
4 orang yang bisa bekerja di bagian ini pada waktu itu.

Pertama gigi-gigi disikat bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto Three Polaroid ®
diambil, yang terdiri dari pandangan frontal gigi anterior, dan pandangan oklusal rahang
atas dan bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh.

Tim penguji-juru tulis gigi kemudian mulai untuk menulis catatan post-mortem gigi.
Dokter gigi melakukan pemeriksaan gigi dan melaporkannya dengan berseru sedikit keras
untuk setiap jenis gigi, sedangkan juru tulis dokter gigi memetakan mereka dalam bentuk
DVI merah muda menggunakan interpol dental charting system.

Interpol dental charting system dipekerjakan oleh World Dental Federation (FDI)
yang memberikan penomoran gigi, yang membagi menjadi 4 kuadran dentitions, nomor
1 sampai 4. Kuadran kanan atas adalah 1, 2 kiri atas, kiri bawah dan kanan bawah 3, 4.
Gigi diberi nomor dari garis tengah ke posterior, misalnya, gigi seri tengah adalah # 1, # 3
dan taring molar ketiga #8. Gigi dilambangkan dengan kode 2-digit (kuadran dan gigi).
Rincian sistem post-mortem charting Interpol dirangkum dalam Lampiran.

Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan dan dikembalikan atau
disambung dengan saluran akarnya untuk diidentifikasi untuk penyelidikan lebih lanjut
mengunakan radiografi. Gigi yang tak disambung ke akarnya kemudian dipilih untuk
ekstraksi. Gigi-gigi ini akan menyediakan sumber DNA genom untuk profil DNA. Gigi
yang dipilih untuk di ekstraksi adalah gigi geraham, karena pulp mereka lebih besar, gigi
utuh lainnya juga bisa dipilih. Jika gigi seperti itu tidak tersedia, seperti pada orang tua
atau bayi, segmen poros tulang femur akan digunakan walaupun ada gangguan patologis
ataupun ada gangguan nonpotologis.

Pada bagian radiologi gigi, odontologists juga bekerja berpasangan. Satu dokter gigi akan
melakukan prosedur x-ray gigi tetap, sementara yang lain, setiap film berlabel terkena
dengan jumlah tubuh sebelum mengirimkan mereka untuk diproses. Dua sayap gigitan
radiografi, 1 untuk setiap sisi rahang, dan radiografi tambahan lainnya diambil.
Setelah film telah selesai diproses, mereka diperiksa untuk kualitas. Setiap informasi lebih
lanjut mengungkapkan dengan radiografi akan direkam dalam bentuk DVI merah muda.
Jika perlu, radiografi diulang. Setelah radiograf dianggap memuaskan, gigi yang
diidentifikasi sebelumnya untuk profil DNA akan diekstraksi, ditempatkan dalam wadah
plastik steril, dan dikirim ke area pengumpulan DNA. Para, dokter gigi, akan melaksanakan
pemeriksaan final dari dokumen dan radiografi, sebelum mengembalikan tubuh kedalam
wadah pendingin.

Meskipun ilmu gigi forensik adalah proses melelahkan dan memakan waktu, itu
menghasilkan informasi yang mengarah pada identifikasi yang relatif cepat dari sejumlah
korban di tahap awal proses DVI.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer
dan data sekunder sebagai berikut :
Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA.
Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-Antropologi (Tinggi Badan,
Ras, dll).

Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya
dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

3 Collecting Ante Mortem Data


Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat
dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup,
interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman
pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang
tua maupun kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat
digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian
terakhir yang dikenakan korban.

4 Reconciliation

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem
milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti
cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang
dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah.

5 Returning to the Family


Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah,
dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando
DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh
keluarga korban. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan
segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik.
Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya)
dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini
dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan didasarkan
pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi
atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation
terkadang menemui hambatan – hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan
oleh buruknya sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan
data ante mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin
Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem
sering menemui kendala.
Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak
semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli
miliknya sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh
orang lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si
pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan
pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang masih
sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem juga
tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai organisasi yang
memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai untuk membayar
pemeriksaan.
Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya
menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan
pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana
tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya.
Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang
tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah merupakan
keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai hal – hal yang
dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia
merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik
akan sangat diperlukan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

1. INTERPOL. 2009. Disaster Victim Identification Guide. chapter 3 pp 11-14. London:


INTERPOL.

2. Kementrian kesehatan RI. 2010. Disaster Victim Identification (DVI).


Available from:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:disaster-
victim- identification-dvi- . Accessed on 10 Pebruari 2014

3. G. Lau, W.F. Tan, P.H. Tan, 2005, After the India Ocean Tsunami: Singapore’s
Contribution to the international Disaster Victim Identification Effort in Thailand: Ann
Acad Med Singapore;34:341-51.

4. Singh, Surgit. 2008. Available from


http://respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf

5. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi


Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1–23

6. Edyy S, DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop, Bandung : 2006


KEPERAWATAN MATRA
Identifikasi korban bencana massal ( Disaster victim identification/DVI).

Dosen :
Desak Nyoman Sithi, SKp, MARS

Disusun Oleh :

Chasilia Indah Rismadhanty 1610701002


Kaifia Amalia 1610701003
Wiwik Puji Rahayu 1610701019
Titi Indahsari 1610701021
Felicita Aktiva 1610701033

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
2018

Anda mungkin juga menyukai