Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346519933

Penggunaan Ibuprofen pada Penyembuhan Lesi Mulut Erythema Multiforme :


Sebuah laporan kasus

Conference Paper · June 2013

CITATIONS READS

0 155

2 authors, including:

Nanan Nuraeny
Universitas Padjadjaran
57 PUBLICATIONS   37 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Research 2017 View project

Pengabdian pada masyarakat 2016 View project

All content following this page was uploaded by Nanan Nuraeny on 01 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penggunaan Ibuprofen pada Penyembuhan Lesi Mulut Erythema Multiforme : Sebuah
laporan kasus

Nanan Nur’aeny1, Elizabeth Fitrianasari2


1
Mahasiswa PPDGS Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 2Staf Pengajar
Departemen Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

E-mail: nanan.nuraeny@fkg.unpad.ac.id

Abstrak

Lesi mulut sangat bervariasi, salah satunya adalah lesi ulseratif vesikulobulosa yang dapat terjadi
secara akut, kronis, maupun berulang dengan penyebab yang bervariasi. Erythema multiforme (EM)
merupakan suatu penyakit vesikulobulosa akut pada mukokutan dengan variasi klinis yang luas,
diantaranya ulserasi pada mukosa mulut dan pada kulit ditemukan lesi target, serta dihubungkan dengan
suatu reaksi hipersensitif. Insidensi EM jarang, biasanya terjadi pada usia muda antara 20-40 tahun, dan
sebanyak 20% ditemukan pada usia anak. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan wanita. Makalah
ini membahas mengenai penggunaan ibuprofen sebagai terapi utama pada seorang pasien, laki-laki usia
17 tahun, mengalami ulserasi mulut luas yang didiagnosis sebagai erythema multiforme. Keberhasilan
penggunaan ibuprofen pada pasien ini menunjukkan bahwa ada obat pilihan lain selain obat
kortikosteroid yang selalu menjadi pilihan utama pada beberapa kasus ulserasi mukosa mulut luas dan
berhubungan dengan gangguan autoimun. Keberhasilan penyembuhan lesi mulut pada pasien juga
dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi penegakan diagnosis, pemberian terapi yang tepat, dan yang
tidak kalah penting adalah kepatuhan pasien untuk dapat bersikap kooperatif selama menjalani perawatan,
serta motivasi pasien untuk tetap sembuh dengan mengikuti semua yang disarankan, terbukti dengan tidak
terjadinya kekambuhan setelah 9 bulan pasca perawatan.

Kata kunci : ibuprofen, lesi mulut, erythema multiforme

Abstract

Oral lesions vary widely, one of which is ulcerative vesiculobulosa lesions that can occur in
acute, chronic, or recurrent with varying causes. Erythema multiforme (EM) is an acute vesiculobulosa
mucocutaneous disease with wide clinical variation including oral ulceration, target lesion on skin, and
associated with an incidence of hypersensitive reactions. Incidence are rare, usually occurs at age
between 20-40 years, and 20% found on child age. Men are more commonly affected than female.This
paper will discuss the use of ibuprofen as primary therapy in a patient, a man aged 17 years who had
extensive oral ulceration and diagnosed as erythema multiforme. The successful use of ibuprofen in
patients have shown that there are other options besides corticosteroid drug which is always the first
choice in some extensive ulceration of the oral mucosa, especially that associated with autoimmune
disorders. The success of healing process in this patients also affected by many factors, including
appropriate diagnosis and therapy, and no less important is the patient’s cooperative during treatment,
as well as the motivation of the patient to remain cured by following all of the recommended, proven with
no recurrence after 9 months post-treatment.

Key words : ibuprofen, oral lesion, erythema multiforme


Pendahuluan

Lesi mulut sangat bervariasi, salah satunya adalah lesi ulseratif vesikulobulosa yang
dapat terjadi secara akut, kronis maupun berulang dengan penyebab yang bervariasi. Erythema
multiforme (EM) merupakan suatu penyakit vesikulobulosa akut, sering terjadi berulang,
mengenai mukokutan, dapat menunjukkan variasi luas secara klinis termasuk adanya ulserasi
pada mukosa mulut1,2, dan pada kulit ditemukan lesi target, serta biasanya dihubungkan dengan
suatu reaksi hipersensitif.2 Insidensi EM jarang, biasanya terjadi pada usia muda antara 20-40
tahun, dan sebanyak 20% ditemukan pada usia anak. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan
wanita.2
Makalah studi kasus ini akan membahas mengenai seorang pasien, laki-laki usia 17 tahun
yang mengalami lesi ulserasi cukup luas di dalam mulutnya. Penegakkan diagnosis yang baik
sangat ditentukan oleh pengambilan anamnesis yang lengkap, serta pemeriksaan penunjang yang
tepat, sehingga dapat dilakukan pemberian rencana perawatan dan pengobatan yang efektif.
Pengobatan untuk ulserasi di dalam mulut terutama yang luas sering berfokus pada obat
kortikosteroid yang memiliki efek antiinflamasi, tetapi sebetulnya masih banyak alternatif lain
yang dapat dipertimbangkan terutama dari segi efek samping obat, salah satunya golongan obat
antiinflamasi non steroid, seperti ibuprofen. Pemberian ibuprofen pada pasien dalam makalah ini
telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam penyembuhan lesi mulutnya, meskipun tidak
menutup kemungkinan keberhasilan ini juga dipengaruhi faktor-faktor lain, seperti usia,
kepatuhan pasien pada instruksi operator terutama untuk menghindari faktor yang diduga
memicu dan kedispilinan pasien untuk datang kontrol.

Laporan Kasus

Pasien BAA, 17 tahun, laki-laki, status pelajar SMA, beralamat di Subang, datang ke
Bagian Penyakit Mulut Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 22 Juli 2011.
Keluhan pasien di dalam mulut terasa sakit, tidak bisa makan, bicara, sulit menelan sejak ± 1
minggu yang lalu karena banyak sariawan. Pasien sudah mengobati sariawannya dengan obat
kumur tapi tidak mengurangi sakit. Riwayat yang sama pernah dialami pasien ± 2 tahun yang
lalu sampai menyebabkan pasien di rawat inap di rumah sakit di Subang, mendapat perawatan
dari Bagian Kulit. Kemungkinan pemicu kondisi sariawan pada pasien adalah kebiasaan makan
baso hampir setiap hari, makanan ringan ber-MSG (monosodium glutamate), stres, dan
kecapaian. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan, hanya salep untuk keluhan kulit di
bagian kakinya saja.

Hasil pemeriksaan klinis pada kunjungan awal untuk ekstra oral tampak bibir kering,
pucat, krusta kuning kecoklatan, erosif, mudah perdarahan. (Gambar 1) Kelenjar getah bening
submandibula kiri, submental, servikal tidak teraba, tidak sakit, sedangkan kelenjar
submandibula kanan teraba, tidak sakit. Keadaan intra oral menunjukkan hampir seluruh mukosa
terdapat lesi erosif, ulseratif, sloughing, dan eritem, kecuali pada gingiva atas dan bawah yang
mengalami oedem, eritem, deskuamasi, disertai adanya makula coklat difus. (Gambar 2)
Kebersihan mulut buruk, dengan adanya kalkulus, dan plak di seluruh regio gigi.

Gambar 1. Kondisi bibir pada kunjungan awal

Gambar 2. Kondisi intra oral kunjungan awal.

Pada kunjungan awal ini pasien didiagnosis suspek pemfigus vulgaris, dengan diagnosis
banding suspek erythema multiforme dan suspek oral lichen planus. Terapi yang diberikan
berupa OHI (oral hygiene instruction) yaitu menyarankan membersihkan gigi dengan kain kasa
ditetes minosep minimal sehari dua kali. Pemberian ibuprofen tablet 400 mg, sehari tiga kali
satu tablet, multivitaplex satu tablet setiap hari, dan rencana untuk biopsi mukosa mulut serta
pemeriksaan hematologi rutin.

Pada kunjungan kedua, satu minggu setelah kunjungan pertama pasien merasa keluhan
nyeri di mulut berkurang. Hasil pemeriksaan klinis juga tampak penyembuhan pada bibir
meskipun masih agak kering tapi krusta sudah berkurang dan tidak terdapat perdarahan (Gambar
3), kelenjar getah bening submandibula juga sudah tidak ada kelainan. Kondisi intra oral juga
menunjukkan perbaikan pada seluruh regio mukosa mulut, meskipun lesi sloughing, erosif dan
eritem masih terlihat, dan pada gingiva masih terlihat oedem, eritem, dan deskuamasi serta
makula coklat difus, dengan kebersihan mulut masih buruk karena masih terdapat plak dan
kalkulus.(Gambar 4). Pada kunjungan ini pasien dilakukan tindakan biopsi pada mukosa bukal
kanan regio 15-16.

Gambar 3. Kondisi bibir pada kunjungan kedua

Gambar 4. Kondisi intra oral pada kunjungan kedua.


Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan hemoglobin 14,8 g/dL, Hematokrit 43,3%,
Leukosit 12000/mm3, Eritrosit 5 juta/UL, Trombosit 341.000/mm 3. Indeks eritrosit; MCV 86,6
fL, MCH 29,6 pg, MCHC 34,2%. Hitung jenis leukosit; basofil 0%, eosinofil 1%, batang 0%,
segmen 81%, limfosit 14%, monosit 4%. IgE serum total 414,0 IU/mL. Hasil biopsi
menunjukkan secara mikroskopis sediaan dilapisi epitel gepeng berlapis yang tumbuh
hiperplastik, jumlah dalam batas normal. Pada bagian permukaan tampak sel keratinosit
edematous subjektif pada dermo epidermal junction. Tampak sebukan masif sel limfosit dan
PMN.Tidak tampak tanda-tanda keganasan, sehingga sebagai simpulan menunjukkan suatu
erythema multiforme.

Pada kunjungan ini diagnosis kerja menjadi suspek erythema multiforme, dengan
diagnosis banding suspek oral lichen planus. Rencana perawatan pada kunjungan ini pasien
dirujuk untuk mendapat pemeriksaaan hematologi lengkap dan IgE, pemberian OHI yaitu saran
menyikat gigi minimal 2 kali sehari. Terapi medikasi pada kunjungan pertama dilanjutkan yaitu
ibuprofen tablet 400 mg tiga kali sehari dan multivitaplex satu tablet sehari, vitamin B12 dua
tablet sehari, dan pemberian resep chlorhexidine gluconate (minosep®) untuk dikumur sehari
tiga kali.

Pada kunjungan ketiga, pasien telah menunjukkan kondisi penyembuhan, baik pada bibir
maupun pada intra oral lainnya. (Gambar 5) Terapi selama ini masih sama terutama untuk obat
peroral yaitu ibuprofen, multivitaplex, dan vitamin B12, tetapi pasien juga mendapat tambahan
obat racikan yang mengandung hidrokortison, avil, lanolin, vaselin untuk dioleskan pada bibir
sebanyak tiga kali sehari, dan kumur buang prednison tablet yang digerus dan ditambah air
dengan dosis 3 tablet sebanyak tiga kali sehari selama dua minggu. Pasien juga disarankan untuk
melakukan pemeriksaan tes ANA, melakukan pemeriksaan hematologi rutin, membersihkan
karang gigi, menghindari baso, banyak mengkonsumsi sayuran dan buah. Kondisi pasien pada
satu minggu berikutnya menunjukkan lesi mulut EM telah sembuh dan hilang sama sekali
terutama pada mukosa labial, dan bukal.(Gambar 6). Terapi prednison kumur buang dihentikan.
Hasil pemeriksaan darah terakhir menunjukkan hemoglobin 16,6 g/dL, hematokrit 49 %,
leukosit 6200/mm3, eritrosit 5,5 juta/UL, trombosit 256.000/mm3, Indeks eritrosit; MCV 88,5 fL,
MCH 29,9 pg, MCHC 33,8 %, LED 3 mm/jam, ANA reaktif pola peripheral, kimia klinik;
ureum 23 mg/dL, kreatinin 0,88 mg/dL.
Gambar 5. Kondisi bibir dan intra oral pada kunjungan ketiga

Gambar 6. Kondisi intra oral pada kunjungan keempat.

Pembahasan
Kondisi awal pasien dengan keluhan sariawan yang meluas hampir di seluruh bagian
mulut saat datang pertama kali secara klinis mengarah pada diagnosis pemfigus vulgaris karena
lesi ulserasi, erosif, disertai bagian yang mirip sloughing yang khas dijumpai pada pemfigus
vulgaris.2 Riwayat kondisi yang sama pernah dialami pasien kurang lebih 2 tahun sebelumnya
sampai mengharuskan pasien mendapat rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Subang dan
ditangani oleh dokter kulit saat itu, meskipun keluhan hanya di dalam mulut. Diagnosis banding
pada pasien adalah erythema multiforme (EM), karena secara klinis pada bibir terutama terdapat
krusta kekuningan dan perdarahan, dan diagnosis banding lainnya yaitu oral lichen planus tipe
erosif / ulseratif.2
Pasien tidak menyadari faktor penyebab atau faktor yang dapat memicu, tetapi dari hasil
anamnesis menunjukkan kondisi umum pasien sebelum muncul sariawan dalam kondisi sering
kelelahan akibat kegiatan sekolahnya, dan pasien memiliki hobi mengkonsumsi baso hampir
setiap hari, serta makanan ringan yang mengandung penguat rasa makanan (MSG). Dugaan kuat
faktor makanan ini yang memicu terjadi lesi mulut yang dilatarbelakangi kondisi umum pasien
yang kurang baik akibat stres fisik maupun psikis yang mungkin dialami pasien saat itu. Faktor
stres dapat memicu hipotalamus untuk mengeluarkan corticotropin-releasing hormone (CRH).
CRH ini kemudian menstimulasi kelenjar pituitari untuk mensekresi adrenocorticotropic
hormone (ACTH) dan menyebabkan kelenjar adrenal bagian korteks mensekresi kortisol yang
dapat meningkat sampai 20 kali lipat.3 Sebetulnya secara fisiologis tubuh memiliki mekanisme
efek umpan balik negatif terhadap sekresi kortisol ini yang bertujuan untuk kembali lagi ke nilai
yang normalnya, tetapi pada kondisi stres kronis seperti pada pasien ini, pengeluaran kortisol
yang terus menerus justru dapat menimbulkan pengrusakan tubuh lebih lanjut. 3 Mekanisme yang
terjadi pada EM sebagai suatu akibat dari mekanisme kompleks imun, suatu peptida antigen akan
membentuk suatu kompleks komplemen IgG, dan kompleks ini akan tersaring keluar melalui
dinding pembuluh darah, lalu berikatan dengan komplemen dan menginisiasi infiltrasi leukositik,
yang terdiri dari neutrofil dan makrofag (Gambar 7). Leukosit ini melepaskan spesies radikal
bebas oksigen dan enzim litik yang memuncak dalam kondisi nekrosis epitel, lalu menghasilkan
bula dan suatu deskuamasi difus. 4

Gambar 7. Patogenesis vaskulitis kompleks imun pada EM. 4


Diagnosis kerja pada kunjungan kedua menjadi lebih mengarah pada EM karena hasil
pemeriksaan penunjang biopsi lesi mulut menunjukkan gambaran EM, dan perkembangan
penyakit setelah pemberian terapi dengan medikamentosa berupa ibuprofen memberikan hasil
perbaikan. Pemberian ibuprofen jika pada kondisi pemfigus vulgaris tidak akan menunjukkan
perbaikan hasil yang signifikan selain dengan obat kortikosteroid sebagai obat pilihan utama.2
Ibuprofen diberikan dalam sediaan tablet 400 mg dengan dosis tiga kali sehari, dan pemberian
tablet multivitamin sebanyak satu kali setiap hari untuk membantu regenerasi sel epitel mukosa
mulut, serta obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat 0,1% sebagai antiseptik
diberikan selama satu minggu diberikan pada kunjungan pertama, disamping instruksi pada
pasien untuk menghentikan konsumsi baso dan makanan yang mengandung MSG seperti mie
instan, yang akhirnya memberikan efek perbaikan pada saat kontrol ini. Pada awal terapi pasien
diberikan ibuprofen sebagai analgesik non steroid dengan pertimbangan akan direncanakan
pengambilan jaringan untuk biopsi supaya tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan jika diberikan
obat golongan steroid, tetapi efek ibuprofen sangat terlihat bermakna pada perbaikan jaringan
yang semula mengalami daerah erosif, ulserasi dan sloughing pada mukosa labial, bukal, lidah,
dan dasar mulut. Daerah sloughing sangat jelas terlihat pengurangannya, terutama pada sebagian
mukosa labial bawah, mukosa bukal kanan dan kiri. Penegakkan diagnosis kearah EM dengan
pertimbangan lainnya yantu insidensi EM yang sering pada usia dewasa muda sesuai dengan usia
pasien yang berusia 17 tahun, sedangkan insidensi pemfigus vulgaris sering pada usia dekade 4
dan 5.1,2,5

Ibuprofen merupakan derivat pertama dari asam fenilpropionat yang mulai diperkenalkan
sejak tahun 1969, sebagai obat antiinflamasi non steroid /OAINS dan juga memiliki efek sebagai
antipiretik dan analgesik,3,6 Dosis yang diberikan pada pasien adalah tiga kali untuk sediaan
tablet 400 mg sehingga total per hari pasien mengkonsumsi sebanyak 1200 mg. OAINS memiliki
mekanisme utama yaitu memblok generasi prostaglandin, termasuk prostasiklin (PGI 2) dan
tromboksan A2 (TXA) yang diproduksi dari asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase yang
terdapat sebagai COX-1 dan COX-2. COX-1 berfungsi sebagai house keeping sedangkan COX-2
bekerja setelah diinduksi oleh sitokin dan molekul lain pada lokasi inflamasi. 3 Meskipun efek
antiinflamasi yang dimiliki ibuprofen sebagai OAINS tidak sebesar obat kortikosteroid, tetapi
pada kasus ini inflamasi yang terjadi dapat ditekan dengan baik, mungkin dipengaruhi oleh kerja
efek COX-1 dan COX-2 yang menekan mediator-mediator inflamasi yang ada. OAINS juga
dapat menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap bradikinin, dan histamin, yang berefek
pada produksi limfokin dari limfosit T, dan mengatasi vasodilatasi pada inflamasi, serta
menghambat agregasi trombosit.7

Terapi lainnya yang diberikan pada pasien adalah berupa multivitamin yaitu
multivitaplex® yang mengandung vitamin A 2000 iu, vitamin B1 1 mg, vitamin B2 1,2 mg,
vitamin B6 80 mcg, vitamin B12 1 mcg, vitamin C 30 mg, vitamin D 200 iu, nicotinamide 10
mg, dan Ca pantothenate 2 mg. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, pasien mendapat
tambahan asupan suplemen berupa vitamin B12 100 mcg karena pada multivitamin sebelumnya
kandungan vitamin B12 hanya 1 mcg dan pemberian asam folat 400 mcg untuk menambah
asupan mikronutrien yang diperlukan untuk regenerasi sel epitel dan proses penyembuhan
jaringan.2

Pada kunjungan-kunjungan berikutnya pasien mendapat terapi obat oles racikan yang
mengandung kortikosteroid yaitu hidrokortison 0,025 mg, avil 0,25 mg, lanolin 2,5 mg, dan
vaselin 25 mg. Obat ini dioleskan pada bibir untuk mengatasi inflamasi dan membuat kondisi
bibir menjadi lembab yang disebabkan dari kandungan lanolin dan vaselin, dan kandungan avil
sebagai antihistamin untuk meminimalisir pelepasan histamin yang mungkin menyertai proses
inflamasi berat. Racikan ini diaplikasikan 3-4 kali sehari. Pada perkembangan selanjutnya pasien
mendapat terapi kumur prednison tablet dengan cara menggerus tiga tablet prednison sediaan 5
mg lalu ditambahkan air sebanyak kurang lebih dua sendok makan lalu dikumur selama 5 menit
dan dibuang. Obat ini diberikan untuk memperbaiki jaringan pasca inflamasi berat di dalam
mulut. Terapi ini dilakukan selama dua minggu dan dihentikan setelah kondisi mukosa normal.

Instruksi dari operator yang jelas dan kerjasama serta motivasi dari pasien yang baik
memberikan pengaruh yang besar terhadap penyembuhan lesi mulut pasien. Motivasi kuat dari
pasien ditunjukkan dengan usaha pasien untuk menghentikan kebiasaannya mengkonsumsi baso
atau makanan lain yang panas dan pedas sejak awal terapi dan pasien telah melaksanakan
instruksi operator untuk lebih banyak mengkonsumsi sayuran, buah serta minum air putih. Terapi
EM tidak ada yang khusus, tetapi yang terpenting adalah penanganan suportif, salah satunya
2
dengan diet cairan. Instruksi ini terutama untuk mendukung penyembuhan dan menghindari
rekurensi penyakit di waktu yang akan datang, terbukti setelah kurang lebih 9 bulan sejak
kunjungan terakhir pasien menyatakan lesi mulut yang sama tidak terjadi lagi.
Simpulan
Keberhasilan penggunaan ibuprofen untuk lesi mulut erythema multiforme (EM) pada
pasien dalam makalah ini telah menunjukkan bahwa ada obat pilihan lain selain obat
kortikosteroid yang selalu menjadi pilihan utama pada beberapa kasus ulserasi mukosa mulut
yang luas terutama yang berhubungan dengan gangguan autoimun. Keberhasilan perawatan pada
pasien juga ditunjang oleh kerjasama yang baik antara operator dengan pasien sehingga proses
penyembuhan dapat berjalan baik dan terbukti dengan motivasi pasien yang tinggi untuk tidak
mengalami lagi kondisi yang sama ditunjukkan dengan tidak terjadinya kekambuhan setelah 9
bulan pasca perawatan.
Saran
Penatalaksanaan lesi mulut pada kebanyakan kasus erythema multiforme (EM) lebih
mengutamakan penggunaan obat kortikosteroid, tetapi sebetulnya ada banyak pilihan terapi yang
dapat diberikan, terbukti pada pasien yang dibahas dalam makalah ini telah menunjukkan
perbaikan yang bermakna dengan pemberian ibuprofen sejak awal terapi. Dokter gigi sebaiknya
dapat mengetahui efek obat dan efek sampingnya sehingga pemilihan terapi dapat lebih efektif.
Daftar Pustaka
1. Field A, Longman L. Tyldesley’s Oral Medicine. 5 th ed. Oxford: Oxford University
Press.2003. p.135-6.
2. Scully C. Oral and maxillofacial medicine. the basis of diagnosis and treatment. 2nd ed.
Edinburgh: Churchill Livingstone Elsevier. 2008.p.207-10, p.267-9.
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 9 th ed. Philadelphia: WB Saunders
Company. 1996. Diterjemahkan oleh Setiawan I. Jakarta; penerbit Buku Kedokteran
EGC.p.1209-15.
4. Silverman S, Eversole LR, Truelove EL. Essential of Oral Medicine. Hamitton: BC Decker
Inc. 2001.p.208-9.
5. Gandolfo S, Scully C, Carrozo M. Oral Medicine. Edinburgh: Churchill Livingstone
Elsevier. 2006.p.72-4.
6. Tripathi KD. Essential of Medical Pharmacology. 4 th ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd. 1999.p.450-61.
7. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Boston:McGraw Hill. 2007.p.574-81.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai