Anda di halaman 1dari 42

Skenario

Pasien, wanita, usia 39 tahun, datang ke RSGM dengan keluhan mulut terasa
terbakar sejak satu minggu yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluhkan lidah
terasa tebal dan kurang bisa merasakan rasa makanan. Pasien berusaha mengatasi
keluhannya dengan memakai obat kumur tetapi keluhan tetap ada. Saat ini pasien
merasa lemas, susah tidur pada malam hari akibat sering buang air kecil, sering
lapar dan haus. TB=155cm, BB= 37kg.BMI (body mass index)=15,4. Klinis intra
oral didapatkan plak putih yang luas pada dorsum lidah,berbatas jelas, dapat
dikerok, tidak sakit. Gingiva kemerahan, mengkilat, BOP (Bleeding on Probing)
+,dan oedem pada semua regio. Gigi 31,32, 41,42 PD (probing depth) 5mm dan
gigi goyang derajat 2.

1
Step 1
1. Body Mass Index : perhitungan berat dan tinggi badan, untuk mengukur
derajat berat badan ideal.
Step 2
1. Apa saja pemriksaan yang dilakukan pada kasus di skenario?
2. Apa yang menyebabkan pasien merasakan sensasi mulut terbakar?
3. Apa yang menyebabkan keluhan pasien tetap ada meskipun telah memakai
obat kumur?
4. Pada skenario, pasien mengeluh sering buang air kecil, lapar, dan haus.
Apakah ada hubungan dengan penyakit sistemik?
5. Apakah penyakit sistemik ada hubungannya dengan keluhan pada rongga
mulut pasien?
6. Apa diagnosis yang sesuai pada kasus di skenario?
7. Bagaimana kegawatdaruratan pada skenario?
8. Bagaimana rencana perawatan yang sesuai pada kasus di skenario?
9. Bagaimana prognosis rencana perawatan pada kasus di skenario?
10. Apakah ada hubungan dari kondisi jaringan periodontal dengan
Candidiasis pada RM ataupun sebaliknya?
Step 3
1. Apa pemeriksaan yang dilakukan pada skenario?
 Pemeriksaan subyektif (anamnesis), berkaitan dengan lesi putih
pada pasien (apakahada rasa skita atau tidak, apakah sudah
mengonsumsi obat atau tidak), untuk penyakit peridontalnya mulai
kpana sudah mulai goyang giginya.
 Riwayat sistemik pada pasien
 Pemeriksaan obyektif
o Pemeriksaan umum : keadaan uumum pasien saat datang ke
dokter (lemas dll)
o Pemeriksaan vital sign
o IO : dilihat bentuk, lokasi, sakit atrau tidak (lsei putih). Gigi
goyang dilihat dari probing depth, BOP, tes mobilitas gigi,
tekstur, kontur, warna dan konsistensi (gingiva).

2
Perlu dilakukan pengerokan pada lesi putih
o EO : melihat kesimeetrisa wajah, memeriksa kelenjar limfe,
 Pemeriksaan penunjang : RO panoramik. HPA swab, kultur, tes lab
(tes gula darah, untuk mengetahui penyakit sistemik pasien), biopsi
(jika curiga pada keganasan tidak bisa dikerok)
2. Apa yang menyebabkan pasien merasakan sensasi mulut terbakar?
 Karena mungkin OH yang buruk, maupun xerostomia karena di
skenario menggunakan obat kumur.
 Pada pemeriksaan sering Bak, diduga mengidap DM, karena sering
mengalami mati rasa, xerostomia, dan sensasi mulut terbakar.
 Karena petanda epitel pada mulut pasien sudah menipis, adanya
infeksi karena bakteri atau jamur sehingga keratin mukosa pada
RM menipis.
 Karena adanya infeksi jamur pada lidah pasien, sebenarnya rasa
sakit tetapi pasien menginterprestasikan dengan rasa terbakar.
3. Apa yang menyebabkan keluhan pasien tetap ada meskipun telah memakai
obat kumur?
 Candidiasis karena obat kumur yang di jual secara umum bersifat
membunuh bakteri tidak pada jamur. Dan xerostomia pasien
semakin memparah keadan cadidiasis.
 Penggunaan obat kumur menyebabkan ketidakseimbangan
organisme RM.
 Karena etiologi utamanya adalah manifestasi keadaan sistemik
yang diderita pasien.
4. Pasien mengluh sering BAK, lapar dan haus apakah ada hubungan dengan
penyakit sistemik?
 Pada pemeriksaan sering Bak, diduga mengidap DM, karena sering
mengalami mati rasa, xerostomia, dan sensasi mulut terbakar.
 Dari sering lapar dan haus sangat menginterprestasikan pasien
menderita DM, karena tinggi gula darah pada pasien.
 Orang BAK pada malam hari mengimplikasikan diduga mengidap
DM.

3
5. Apakah penyakit sistemik ada hubungannya pada keluhannya?
 Iya, karena plak putih pada penderita DM mengalami xerostomia.
Karena self cleansing yang tergganggu diakbatkan sekresi saliva
yang terngganggu.
 Periondotitis, pada orang DM menyebabkan stress oksidatif
sehingga mengganggu vaskularitas, akibatnya pasokan nutrisi
terhambat.
 Penggunaan atibiotik, karena pada pengidap DM sering mengalami
infeksi. Karena antibiotik membunuh bakteri tidak pada jamur.
 Pada orang DM, sel-selnya kekurangan ATP, epitel pada RM
rentan terinfeksi jamur atau bakteri.
 Penyakit periodontalnya karena self cleansing yang kurang
sehingga terjadi akumulasi plak dan kalkulus.
 Karena pasien mengalami burning mouth syndrome makanya
pasien jadi males makan, intake makanan kurang  nutrisi yang
masuk kurang. Pada skenaroi yang terjadi DM tipe 1, karena
herediter, BMI rendah (sel-sel dalam tupuh kekurangan energi.
Sehingga akan bermanifestasi pada RM. Karena sistemiknya
bermanifestasi pada RM.
 Pada pasien DM , padsa saat glikolisis tidak dapat merubah gula
menjadi ATP.
6. Apa diagnosis yang sesuai dengan skenario?
 Suspect Candidiasis pseudomembrane
DD : leukoplakia
 Gigi goyang derajat 2 : periodontitis karena manifestasi kelainan
sistemik.
7. Kegawatdaruratan pada skenario?
 Suspect Candidiasis pseudomembrane karena memiliki rasa sakit
pada lidah dan kebas pada lidah.
 Gigi goyang derajat 2 karena manifestasi kelainan sistemik.
8. Rencana perawatan pada skenario?

4
 Suspect Candidiasis pseudomembrane : antijamur topikal. Setelah
itu diswab dan kultur ke mikrobiologi.
 Periodontitis karena kelainan sistemik : Karena sistemiknya,
dikonsultasikan ke dokter penyakit dalam terlebih dahulu. Jika
masih terkontrol bisa dilakukan SRP dan kuretase.
9. Prognosis sesuai rancana perawatan pada kasus?
 Good jika penyakit sistemik pasien terkontrol, kooperatif, tulang
adekuat
 Fair jika penyakit sistemik pasien terkontrol terbatas, gigi goyang,
jaringan tulang kurang adekuat, sedikit kooperatif
 Poor jika penyakit sistemik pasien tidak terkontrol
 Foto RO untuk mengetahui tulang alveolarnya mengalami resorbsi.
10. Apakah ada hubungan dari kondisi jaringan periodontal dengan
Candidiasis pada RM ataupun sebaliknya?
 Candidiasis bisa menyebabkan penyakit periodontal, tetapi jarang
terjadi.
 Penyakit periodontal tidak bisa menyebabkan candidiasis.

5
Step 4
`
DM Keluhan utama lidah
terasa tebal

Pemeriksaan
Pemeriksaan subyektif Pemeriksaan obyektif
penunjang

Umum Intra oral Ekstra oral

Diagnosis : Candidiasis
oral pseudomembrane

Periondotitis karena
kelainan sistemik

Konsultasi ke
dokter penyakit
dalam

Rencana perawatan

Normal

Pro OM Pro Perio

6
Step 5
1. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan subjektif.
2. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan obyektif.
3. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan penunjang.
4. Mahasiswa mampu mengkaji penegakan diagnosis beserta DD.
5. Mahasiswa mampu mengkaji prognosis.
6. Mahasiswa mampu mengkaji rencana perawatan sesuai dengan
kegawatdaruratan
7. Mahasiswa mampu mengkaji manifestasi DM pada RM.
PR
1. Kapan DM bermanifestasi pada RM?
2. Apakah burning mouth syndrome merupakan gejala atau diagnosis?

7
Step 7
1. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan subjektif.
Pemeriksaan Subjektif adalah Pemeriksaan yang dilakukan dengan
cara tanya jawab berdasarkan keluhan pasien menggunakan bahasa
komunikasi yang sederhana dan mudah dimengerti. (Darby, 2003).
Pemeriksaan Subjektif ada 2 macam, diantaranya adalah

a. Auto anamnesa, yaitu anamnesa tanpa bantuan orang lain.


b. Allo anamnesa, yaitu anamnesa dibantu orang lain. Contohnya
pemeriksaan anak- anak dibantu orang tuanya.
(Darby, 2003)

Cara pengambilan anamnesa yaitu sebagai berikut menurut Wilkins E


tahun 2003 :

a. Chief Complaint (KELUHAN UTAMA)


Chief Complaint atau keluhan utama adalah alasan pasien untuk
dilakukan pemeriksaan. Umumnya, suatu keluhan utama berhubungan
dengan rasa sakit, pembengkakan, tidak berfungsi/estetik. Adapun
alasannya, keluhan utama pasien
merupakan titik permulaan yang terbaik utuk mendapatkan suatu
diagnosis yang tepat. Pada Chief Complaint ini biasanya ditanyakan
tentang penyakit yang diderita dan lokasinya.
b. Present Illnes (Riwayat Penyakit sekarang)
Yang dimaksud dengan Present Illness adalah kronologis dari keluhan
utama yang berhubungan dengan gejaia-gejala, mulai sejak timbulnya
sampai pada waktu riwayat ini dicatat oleh pemeriksa. Pertanyaan
yang diajukan harus dipilih sehingga memperoleh jawaban yang
relevan (berkaitan erat dengan keluhan utama). Pada Present Illness ini
biasanya ditanyakan kapan mulai sakit, bagaimana rasa sakitnya (linu,
sakit berdenyut, dll), bagaimana jika untuk minum dingin/ tidur/
mengunyah dll, dan sekarang bagaimana (sakit tidak). Dengan
demikian Present Illness akan menyangkut seluruh detail dari keluhan

8
utama sehingga waktu yang cukup dan pertanyaan yang hati-hati harus
diperoleh/ dilakukan agar tidak dijumpai kekeliruan.
c. Past History (Riwayat Penyakit dahulu)
Terdiri atas 2 bagian, yaitu
1. Past Dental History (PDH)
2. Past Medical History (PMH)

Pasien ditanya apakah pernah memeriksakan giginya, apakah ada


komplikasi pada waktu pencabutan. Hal ini dapat memberikan
ramalan-ramalan penyembuhan atau tindakan yang akan diberikan dan
ini sangat berharga untuk informasi diagnostik. Yang perlu diingat
mengenai perawatan masa lampau, jangan diarahkan bahwa penderita
merupakan korban dari yang merawat masa lampau. Untuk PMH
ditanyakan mengenai riwayat penyakit yang pernah/sedang diderita,
misal penyakit jantung, diabetes mellitus, hepatitis, alergi dll.

d. Family History (Riwayat Penyakit Keluarga)


Harus ditanyakan keadaan kesehatan umum keluarga adalah apakah
ada riwayat penyakit mental, sebab-sebab kematian dari orang tua,
riwayat penyakit sistemik keluarga, riwayat masalah-masalah gigi
keluarga.
e. Personal and Social Hiistory
Ditanyakan mengenai status perkawinan, kesehatan dari pasangannya,
mengandung/ tidak. Ditanyakan juga kebiasaan-kebiasaan buruk
penderita terutama yang berhubungan dengan kondisi giginya. Secara
sederhana 6 prinsip anamnesis yang baik adalah 5 W + 1 H berupa
Who, Where, What, Why, When and How.
2. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan obyektif.
Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan
pengamatan dan keaktifan operator. Tujuan pemeriksaan obyektif adalah
untuk mengidentifikasi kelainan yang ada pada gigi dan mulut
(Wijaya,2003).
Pemeriksaan ekstra oral, meliputi :

9
1. Pemeriksaan kepala, wajah, dan leher
A. Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan pada kepala dilakukan untuk mengetahui bentuk
dan fungsi kepala serta kelainan yang terdapat dikepala. Pemeriksaan
pada kepala dapat dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi.

Gambar. Pemeriksaan secara palpasi pada kepala


B. Pemeriksaan wajah
Pemeriksaan bentuk wajah terdiri atas 3 pemeriksaan yaitu
tipe wajah, kesimetrisan wajah, dan profil wajah. Tipe wajah ada 3,
yaitu sempit, normal, dan lebar. Kesimetrisan wajah ada 2, yaitu
simetris bilateral dan asimetris. Dikatakan simetris bilateral apabila
wajah terbagi 2 sama lebar dan anatomisnya sama jika ditarik garis
median dari garis rambut ke titik glabela, subnasion (perbatasan
septum nasal dengan bibir atas), dan menton. Profil wajah terbagi
menjadi wajah datar, cembung dan cekung. Untuk menentukan profil
wajah, tarik garis dari titik glablea, subnasion dan pogonion (dagu)
dan dilihat dari arah sagital.
Pemeriksaan pada wajah dapat dilakukan melalui pengamatan dan
palpasi, pemeriksa dapat mengamati simetris atau tidaknya wajah.

10
Gambar. Simetris wajah
C. Pemeriksaan leher
Pemeriksaan pada leher bertujuan untuk mengetahui
integritas leher, bentuk leher serta organ yang berkaitan, dan
memeriksa sistem limfatik. Pemeriksaan pada leher dilakukan
dengan cara inspeksi dan palpasi. Inspeksi pada leher untuk melihat
adanya asimetris, denyutan abnormal, tumor maupun pembesaran
kelenjar limfe dan tiroid. Pemeriksaan palpasi dilakukan pada tulang
hyoid, tulang rawan tiroid, kelenjar tiroid, pembuluh karotis, dan
kelenjar limfe.

Gambar. Pemeriksaan secara palpasi pada leher

Pemeriksaan intra oral meliputi :

1. Pemeriksaan Bibir
Pemeriksaan intra oral yang dapat dilakukan
diantaranya adalah melihat mukosa intra oral dari pasien, yaitu
palpasi mukosa labial bibir bawah, mukosa labial bibir atas dan

11
mukosa bukal untuk melihat konsistensi, karakteristik jaringan
dan indurasi. Setelah itu lakukan juga inspeksi dan palpasi pada
bagian mucobucal fold atas dan bawah untuk melihat
karakteristik jaringan serta pada forniks bawah untuk melihat
posisi frenulum bibir bawah. Palpasi dan inspeksi dilakukan
terus hingga melihat semua anatomi pada intra oral yang
kemungkinan dapat terjadi kelainan atau penyakit, maka
palpasi juga pada bagian retromolar pad, tuberositas, palatum
untuk melihat rugae yang ada pada palatum.
2. Pemeriksaan Palatum Durum dan Tuberositas Maksilaris
Palatum durum diperiksa dengan cara inspeksi dan
palpasi. Inspeksi palatum durum dilakukan untuk melihat
adanya ulserasi, pembengkakan, atau tanda-tanda peradangan.
Inspeksi visual langsung palatum durum dapat dicapai dengan
cara menggunakan mirror. Sedangkan palpasi dilakukan
dengan menggunakan jari telunjuk dan rasakan terhadap
adanya pembengkakan. Palatum durum, mirip dengan gingiva
cekat, dalam keadaan normal berwarna kurang pink
dibandingkan mukosa rongga mulut lainnya karena adanya
peningkatan keratinisasi (Burkhart dan DeLong, 2012).
Pada palatum durum terdapat papilla incisivus yang
terletak di posterior gigi incisivus maksilla. Struktur anatomis
normal ini tampak sebagai nodul kecil imobil yang terletak
langsung di bawah muara ductus nasopalatinal, dimana
kumparan neurovaskuler keluar dari maksila untuk mensupai
mukosa palatum. Tuberositas maksila merupakan daerah distal
molar terakhir, jaringan warna pink secara homogen.
Pemeriksaan tuberositas maksila dilakukan dengan cara palpasi
untuk mengetahui nyeri dan pembengkakan (Burkhart dan
DeLong, 2012).

12
Gambar 1. Struktur normal dari palatum durum

Gambar 2. Contoh tindakan palpasi palatum durum

Gambar 3. Struktur normal tuberositas maksila

3. Pemeriksaan Palatum Molle dan Uvula


Palatum molle memiliki mukosa yang tidak berkeratin,
berwarna pink-salmon, licin, dan mengkilat. Palatum molle
biasanya diperiksa dengan inspeksi. Uvula adalah struktur
jaringan lunak yang terdiri dari otot dan jaringan ikat dan
dilapisi dengan selaput lendir. Uvula dapat diperiksa dengan
inspeksi. Pemeriksaan uvula dilakukan dengan inspeksi warna
uvula, inspeksi lesi dan pembengkakan. Jika terlihat adanya
pembengkakan, kemungkinan klien mengalami uvulitis.
Uvulitis merupakan peradangan pada uvula yang bisa
disebabkan oleh dehihdrasi, merokok, atau reaksi alergi karna
virus dan bakteri (Burkhart dan DeLong, 2012).

13
Gambar 4. Struktur normal palatum molle

Gambar 5. Contoh tindakan inspeksi palatum molle

Gambar 6. Contoh tindakan inspeksi uvula


4. Pemeriksaan dasar mulut
Area dibawah lidah disebut dasar mulut. Membran
mukosa disini bersifat licin, elastis dan banyak terdapat
pembuluh darah yang menyebabkan lidah ini mudah bergerak,
serta pada mukosa dasar mulut tidak terdapat papillae. Dasar
mulut dibatasi oleh otot-otot lidah dan otot-otot dasar mulut
yang insertionya disebelah dalam mandibula. Disebelah dalam
mandibula ini terdapat kelenjar-kelenjar ludah sublingualis dan
submandibularis. (Liod dan Robert, 2103)

5. Pemeriksaan Lidah
Pemeriksaan dilakukan dengan meminggirkan sedikit
lidah dan lihat lingual space kemudian palpasi aspek lingual

14
dengan menggerakan jari dari sisi satu ke sisi yang lainnya.
Kemudian lakukan palpasi dari bagian intra oral dan ekstra oral
pada daerah submandibula untuk memeriksa glandula saliva
submandibula. Setelah itu lakukan pemeriksaan sekresi saliva
dengan cara keringkan terlebih dahulu anterior dasar mulut
kemudian untuk menstimulasi produksi saliva dengan cara
menekan-nekan secara perlahan pada daerah glandula dari
ekstra oral kemudian perhatikan keluarnya saliva pada intra
oral (Gibson, 2002)
3. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan penunjang.
Walaupun tidak secara rutin dilaksanakan, pemeriksaan penunjang
dagnostik seperti radiografi, pemeriksaan laboratoris (darah, urin, atau
cairan jaringan yang lainnya, identifikasi mikrobiologik) dan pemeriksaan
jaringan biopsi sangat diperlukan untuk menegakan diagnosis. penyakit
atau kasus tertentu. Hanya perlu dicatat bahwa untuk pemeriksaan
demikian memerlukan waktu yang relatif lama dan juga biaya tambahan.
Dalam kasus ini ada beberapa pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan. Guna menetapkan diagnosis definitive untuk lesi purih yang
diderita pasien, dapat dilakukan biopsi dengan anestesi local dan kultur
mikrobiologi tambahan.
Pemeriksaan Penunjang Diabetes
1. Macam – macam Pemeriksaan Gula Darah

Menurut Depkes (2008) ada macam – macam pemeriksaan gula darah,


yaitu:
a. Gula darah sewaktu

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu


tanpa tidak harus memperhatikan makanan terakhir yang dimakan.
b. Gula darah puasa dan 2 jam setelah makan

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan pasien sesudah


berpuasa selama 8 – 10 jam, sedangkan pemeriksaan gula darah 2 jam
sesudah makan yaitu pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung

15
sesudah pasien menyelesaikan makan.

Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring menurut Kesehatan (2014) sebagai berikut :

Pemeriksaan penyaring yang ditujukan pada seorang yang


memiliki risiko DM namun belum menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan penyaring sendiri bertujuan untuk menemukan pasien dengan
DM, TGT (toleransi glukosa terganggu) ataupun GDPT (glukosa darah
puasa terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga sebagai intoleransi glukosa, yaitu tahapan
sementara menuju DM. Kedua kondisi tersebut merupakan faktor risiko
untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang mempunyai salah
satu faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan cara melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Apabila pemeriksaan penyaring ditemukan hasil yang positif, maka perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Cara pelaksanan TTGO

Menurut WHO dalam buku Kesehatan (2014) ada cara pelaksanaan TTGO
sebagai berikut :
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari –
hari dengan karbohidrat yang cukup dan tetap melaksanakan kegiatan
jasmani seperti biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam di mulai malam hari sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula masih diperbolehkan.
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d. Diberikan glukosa 75 gram untuk orang dewasa, atau 1,75 gram /
kgBB untuk anak – anak, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum
dalam waktu 5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

16
pemeriksaan 2 jam sesudah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan
tanpa merokok.
Nilai Normal Kadar Gula Darah

Nilai untuk kadar gula darah dalam darah bisa dihitung dengan
beberapa cara dan kriteria yang berbeda. Berikut ini tabel untuk
penggolongan kadar glukosa dalam darah sebagai patokan penyaring (lihat
tabel 2.1).
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosa DM (mg/dl)
Buka Belum DM
n pasti
DM DM
Kadar Glukos Plasma Vena <10 100 – ≥200
a 0 199
darah Sewakt Plasma Kapiler <90 90 – 199 ≥200
u
(mg/dL
)
Kadar Glukos Plasma Vena <10 100 – ≥126
a 0 125
darah puasa Plasma Kapiler <90 90 – 99 ≥100
(mg/dL
)
Sumber : (Kesehatan 2014)
Sedangkan menurut Rudi (2013) hasil pemeriksaan kadar gula darah
dikatakan normal bila :
a. Gula darah sewaktu : < 110 mg/dL
b. Gula darah puasa : 70 – 110 mg/dL
c. Waktu tidur :110 – 150 mg/dL
d. 1 jam setelah makan :< 160 mg/dL

17
e. 2 jam setelah makan :< 140 mg/dL
f. Pada wanita hamil :<140 mg/dL
Kriteria diagnosis diabetes melitus

Menurut Chris (2014) kriteria diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan


melalui tiga cara, yaitu :

 Jika keluhan klasik ditemukan, maka hasil pemeriksaan sesaat pada


glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl. Glukosa plasma sewaktu
merupakan dari hasil pemeriksaan sesaat pada satu waktu tanpa tidak
memperhatikan waktu makan teratur.
 Pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan
adanya keluhan klasik. Puasa dimana tidak ada asupan kalori
sekurangnya 8 jam.
 Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) >
200 mg/dL.
Hasil pemeriksaan yang tidak memasuki kriteria normal dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam sesudah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) yaitu sesudah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam <140 mg/dl.
Pemeriksaan Penunjang Oral Kandidiasis
Diagnosis kandidiasis ditentukan berdasarkan gejala klinis yang
menyebar dan tidak mudah dibedakan dari infectious agent yang telah ada.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen
mikroskopis, biakan, dan serologi. Tujuan pemeriksaan laboratorium
adalah untuk menemukan C. albicans di dalam bahan klinis baik dengan
pemeriksaan langsung maupun dengan biakan. Bahan pemeriksaan
bergantung pada kelainan yang terjadi, dapat berupa kerokan kulit atau
kuku, dahak atau sputum, sekret bronkus, urin, tinja, usap mulut, telinga,

18
vagina, darah, atau jaringan. Cara mendapatkan bahan klinis harus
diusahakan dengan cara steril dan ditempatkan dalam wadah steril, untuk
mencegah kontaminasi jamur dari udara (Babic, 2010). Identifikasi
spesies dapat dilakukan dengan uji morfologi dan kultur jamur untuk
spesifikasi dan uji sensitivitas.
Pemeriksaan ini tidak disarakan untuk digunakan sebagai
diagnosis karena tingginya kolonisasi. Diagnosis pada lesi Kandida juga
dapat dilakukan dengan pemeriksaan histologi terhadap sayatan spesimen
hasil biopsy (Vandepitte, 2003).
Pemeriksaan Langsung Candida albicans dengan Larutan KOH
Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH dapat berhasil bila
jumlah jamur cukup banyak. Keuntungan pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cara sederhana, dan terlihat hubungan antara jumlah dan bentuk
jamur dengan reaksi jaringan (Greenwood, 2007). Pemeriksaan langsung
harus segera dilakukan setelah bahan klinis diperoleh sebab C. albicans
berkembang cepat dalam suhu kamar sehingga dapat memberikan
gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan klinis. Gambaran pseudohifa
pada sediaan langsung/apus dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan
kultur, merupakan pilihan untuk menegakkan diagnosis kandidiasis
superfisial (Bhavan, 2010). Bentuk pseudohifa pada pewarnaan KOH
dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Pemeriksaan Langsung Candida albicans dengan Pewarnaan Gram
Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan Gram sedikit
membutuhkan waktu dibandingkan pemeriksaan dengan KOH.
Pemeriksaan ini dapat melihat jamur C. albicans berdasarkan
morfologinya, tetapi tidak dapat mengidentifikasi spesiesnya. Pemulasan
dengan pewarnaan Gram dapat disimpan untuk penilaian ulangan
(Greenwood, 2007). Pewarnaan Gram memperlihatkan gambaran seperti
sekumpulan jamur dalam bentuk blastospora, hifa atau pseudohyfae, atau
campuran keduanya. Sel jaringan seperti epitel, leukosit, eritrosit, dan
mikroba lain seperti bakteri atau parasite juga dapat terlihat dalam
sediaan. Jamur muncul dalam bentukan budding yeast cells dan

19
pseudomycelium juga terlihat pada sebagian besar sediaan seperti pada
Gambar 2 (Bhavan, 2010).

(1) (2)
Gambar 2 (1) Pseudohifa pada pewarnaan KOH (mata anak
panah). (2) Budding yeast cells (anak panah). (Dikutip dari:
Murray)
Pemeriksaan Kultur pada Candida albicans
Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah
Sabouraud dextrose agar/SDA dengan atau tanpa antibiotic (Greenwood,
2007). , ditemukan oleh Raymond Sabouraud (1864-1938) seorang ahli
dermatologi berkebangsaan Perancis. Pemeriksaan kultur dilakukan
dengan mengambil sampel cairan atau kerokan sampel pada tempat
infeksi, kemudian diperiksa secara berturutan menggunakan Sabouraud’s
dextrose broth kemudian Sabouraud’s dextrose agar plate. Pemeriksaan
kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis.
Kultur sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit
diseminata lainnya. Sabouraud’s dextrose broth/SDB berguna
untuk membedakan C. albicans dengan spesies jamur lain seperti
Cryptococcus, Hasenula, Malaesezzia. Pemeriksaan ini juga berguna
mendeteksi jamur kontaminan untuk produk farmasi. Pembuatan SDB
dapat ditempat dalam tabung atau plate dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24-48 jam, setelah 3 hari tampak koloni C. albicans sebesar kepala
jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat dengan jelas. Koloni
C. albicans berwarna putih kekuningan, menimbul di atas permukaan
media, mempunyai permukaan yang pada permulaan halus dan licin dan
dapat agak keriput dengan bau ragi yang khas. Pertumbuhan pada SDB

20
baru dapat dilihat setelah 4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai hasil
negatif. Jamur dimurnikan dengan mengambil koloni yang terpisah,
kemudian ditanam seujung jarum biakan pada media yang baru untuk
selanjutnya dilakukan identifikasi jamur. Pertumbuhan C. albicans dan
jamur lain/C. dublinensis pada SDB dapat dilihat pada Gambar 3 di
berikut ini.
Sabouraud’s dextrose agar plate/SDA plate direkomendasikan
untuk sampel atau bahan klinis yang berasal dari kuku dan kulit. Media ini
selektif untuk fungi dan yeast melihat pertumbuhan dan identifikasi C.
albicans yang mempunyai pH asam/pH 5,6 (Yunihastuti, 2015).
Penambahan antibiotika membuat media ini lebih selektif yang
bertujuan untuk menekan bakteri yang tumbuh bersama jamur di dalam
bahan klinis (Biotec, 2006). Pertumbuhan pada SDA plate terlihat jamur
yang menunjukkan tipikal kumpulan mikroorganisma yang tampak seperti
krim putih dan licin disertai bau khas/yeastodour. Pertumbuhan SDA
plate dapat dilihat pada Gambar 3.

(1) (2)
Gambar 3. (1) Pertumbuhan C. albicans dan C. dublinensis pada SDB. (2)
Pertumbuhan C. albicans pada SDA berbentuk krim berwarna putih, licin
disertai bau yang khas (Murray, 2003)
Pemeriksaan Penunjang Periodontitis
Kelainan dapat terjadi pada jaringan keras dan jaringan lunak
dalam rongga mulut. Suatu kelainan yang terjadi baik pada jaringan keras

21
maupun jaringan lunak pada rongga mulut dapat diketahui melalui
pemeriksaan obyektif dan ditunjang oleh pemeriksaan radiografi. Dengan
pemeriksaan radiografi operator bisa melihat kondisi jaringan yang terletak
dibawah mukosa yang tidak dapat dilihat secara langsung. Sehingga dapat
memastikan kelainan yang terjadi di daerah tersebut. Salah satu kelainan
pada jaringan lunak gigi yang dapat dilihat pada pemeriksaan radiografi
adalah kelainan yang terjadi pada jaringan penyangga gigi, seperti
periodontitis. Dengan pemeriksaan radiografi dapat diketahui bagaimana
gambaran periodontitis dan bagaimana membedakannya dengan kelainan
yang lain.

Gambar 2.1. Periodontitis kronis secara Radiografi.

Tingkat kerusakan jaringan periodontal yang timbul akibat


periodontitis kronis secara umum disebabkan oleh waktu. Sejalan dengan
peningkatan usia, kehilangan attachment dan tulang semakin sering terjadi
dan semakin parah yang diakibatkan oleh rusaknya akumulasi. Dikatakan
periodontitis kronis general bila > 30% permukaan yang terlibat atau >
30% sisi yang diukur dalam mulut menunjukkan kehilangan attachment
dan tulang. Adapun klasifikasi periodontitis kronis berdasarkan tingkat
keparahannya yaitu (Melnick, 2014):

1. Slight periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis diantara 1-2


mm
2. Moderate periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis diantara
3-4 mm
3. Severe periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis 5 mm atau
lebih

22
Figure of radiographic evaluation of diabetic patient (S.A) with
imbalanced metabolic control and generalized periodontal disease (case
from personal archive) (Valea, 2014)

4. Mahasiswa mampu mengkaji penegakan diagnosis beserta DD.


KASUS 1

Untuk menegakkan diagnosis pada suatu lesi yang dicurigai


merupakan infeksi jamur, maka hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi
dasar penegakan diagnosis adalah:

1. Anamnesis dan gambaran klinis yang khas


Tentukan apakah lesi termasuk plak putih atau eritema
difus, dalam kasus ini didapatkan lesi berwarna putih. Lakukan
pengerokan pada lesi, kandidiasis oral pseudomembranosa
memiliki ciri klinis yaitu dapat dikerok. Serta adanya keluhan rasa
gatal, iritasi dan seperti terbakar.

2. Pemeriksaan kultur mikrobiologi


Pada pemeriksaan kultur mikrobiologi akan ditentukan
identifikasi dari jamur apa yang menginfeksi sehingga
menimbulkan lesi dan keluhan pada rongga mulut. Akan tampak
beberapa gambaran yaitu tanpa pseudohifa, dengan hifa, atau
terdapat hifa. Adanya gambaran hifa menunjukkan adanya suatu
infeksi yang kronis dan hanya jamur candida albicans yang dapat
membentuk hifa.

23
3. Pemeriksaan histopatologis
Pemeriksaan HPA dilakukan apabila lesi putih tidak dapat dikerok
dan dicurigai mengarah kea rah keganasan rongga mulut.

Berdasarkan skenario, berikut adalah informasi yang didapatkan melalui


pemeriksaan:

• Mulut terasa terbakar

• Lidah terasa tebal

• Kurang bisa merasakan makanan

• Plak putih luas pada dorsum lidah

• Berbatas jelas

• Dapat dikerok

• Tidak sakit

Maka diagnosis yang kami tegakkan adalah Oral Candidiasis


Pseudomembranosa, dengan diagnose banding Difteri, Leukoplakia, dan
Lichen Planus.

KASUS 2

Untuk menegakkan diagnosis pada keluhan pasian selanjutnya yang


dicurigai adalah penyakit periodontal untuk menjadi dasar penegakan
diagnosis adalah:

1. Perubahan inflamasi pada margin gingiva


2. Munculnya pocket periodontal

3. Kehilangan perlekatan secara klinis

4. Bukti kehilangan tulang (pada radiografi)

Berdasarkan scenario, berikut adalah informasi yang didapatkan dari hasil


pemeriksaan

24
• Gingiva kemerahan

• Gingiva mengkilat

• BOP positif

• Oedema pada seluruh regio

• Probing depth 5mm (diukur dari margin gingiva hingga dasar


poket)

• Gigi goyang derajat 2

Maka kami memiliki 2 kemungkinan diagnosis yang kami tegakkan


berdasarkan sumber yaitu:

a. Chronic periodontitis modified by the systemic condition, jika


kerusakan jaringan periodontal disebabkan oleh faktor lokal (bakteri plak)
dan diperparah oleh kondisi penyakit sistemik seperti diabetes dan HIV. Jika
pada scenario dijelaskan oral hygine pasien baik, namun terdapat destruksi
jaringan periodontal yang nyata
b. Periodontitis as a manifestation of systemic disease, jika kondisi
sistemik merupakan faktor predisposisi yang besar dan ketika faktor lokal
tidak menentukan keparahan serta perkembangan dari penyakit. Jika pada
scenario dijelaskan oral hygine pasien sedang hingga buruk, dan diperparah
sendan adanya kelainan sistemik.

5. Mahasiswa mampu mengkaji prognosis.


a. Excellent prognosis
Tidak ada kehilangan tulang (bone loss), kondisi gingival yang
sangat baik, pasien sangat kooperatif, tidak ada faktor sistemik/
lingkungan.
b. Good prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: dukungan tulang
yang adequat, kemungkinan kontrol faktor etiologi dan pemeliharaan gigi

25
yang adequat, pasien kooperatif, tidak ada faktor sistemik/ lingkungan,
(jika ada) faktor sistemik tersebut terkontrol.
c. Fair prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: dukungan tulang
yang sedikit adequat, beberapa gigi goyang, furcation involvolment grade
I, kemungkinan pemeliharaan yang adequat, kerja sama pasien diterima,
terdapat faktor sistemik/ lingkungan yang terbatas.
d. Poor prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: kehilangan
tulang yang moderat-cepat, terdapat kegoyangan gigi, furcation
involvolment grade I dan II, kesulitan dalam pemeliharaan dan atau kerja
sama pasien yang ragu-ragu, terdapat faktor sistemik/ lingkungan.
e. Questionable prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: Kehilangan
tulang yang cepat, furcation involvolment grade II dan III, kegoyangan
gigi, daerahnya sulit dijangkau, terdapat faktor sistemik/ lingkungan.
f. Hopeless prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: kehilangan
tulang yang cepat, daerahnya tidak dapat dilaukan pemeliharaan, indikai
pencabutan, terdapat faktor sistemik/ lingkungan yang tidak terkontrol.
Pada skenario ditemukan pasien dengan keluhan :
1. Gingiva kemerahan, mengkilat
2. BOP (Bleeding on Probing) +
3. Oedem pada semua regio
4. Gigi 31, 32, 41, 42 Probing Depth 5 mm
5. Gigi goyang derajat 2
6. Pasien merasa lemas, susah tidur pada malam hari akibat sering buang
air kecil, sering lapar dan haus  suspect Diabetes Melitus
Dapat disimpulkan bahwa prognosis pada skenario adalah Fair Prognosis.
6. Mahasiswa mampu mengkaji rencana perawatan sesuai dengan
kegawatdaruratan

26
Hasil pemeriksaan subyektif dan obyektif dokter gigi kepada
pasien meliputi lidah terasa terbakar, plak putih intra oral yang luas pada
dorsum lidah, batas jelas, kemerahan dapat dikerok dan tidak sakit, pasien
merasa lemas, susah tidur pada malam hari karena sering buang air kecil
serta sering lapar dan haus. Hasil yang didapatkan dari anamnesa tersebut,
diduga pasien menderita diabetes mellitus yang bermanifestasi candidiasis
pada mukosa oral. Menurut penelitian Nur’aeny (2017), Hasil 14 sampel
penderita Diabetes Mellitus positif jamur Candida albicans, mengalami
kondisi mulut kering yang ditandai dengan keinginan untuk banyak
minum, hasil observasi kondisi rongga mulut dalam keadaan kering dan
juga lembab serta beberapa ditemukan adanya bercak keputihan disekitar
rongga mulut. Sekitar 57,1% persen penderita kandidiasis mengeluhkan
rasa sakit, terbakar atau perih dan sekitar 4,1% mengeluhkan rasa panas/
terbakar pada saat melakukan aktivitas terutama saat makan dan minum.
Kondisi tersebut dapat disebabkan karena Candida sp yang melekat pada
permukaan mukosa rongga mulut atau lidah melalui hifa yang dimilikinya
dapat terlepas dan meninggalkan mukosa berwarna merah serta terkadang
disertai perdarahan ringan. Hal tersebut yang dapat menyebabkan
munculnya rasa sakit dan terbakar di rongga mulut sebagai bentuk tanda
inflamasi.
Hasil pemeriksaan obyektif dokter gigi kepada pasien mengenai
keadaan periodontal pasien meliputi gingiva kemerahan mengkilat, BOP
+, oedem pada semua gigi, PD gigi 31, 32, 41,42 5mm dan gigi goyang
derajat 2. Beberapa keadaan yang mendukung adanya dugaan terdapat
kelainan sistemik berupa diabetes mellitus dapat dijadikan salah satu
faktor untuk menegakkan suatu diagnosis. Menurut American Academy of
Periodontology (1999), kelainan sistemik yang sesuai dengan skenario
adalah periodontitis dari manifestasi penyakit sistemik.
Rencana perawatan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Pasien datang ke dokter gigi dengan keluhan utama terdapat sensasi
terbakar pada rongga mulut, maka dokter gigi dapat menuliskan
rencana perawatan medikasi berupa obat kumur nystatin dengan

27
penatalaksanaan pasien diinstruksikan berkumur selama 2 menit
dengan dosis 2 – 4 ml, setelah itu pasien dilarang untuk makan dan
minum selama 20 menit. Terapi dapat diberikan selama 7 – 14 hari
dan sebisa mungkin menghilangkan faktor predisposisi penyebab
kandidiasis oral (Nur’aeny, 2017).
2. Lesi bercak putih dipastikan kembali dengan cara melakukan swab
pada bagian lesi kemudian dikonsulkan pada laboratorium
mikrobiologi (untuk pemilihan obat pada lesi tersebut). Apabila lesi
tersebut karena jamur, terapi antijamur dapat diberikan sampai keadaan
patologis dan klinis dari jamur hilang.
3. Jika terdapat kondisi sistemik, pemberian topikal kadang tidak begitu
berefek sehingga diperlukan pemberian secara sistemik. Fluconazole
dapat di berikan sebagai pilihan medikasi kandida secara sistemik
dengan dosis sehari sekali (Kadek dan Jirna, 2018).
4. Pasien diduga DM sehingga dirujuk pada dokter penyakit dalam untuk
dilakukan cek laboratorium dan perawatan sampai dengan keadaan
gula darah pasien menjadi normal
5. Apabila kondisi gula darah pasien menjadi normal, dokter gigi
melakukan evaluasi kembali apakah keadaan periodontal menjadi baik
atau tetap seperti pada saat kunjungan pertama
6. Apabila tetap seperti keadaan awal (poket) maka dapat dilakukan
perawatan periodontal fase 1 yaitu scalling root planning , kemudian di
evaluasi kembali apakah keadaan patologis jaringan periodontal sudah
mereda, apabila belum mereda dapat dilakukan perawatan periodontal
fase 2 berupa kuretase.
7. Mahasiswa mampu mengkaji manifestasi DM pada RM.
Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga
mulut. Diantaranya yakni:
1. Gingivitis dan Periodontitis
Pada penderita DM tidak terkontrol kadar glukosa didalam cairan
krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang terkontrol.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan

28
bahwa selain GCF, kadar glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam
saliva. Peningkatan glukosa ini juga berakibat pada kandungan pada
lapisan biofilm dan plak pada permukaan gigi yang berfungsi sebagai
tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam bakteri akan lebih banyak
berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang cukup
sehingga menyebabkan terjadinya karies dan perkembangan penyakit
periodontal.
Serta terdapat penurunan respon imun. Perubahan vaskuler juga
terjadi sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas kolagen serta perubahan
respon dan kemotaksis dari PMN terhadap antigen plak, sehingga
menyebabkan fagositosis terhambat.

2. Xerostomia
Hiperglikemia mengakibatkan meningginya jumlah urin
sehingga cairan dalam tubuh berkurang dan sekresi saliva juga
berkurang. Dengan berkurangnya saliva, dapat mengakibatkan
terjadinya xerostomia.

29
3. Oral Candidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi bakteri oportunistik yang
terjadi dalam keadaan hiperglikemia karena keadaan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi aliran saliva karena adanya
kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah yang banyak, sehingga
aliran saliva juga berkurang. Selain itu, juga menyebabkan komplikasi
berupa microangiopathy yang paling sering muncul pada penderita
diabetes mellitus terkontrol atau tidak terkontrol. Oleh itu, Kandidiasis
dapat ditemukan pada penderita diabetes mellitus bila didukung
berbagai faktor yang ada pada penderita diabetes mellitus, seperti
terjadinya defisiensi imun, berkurangnya aliran saliva, keadaan
malnutrisi dan pemakaian gigi tiruan dengan oral hygiene yang buruk.

4. Sindrom Mulut Terbakar

30
Sindroma mulut terbakar Pasien dengan sindroma mulut
terbakar biasanya muncul tanpa tanda-tanda klinis, walaupun rasa sakit
dan terbakar sangat kuat. Pada pasien dengan diabetes mellitus tidak
terkontrol, faktor yang menyebabkan terjadinya sindroma mulut
terbakar yaitu berupa disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis dan
kelainan pada saraf.6,16 Adanya kelainan pada saraf akan mendukung
terjadinya gejala-gejala paraesthesias dan tingling, rasa sakit / terbakar
yang disebabkan adanya perubahan patologis pada saraf-saraf dalam
rongga mulut.
5. Dental Caries (Karies Gigi)
Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi
kenaikan terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut
diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah mengandung
banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik. (2) Karies
gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat ,
kuman dan waktu.
Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui bahwa jumlah
air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan gigi,
dan bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat
bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak
langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut
menurun, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya lubang atau caries
gigi.
Bagaimana cara pencegahan dan peningkatkan kesehatan rongga
mulut pada penderita diabetes melitus?
Berikut hal-hal yang perlu dilakukan oleh penderita Diabetes
Mellitus agar dapat menjaga atau mengupayakan supaya kesehatan
rongga mulut tetap terjaga dengan baik :
o Pertama dan yang terpenting adalah mengontrol kadar gula darah.
Kemudian rawat gigi dan gusi, serta ke dokter gigi untuk
pemeriksaan rutin setiap enam bulan.

31
o Untuk mengontrol sariawan dan infeksi jamur, serta hindari
merokok.
o Kontrol gula darah yang baik juga dapat membantu mencegah atau
meringankan mulut kering yang disebabkan oleh diabetes.
o Menggunakan dental floss paling tidak sekali sehari untuk
mencegah plak muncul di gigi.
o Menggunakan pembersih mulut anti bakteri untuk mengurangi
jumlah bakteri penyebab sakit gigi pada mulut.
o Menggosok gigi, terutama setelah makan. Gunakan sikat gigi
dengan bulu yang lembut.
o Perbaiki pola hidup, jauhkan dari penyebab stres.
o Bila ada gigi yang tanggal harus segera ''diganti''.
o Jangan lupa informasikan mengenai kondisi diabetes bila
berkunjung ke dokter gigi, terutama bila hendak mencabut gigi.
o Kecuali sangat mendesak, sebaiknya hindari perawatan gigi bila
kadar gula darah sedang tinggi. Turunkan dahulu kadar gula darah,
baru kunjungi dokter gigi kembali.
o Pemakaian alat-alat seperti gigi tiruan atau kawat orthodontik
perlu mendapat perhatian khusus. Pemakai gigi tiruan harus
melepas gigi tiruan sebelum tidur dan dibersihkan dengan seksama
agar meminimalkan kemungkinan terjadinya infeksi jamur karena
kebersihan yang tidak terjaga.
PR
1. Kapan DM bermanifestasi pada RM?
Diabetes adalah penyakit sistemik yang termasuk kelompok
penyakit metabolik di mana ada kadar glukosa darah tinggi. Orang dengan
diabetes memiliki kecenderungan lebih tinggi secara signifikan untuk
mengembangkan penyakit mulut dibandingkan dengan orang sehat.
Perbedaan ini dalam prevalensi berasal dari, di antara faktor-faktor lain,
vaskular dan perubahan neuropatik yang datang dengan diabetes(Saini,
2010; Mealaey, 2003).

32
Selain itu, komplikasi oral dalam bentuk gingivitis, periodontitis,
multipel periodontal abses dan disfungsi kelenjar saliva yang memimpin
ke kualitatif dan kuantitatif (xerostomia) perubahan saliva, pada gilirannya
mempengaruhi oral rongga infeksi oportunistik seperti kandidiasis,
akumulasi plak yang lebih besar, luka yang tertunda penyembuhan,
parestesia oral dan perubahan rasa dll.
Selain komplikasi yang lebih umum yang timbul sebagai akibat
dari penyakit ini, pasien diabetes yang tidak mengontrol kadar glukosa
darah mereka dengan hati-hati akan beresiko tinggi terhadap sistemik dan
komplikasi oral (Arunkumar et al, 2015).
Di antara semua penyakit mulut, periodontitis (penghancuran
struktur pendukung gigi, ligamen periodontal dan alveolar tulang), adalah
masalah umum pada penderita diabetes dan merupakan penyebab utama
untuk kehilangan gigi secara dini, perubahan dalam fungsi fisiologis oral
tersebut sebagai pengunyahan dan mempengaruhi fungsi pencernaan
(Arunkumar et al, 2015).
Banyak penelitian membuktikan hubungan dua arah antara
diabetes dan periodontal penyakit; diabetes dapat memperberat
periodontitis, dan periodontitis dapat berdampak negatif terhadap kontrol
diabetes. Ada hubungan yang jelas antara tingkat hiperglikemia dan
tingkat keparahan periodontitis (Mirza, 2007; Lamster, 2008).

2. Apakah burning mouth syndrome merupakan gejala atau diagnosis?


A. Defenisi SMT

Sindrom Mulut Terbakar (SMT) didefinisikan sebagai nyeri


sensasi terbakar pada lidah atau mukosa oral tanpa adanya lesi pada

33
rongga mulut.(anil dkk,207) Sensasi terbakar dapat terjadi unilateral
atau bilateral dan cenderung berkurang saat makan atau
minum.(vellapally S, 2016) International Association for the Study of
Pain menyatakan SMT sebagai kelainan khusus dengan karakteristik
rasa terbakar kronis di rongga mulut atau rasa nyeri tanpa adanya
perubahan mukosa.(scolly C, 2008) SMT disebut juga stomatopirosis
(sensasi mulut terbakar), glossopirosis (sensasi lidah terbakar),
stomatodinia (nyeri pada mulut), glossodinia (nyeri pada lidah), dan
disestesia oral (gangguan sensasi)

B. Eti ologi SMT

SMT merupakan kelainan pada rongga mulut yang kronis dan


memiliki gambaran klinis yang kompleks sehingga etiologinya
dianggap multifaktorial.(anil dkk,207) Etiologi SMT dapat
dikelompokkan menjadi faktor lokal, sistemik, dan
psikogenik.(vellapally S, 2016)
1. Faktor lokal
a. Gigi tiruan
Gigi tiruan yang dihubungkan dengan SMT umumnya
dipengaruhi oleh desain dan bahan Gigi tiruan. Desain Gigi tiruan
yang tidak tepat dapat menimbulkan sensasi terbakar pada mulut
karena peningkatan stres fungsional terhadap otot rongga
mulut.(vellapally S, 2016) Gejala mulut terbakar ditemukan pada
50% pasien dengan desain Gigi tiruan yang salah.(tseikhin dkk,
2007) Bahan Gigi tiruan juga dapat menyebabkan sensasi terbakar
pada mukosa mulut.(vellapally S, 2016) Monomer sisa pada bahan
Gigi tiruan akrilik me.rupakan salah satu penyebab terjadinya
SMT.10 Monomer methyl-methacrylate yang digunakan dalam
pembuatan Gigi tiruan menunjukkan reaksi positif terhadap tes
tempel (patch test). (anil dkk,207) Penggantian Gigi tiruan pada
pasien dapat menyembuhkan gejala SMT sebanyak 25%.(tseikhin
dkk, 2007) b. Infeksi Rongga Mulut Infeksi rongga mulut yang

34
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dikaitkan dengan SMT,
terutama Candida albicans.(coculescu Dkk, 2014) Candida dapat
menyebabkan SMT dengan invasi ke jaringan mukosa,
menyebabkan hipersensitivitas, atau dengan memproduksi
toksin.(muzyka BC dkk, 1999)
b. Xerostomia
Prevalensi SMT dengan keluhan xerostomia sekitar 46%-
67%.(scala dkk, 2003) Xerostomia merupakan perasaan subjektif
dimana mulut terasa kering. Xerostomia adalah simtom yang sering
dihubungkan dengan perubahan kualitas dan kuantitas saliva akibat
penyakit sistemik, pemakaian obat-obatan, dan radioterapi. Pasien
dengan xerostomia sering mengeluhkan bahwa mulutnya terasa
kering dan terbakar.(vellapally S, 2016)
c. Kebiasaan parafungsional
Kebiasaan parafungsional seperti bruxism dan menjulurkan
lidah dapat menstimulasi terjadinya SMT.(tseikhin dkk, 2007)
Kebiasaan parafungsional memungkinkan terjadinya perubahan
neuropatik yang dapat menyebabkan gejala SMT. Aktivitas
parafungsional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stres,
karakteristik kepribadian, dan kejiwaan.(scala dkk, 2003)2. Faktor
Sistemik a. Defisiensi vitamin dan mineralDefisiensi vitamin B1,
B2, B6, B12, zat besi, dan asam folat dapat dihubungkan dengan
SMT. Pasien dengan defisiensi nutrisi mengalami SMT sebanyak
2-33%.(tseikhin dkk, 2007) Defisiensi asam folat yang
dihubungkan dengan angular cheilitisdan glossodinia dapat
mengakibatkan terjadinya SMT. Lidah akan mengalami atrofi
papila, hingga permukaan lidah menjadi licin dan berkilat.(anil
dkk,207) Defisiensi asam folat dan vit B12 dapat menyebabkan
kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa sakit dan
terbakar di rongga mulut.(krasteva dkk, 2013)
d. Diabetes melitus

35
Hubungan antara SMT dengan diabetes melitus ditemukan
pada 2-10% pasien. (tseikhin dkk, 2007) SMT merupakan salah
satu gejala dari diabetes yang seringkali dihubungkan dengan
xerostomia dan kandidiasis.(anil dkk,207) Penderita diabetes lebih
rentan mengalami infeksi kandida yang dapat menimbulkan sensasi
terbakar pada rongga mulut. Diabetes yang terkontrol dapat
meningkatkan penyembuhan SMT. (tseikhin dkk, 2007)
e. Perubahan hormon
Perubahan hormon dianggap sebagai faktor yang penting
dalam terjadinya SMT. Prevalensi perempuan perimenopause dan
postmenopause yang datang ke klinik kesehatan untuk gejala SMT
sekitar 90% dan diketahui bahwa rasa nyeri akan muncul dari 3
tahun sebelum, hingga 12 tahun setelah menopause. (scala dkk,
2003) Gejala SMT merupakan akibat dari penurunan hormon
estrogen selama menopause. Produksi hormon estrogen yang
menurun dapat menyebabkan perubahan pada rongga mulut
sehingga menyebabkan gejala SMT. (tseikhin dkk, 2007)
f. Obat-obatan
Obat antihipertensi merupakan obat-obatan yang paling
berperan mengakibatkan SMT, khususnya angiotensin converting
enzyme inhibitors – ACE inhibitors (contohnya: captropil,
enalapril, lisinopril), diuretik, dan obat beta blockers. (tseikhin dkk,
2007) Pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitors dapat
mengalami glossitis. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan terjadinya xerostomia.(vellapally S,
2016) Obat-obatan memiliki peran dalam mengurangi aliran saliva
dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit.(nasri dkk,
2007)
2. Faktor Psikogenik
Terdapat perdebatan mengenai kecemasan dan depresi
sebagai penyebab atau akibat terhadap nyeri dan sensasi terbakar di
mulut. (scala dkk, 2003) Beberapa gangguan psikologis atau

36
kejiwaan berperan dalam terjadinya SMT yaitu takut terhadap
kanker, depresi, gangguan kepribadian, dan kecemasan
kronis.(tseikhin dkk, 2007) SMT dikatakan sebagai salah satu
gejala kecemasan dan depresi yang ditimbulkan oleh stres
psikologis.(vellapally S, 2016) Pasien SMT berdasarkan fungsi
psikologisnya akan sulit untuk berkonsentrasi, mudah merasa
pusing, dan memiliki perasaan yang sedih.(tseikhin dkk, 2007)
C. Gambaran Klinis dan Klasifikasi SMT
Gejala utama SMT adalah timbulnya rasa terbakar atau rasa
nyeri pada mukosa oral, terjadi perubahan persepsi rasa atau disgeusia,
dan xerostomia.(coculescu dkk, 2014) Gejala lain dari SMT antara lain
timbulnya rasa haus, sakit kepala, serta nyeri pada sendi
temporomandibular (TMJ), leher, bahu, dan otot suprahioid.(coculescu
dkk, 2014) Rasa terbakar biasanya terjadi di 2/3 anterior lidah, diikuti
oleh dorsum lidah, lateral lidah, anterior palatum keras, dan mukosa
labial. Rasa nyeri terjadi secara spontan tanpa faktor penyebab yang
dapat diidentifikasi. Rasa nyeri dapat berlanjut selama 4-6 bulan dengan
intensitas keparahan yang bervariasi. Lebih dari 70% pasien SMT
mengalami perubahan persepsi rasa yang biasanya dapat berupa rasa
pahit, metalik, atau campuran.(aravindhan dkk,2014)
Sindrom mulut terbakar dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan
variasi dari gejalanya. SMT tipe I memiliki gejala yang tidak muncul
pada pagi hari yang akan meningkat sepanjang hari dimana intensitas
keparahan akan memuncak pada sore hari.(tseikhin dkk, 2007) SMT
tipe II ditandai dengan gejala konstan yang terjadi disepanjang
hari.(tseikhin dkk, 2007) SMT tipe III digambarkan dengan gejala yang
dapat muncul secara intermiten dan terjadi pada tempat yang tidak biasa
seperti pada mukosa bukal, dasar mulut, tenggorokan, dan
leher.(tseikhin dkk, 2007) Tipe I (35%) biasanya dihubungkan dengan
penyakit sistemik seperti defisiensi nutrisi dan diabetes melitus. Tipe II
(55%) biasanya dihubungkan dengan gangguan psikogenik sedangkan

37
tipe III (10%) dihubungkan dengan reaksi alergi atau faktor
lokal.(coculescu dkk, 2014)
D. Diagnosis
Diagnosis SMT dapat dilakukan dengan anamnesis yaitu
menanyakan riwayat medis pasien. Informasi dari pasien yang dapat
diperoleh yaitu mengenai onset nyeri yang dirasakan secara tiba-tiba
atau intermiten, perasaan nyeri yang meningkat sepanjang hari, nyeri
bilateral pada mulut, mulut terasa kering dan terbakar, perubahan
pengecapan, dan perasaan nyeri yang berkurang saat makan atau
tidur.(anil dkk,207) Selanjutnya, pemeriksaan klinis tidak menunjukkan
perubahan pada rongga mulut.(coculescu dkk, 2014) Pemeriksaan
penunjang juga dapat dilakukan seperti pemeriksaan darah, pengukuran
sekresi saliva, swab untuk kultur mikrobiologis, pemeriksaan faktor
lokal seperti kesalahan pada Gigi tiruan, dan pemeriksaan
psikologis.(vellapally S, 2016)
E. Penatalaksanaan
Melakukan edukasi kepada pasien merupakan hal yang penting.
Pasien dapat diberi penjelasan mengenai kondisi yang diderita dan
meyakinkan bahwa SMT bukanlah suatu kelainan pada rongga mulut
yang ganas. (blasberg dkk,2008)Metode psikologis dapat berguna
dalam mengatasi gejala SMT pada pasien.(nakazone dkk, 2009) Pasien
dengan gejala yang parah biasanya membutuhkan terapi obat. Terapi
obat yang dinyatakan sangat membantu adalah tricyclic antidepressants
(TCA) dosis rendah seperti amitriptilin, doxepin, atau clonazepam.
(blasberg dkk,2008) Penggunaan obat antidepresan efektif untuk pasien
dengan atau tanpa depresi. Obat lain yang dapat digunakan adalah
dosulepin, fluoxetine, gabapentin, nortriptilin, dan trazodone. (scolly C,
2008)
Kasus dalam skenario bukan merupakan diagnosis dikarenakan
dalam skenario yg membuat sebsasi terbakar pada mulut adalah
kemungkinan kandidiasis. Dan karena dalam SMT tidak ada faktor yg
pasti terhadap sindrom ini dan tidak ada lesi. Namun dalam skenario,

38
terdapat lesi yg kasusnya terdapat kandidiasis oral. Sehingga tidak
dapat di diagnosa sebagai sindroma mulut terbakar.

39
Daftar Pustaka
Anil S, Alsqah MN, Rajendran R. Burning mouth syndrome: diagnostic
appraisal and management strategies. Saudi Dent J 2007; 19(3): 128-38.
(anil dkk,207)
Arunkumar, Shantala, Shyam Amur, Uday Sambrani, and Krishna M. Burde.
Survey on Awareness and knowledge about th eEffect of Diabetes
Melllitus on Systemic and Oral Health in Patients Visiting General
Medicine Outpatient Department in Dental Hospital. SDM College of
Dental Sciences and Hospital. 2015; 4(2):100-106.
Aravindhan R, Vidyalakshmi S, Kumar MS, Satheesh C, Balasubramanium AM,
Prasad VS. Burning mouth syndrome: a review on its diagnostic and
therapeutic approach. J Pharm Bioall Sci 2014; 6: 521-5.
Babic M, Hukic M. Candida albicans and Non-albicans Species as Etiological
Agent of Vaginitis in Pregnant and Non-Pregnant Women. Institute for
Clinical Microbiology. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences.
Sarajevo. 2010;10 (1): 92-7
Bhavan PS, Rajkumar R, Radhakrishnan S. Culture and Identification of
Candida albicans from Vaginal Ulcer and Separatian of Enolase on SDS-
PAGE. International Journal of Microbiology. CCSE. Coimbatore.
2010:84-93
Burkhart, N.W. dan DeLong, L., 2012, The Intraoral and Extraoral Exam, ADA
CERP, 1-33.
Blasberg B, Eliav E, Greenberg MS. Orofacial pain. In: Greenberg M, Glick M,
Ship JA. eds. Oral Medicine, 11th ed. India: BC Decker Inc, 2008: 284-5.
CARRANZA Chapter 33 (475-483), “Determination of Prognosis”, Stephen F.
Goodman and Karen F. Novak
Coculescu EC, Tovaru S, Coculescu BI. Epidemiological and etiological aspects
of burning mouth syndrome. Journal of medicine and life 2014; 7(3): 305-
9.
Coculescu EC, Radu A, Coculescu BI. Burning mouth syndrome: a review on
diagnosis and treatment. J of Med and Life 2014; 7(4): 512-5.
Depkes (2008). Metode Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko
Diabetes Melitus. Jakarta : Depkes RI.
Darby ML & Walsh MW 2003, Dental Hygiene Theory and Practice, Saunders,
USA Wijaya I 2003, Asuhan Keperawatan Gigi dan Mulut, Jurusan
Kesehatan Gigi Poltekes Bandung
Ernawati, Tantin. Periodontitis dan Diabetes Mellitus. Bagian Periodonsia,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
Gibson, J., 2002, Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat, ed.2, EGC,
Jakarta
Greenwood D, Slack R, Peutherer J, et al. Medical Microbiologi A Guide to
Microbial Infection: Pathonesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and

40
Control. Churchill Livingstone Elsevier. Edinburgh. 2007:60, 596, 602-
4,614-16.
Krasteva A, Kisselova A, Dineva V, Ivanova A, Krastev Z. Folic acid and
vitamin B12 levels in bulgarian patients with burning mouth syndrome. J
of IMAB 2013; 19(4): 422-5.
Lamster IB, Lalla E, Borgnakke WS, Taylor GW. The relationship between oral
health and diabetes mellitus. J Am Dent Assoc 2008; 139:19–24.
Liod M Nyhus, MDS, Robert J Baker, MD, 2013, Anatomy of the Tongue and
Lip, Mastery of surgery, volume I, Little, Brown and Company, Boston,
Toronto, 109-110.
Mealey B. Diabetes mellitus. In Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment.
10th ed. Glick M, Greenberg M, Eds. Hamilton, BC Decker, 2003: 563–
577.
Melnick, Philip R, Takei HH. 2014. Treatment of periodontal abscess.
Carranza’s clinical periodontology. 12th ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Co.
Mirza KM, Khan A, Ali MM, Chaudhry S. Oral health knowledge, attitude, and
practices and sources of information for diabetic patients in Lahore,
Pakistan. Diabetes Care 2007; 30:3046-3047.
Murray PR, Baron EJ, Jorgensen Jh, Pfaller MA, Yolken RH. Manual of Clinical
Microbiology, 8th ed. ASM Press. Washington DC. 2003:1696-9
Muzyka BC, de Rossi SS. A review of burning mouth syndrome. Journal CME
1999; 64: 29-35.
Nakazone PA, Nogueira AVB, de Alencar FGP, Massucato EMS. Burning
mouth syndrome: a discussion about possible etiological factors and
treatment modalities. Braz J Oral Sci 2009; 8(2): 62-6.
Nasri C, Teixeira MJ, Okada M, Formigoni G, Heir G, de Siqueira JTT. Burning
mouth complaints: clinical characteristics of a brazilian sample. Clinics
2007; 62(5): 561-6.
Respati, Titi Nindya.Iwanda.Hubungan diabetes mellitus dengan karies gigi
.Semarang; UNDIP,2006.
Saini R, Al-Maweri SA, Saini D, Ismail NM, Ismail AR. Oral mucosal lesions in
non oral habit diabetic patients and association of diabetes mellitus with
oral precancerous lesions. Diabetes Res Clin Pract 2010; 89: 320–326.
Sakinah dan S Yudha P. Kondisi Pada Pasien Anak Penderita Diabetes Mellitus.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM. Maj. Ked. Gi
2006; 13(2):187-190.
Scully C. Oral and maxillofacial medicine. 2nd ed. Toronto: Elsevier, 2008: 171.
Scala A, Checchi L, Montevecchi M, Marini I. Update on burning mouth
syndrome: overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med
2003; 14(4): 275-91.
Tseikhin AM, Moricca P, Niv D. Burning mouth syndrome: will better
understanding yield better management. Pain practice 2007; 7(2): 151-62.
Vandepitte J, Verhaegen J, Engbaek K, et al. 2nd ed. World Health
Organization. Geneva. 2003:61, 76, 144-150

41
Ventakaraman BK. Diagnostic oral medicine. 1st ed. India: Wolters Kluwer
Health, 2013: 476-7.
Vellappally S. Burning mouth syndrome: a review of the etiopathologic factors
and management. The J of Cont Dent Pract 2016; 17(2): 171-6.
Velea. (2014). Microbiological Aspects In Periodontal Disease And Diabetes
Mellitus. Romanian Journal of Diabetes Nutrition and Metabolic Diseases.
21. 10.2478/rjdnmd-2014-0020.
Walton, R.E. dan Torabinejad, M., 2003, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia,
edisi 3, alih bahasa: Dr. Narlan Surnawinata, drg., Sp. KG (K), Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Wijaya I.2003.Asuhan Keperawatan Gigi dan Mulut.Jurusan Kesehatan Gigi
Poltekes Bandung
Wilkins E 2005, Clinical Practice of the Dental Hygiene, 9th edition, Lippincot
Williams & Wilkins, USA
Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportusnistik pada AIDS. Pokdisus
AIDS-PDPAI. Balai Penerbit FUKUI. Jakarta. 2005:16-20

42

Anda mungkin juga menyukai