Anda di halaman 1dari 14

CBD SISTEMIK MODUL 3

“Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)”

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi


Kepaniteraan Klinik pada Modul 3

Oleh :
Vanny fergiana mulyadi
19100707360804041

Dosen Pembimbing : drg. Rifani

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2020

1
MODUL 3

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan dan dipresentasikan makalah CBD yang berjudul

“Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)” guna melengkapi persyaratan

Kepaniteraan Klinik pada Modul 3.

Padang, Mei 2020


Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Rifani)

2
“Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)”
Vanny fergiana mulyadi*, Rifani, drg**
*Mahasiswa ** Staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Baiturrahmah
Jl. Raya By Pass KM 14 Aie Pacah, Padang
*) E-mail : vannyfergi@gmail.com

Abstrak
Latar belakang : Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan
suatu keadaan berbaliknya (refluks) kandungan lambung ke esofagus melebihi
jumlah normal dan menimbulkan berbagai keluhan seperti halitosis dan erosi gigi.
Sampai saat ini laju aliran saliva pada pasien GERD masih kontroversi. Prevalensi
GERD meningkat akhir-akhir ini. Di Indonesia, ditemukan kasus esofagitis
sebanyak 22,8%. Tujuan : Untuk memberikan informasi mengenai GERD dan
mengetahui manifestasi oral. Tinjauan pustaka: Berkenaan dengan manifestasi
terkait GERD di rongga mulut, erosi gigi, halitosis, erosi ulserasi mukosa,
kehilangan rasa dan xerostomia telah dilaporkan.

Kata kunci: Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), manifestasi rongga mulut.

Abstract
Background: Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) is a condition of
reversibility (reflux) stomach contents into to esophagus exceeds the normal
amount and cause a variety complaints such as halitosis and tooth erosion. Until
now salivary flow in patients with GERD is still controversial. The prevalence of
GERD has increased lately. In Indonesia, 22.8% cases of esophagitis were
reported. Purpose: To provide information GERD and to recognice the
manifestations oral. Review:With regard to GERD-associated manifestations in
the dental erosions, halitosis, mucosal ulceration ⁄ erosion, loss of taste and both
xerostomia have been reported.

Keywords: Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), manifestations oral

3
PENDAHULUAN

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah salah satu kelainan yang sering

ditemukan dalam bidang gastrointestinal1. Menurut Suzanna Ndraha GERD

adalah suatu kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke

esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai keluhan seperti

heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri yang pedih) dan
2,3
gejalagejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah) . Penyakit ini

dapat berdampak buruk pada kualitas hidup penderita 4,5. Prevalensi GERD di

Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju 3. Di Amerika

hampir 7% populasi mempunyai keluhan nyeri dada, sedangkan di Asia hanya

3%, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namum insiden pada

laki-laki lebih tinggi dan GERD dapat terjadi di segala usia3,6.

Heartburn adalah manifestasi klinis khas dari GERD; selain itu, beberapa

manifestasi terjadi pada paru, telinga, hidung dan manifestasi tenggorokan dan

rongga mulut telah dikaitkan ke GERD. Manifestasi GERD pada ekstra-esofagus

diantaranya disfagia, odinofagia, globus (benjolan di tenggorokan), sakit

tenggorokan, radang tenggorokan, kurang air (meningkat aliran saliva) dan batuk
7,8
. Berkenaan dengan manifestasi terkait GERD di rongga mulut diantaranya

adalah erosi gigi, halitosis, ulserasi mukosa, kehilangan rasa dan xerostomia dan

peningkatan aliran saliva telah dilaporkan 9.

4
TINJAUAN PUSTAKA

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan penyakit akibat kembalinya

isi lambung ke esofagus. Refluks esofageal terdiri dari kerusakan mukosa

esofagus akibat refluks isi lambung kedalam esofagus10. Isi lambung tersebut bisa

berupa asam lambung, udara, maupun makanan. Refluks esofageal terjadi: (1)

volume lambung meningkat (sesudah makan, dengan obstruksi pilorus atau pada

kondisi hipersekresi), (2) apabila isi lambung terletak dekat dengan sambungan

gastroesofagus (akibat berbaring terlentang atau membungkuk), dan (3) apabila

tekanan lambung meningkat (dengan obesitas, kehamilan, asites (pembengkakan

perut), atau pengikat yg kuat/ketat). Refluks yang berlebihan dapat terjadi karena

sfingter tidak kompeten (tidak bekerja dengan baik), stenosis, atau adanya

gangguan motilitas. Kekambuhan refluks tampak meningkat sesuai penambahan

usia 11.

Etiologi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Penyebab pasti belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor penting

yang dapat meningkatkan resiko terjadinya refluks gastroesofageal. Tabel 1

mendeskripsikan berbagai faktor yang bisa meningkatkan terjadinya refluks

gastroesofageal 11.

5
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis

dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam

waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2).

Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus. Esofagus dan gaster

dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan

oleh kontraksi Lower Esophageal Sphincter (LES). Pada individu normal,

pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran

balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak

ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun, 2009). Refluks gastroesofageal

pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan pada saat

relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya

tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan

demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut

keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan

asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari

6
bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala

GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks

fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet  dan delayed

gastric emptying  12.

Gambaran Klinis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Gambaran klinis gastroesophageal reflux disease (GERD) Adanya gejala

klasik GERD (heartburn dan regurgitasi), yang ditemukan melalui anamnesis

yang cermat, merupakan patokan diagnosis 13. Rasa panas di ulu hati (heartburn)

adalah gejala yang khas dan disebabkan oleh kontak bahan yang mengalir kembali

menujumukosa esofagus yang sudah mengalami inflamasi. Gejala ini bertambah

buruk dengan membungkuk kedepan, mengejan, atau tidur berbaring dan

memburuk setelah makan. Gejala berkurangdengan posisi berdiri, menelan air liur

atau meminum antasida. Rasa panas di ulu hati disebabkan oleh sensitivitas

mukosa yang meninggi 10.

Regurgitasi adalah timbulnya isi lambung atau esofagus tanpa dorongan

atau tenaga didalam mulut. Regurgitasi bahan yang terasa asam atau pahit terjadi

pada refluks esofageal berat dan disertai dengan inkompetensi sfingter esofagus

bagian atas dan bawah. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laring dengan

batuk dan hidung tersumbat yang menyebabkan pasien terbangun dari tidur.

Simptom ini berhubungan dengan aktifitas yang sering kita lakukan, seperti rasa

begah setelah makan berat, membungkuk, dan berbaring. Regurgitasi adalah

perasaan seperti bahan-bahan makanan yang sudah tertelan naik ke tenggorokan.

Gejala GERD yang kronis dapat benar-benar menurunkan kualitas hidup pasien14.

7
Manifestasi Oral Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Hasil pada penelitian menunjukkan bahwa xerostomia, burning sensation,

erosi gigi dan halitosis adalah gejala yang paling sering dikaitkan dengan GERD.
15
Ini sesuai dengan penelitian sebelumnya . Namun, halitosis jarang dilaporkan

dalam hubungannya dengan GERD karena dampaknya pada kualitas hidup itu

harus diperhitungkan dalam praktik klinis dan ditangani dengan hati-hati dalam

penelitian masa depan 16.

Terjadinya xerostomia pada pasien dengan GERD telah dipelajari tetapi

hasilnya seringkali kontroversial. Sampai saat ini laju aliran saliva pada pasien

GERD masih kontroversi. Beberapa penelitian menyatakan terjadi penurunan laju

aliran saliva pada penderita GERD, karena saliva merupakan pertahanan mukosa

yang selalu melumasi esofagus sewaktu regurgitasi dan juga pHnya jauh lebih

rendah dari pH kritis, sedangkan penelitian lain ditemukan bahwa laju aliran

saliva pada pasien GERD mengalami peningkatan karena sistem buffer yang

menetralisir asam sehingga meningkatkan jumlah saliva19. Sekresi saliva yang

memadai dan keseimbangan komposisi saliva sangat penting dalam

mempertahankan kesehatan rongga mulut. Saliva melumasi dan mempertahankan

rongga mulut dari iritasi faktor mekanis, termal dan kimia17,18.

Menurut penelitian Di Fede dkk (2008) menyatakan bahwa laju aliran

saliva tanpa stimulasi pada pasien terindikasi gastroesophageal reflux disease

(GERD) terjadi penurunan laju aliran saliva dalam kategori rendah, karena saliva

merupakan pertahanan mukosa yang selalu melumasi esofagus sewaktu

regurgitasi dan juga pHnya jauh lebih rendah dari pH kritis 21. Hal ini diperkuat

oleh Penelitian Sarbin dkk (2012) menyatakan bahwa Refluks asam yang melebihi

8
jumlah normal dan frekuensi refluks yang sering menyebabkan ketidakmampuan

saliva dalam pembersihan asam sehingga saliva terganggu secara kuantitas dan

kualitas 22.

Kapasitas buffer saliva merupakan mekanisme pertahanan saliva terhadap

asam, kapasitas buffer saliva ditentukan oleh 85% konsentrasi bikarbonat, 14%

konsentrasi fosfat dan 1% oleh protein saliva. Refluks asam yang melebihi jumlah

normal dan frekuensi refluks yang sering menyebabkan saliva terganggu secara

kuantitas dan kualitas. Sistem buffer saliva pada penderita GERD juga tidak

mampu menetralkan asam yang terlalu rendah dari pH kritis 5,5, sehingga

terjadilah berbagai komplikasi di rongga mulut seperti erosi gigi, disfagia, bau

mulut dan lidah yang terasa pahit 20.

Rendahnya laju aliran saliva pada pasien terindikasi GERD dapat memicu

terjadinya berbagai masalah di rongga mulut seperti erosi gigi. Jika korosi parah

kerusakan pulpa yang ireversibel dapat terjadi yang membutuhkan terapi saluran

akar. Erosi bersifat multifactorial dan janrang untuk mengidentifikasi etiologi

tunggal pada pasien tertentu. Kebersihan mulut yang tidak memadai dapat

memperburuk terjadinya erosi , terjadinya erosi pada pasien GERD menuntut

intervensi aktif dokter gigi untuk memonitor dan aktif dalam merawat erosi gigi

tersebut 18.

Pada pasien GERD, cairan asam bisa berada lama di esophagus sehingga

terjadi erosi lining esophagus. Gravitasi, aksi menelan dan saliva merupakan

mekanisme pelindung yang penting pada kondisi ini. Kerusakan jaringan terjadi

sewaktu tidur karena posisi terlentang menyebabkan sekresi asam lambung berada

lebih lama di dalam mulut. Karena sekresi serta aksi menelan saliva juga

9
berkurang sewaktu tidur, memungkinkan asam tetap berada di esophagus untuk

waktu yang lama yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak dan gigi. Pada

pasien GERD, sering terjadi keausan oklusal berlebihan disertai dengan erosi pada

permukaan lingual dan insisal. Keausan enamel lebih cenderung terjadi pada

permukaan lingual pada kasus GERD (Gambar 1). Keausan secara berlebihan

pada permukaan lingual gigi dan erosi pada permukaan insisal dan oklusal

merupakan tanda awal penyakit ini sehingga dokter gigi lebih cenderung

mendeteksi awal penyakit ini. 23

Gambar 1. Erosi gigi akibat GERD 25.

.Mengenai tanda-tanda klinis, 21,5% dari dengan GERD vs 5.0% dari

subyek sehat menunjukkan lesi eritematosa yang tidak dapat dikarakteristikkan

secara klinis sebagai penyakit lain pada mukosa dan uvula langit-langit mulut

lunak dan keras; lesi-lesi ini biasanya dikenali sebagai lesi jaringan lunak yang

berhubungan dengan GERD dan disebabkan oleh aksi langsung yang

menyinggung asam refluks. Hanya 9,0% pasien dengan GERD menunjukkan lesi

ini, dibandingkan dengan 13,0% dari subyek sehat dan perbedaannya tidak

signifikan secara statistic 24.

10
Gambar 2. Eritema pada palatum dan uvula 24.

Manajemen Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Manajemen Medis Keberhasilan yang signifikan dalam mencegah atau

mengurangi gejala GERD terlihat dengan modifikasi gaya hidup. Penurunan

berat badan mengurangi perbedaan tekanan antara perut dan dada, sehingga

mengurangi refluks. Penghentian merokok akan meningkatkan produksi air liur

dan karenanya menangkal gejala GERD. Makanan berlemak memperlambat

pengosongan lambung dan menghasilkan distensi dan refluks. Peningkatan kadar

lemak makanan mungkin merupakan faktor penting dalam menjelaskan

peningkatan refluks di dunia Barat dalam beberapa tahun terakhir. Makan

makanan dalam jumlah besar dan berbaring terlalu cepat setelah makan juga

membuat individu cenderung terkena penyakit refluks. Tidur dengan kepala

tempat tidur ditinggikan dapat membantu mengosongkan kerongkongan dari

setiap refluks dan dapat mencegah gejala 18.

11
Peran praktisi kesehatan seperti dokter gigi dalam hal memberikan edukasi

dan informasi mengenai pemeliharaan oral hygiene yang baik serta memberikan

pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada pasien terindikasi GERD, sehingga

berbagai komplikasi di dalam rongga mulut akibat penurunan laju aliran saliva

dapat dikurangi.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson S, Christoffel. Prevalence of symptoms of gastroesophageal reflux during


childhood: a pediatric practice-based survey. Pediatric practice research group.
Arch Pediatr Adolesc 2000;154:150–154.
2. Orenstein SG, Berhman, Kliegman. Gastroesophageal Reflux Disease Nelson
textbook of pediatrics. Philadelphia Saunders Elsevier 2011;1266–1270.
3. Sudoyono A, Simadibrata Setiati. Buku Ajar. Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta:
interna; 2009: p.12-14
4. Ndraha S. Penyakit Refluks Gastroesophageal. Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta 2014: p. 27
5. Nimish Vakil P. The Initial Diagnosis of GERD. Journal American Dental
Association , 2013;27:365-371.
6. Richards T. Paradigm shift in the management of gastroesophageal reflux disease.
Wiley Online Library, 2003;237:638–647.
7. Moayyedi P, Talley NJ. Gastro-oesophageal reflux disease. Lancet 2006; 367:
2086–100.
8. Napierkowski J, Wong RK. Extraesophageal manifestations of GERD. Am J Med
Sci 2003; 326: 285–99.
9. Hogan WJ, Shaker R. Medical treatment of supraesophageal complications of
gastroesophageal reflux disease. Am J Med 2001; 111(Suppl. 8A): 197S–201S.
10. Horrison CJ., Puntic, W.L., Durbin, G.M., (1995). Case report: atypical allergic
colitis in preterm infants. Acta Paediatr Scand. 1; 80 :1113 –1116
11. Muttaqin, A., dan Kumala, S. (2013).Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika. Halaman 411.
12. Makmun, Dadang. 2009. Penyakit Refluks Gastroesofageal dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Bestari, Muhammad Begawan. (2011). Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux
Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011.
14. Locker, G.R., Talley, N.J., Fett, S.L., Zinsmeister, A.R., dan Melton J. (2004).
Prevalence and Clinical Spectrum of Gastroesophageal Reflux: A Population-
based Study in Olmsted Country, Minnesota. Gastroenterology. 71(1): 975-997.
15. Olga Di Fede1 , Chiara Di Liberto1 , Giuseppe Occhipinti1 , Sergio Vigneri2 ,
Lucio Lo Russo3 , Stefano Fedele4 , Lorenzo Lo Muzio3 , Giuseppina Campisi1.
(2008). Oral manifestations in patients with gastro-oesophageal reflux disease: a
single-center case–control study. J Oral Pathol Med37: 336–340
16. Devault KR. Should upper gastrointestinal endoscopy be part of the evaluation for
supraesophageal symptoms of GERD. Am J Gastroenterol 2004; 99: 1427–9

13
17. Vakil N, Kahrilas P, Dent J, Jones R. The gastroesophageal Reflux Disease,
American Journal, 2006;101:1900–1920.
18. Glick M, 2015. Burket’s Oral Medicine. 12 th ed, USA : People’s Medical
Publishing House, p. 2011-2012
19. Albert J, Bredenoord J, Andre J, Smout G. Gastro oesophageal reflux disease.
Gastroenterology and Hepatology 2013;381
20. Singh P, Taylor RH, Jones DG. The Esophageal, Journal Gastroenterol
Hepatology, 1992:1590–1596.
21. Di Fede, Campisi R, Liberto D. Saliva variations in gastro-oesophageal reflux
disease. Scien Direct 2008;268–271.
22. Ericsson Y. "Enamel apatite solubility. Investigations into the callcium phosphate
equilibrium between enamel and saliva and its relation to dental caries". Acta
Odontology 1949;8:1-139.
23. Ford T.R. Restorasi gigi. Alih bahasa : Narlan S. Jakarta : EGC. 1993. Hal 22-7.
24. Lazarchik DA, Filler SJ. Effects of gastroesophageal reflux on the oral cavity. Am
J Med 1997; 103(5A): 107S–13S.
25. Lussi A. Dental erosion. Switzerland : 2006. pp 9-14, 17-24.

14

Anda mungkin juga menyukai