Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

DISUSUN OLEH :

Dini Estri Mulianingsih G99172061

Astari Febyane Putri G99172049

Namira Nurul H. G99181047

Leonard Sarwono A. G991903030

Ismi Cahya Delima G991905030

Rendra Ristian W. G991908019

PEMBIMBING :

drg. Christianie, Sp.Perio


KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR. MOEWARDI
2019

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai gangguan sistemik telah dikaitkan dengan perubahan rongga

mulut, baik yang spesifik maupun tidak spesifik, dalam banyak keadaan rongga

mulut menjadi area diagnostik yang penting. Lidah merupakan organ dalam

rongga mulut penting pada tubuh manusia yang memiliki banyak fungsi. Lidah

dapat digunakan untukmelihat kondisi kesehatan seseorang, sebagai indikator

untuk mengetahui kesehatan oral dan kesehatan umum pasien. Secara khusus,

pemeriksaan yang cermat dapat mengungkapkan tanda dan gejala gangguan

metabolisme, endokrinopati, penyakit pencernaan, hematologi, autoimun, dan

patologi neoplastik.

Glossitis adalah kelainan pada lidah yang merubah permukaan, ukuran,

dan warna lidah akibat suatu peradangan. Papilla pada lidah yang terjangkit

glosisits akan berwarna putih hingga menghilang. Penyebabnya dapat berupa

faktror stress emosional, defisiensi nutrisi, dan herediter. Bila radang ini semakin
parah akan mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri dapat mengubah

cara penderita makan atau berbicara (Langlais, 2001).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Glositis merupakan peradangan kronis atau akut pada lidah yang


ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis. Penyakit ini
dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan
cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya muncul pada lidah.
Keadaan ini dapat menyerang pada semua tingkatan usia. Kelainan ini
sering menyerang pada laki- laki dibandingkan pada wanita.

Gambar 1. Glositis
B. ETIOLOGI
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam
folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Reaksi alergi
d. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
e. HIV
f. Obat lanzoprazole, amoxicillin.

C. FAKTOR RESIKO
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi
Pada beberapa kasus, glositis akan menyembuh pada pasien dengan
rawat jalan. Rawat inap diperlukan bila pembengkakan pada lidah ini
membesar dan menghalangi jalannya udara yang dihirup (Taqwa, 2009).

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi tergantung penyebab
yang mendasari. Biasanya pasien akan merasakan rasa terbakar dan
tidak nyaman di lidah. Kemudian lidah akan terlihat memerah dan
halus. Tidak menutup kemungkinan akan terdapat ulserasi pada lidah.
Pada pasien biasanya struktur lidah normal tidak nampak karena papil
filiformis hillang dan atrofi di mukosa. (Dennis et. al., 2012).

E. KLASIFIKASI

1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara
keseluruhan.

2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)


Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena
degenerasi ujung papil. Perasaan lidah terbakar yang menyebar
ke bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi.
Lidah terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah
maupun hanya sebagian kecil. Penyebab yang paling sering
biasanya adalah kekurangan zat besi. Jadi banyak didapatkan
pada penderita anemia.

Gambar 2. Atropic glossitis


3. Herpetic Geometric Glossitis
Terdapat retkan pada dorsum lidah yang bercabang- cabang.

Gambar 3. Herpetic Geometric Glossitis

4. Benign Migratory Glossitis


Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih
serpiginosa dan hiperkeratotik.
Gambar 4. Benign Migratory Glossitis
5. Median Rhomboid Glossitis
Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian
dorsum lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata
(Ghabanchi, 2011).

Gambar 5. Median Rhomboid Glossitis

F. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang Dari anamnesis, dapat ditemukan keluhan lidah bengkak,
panas, dan nyeri. Keluhan dapat juga disertai gangguan makan dan
menelan. Pada pemeriksaan ditemukan permukaan lidah terlihat halus,
dapat ditemukan ulserasi, bengkak serta adanya perubahan warna
lidah, pucat pada penderita anemia pernisiosa dan berwarna merah
gelap bila penyebab glossitis adalah kekurangan vitamin B yang lain.
Penyebab glossitis secara pasti dicari melalui pemeriksaan yang
mendalam, seperti biopsi, tes untuk defisiensi B12, profil kimia darah,
kikisan KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat indikasi (Treister dan
Bruch, 2010).

G. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan untuk glositis tidaklah spesifik untuk tipe tertentu,
inti dari tatalaksananya adalah untuk mengatasi peradangan.
Pengobatan yang dipilih adalah pengobatan obat secara oral.
Pengobatan glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik
digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Bila pembengkakan
dirasakan parah, bisa diberikan kortikosteroid. Topikal kortikosteroid
juga mungkin berguna untuk penggunaan sesekali misalnya
triamcinolone dalam pasta gigi yang diterapkan beberapa kali sehari.
Kebersihan mulut yang baik sangat penting untuk mempercepat proses
penyembuhan. Dan hindari konsumsi alkohol dan rokok karena
meningkatkan resiko dari glositis (Gonzaga, 2014).

H. PENCEGAHAN
1. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
2. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi
3. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan.
4. Kunjungi dokter gigi secara teratur.
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang
lidah untuk terjadi iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini
termasuk makanan yang panas dan beralkohol.
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis
apapun.
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya
bertambah parah.
8. Bila lidah sudah menghalangi jalan nafas oleh karena proses
enlargement, bila hal ini terjadi, mutlak diperlukan perawatan yang
lebih intensif (Pindborg, 2009)

I. HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN TB


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis Complex (MTBC).
Mycobacterium tuberculosis Complex terdiri dari M. tuberculosis
(MTB), M. africanum, M. canettii, M. bovis, M. microti, M. orygis, M.
caprae, M. pinniepedii, M. suricattae, dan M. mungi. Infeksi TB
paling sering disebabkan oleh MTB (Sinha et al., 2016).
Mycobacterium tuberculosis adalah organisme berbentuk batang,
bersifat anaerob, yang dinding selnya mengandung komplek lipida-
glikolipida serta lilin (wax) yang menyebabkan sifat tahan asam
sehingga sulit ditembus oleh zat kimia. Bakteri ini tidak motil, tidak
berkapsul, dan tidak menghasilkan spora (Ram H, 2012). Bakteri ini
dapat menyerang paru-paru maupun organ ekstra paru atau TB
sekunder seperti pada kulit, tulang, saluran pencernaan, sistem
genitourinaria, dan rongga mulut. Prevalensi kejadian TB ekstra paru
sekitar 10-15% kasus TB (Prem PG et al., 2007).
TB Oral dapat berupa manifestasi primer maupun sekunder.
Manifestasi primer dari TB oral sangat jarang ditemui dan terjadi pada
orang dewasa. Sedangkan manifestasi sekunder dari TB oral lebih
umum ditemui daripada manifestasi primer (0.005%-1.5% dari kasus
TB) dan terlihat pada manula. Prevalensi manifestasi oral tuberkulosis
secara keseluruhan yaitu 0.1-5% dari seluruh infeksi TB (Khan MN,
2015). Kejadian TB pada lidah, lebih sering dijumpai pada laki-laki
dengan ratio 4:1 dimana kebanyakan penderita adalah pasien dengan
ekonomi rendah. Menurut beberapa penelitian, laki-laki memang
lebih rentan terkena infeksi Mycobacterium tuberculosis. Hal ini dapat
berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih besar pada laki-laki,
yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas saluran pernafasan
sehingga menjadi lebih rentan untuk terinfeksi. Gangguan pada sistem
imunitas saluran pernafasan tersebut dapat berupa kerusakan
mukosiliar akibat racun asap rokok serta menurunkan respon terhadap
antigen, sehingga meningkatkan kerentanan terjadinya TB paru (Al
Rikabi, 2011).

Faktor yang mempengaruhi infeksi bakteri TB ke rongga mulut


yaitu, peran cleansing dari saliva, enzim dalam saliva, jaringan
antibodi dan saprofit oral, ketebalan epithelium, merokok, kebersihan
mulut yang buruk. Bagaimanapun, luka lecil pada mukosa mulut yang
disebabkan oleh iritasi kronis atau inflamasi dapat menjadi tempat
yang baik untuk kolonisasi bakteri. Faktor predisposisi lain termasuk
oral hygiene yang jelek, ekstraksi gigi dan leukoplakia. Pemeriksaan
klinis, anamnesis yang baik, pemeriksaan histopatologis, foto rontgen
paru sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Lebih akurat lagi
dapat dilakukan biopsi pada lesi oral tersebut dalam penegakkan
diagnosis (Nemes RM et al., 2015).
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan. Sebesar 90% dari kasus, pintu masuk bakteri penyebab TB
yaitu saluran pernafasan. Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui
saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran
pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh
makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri
ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang
biak dalam tubuh makrofag.yang lemah itu dan ,menghancurkan
magrofag. Dari proses ini, dihsilkan bahan kemotaksis yang menarik
monosit(makrofag) dari aliran darah dan membentuk tuberkel.
Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T. Bakteri TB yang
berada dalam alveoli akan membentuk fokus local (fokus ghon),
sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfa denopati
bertempat di hilus (kompleks primer ranks) dan disebut juga TB
primer. Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder, kelenjar limfe
regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan
terlokalisir. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma, mirip dengan terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis
jaringan lebih mencolok dan menghasilakn lesi kaseosa(perkejuan)
yang luas dan disebut tuberkuloma (Nunes-Alves et al., 2014).

Gambar 6. Patogenesis TB (Nunes-Alves et al., 2014)


Patogenesis tuberkulosis oral tidak dipahami dengan jelas,
namun ada beberapa penelitian yang menerangkan jalur inokulasi
yang berbeda-beda. TB oral dapat terjadi melalui rute hematogen atau
limfatik pada TB sekunder atau melalui inokulasi langsung seperti
pada TB primer. Insiden TB oral jarang dan telah dikaitkan dengan
membrane mukosa yang bertindak sebagai penghalang untuk penetrasi
langsung organisme, pembersihan mukosa mulut secara terus-menerus
dengan air liur, adanya flora normal yang bervariasi selain adanya
antibodi submukosa yang memberikan mukosa bukal resistensi
normal, pH local, dan antibodi meningkatkan resistensi rongga mulut
terkena infeksi TB (Sezer B, 2014).

Menurut Kanjikar S et al. (2019), basil tuberkulosis dapat


berkoloni di lidah dengan beberapa cara yaitu:

1. Implantasi langsung (teori basiler / sputogenik)

Terlihat pada TB paru. Dahak yang mengandung basil tuberkel, ketika


batuk, basil tuberkel akan menempel dan membuat lesi pada lidah.
Dalam kasus seperti ini, basil dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
dahak.

2. Inokulasi langsung

Dalam hal ini basil tuberkel akan secara langsung diinokulasi pada
membran mukosa mulut tanpa lesi TB primer lainnya. Dalam kasus
seperti ini, basil akan ditemukan pada pemeriksaan langsung yang
diambil dari lesi lidah.

3. Penularan selama praktik gigi juga ada kemungkinan.

4. Kemungkinan penyebaran secara hematogen

Basil dapat menjangkau jaringan mulut melalui jalur hematogen.

5. Fenomena Anachoretic
Kemungkinan fenomena anachoretic terjadi ketika ada lesi inflamasi
yang kemudian akan menarik kolonisasi bakteri dari darah karena
peningkatan permeabilitas kapiler. Teori anachoresis ini didukung oleh
Leslie et al. (2008) yang dalam penelitianmya mengatakan bahwa area
iritasi kronis atau peradangan dapat mendukung lokalisasi
Mycobacterium Tuberculosis terkait dengan penyakit ini. TB sekunder
pada rongga mulut dapat timbul setelah adanya sensitisasi akibat
infeksi primer TB pada paru.

Gejala klinis umum dari penyakit TB paru adalah batuh


berdahak lebih dari 2 minggu, demam sumer-sumer, keringat pada
malam hari, penurunan berat badan, batuk berdarah dan pembesaran
kelenjar getah bening (PDPI, 2011). Pada TB oral memiliki berbagai
gambaran klinis, yang membuatnya sulit untuk didiagnosa.
Manifestasi TB oral dapat timbul berupa ulser, pembesaran gingiva,
glositis, tuberkuloma, pembesaran kelenjar limfe, dan osteomyelitis.
Selain pada lidah, TB oral juga bisa dilihat di tempat lain di rongga
mulut seperti bibir, pipi, langit-langit lunak, dan uvula, mukosa
gingiva dan alveolar (Ababtain R et al., 2017).

Lesi tuberkulosis oral berbentuk ulkus yaitu suatu luka terbuka


dari kulit atau jaringan mukosa yang memperlihatkan disentegrasi dan
nekrosis jaringan sedikit demi sedikit. Lesi ulseratif di mukosa
penderita tuberculosis berupa ulkus yang ireguler, tepi yang tidak
teratur, dengan sedikit indurasi dan sering disertai dasar lesi berwarna
kuning, disekeliling ulkus juga sering dijumpai satu atau beberapa
nodul kecil.
Gambar 7. Lesi ulseratif pada permukaan ventral lidah ( Kanjikar S
et al.,2019)

Gambar 8. TB primer lidah. Gambaran Mikroskopis granuloma dengan sel


giant Langhans (Kanjikar S et al.,2019)

Tuberkuloma atau granuloma tuberkulosa dapat terjadi pada


penderita TB karena penumpukan basil TB pada lidah melalui proses
yang lambat yang mengenai lidah, pada penderita TB juga dapat
terjadi tuberkuloma yang terlihat sebagai suatu glossitis yang sering
didiagnosa sebagai macroglossia. Glositis tuberkulosa yaitu suatu
peradangan yang biasa terjadi pad lidah yang di sebabkan karna
infeksi bakteri, dan manifestasi lainya yaitu pembengkakan ginggiva
pada penyakit TB berhubungan dengan efek proteksi diri dari rongga
mulut yaitu karna adanya proteksi dari sel skuamosa yang dapat
melawan basil yang masuk secara langsung (Verma AK et al.,2018).
Gambar 9. Dorsum lidah pasien yang menunjukan pembengkakan
tidak nyeri dengan indurasi berukuran 5 cm x 4 cm pada sisi kanan
(Verma AK et al.,2018)

Gambar 10. Granuloma epiteloid yang tersusun dari sel-sel epiteloid,


limfosit, dan multinucleated giant cells. HE x400 (Verma AK et
al.,2018)
Gambar 11. Pertumbuhan granuloma pada bagian anterior maxilla
(Ababtain R et al.,2017)

Diagnosa banding dari lesi tuberkulosa lidah dapat berupa


malignansi, penyakit granulomatosa, sifilis, ulser traumatik, ulser
aftosa dan infeksi jamur.
Tatalaksana utama glositis tuberkulosis yaitu dengan terapi
antibiotik TB sistemik yang terbagi dalam dua fase. Fase pertama
membutuhkan waktu terapi 2 bulan dengan 3 atau 4 antibiotik
termasuk isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Diikuti
oleh fase kedua selama 4 bulan dengan dua macam obat, isoniazid
yang paling umum serta rifampisin. Dalam kasus resistensi obat, lini
kedua terapi obat dianjurkan yang meliputi amino glikosida,
polipeptida, flouroquinolon, sikloserin, dan terizidon (Ababtain R et
al., 2017). Sedangkan panduan pengobatan tuberkulosis menggunakan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Indonesia sendiri menurut
Permenkes RI tahun 2016 yaitu :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/
(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini
ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,
Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.

a) OAT Lini Pertama

Jenis obat utama (lini 1) yang sering digunakan adalah INH,


rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol

Tabel 1. OAT Lini Pertama (Kemenkes, 2014)

Dosis
Harian 3x / minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5 ( 4 - 6) 300 10 ( 8 - 12) 900
Rifampisin 10 ( 8 - 12 ) 600 10 ( 8 - 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 - 30 ) - 35 ( 30 - 40 ) -
Etambutol 15 ( 15 - 20 ) - 30 ( 25 - 35 ) -
Streptomisin 15 ( 12 - 18 ) - 15 ( 12 - 18 ) 1000

b) OAT Lini Kedua

Jenis obat lini kedua yang tersedia di Indonesia adalah


kanamisin, amikasin, dan kuinolon. Sedangkan kapreomisin,
sikloserino, PAS, derivat rifampisin- INH, dan thioamides
belum tersedia di Indonesia (Kemenkes, 2014)
Selain tatalaksana berupa pemberian OAT, pengobatan
simptomatik seperti analgesik dan antipiretik juga dapat diberikan.
Tatalaksana non farmakologis berupa edukasi mengenai oral hygiene,
penggunaan masker, dan edukasi terhadap keluarga juga penting
diperhatikan guna membantu pencegahan penularan bakteri TB
(Kanjikar S et al.,2019).

J. HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN PSORIASIS


Reiter di tahun 1831 pertama kali menjelaskan bahwa Geographic
tongue (GT) atau yang kemudian dikenal glossitis adalah lesi inflamasi
oral kronis yang diperantarai secara imunologis dengan etiologi yang
belum diketahui (Ishibashi et al, 2010; Zadik et al, 2011).
Mempengaruhi antara 0,6%-0,48% dari populasi dunia, terjadi lebih
sering pada anak, frekuensinya menurun seiring bertambahnya usia.
Remisi dan reaktivasi di berbagai lokasi membuat GT sering disebut
juga benign migratory glossitis (BMG) (Jainkittivong et al, 2005).
Pinggiran berwarna putih dari geographic tongue (GT) terdiri dari
papilla filiformis yang sedang dalam regenerasi, dan campuran keratin
serta neutrophil. Sedangkan area eritematosanya merupakan hasil dari
kehilangan papilla. Lesi cenderung untuk berubah lokasi, pola, dan
ukuran dari waktu ke waktu, terutama mempengaruhi bagian belakang
dan tepi lidah (Ishibashi et al, 2010; Zadik et al, 2011). Migrasi ini
dibuktikan dengan epitel deskuamasi di satu lokasi dan proliferasi
simultan di lokasi yang lain, dengan periode eksaserbasi dan remisi
(Goswarni et al, 2012). Dalam kebanyakan kasus GT tidak
menunjukkan gejala. Namun, beberapa pasien melaporkan rasa sakit
atau sensasi terbakar, terutama selama konsumsi makanan pedas atau
asam (Honarmand et al, 2013)
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis yang menyerang kulit
dan sendi dengan dasar genetik dan imunologis (Raut et al 2013).
Psoriasis terjadi pada sekitar 1-3% dari populasi dunia, dapat terjadi
pada kedua jenis kelamin. Secara klinis, psoriasis dibagi menjadi
vulgaris, guttate, inverse, psoriasis arthritis, palmoplantar, pustular, dan
eritrodermal, dengan ciri umum yaitu eritema, deskuamasi, dan elevasi
(Johnson et al, 2013; Ladizinski et al 2013). Etiologinya belum
diketahui, tetapi diketahui bahwa terdapat defek pada siklus normal
perkembangan epidermis, dengan gangguan dalam proliferasi dan
diferensiasi keratinosit yang terkait dengan inflamasi dan perubahan
vascular. Lesi psoriasis bisa lokal maupun difus dan mempengaruhi
hampir seluruh luas permukaan kulit dengan perjalanan klinis yang
tidak dapat diprediksi (Chandran, 2013; Raut, 2013)
Studi menunjukkan bahwa GT adalah manifestasi oral lebih sering
dikaitkan dengan penyakit psoriasis. Picciani (2014) dalam studinya
mengatakan bahwa hubungan antara psoriasis dengan GT diperkuat
dengan adanya marker genetik HLA-Cw6 pada populasi di Brazil.
Dengan adanya kasus familial dari GT dan psoriasis menunjukkan
bahwa ada kemungkinan kasus ini diturunkan dan berkaitan erat
dengan genetik. Namun selain HLA keberadaan dari polimorfisme
+3954 IL-1B terbukti menunjukkan resiko GT dan IL-1B berperan
dalam patogenesis psoriasis. Geographic tongue sudah banyak
dihubungkan dengan berbagai penyakit lain seperti diabetes mellitus,
Reiter’s syndrome, down syndrome, kehamilan, faktor psikologis,
riwayat keluarga, dan konsumsi beberapa jenis obat seperti kontrasepsi
oral dan lithium karbonat (Ishibashi et al, 2010; Zadik et al, 2011).
Namun, penyakit ini paling tinggi muncul pada psoriasis (Hernandez,
2008).
Faktor psikosomatik disebutkan juga merupakan penyebab
eksaserbasi dari GT yang biasanya diikuti dengan kejadian yang
membuat stress, seperti juga yang terjadi pada psoriasis (Alikhani,
2014).
Sekitar 10% pasien dengan psoriasis juga menunjukan adanya GT
(Picciani, 2011). Psoriasis pustular generalisata (psoriasis yang parah)
merupakan psoriasis yang paling berhubungan dengan GT.
Kemunculan dari GT pada pasien normal menjadi indikasi
meningkatnya kemungkinan perkembangan menjadi psoriasis pustular
generalisata (Daneshpazhooh, 2004).
Selain geographic tongue, fissure tongue juga merupakan kondisi
oral yang meningkat pada psoriasis. Menurut Daneshpazhooh et al
(2004), dari hasil evaluasi pada 200 pasien dengan psoriasis dan 200
pasien tanpa psoriasis. Mereka menemukan fissured tongue pada 33%
pasien dan geographic tongue pada 14% pasien dengan psoriasis. Pada
penelitian ini dilaporkan bahwa 32% dari pasien dengan psoriasis dan
GT memiliki psoriasis yang parah. Sehingga, GT berhubungan dengan
tingkat keparahan dari psoriasis.
Pada peneltian dilakukan oleh Picciani (2011) pada 284 pasien
psoriasis, terdapat hubungan antara kemunculan GT dengan keparahan
psoriasis yang di ukur melalui PASI (Psoriasis Area Severity Index).
Severe psoriasis terjadi pada 25% pasien tanpa GT, dan 58% pada
pasien dengan GT, sehingga GT bisa dijadikan marker untuk tingkat
keparahan dari psoriasis.
Kemudian terdapat juga penelitian yang dilakukan dengan
menjalankan sebuah studi prospektif untuk mengetahui prevalensi lesi
pada lidah pasien psoriasis. Semua pasien dengan psoriasis di damping
klinik dermatologi selama lima tahun untuk kemudian di evaluasi.
Pada Observasi dilakukan pada 306 pasien psoriasis, dengan hasil 47
(15%) menunjukkan lesi di lidah, 25 (8%) fissued tongue, 17 (6%)
geographic tongue, dan 5 (2%) dua lesi secara bersamaan. Pada pasien
dengan GT, 7% merupakan pasien dengan early-onset psoriasis (onset
pada usia di bawah 30 tahun), sementara 1% pada late-onset (onset
pada usia di atas 30 tahun) psoriasis. Pada pasien dengan early onset
psoriasis, manifestasi yang ditimbulkan lebih parah dibandingkan
dengan late onset psoriasis. Kesimpulan pada jurnal ini menyampaikan
bahwa GT berhubungan dengan tingkat keparahan psoriasis (Picciani
et al, 2014).
A B

Gambar 12. A dan B – Merupakan manifestasi klinis berupa


fissured tongue (panah hitam) dan geographic tongue (panah
biru) pada pasien psoriasis

Insidensi terjadinya geographic tongue lebih sering terjadi pada


pasien dengan psoriasis berat seperti generalized pustular psoriasis.
Geographic tongue menyerang pada 0,4%-4,8% populasi di dunia,
dengan tingkat kejadian yang meningkat pada anak-anak, pada wanita,
dan frekuensi yang menurun dengan pertambahan usia (Picciani B et
al.,2016; Bassel et al.,2014).
GT dapat dijadikan marker keparahan dari psoriasis. Untuk
menentukan diagnosis yang tepat dari oral psoriasis dibutuhkan
pemeriksaan histopatologi dan imunogenetik. Adanya kesamaan
temuan imunogenetik dan histopatologi antara geographic tongue dan
psoriasis, sehingga dimungkinkan adanya kesamaan dalam proses
patofisiologinya. Pada fase awal, terjadi aktivasi sel-sel sistem
imun innate (sel dendritik dan keratinosit) oleh genotype dan
berbagai faktor lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi, obat-
obatan maupun stres emosional. Keratinosit kemudian melepaskan
sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-α). Senyawa ini mengaktivasi sel
dendritik pada epidermis dan dermis. Selanjutnya sel dendritic yang
telah teraktivasi akan memperkenalkan antigen pada T-c1. Tc1 akan
melepaskan sitokin IL-12, IL-23, dan IFN-∂, TNF, dan IL-17 yang
secara spesifik berhubungan dengan inflamasi kronis. Semua proses
inflamasi ini meningkatkan proliferasi dan maturasi keratinosit di kulit
secara abnormal serta mengundang sel imun lain seperti neutrophil di
epitelium. Adanya proliferasi dan maturasi keratinosit yang abnormal
menyebabkan stratum korneum menjadi tebal, terdapatnya
parakeratosis akibat adanya upaya mempertahankan nucleus, dan
keratinosit yang tidak melekat secara sempurna sehingga menimbulkan
adanya fissure di epidermis dan squama.. Dilatasi pembuluh darah
yang akhirnya menimbulkan adanya infiltrate neutrophil di stratum
korneum akan bermanifestasi dengan munculnya Munro’s
microabscesses dan infiltrate neutrophil di stratum spinosum akan
bermanifestasi dengan munculnya Pustule of Kogoj (Picciani B et
al.,2016).
Insidensi terjadinya geographic tongue lebih sering terjadi pada
pasien dengan psoriasis berat seperti generalized pustular psoriasis.
Geographic tongue menyerang pada 0,4%-4,8% populasi di dunia,
dengan tingkat kejadian yang meningkat pada anak-anak, pada wanita,
dan frekuensi yang menurun dengan pertambahan usia (Picciani B et
al.,2016; Bassel et al.,2014).
Glossitis kebanyakan asimtomatis dan biasanya sembuh dengan
sendirinya, namun jika bersifat simptomatis dapat diterapi dengan
prednisolone topical. Picciani et al., (2016) menyatakan bahwa obat
kumur yang mengandung anestesi, kortikosteroid topical, vitamin A,
suplemen zinc, dan antihistamin dapat digunakan sebagai terapi
geographic tongue. Pasien juga perlu diedukasi untuk menghindari
makanan yang pedas dan asam, serta menjaga oral hygiene. Terapi
antifungal sistemik atau topical direkomendasikan jika terdapat
candidiasis sekunder. Terapi yang sukses dengan siklosporin dan
dengan antihistamin topical atau sistemik sudah dilaporkan, namun
terapi yang terstandarisasi belum tersedia (Bassel et al.,2014).
K. HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes militus dibagi
menjadi 3 macam : Diabetes melitus tipe I, tipe II, dan tipe lain-lain
(PERKENI, 2015).
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang
berlebihan (polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari
(poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan yang turun dengan
cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan
pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur,
gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe
2 tidak sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada
baiknya bila diketahui sedikit tentang perbedaannya, karena ada
dampaknya pada rencana pengobatan.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2.

a. Perubahan yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan


gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena
insulin tidak dapat bekerja secara optimal, jumlah insulin yang
tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan metabolisme
tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan
pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat
kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena
kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi
untuk mengatur kadar glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa
darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta pankreas untuk
mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi
penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel
beta pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan
idiopatik. Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin
disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga
dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal.
Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah
dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan
lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun.
Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi
insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi. Kadar glukosa
darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang
melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa
dalam darah masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi
diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang
berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan
sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin
dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan
diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang
meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan
energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika
tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.

b. Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan Diabetes


Melitus
Gambar 13. Dampak Diabetes Melitus terhadap
kondisi oral pasien

Pada penderita DM akan mengalami gangguan perubahan


di dalam mulut seperti mulut kering, rasa terbakar pada lidah
dan mukosa pipi akibat adanya neuropati perifer, tidak terasa
atau terasa tebal, hiperemia dan hiperplasia jaringan gingiva.
Resistensi jaringan terhadap infeksi juga menurun secara
menyeluruh. Lidah menunjukkan perubahan pada pappila
filiformis. Pada penderita DM terkontrol, pappila filiformis
mengalami hipertropi, sedangkan pada penderita DM yang
tidak terkontrol pappila filiformis menghilang. Selain itu, lidah
memperlihatkan beberapa manifestasi terutama glositis dengan
fisura-fisura yang nyeri dan lidah yang berlapis (coated). Otot
lidah menjadi flabby sehingga memberikan gambaran tapak
gigi di permukaan lidah bagian lateral.
Pada pasien dengan diabetes melitus dapat ditemukan
beberapa kelainan atrofi, salah satunya adalah kelainan merata
pada papilla lidah, menghasilkan penampilan lidah "botak".
Atrofi menyeluruh papilla lidah telah dikaitkan dengan
kekurangan nutrisi pada pasien dengan diabetes melitus,
terutama jika penampilannya sangat merah. Selain itu terdapat
kelainan pada mukosa lidah yang sering ditemukan pada pasien
diabetes melitus, yaitu median rhomboid glossitis, Suatu
kondisi di mana suatu atrofi terletak di garis tengah, permukaan
posterior lidah, anterior papilla circumvallate, berbentuk-V, ini
umumnya halus dan rata, tetapi mungkin menjadi lebih rendah
atau memiliki lobular ke permukaan papiler. Timbulnya area
fokus atrofi mungkin menunjukkan infeksi terhadap candidia.

Gambar 14. Median rhomboid glossitis

Dalam sebuah penelitian terhadap 176 pasien diabetes,


atrofi lidah ditemukan di 26,9% dari pasien, dengan hampir
semua muncul sebagai atrofi papiler sentral. Dalam penelitian
lain, rata-rata glositis rhomboid secara signifikan sering
ditemukan pada pasien diabetes dibandingkan pada pasien
nondiabetes dan dikaitkan dengan peningkatan kadar Candida
pseudohyphae pada apusan oral (Ghabanchi, 2011).
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidup Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006)
Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015)
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi
gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI,
2006).

Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah


belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru,
2006).
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
1) Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea
dan glinid
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin,
tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis : metformin
4) Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
b. Insulin (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
8) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan
TGM
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

L. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN ANEMIA DEFISIENSI


BESI
Anemia defisiensi besi merupakan suatu keadaan penurunan mean
red cell volume (MCV) akibat penurunan produksi hemoglobin (Hb)
(De Franceschi et al., 2017). Produksi Hb yang rendah diakibatkan
oleh rendahnya kadar besi sehingga terbentuk sel darah merah
mikrositik hipokromik (Longo & Camaschella, 2015). Anemia
mikrositik memiliki ciri MCV <80 fL, sel darah merah hipokromik
>6% atau MCH <25 g/dL dan kandungan hemoglobin retikulosit <29
pg (De Franceschi et al., 2017). Defisiensi besi dengan atau tanpa
anemia menjadi penyebab sebesar 80% terhadap kejadian
mikrositosis, sedangkan penyakit keturunan langka seperti kegagalan
metabolisme besi, rantai globin, dan sintesis heme hanya
menyumbang sebesar 20% terhadap kejadian anemia mikrositik (De
Franceschi et al., 2017).
Anemia defisiensi besi biasanya terjadi secara kronik dan sering
asimtomatis, hal ini menyebabkan anemia defisiensi besi sering tidak
terdiagnosa (Longo & Camaschella, 2015). Gejala umum anemia
berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Beberapa tanda dan gejala yang khas ditemukan
pada penderita anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun
di bawah 7-8 g/dL.
Gejala khas yang ditemukan meliputi:
 Koilonychia (kuku sendok)
 Atrofi papil lidah
 Stomatitis angularis
 Disfagia
 Atrofi mukosa gaster
 Pica

Anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia


secara kolektif disebut sebagai sindrom Plummer Vinson. (Setiawati et
al., 2015)
Gambar 15. Kuku sendok

Gambar 16. Atrofi papil lidah

Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan


laboratorium untuk melihat status besi pasien. Serum ferritin adalah
indikator yang paling sensitif dan spesifik untuk menilai defisiensi
besi pada pasien (<30 µg per liter), untuk anemia defisiensi besi <10
µg per liter. Saturasi transferrin yang kurang dari 16%
mengindikasikan suplai besi yang kurang untuk menjalankan fungsi
eritropoiesis normal. Meskipun begitu, dalam menentukan status besi
pasien perlu dilakukan penilaian gambaran keseluruhan dari status
besi pasien daripada hanya bergantung pada satu tes saja (Longo &
Camaschella, 2015).

Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status besi pasien


dewasa (Longo & Camaschella, 2015).

Perubahan yang terjadi pada pasien dengan anemia defisiensi besi

Zat besi sangat penting dalam berbagai fungsi biologis, seperti


respirasi, produksi energi, sintesis DNA, dan proliferasi sel. Tubuh
manusia telah berkembang sedemikian rupa untuk mempertahankan
kandungan besi tetap normal melalui berbagai jalur, termasuk daur
ulang besi setelah penghancuran sel darah merah dan retensi besi
tanpa adanya mekanisme ekskresi. Namun kadar besi yang tingi dapat
berakibat toksik sehingga penyerapan harian terbatas pada angka 1
sampai dengan 2 mg, dan kebutuhan besi harian (sekitar 25 mg/ hari)
dapat tercukupi melalui daur ulang zat besi oleh makrofag yang
memfagositosis sel darah merah yang sudah tua. Mekanisme
penyerapan dan fagositosis oleh makrofag diatur oleh hormon
hepsidin yang menjaga kadar besi tetap normal (Longo &
Camaschella, 2015).

Apabila terjadi kehilangan besi hingga mengakibatkan


cadangan besi makin menurun akan terjadi kondisi negative iron
balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar ferritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, dan pengecatan besi dalam
sumsum tulang negatif. Ketika kondisi kekurangan besi terus berlanjut
hingga menyebabkan cadangan besi tidak tersisa sama sekali, maka
akan terjadi kekurangan suplai besi dalam proses eritropoesis sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit namun belum muncul
anemia secara klinis, kejadian ini disebut sebagai: iron deficient
erythropoiesis. Jumlah besi yang terus menerus menurun akan
menyebabkan kadar hemoglobin menurun, akibatnya timbul anemia
hipokromik mikrositer, hal ini disebut dengan anemia defisiensi besi.
Pada kondisi ini kerja dari epitel dan beberapa enzim terganggu
sehingga muncul gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta
berbagai gejala lainnya (Setiawati et al., 2015).

Selain berperan penting dalam pembentukan hemoglobin, besi


juga menjadi komponen penting dalam mioglobin dan berbagai enzim
yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport elektron.
Beberapa dampak negatif pada tubuh selain anemia adalah:

1. Sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas


kerja

2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan

3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi

4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya.

Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan anemia


defisiensi besi

Anemia defisiensi besi secara morfologis ditandai oleh anemia


hipokromik mikrositik. Zat besi memainkan peran utama dalam
pembentukan hemoglobin. Karena hemoglobin sangat penting untuk
transportasi oksigen, defisiensi besi mempengaruhi proses ini secara
signifikan. Zat besi juga menyusun mioglobin, dan juga diperlukan
untuk beberapa reaksi enzimatik. Kekurangan zat besi akan
mengakibatkan hambatan pada proses perkembangan dan pematangan
epitel, yang pada akhirnya mengubah struktur epitel. Perubahan
struktur pada epitel termasuk atrofi epitel dan penipisan papila
fungiformis dan filiformis pada permukaan dorsal lidah (Chiang et al.,
2019; Gupta, 2018).
Atrophic glossitis juga dikenal sebagai smooth tongue karena
penampilannya yang halus dan mengkilap berwarna merah atau merah
muda (Gambar 3). Kondisi ini disebabkan oleh atrofi papila filiformis.
Kehilangan sebagian atau seluruh papila fungiformis dan filiformis
pada permukaan dorsal lidah bermanifestasi sebagai atrophic glossitis.
Atrophic glossitis disebabkan oleh berbagai faktor dan merupakan
manifestasi dari kondisi lokal atau sistemik yang mendasarinya.
Beberapa faktor tersebut adalah defisiensi nutrisi, riboflavin, niasin,
piridoksin, vitamin B12 (anemia pernisiosa), asam folat, besi (anemia
defisiensi besi dan Plummer-Vinson sindrom), kekurangan gizi
protein-kalori, infeksi, penyalahgunaan alkohol, penyakit
gastrointestinal, dan reaksi obat. Secara histologis, atrophic glossitis
ditandai dengan atrofi epitel dan berbagai tingkat peradangan kronis
pada jaringan ikat subepitel (Gambar 4) (Gupta, 2018).

Gambar 17. Gambaran mengkilap dari lidah pada atrophic glossitis.


Gambar 18. Gambaran histopatologi pada atrophic glossitis.

Tatalaksana anemia defisiensi sebagai berikut:


a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Contohnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan agar anemia tidak kambu
kembali
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh. Sulfas ferosus 3 x 200 mg.
c. Diet: makanan bergizi dengan protein tinggi terutama protein hewani
d. Vitamin C 3 x 100 mg/ hari untuk meningkatkan reabsorbsi besi
e. Transfusi darah (dalam bentuk PRC (packed red cell), apabila terdapat
indikasi sebagai berikut:
i. Ada penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal jantung
ii. Anemia yang sangat simptomatik, misal anemia denan gejala pusing
yang sangat menyolok
iii. Diperlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi (Setiawati et al., 2015).

Sedangkan tatalaksana pada glositis adalah:

a. Menghindari iritan (makanan pedas, alkohol, dan rokok) untuk


mengurangi rasa tidak nyaman pada lidah
b. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi pada lidah
c. Menjaga oral hygiene (Gupta, 2018).

M. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN HIV

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan


kumpulan gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai
dengan infeksi, menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat
yang menimbulkan infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency
virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia
sehingga tubuh rentan terhadap infeksi dan penyakit (Soames and
Southam, 2015).
AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan
kedalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS
di seluruhdunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah
menular. HIV-2terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014). Virus ini
akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkanhilangnya
imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lainyang
mempunyai protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan
monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah
putih yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia,
sehingga meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi
oportunistik (Siregar, 2014; Soames and Southam, 2015). Target utama
infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat. Seltarget HIV
adalah limfosit T. Masuknya virus ke dalam sel memerlukanmolekul
CD4, yang bertindak sebagai reseptor dari virus. Awalnya terjadi
perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4. Selain mengikat CD4,
gp120 juga harus berikatan dengan dua sel reseptor kemokin (CCR5 dan
CXCR4) untuk dapat masuk ke dalam sel. Ikatan gp120 dengan CD4
menyebabkan perubahan formasi pada gp120 sehingga memungkinkan
pengikatan denganreseptor kemokin selular (CCR5). Interaksi ini
mengaktifkan gp41 dan menghasilkan fusi membran virus dengan
membran selular, yang menyebabkan RNA virus dan reverse
transcriptase masuk ke sel target.Reverse transcriptase kemudian
mentranskrip RNA virus menjadi DNA, yang bergabung ke genom sel
target. Berhasilnya penggabungan DNA viruskedalam material
genetik sel menyebabkan terjadinya infeksi (Greenberg,2013).

Gambar 19. Transkripsi virus HIV


Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah
limfositCD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4.Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologisyang penting. Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respon imunyang progresif (Borucki, 1997).
Pada pasien dengan HIV-AIDS, spektrum manifestasi klinis pada gigi dan
mulut sangatlah luas. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut
didapatkan pada 30-80% pasien (Harian Analisa, 2012). Manifestasi klinis
HIV pada gigi dan mulut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi pada gigi dan mulut sebagai efek samping dari terapi
antiretroviral
Sebenarnya tidak terdapat lesi oral khusus yang hanya berkaitan
dengan HIV-AIDS. Akan tetapi, terdapat manifestasi klinis tertentu seperti
kandidiasis oral dan oral hairy leukoplakia yang sangat sering berkaitan
dengan HIV-AIDS dan dianggap sebagai bagian dari penyakit AIDS, juga
diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC. (HIV AIDS online
clinic. 2012).
Kandidiasis adalah gambaran klinis yang paling umum dijumpai
pada mukosa mulut pasien terinfeksi HIV. Infeksi kandida biasanya
bersifat kronis,dapat muncul sebagai lesi merah, putih, datar,
menonjol, atupun nodular. Daerah yang sering terkena antara lain
palatum, mukosa bukal, dan lidah. Tipe kandidiasis yang muncul
seperti pseudomembran kandidiasis, eritematous, hiperplastik
kandidiasis, dan angular cheilitis (Langlais, 2016). Pseudomembran
kandidiasis dikarakteristikkan dengan plak berwarna putih krem
yang setelah discrap memperlihatkan warna kemerahan dan
perdarahan pada mukosanya. Bentuk eritematous muncul daerah merah
yangdifus, yang biasanya terdapat pada dorsum lidah. Pada lokasi ini
biasanya terdapat keterkaitan dengan hilangnya papila filiformis yang
dikenal dengan median rhomboid glossitis. Kandidiasis hiperplastik
kronis adalah infeksi kandida pada stadium akhir yang muncul secara
klinis seperti plak keratosis putih yang difus pada mukosa bukal. Plak ini
tidak dapat dihilangkan. Agen topikal antifungal paling efektif
digunakan untuk terapi kandidiasis oral meskipun kandidiasis
menjadi kronis dan rekuren yang bisa dijumpai pada kandidiasis esofageal
(Laskaris, 2016; Scully,2018).
Gambar 20. (a) Median Rhomboid Glossitis ; (b) Eritematous
kandidiasis pada dorsum lidah

Acute atrophic candidiasis disebut juga midline glossitis, antibiotic


candidiasis, glossodynia, antibiotic tongue, acute erythematous
candidiasis. Mungkin merupakan kelanjutan kandidiasis
pseudomembran akut akibat menumpuknya pseudomembran. Daerah
yang terkena tampak khas sebagai lesi eritematosa, simetris, tepi
berbatas tidak teratur pada permukaan dorsal tengah lidah, sering
hilangnya papila lidah dengan pembentukan pseudomembran minimal
dan ada rasa nyeri. Sering berhubungan dengan pemberian antibiotik
spektrum luas, kortikosteroid sistemik, inhalasi maupun topikal.
(Suyoso, 2011)

Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai


padapenderita HIV/AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat
berupastomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia,
cytomegalovirus(CMV), HPV (Human Papiloma virus). Tidak seperti
pada pasien dengan fungsi imun normal, pasien dengan AIDS dapat
terkena infeksi herpes pada permukaan mukosa bukal dan lidah,
rekurensi terjadinya HSV padapasien infeksi HIV lebih parah. Herpes
zoster lebih sering terjadi padapasien dengan infeksi HIV
dibanding populasi normal. Gambaran klinisnya hampir sama pada
kedua kelompok ini namun prognosis paling buruk terjadi pada pasien
infeksi HIV.

Hairy leukoplakia adalah salah satu karakteristik lesi oral yang


paling umum terlihat pada pasien infeksi HIV. Gambaran klinisnya adalah
muncul sebagai lesi putih yang asimtomatik, meninggi dan tidak dapat
dihilangkan. Lesi ini muncul bilateral pada margin lateral lidah dan
dapatmenyebar mencapai permukaan dorsum dan ventral. Secara
histologisdapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang seperti berambut,
inflamasiyang sedikit dan infeksi candida (Greenberg and Glick, 2013;
Laskaris, 2013).

Gambar 22. Oral Hairy Leukoplakia


Pada pasien dengan infeksi HIV, terdapat supresi imun terhadap
imunitas yang dimediasi oleh sel seiring dengan perkembangan penyakit.
Akan tetapi, di waktu yang sama pula, terdapat aktivasi imunitas sel B
yang abnormal. Gangguan pada sistem imun ini juga dapat menyebabkan
berbagai manifestasi oral yang bermacam-macam, diantaranya adalah
aphthous ulcer dan necrotizing stomatitis.
Aphthous ulcer merupakan manifestasi oral yang dimediasi oleh
imun yang berkaitan dengan HIV yang paling banyak terjadi. Ulcer ini
dapat berukuran besar, soliter maupun multipel, kronis, dalam, dan nyeri.
Seringkali berlangsung lebih lama pada populasi pasien seronegative dan
kurang responsif terhadap terapi.

Gambar 23. Aphthous ulcer pada pasien dengan HIV Necrotizing

Stomatitis merupakan ulserasi yang akut dan sangat nyeri, yang


seringkali dapat hingga mencapai tulang dan menyebabkan kerusakan
jaringan berat. Lesi ini bisa jadi merupakan varian dari major aphthous
ulceration, akan tetapi terjadi pada area yang dekat dengan tulang dan
berkaitan dengan penurunan sistem imun yang berat. Lesi ini juga dapat
terjadi pada area edentulosa .

Gambar 24. Necrotizing ulcerative periodontitis

Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. .


Pengobatan glossitis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik
digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah
defisiensi besi, maka diperlukan suplemen yang memadai yaitu harus
diberikan zat besi. Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa tidak
nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan per oral.
Bila pembengkakan dirasakan makin parah, bisa diberikan
kortikosteroid. Topical kortikosteroid juga mungkin berguna untuk
penggunaan sesekali misalnya, triamcinolone dalam pasta gigi yang
diterapkan beberapa kali sehari ketika diperlukan. Kebersihan mulut
yang baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas,
pedas makanan dan alcohol. (Rifansyah, 2009).

N. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit


autoimunitas kronis dengan spektrum presentasi klinis yang luas
mencakup berbagai organ dan jaringan. Prevalensi SLE diperkirakan
sebesar 51 per 100.000 individu di Amerika Serikat (Bertsias et al.,
2012). Insidensi SLE lebih sering terjadi pada wanita dengan
perbandingan wanita:pria = 15:1. Puncak insidensi SLE pada wanita
yaitu pada usia 30-70 tahun, sedangkan pada pria di kisaran usia 50-70
tahun. Ras kulit hitam memiliki insidensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ras Asia, Hispanik, dan Kaukasia (Rees et al.,
2017).

Pada pasien SLE, terjadi respons imun terhadap antigen asam


nukleat endogen. Materi sel-sel tubuh yang mengalami apoptosis
dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T yang mengakibatkan
terjadinya autoantigen. Sel T yang telah aktif akan membantu sel B
untuk menghasilkan antibodi terhadap sel-sel tubuh sendiri dengan
menghasilkan sitokin seperti interleukin 10 (IL-10) dan IL-23 dan
oleh molekul permukaan sel seperti CD40L dan CTLA-4. Kompleks
imun dan jalur aktivasi komplemen selanjutnya memediasi fungsi
efektor dan kerusakan jaringan. Pada individu yang sehat, kompleks
imun akan dibersihkan oleh Fc dan reseptor komplemen, namun pada
SLE terjadi kegagalan dalam mekanisme pembersihan kompleks imun
sehingga terjadi deposisi kompleks imun di jaringan dan kerusakan
jaringan setempat. Kerusakan jaringan akan mengundang sel
inflamasi, reactive oxygen specimen (ROS), menghasilkan sitokin pro-
inflamasi, dan modulasi jalur koagulasi (Bertsias et al., 2012).

Gambar 25. Patogenesis SLE

Penegakan diagnosis SLE cukup sulit dilakukan karena


memiliki manifestasi klinis yang sangat beragam serta perjalanan
penyakit yang tidak dapat diprediksi. Manifestasi klinis yang
digunakan untuk kriteria klasifikasi SLE terangkum pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria klasifikasi systemic lupus erythematosus berdasarkan revisi


The American College of Rheumatology

Kriteria Definisi
Malar rash Eritema terfiksir, rata atau meninggi, melampaui
eminensia malar, cenderung menyisakan lipatan nasolabial
Discoid rash Plak meninggi eritematus dengan skuama keratotik dan
sumbatan folikuler, sikar atrofik timbul pada lesi lama
Fotosensitivita Ruam kulit sebagai hasil dari reaksi terhadap sinar
s matahari, dari anamnesis atau observasi dokter
Ulkus mulut Ulkus oral atau nasofaringeal, umumnya tidak nyeri
Arthritis Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
periferal, ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi
Serositis a. Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik yang meyakinkan atau
terdengarnya suara pleural friction rub saat auskultasi atau
efusi pleura atau
b. Perikarditis: gambaran EKG atau bukti adanya efusi
perikardial
Gangguan a. Proteinuria persisten >0,5 g per hari atau >3+ jika tidak
ginjal dilakukan kuantifikasi atau
b. Cellular casts: eritrosit, hemoglobin, granular tubular, atau
campuran
Gangguan a. Bangkitan: tidak adanya penggunaan obat atau kelainan
neurologis metabolik yang diketahui (misal uremia, asidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit) atau
b. Psikosis: tanpa adanya penggunaan obat atau kelainan
metabolik yang diketahui
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau
b. Leukopenia <4000/mm3 atau
hematologi
c. Lymphopenia <1500/mm3 atau
d. Thrombositopenia <100.000/m3 tanpa adanya penggunaan
obat
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap DNA native di titer
imunologis abnormal, atau
b. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nukleus Sm
atau
c. Temuan antibodi antifosfolipid positif berdasarkan:
konsentrasi IgG atau IgM anticardiolipin serum abnormal.
Hasil positif dari antikoagulan lupus menggunakan metode
standar, atau tes serologi positif palsu terhadap sifilis
dalam 6 bulan terakhir dan dikonfirmasi dengan
immobilisasi Treponema pallidum atau tes absorpsi
antibodi treponemal fluoresen
Antibodi Titer antibodi antinuklear yang abnormal dengan
antinuklear pemeriksaan immunofluorescence
Manifestasi klinis SLE terjadi di kulit, sendi, ginjal, paru-paru,
sistem saraf, dan organ lainnya. Sebagian besar pasien SLE juga
mengalami masalah oral seperti rasa kering, nyeri, ulkus oral,
mukositis, glossitis, dan penyakit periodontal (Correa et al., 2017).
Lesi oral pada pasien SLE berkisar 5%-25%. Lesi biasanya muncul di
palatum, mukosa buccal, dan gingiva. Kadang nampak sebagai area
likenoid, tapi juga dapat berbentuk nonspesifik atau berbentuk
granulomatosa. Keterlibatan zona vermilion dari bibir bawah (lupus
cheilitis) kadang dapat ditemui. Berbagai derajat ulserasi, nyeri,
eritema, dan hiperkeratosis dapat ditemui. Keluhan oral lainnya antara
lain xerostomia, stomatodynia, candidiasis, penyakit periodontal dan
dysgeusia. Ulkus oral atau nasofaringeal yang tidak nyeri dan
melibatkana palatum merupakan gejala khas dari SLE. Hingga 30%
pasien SLE mengalami Sjogren’s syndrome sekunder dan xerostomia
berat akibat keterlibatan kelenjar saliva (Sridevi et al., 2012).
Manifestasi oral yang berhubungan dengan SLE pada anak-anak yang
telah dilaporkan antara lain terhambatnya erupsi gigi susu dan gigi
permanen serta formasi radix yang berbelit. Manifestasi tersebut lebih
berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid dibandingkan dengan
komplikasi SLE. Pada anak-anak juga dapat ditemui manifestasi oral
berupa ulserasi mukosa akut atau kronis sekitar 9-45%, cheilitis
angularis, mukositis, glossitis, dan xerostomy (Fernandes et al., 2007).

Glossitis atrofi adalah salah satu gejala SLE yang dapat


ditemui di rongga mulut, ditandai dengan atrofi papila filiformis pada
lidah. Atrofi kemungkinan disebabkan anemia yang dialami pasien
dengan SLE. Anemia dan tingkat Hb yang rendah mengurangi
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen, yang akhirnya
menyebabkan atrofi papila lidah (Wu et al., 2016). Anemia pada
pasien SLE dapat disebabkan oleh kegagalan hematopoietik setelah
terjadi kerusakan imunologis sumsum tulang atau penurunan ekspresi
eritropoietin (EPO) oleh sitokin pro-inflamasi seperti IL-1 (Giannouli
et al., 2005).

Tujuan terapi pada pasien SLE adalah untuk mengurangi gejala


dan tanda penyakit, mencegah kerusakan yang dapat terjadi, dan
meminimalkan efek samping obat, sekaligus memperbaiki kualitas
hidup. Terapi farmakologis yang direkomendasikan bagi semua pasien
SLE adalah hidroklorokuin 6,5 mg/kg/hari. Penggunaan
glukokortikoid dapat meredakan gejala dengan cepat, namun
penggunaan jangka panjang harus diminimalkan setara prednison ≤
7,5 mg/hari karena banyak efek merugikan termasuk kerusakan organ
irreversibel, untuk episode akut dapat diberikan metilprednisolon
intravena dosis tinggi (250-1000 mg/hari selama 3 hari). Selain itu
terapi lain yang dapat digunakan adalah obat immunosupresan untuk
mencegah terjadinya flare. Pemilihan agen immunosupresan harus
mempertimbangkan usia, paritas, keamanan, dan harga. Pasien yang
memiliki kontrol gejala yang buruk walaupun telah menggunakan
hidroklorokuin dan glukokortikoid dapat menggunakan agen
immunosupresan seperti methotrexat dan azathioprine (Fanouriakis et
al., 2019).

Lesi mukosa oral memiliki hubungan yang signifikan dengan


penggunaan medikasi kombinasi pada pasien dengan SLE. Pasien
yang menggunakan azathioprine dan siklofosfamid (bulanan,
parenteral) memiliki lesi mukosa oral yang lebih banyak dibandingkan
dengan yang hanya menggunakan hidroksiklorokuin. Kemungkinan
alasannya adalah kondisi yang memang lebih buruk pada pasien
dengan obat immunosupresan seperti azathioprine dan siklofosfamid.
Faktor lain yang memungkinkan adalah lesi oral ulseratif dan eritem
merupakan efek samping dari obat tersebut. Pasien dengan dosis
kortikosteroid yang lebih tinggi pada fase aktif penyakit memiliki lesi
yang lebih banyak (Khatibi et al., 2012).

BAB III

KESIMPULAN

Glositis merupakan peradangan lidah yang ditandai dengan


deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan
yang halus dan mengkilat, dapat terjadi secara akut dan kronis. Penyebab
glositis dapat terjadi karena penyebab lokal (infeksi, trauma dan iritasi)
maupun sistemik (malnutrisi, anemia, HIV dan obat-obatan). Glossitis
yang berhubungan dengan penyakit sisemik antara lain glossitis dengan
psoriasis, anemia, SLE, diabetes melitus, glossitis dengan HIV.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan rongga mulut,
konsumsi makanan bergizi seimbang dan menghindari agen iritan lidah
DAFTAR PUSTAKA

Ababtain R, Alohali A, Binahmed A (2017). Primary Tuberculosis of the Oral


Cavity: A Case Report. Clinics in Surgery, 2 (1377): 1-2.

Alikhani M, Khalighinejad N, Ghalaiani P, Khaleghi MA, Askari E, Gorsky M.


Immunologic and psychologic parameters associated with geographic
tongue. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol. 2014;118:68-71

Al-Rikabi, A. and Arafah, M. (2011). Tuberculosis of the Tongue Clinically


Masquerading as a Neoplasm: A Case Report and Literature Review. Oman
Medical journal, pp.267-268.

Bertsias, G., Cervera, R., & Boumpas, D. T. (2012). Systemic lupus


erythematosus: pathogenesis and clinical features. EULAR textbook on
rheumatic diseases, Geneva, Switzerland: European League Against
Rheumatism, 2012, 476-505.

Chandran V, Raychaudhuri SP. Geoepidemiology and environmental factors of


psoriasis and psoriatic arthritis. J Autoimmun. 2010;34:J314-21
Chiang, C. P., Chang, J. Y. F., Wang, Y. P., Wu, Y. H., Wu, Y. C., & Sun, A. (2019).
Atrophic glossitis: etiology, serum autoantibodies, anemia, hematinic
deficiencies, hyperhomocysteinemia, and management. Journal of the
Formosan Medical Association.

Correa, J. D., Branco, L. G. A., Calderaro, D. C., Mendonça, S. M. S., Travassos,


D. V., Ferreira, G. A., ... & Silva, T. A. (2018). Impact of systemic lupus
erythematosus on oral health-related quality of life. Lupus, 27(2), 283-289.

Daneshpazhooh M, Moslehi H, Akhyani M, Etesami M. Tongue lesions in


psoriasis: a controlled study. BMC Dermatol. 2004;4:16.
De Franceschi, L., Iolascon, A., Taher, A., & Cappellini, M. D. (2017). Clinical
management of iron deficiency anemia in adults: Systemic review on
advances in diagnosis and treatment. European Journal of Internal
Medicine, 42, 16-23.
Dennis M., Bowen WT, Cho L. 2012. Mechanisms of Clinical Signs, elsevier,
Australia

Fanouriakis, A., Kostopoulou, M., Alunno, A., Aringer, M., Bajema, I., Boletis, J.
N., ... & Houssiau, F. (2019). 2019 update of the EULAR recommendations
for the management of systemic lupus erythematosus. Annals of the
rheumatic diseases, 78(6), 736-745.

Fernandes, E. G. C., Savioli, C., Siqueira, J. T. T., & Silva, C. A. A. (2007). Oral
health and the masticatory system in juvenile systemic lupus
erythematosus. Lupus, 16(9), 713-719.
Ghabanchi, J., Tadbir AA., Darafshi, R., Sadegholvad, M. 2011. The Prevalence of
Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control Study.
Iran Red Crescent Med J 2011; 13(7):503-506

Ghom, 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaype Medical Brothers Publisher, New
Delhi, h. 479

Giannouli, S., Voulgarelis, M., Ziakas, P. D., & Tzioufas, A. G. (2006). Anaemia
in systemic lupus erythematosus: from pathophysiology to clinical
assessment. Annals of the rheumatic diseases, 65(2), 144-148.
Gonzaga, H. F. S., Chaves, M. D., Gonzaga, L. H. S., Picciani, B. L. S., Jorge, M.
A., & Dias, E. P. (2014). Environmental factors in benign migratory
glossitis and psoriasis : Retrospective study of the association of emotional
stress and alcohol and tobacco consumption with benign migratory
glossitis and cutaneous psoriasis, 1–4. https://doi.org/10.1111/jdv.12616

Goswami M, Verma A, Verma M. Benign migratory glossitis with fissured tongue.


J Indian Soc Pedod Prev Dent. 2012;30:173-5.
Gupta, Shreya. (2018). Atrophic Glossitis Burning Agony of Nutritional
Deficiency Anemia..
Harian Analisa, 27 desember 2012. 80 Persen Penderita HIV AIDS Mengalami
Candidiasis.
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/27/96525/80_persen_pen
derita_aids_alami_candidiasis/ #.UOX7u6BdvMw

Hernández-Pérez F1, Jaimes-Aveldañez A, Urquizo-Ruvalcaba Mde L, Díaz-


Barcelot M, Irigoyen-Camacho ME, et al. Prevalence of oral lesions in
patients with psoriasis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2008;13:E703-8.
HIV AIDS online clinic. 2012. Perjalanan Penyakit dan Respon Imunologi HIV
AIDS. http://hivaidsclinic.wordpress.com/ 2012/08/13/ perjalanan-
penyakit-danrespon-imunologi-hiv-aids/

Honarmand M, Farhad Mollashahi L, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic


Tongue and Associated Risk Factors among Iranian Dental Patients. Iran J
Public Health. 2013;42:215-9.

Ishibashi M, Tojo G, Watanabe M, Tamabuchi T, Masu T, Aiba S. Geographic


tongue treated with topical tacrolimus. J Dermatol Case Rep. 2010;4:57-9.

Jainkittivong A, Langlais RP Geographic tongue: clinical characteristics of 188


cases. J Contemp Dent Pract. 2005;6:123-35.

Johnson MA, Armstrong AW. Clinical and histologic diagnostic guidelines for
psoriasis: a critical review. Clin Rev Allergy Immunol. 2013;44:166-72.

Kanjikar S, K Shyamala, Rajkamal Malige, V V Nagaraj, Chandrakanth Chillargi,


Pramod Manthalkar (2019). Primary Tuberculous Glossitis: Report of a
Case and Review. Journal of Advanced Oral Research, 6(2): 44-48.

Kemenkes RI (2014). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Kemenkes RI (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67


Tahun 2016 tentang penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.

Khan MN (2015). Oral manifestation of tuberculosis: the role of dentist. SADJ,


70(10):434-5.
Khatibi, M., Shakoorpour, A. H., Jahromi, Z. M., & Ahmadzadeh, A. (2012). The
prevalence of oral mucosal lesions and related factors in 188 patients with
systemic lupus erythematosus. Lupus, 21(12), 1312-1315.

Ladizinski B, Lee KC, Wilmer E, Alavi A, Mistry N, Sibbald RG. A review of the
clinical variants and the management of psoriasis. Adv Skin Wound Care.
2013;26:271 84.
Langlais RP, Miller CS. 2001. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim.
Alih bahasa. Susetyo B. Jakarta: Hipokrates. 2001: 46.

Leslie D, Nancy WB. In: Koger B, Dietz K, Bradshaw N, Aiello G, editors (2008).
General and Oral Pathology for the Dental Hygienist. Philadelphia, PA:
Lippincotte Williams and Wilkins, 243(5)
Longo, D. L., & Camaschella, C. (2015). Iron-deficiency anemia. N Engl J Med,
372(19), 1832-1843.

Migliari DA, Penha SS, Marques MM, Matthews RW. Considerations on the
diagnosis of oral psoriasis: a case report. Med Oral. 2004;9:300-3.
Nemes RM, Ianosi ES (2015). Tuberculosis of the oral cavity. RJME, 56(2).
Nunes-Alves C, Booty MG, Carpenter SM, Jayaraman P, Rothchild AC, Behar
SM (2014). In search of a new paradigm for protective immunity to TB. Nat
Rev Microbiol., 12(4): 289 – 299.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011). Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006). Konsensus Pengelolaan Diabetes


Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015). Konsensus Pengelelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Picciani BL, Silva-Junior GO, Michalski-Santos B, Avelleira JC, Azulay DR,


Pires FR, et al. Prevalence of oral manifestations in 203 patients with
psoriasis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2011;25:1481-3.
Picciani, B. L., Domingos, T. A., Teixeira-Souza, T., Santos, V., Gonzaga, H. F.,
Cardoso-Oliveira, J., Carneiro, S. (2016). Geographic tongue and psoriasis:
clinical, histopathological, immunohistochemical and genetic correlation - a
literature review. Anais brasileiros de dermatologia, 91(4), 410–421.
doi:10.1590/abd1806-4841.20164288
Pindborg Jens J. 2009. Kanker dan Prakanker Rongga Mulut. Alih bahasa: Lilian
Yuwono. Jakarta: EGC.

Prem PG, Sanjay F, Dipti A, Pradeep S (2007). Primary tuberculosis glossitis in an


immune competent patient. Hong Kong Med J, 13(4): 330-31.
Ram H, Kumar S, Mehrotra S, Mohommad S (2012). Tubercular ulcer: mimicking
squamous cell carcinoma of buccal mucosa. J Maxillofac Oral
Surg.,11(1):105-8.

Raut AS, Prabhu RH, Patravale VB. Psoriasis clinical implications and treatment:
a review. Crit Rev Ther Drug Carrier Syst. 2013;30:183-216.

Rees, F., Doherty, M., Grainge, M. J., Lanyon, P., & Zhang, W. (2017). The
worldwide incidence and prevalence of systemic lupus erythematosus: a
systematic review of epidemiological studies. Rheumatology, 56(11), 1945-
1961.
Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., &
Syam, A. F. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
Sezer B, Zeytinoglu M, Tuncay U, Unal T. 2014. Oral mucosal ulceration: a
manifestation of previously undiagnosed pulmonary tuberculosis. J Am Dent
Assoc Mar;135(3):336-340

Sinha P, Gupta A, Prakash P, Anupurba S, Tripathi R, Srivastava GN (2016).


Differentiation of Mycobacterium tuberculosis complex from non-tubercular
mycobacteria by nested multiplex PCR targeting IS6110, MTP40 and 32kD
alpha antigen encoding gene fragments. BMC Infectious Diseases, 16 (123):
1-10.
Smrati Bajpai, AR Pazare. 2010. Oral manifestations of HIV. Department of
General Medicine,Seth GS Medical College and KEM Hospital, Parel,
Mumbai, India

Sridevi, P., Munisekhar, M. S., Harika, C. H., & Rama Krishna, A. (2012). Oral
manifestations of autoimmune diseases. Int J Oral Maxillofac Pathol, 3, 27-
33.
Sudoyo Aru.W, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, Jilid III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Suyono S. (2007) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Hal 7-14
Suyoso, S. 2011. Kandidiasis mukosa. http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id
Taqwa. 2009. Kelainan Lidah.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001053.html

Treister NS, Bruch JM (2010). Clinical oral medicine and pathology. New York:
Humana Press. p. 149. ISBN 978-1-60327-519-4.

Verma AK, Joshi1 A, Mishra AR, Singh A, Kumari M, Kant S (2018). Tongue
Tuberculosis : A Rare Entity. Sahel Medical Journal, 20(4) :202-204

Wu, Y. C., Wu, Y. H., Wang, Y. P., Chang, J. Y. F., Chen, H. M., & Sun, A. (2016).
Hematinic deficiencies and anemia statuses in recurrent aphthous stomatitis
patients with or without atrophic glossitis. Journal of the formosan medical
association, 115(12), 1061-1068.

Zadik Y, Drucker S, Pallmon S. Migratory stomatitis (ectopic geographic tongue)


on the floor of the mouth. J Am Acad Dermatol. 2011;65:459-60.

Anda mungkin juga menyukai