Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

DISUSUN OLEH :

Han Yang G991903022

Hanifah Kamila G991903023

Intan Ardyla M G991903024

Fathu Thaariq B G991905022

Fauziyyah Boenyamin G991905023

PEMBIMBING :

drg. Christianie, Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR. MOEWARDI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Rongga mulut merupakan bagian tubuh yang mempunyai berbagai fungsi,

yaitu sebagai mastikasi, fonetik, dan juga estetik. Kesehatan rongga mulut juga

memiliki hubungan erat dengan kesehatan sistemik. Lidah merupakan salah satu

organ penting pada tubuh manusia yang memiliki banyak fungsi. Lidah dapat

digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kesehatan oral dan kesehatan

umum pasien. Secara khusus, pemeriksaan yang cermat dapat mengungkapkan

tanda dan gejala gangguan metabolisme, endokrinopati, penyakit pencernaan,

hematologi, autoimun, dan patologi neoplastik.

Glossitis adalah kelainan pada lidah yang merubah permukaan, ukuran,

dan warna lidah akibat suatu peradangan. Papilla pada lidah yang terjangkit

glosisits akan berwarna putih hingga menghilang. Penyebabnya dapat berupa

faktror stress emosional, defisiensi nutrisi, dan herediter. Bila radang ini semakin

parah akan mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri dapat mengubah

cara penderita makan atau berbicara (Langlais, 2001).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Glositis merupakan peradangan kronis atau akut pada lidah yang


ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis. Penyakit ini
dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan
cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya muncul pada lidah.
Keadaan ini dapat menyerang pada semua tingkatan usia. Kelainan ini
sering menyerang pada laki- laki dibandingkan pada wanita.

Gambar 1. Glositis
B. ETIOLOGI

1. Sistemik
- Kekurangan nutrisi (mis., Vitamin B12, asam folat, asam
askorbat)
- Anemia (merusak, kekurangan zat besi)
- HIV (infeksi oportunistik seperti kandidiasis [MRG], virus
herpes simpleks [HSV]; atau perubahan terkait HIV seperti
kehilangan papila)
- Antibiotik spektrum luas
- Kortikosteroid topikal atau inhalasi
- Berbagai obat lain (mis., Kaptopril, klaritromisin, enalapril,
lansoprazole, lithium, metronidazole, NSAID)
2. Lokal
- Infeksi (mis., HSV, virus Epstein-Barr, kandidiasis)
- Trauma (gigi palsu yang tidak pas, penindikan, luka bakar,
kejang kejang)
- Iritasi primer (alkohol, tembakau, makanan panas, rempah-
rempah, peppermint yang berlebihan, jeruk)
- Sensitisasi dengan iritan kimia (mis., Pewarna, obat kumur,
pasta gigi, obat sistemik)
- Keganasan (95% adalah sel skuamosa)
3. Genetika
- Riwayat keluarga mungkin hadir dengan BMG.
- GT dan psoriasis memiliki penanda genetik yang sama.
- Satu penelitian kecil baru-baru ini menunjukkan bahwa
beberapa kasus GT mungkin merupakan psoriasis oral yang
sebenarnya, sedangkan yang lain hanya GT.

C. FAKTOR RESIKO
Pada beberapa kasus, glositis akan menyembuh pada pasien
dengan rawat jalan. Rawat inap diperlukan bila pembengkakan pada
lidah ini membesar dan menghalangi jalannya udara yang dihirup
(Taqwa, 2009).
Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi glositis:
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi
6. Nutrisi buruk
7. Gigi palsu
8. Tindikan
9. Latar belakang alergi (mis., Asma, eksim, hay fever)
10. Kecemasan, stress, depresi
11. Gangguan hormonal
12. Kontrasepsi oral
13. Usia lanjut
14. Keadaan immunocompromised

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi oleh karena penyebab
yang bervariasi pula dari kelainan ini. Tanda dasar kelainan ini adalah
bahwa lidah menjadi berubah warnanya dan terasa nyeri. Warna yang
dihasilkan bervariasi dari gelap merah sampai dengan merah terang.
Lidah yang terkena mungkin akan terasa nyeri dan menyebabkan
sulitnya untuk mengunyah, menelan atau untuk berbicara. Lidah yang
mempunyai kelainan ini permukaannya akan terlihat halus. Terdapat
beberapa ulserasi atau borok yang terlihat pada lidah ini. Kondisi ini
biasanya memperlihatkan gejala rasa perih, sakit, terbakar, atau panas
pada permukaan lidah. Glossitis dapat disebabkan oleh berbagai hal
dan terapi yang diberikan sangat tergantung dari penyebab utamanya.
(Shavit, 2011)

E. KLASIFIKASI
1. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Atrophic glossitis adalah gangguan peradangan pada mukosa
lidah yang menunjukkan penampilan halus dan mengkilap dengan
latar belakang merah atau merah muda. Lidah terlihat licin dan
mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya sebagian kecil.
Penampilan yang halus terkait dengan atrofi papila filiform yang
menyebabkan perkembangan lesi mirip ulser eritematosa pada
dorsum dan batas lateral lidah. Ditandai dengan kondisi lidah yang
kehilangan rasa karena degenerasi ujung papil. Perasaan lidah
terbakar yang menyebar ke bagian mulut lain yang biasanya dipicu
oleh adanya ulserasi. Penyebab yang paling sering biasanya adalah
kekurangan zat besi, jadi banyak didapatkan pada penderita anemia
(Chiang et al, 2019).

Gambar 2. Atropic glossitis


2. Herpetic Geometric Glossitis
Herpetic geometric glossitis adalah gambaran infeksi herpes
simplex oral yang jarang dan berbeda secara klinis yang
mempengaruhi lidah. Terdapat retakan/garis celah linear pada
dorsum lidah yang bercabang- cabang dan sangat menyakitkan
(Mirowski et al, 2009)

Gambar 3. Herpetic Geometric Glossitis


3. Benign Migratory Glossitis
Ditandai dengan hilangnya epitel, terutama dari filiform
papillae pada dorsum lidah. Secara klinis, tampak sebagai bercak
eritematosa multifokal, sirkuler, ireguler yang dibatasi oleh garis
serpiginosa dan hiperkeratotik berwarna putih yang sedikit lebih
tinggi. Kondisi ini sangat umum pada orang dewasa dan kelompok
usia yang lebih tua (Kumar et al, 2015).

Gambar 4. Benign Migratory Glossitis


4. Median Rhomboid Glossitis
Suatu bentuk patologi lidah yang unik, biasanya terletak di
sekitar garis tengah permukaan dorsal lidah. Secara klinis muncul
sebagai daerah kemerahan, hilangnya papillae di bagian dorsum
lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata (depapillated)
biasanya berbentuk belah ketupat (Mirza et al, 2016 ; Ghabanchi,
2011).

Gambar 5. Median Rhomboid Glossitis


F. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang Dari anamnesis, dapat ditemukan keluhan lidah
bengkak, panas, dan nyeri, juga sensasi terbakar atau iritasi pada lidah
yang tanpa dengan makanan panas atau pedas. Keluhan dapat juga
disertai gangguan makan dan menelan. Pasien dapat melaporkan
bahwa rasa tidak nyaman bertambah dan berkurang seiring waktu, dan
mereka secara rutin menggambarkan bahwa lesi memengaruhi area
lidah yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Pada pemeriksaan ditemukan gambaran permukaan lidah yang
berbeda-beda tergantung jenis glositis. Lidah dapat terlihat halus,
ditemukan ulserasi, bengkak serta adanya perubahan warna lidah,
pucat pada penderita anemia pernisiosa dan berwarna merah gelap bila
penyebab glossitis adalah kekurangan vitamin B yang lain. Lidah dapat
menunjukkan area eritema yang berbatas tegas, terutama mengenai
dorsum, dan sering meluas hingga melibatkan batas lateral lidah.
Dalam area eritema, arsitektur lidah yang normal hilang, seperti
hilangnya papilla filiform dan atrofi mukosa. sekitar area eritema ini
terdapat batas yang tegas, hiperkeratosis, kuning-putih dengan garis
serpiginous yang tidak teratur. Lesi serupa dapat terjadi bersamaan
pada aspek lain dari lidah atau tempat mukosa lainnya, termasuk dasar
mulut dan pipi mukosa.
Penyebab glossitis secara pasti dicari melalui pemeriksaan yang
mendalam, seperti biopsi, tes untuk defisiensi B12, profil kimia darah,
kikisan KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat indikasi (Treister dan
Bruch, 2010).

G. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan untuk glositis adalah untuk mengatasi peradangan.
Pengobatan yang dipilih adalah pengobatan obat secara oral.
Pengobatan glositis yang paling utama adalah mengatasi penyebab.
Kebersihan mulut yang baik sangat penting untuk mempercepat proses
penyembuhan. Dan hindari iritan seperti makanan panas dan pedas
kemudian menghindari konsumsi alkohol dan rokok karena
meningkatkan resiko dari glossitis (Swarup et al., 2017) .

H. PENCEGAHAN
1. Oral Hygiene
2. Hindari iritan
3. Kontrol dokter gigi secara teratur
4. Hindari rokok dan alkohol
5. Segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah parah.

I. HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN TB


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis Complex (MTBC).
Mycobacterium tuberculosis Complex terdiri dari M. tuberculosis
(MTB), M. africanum, M. canettii, M. bovis, M. microti, M. orygis, M.
caprae, M. pinniepedii, M. suricattae, dan M. mungi. Infeksi TB
paling sering disebabkan oleh MTB (Sinha et al., 2016).
Mycobacterium tuberculosis adalah organisme berbentuk batang,
bersifat anaerob, yang dinding selnya mengandung komplek lipida-
glikolipida serta lilin (wax) yang menyebabkan sifat tahan asam
sehingga sulit ditembus oleh zat kimia. Bakteri ini tidak motil, tidak
berkapsul, dan tidak menghasilkan spora (Ram H, 2012). Bakteri ini
dapat menyerang paru-paru maupun organ ekstra paru atau TB
sekunder seperti pada kulit, tulang, saluran pencernaan, sistem
genitourinaria, dan rongga mulut. Prevalensi kejadian TB ekstra paru
sekitar 10-15% kasus TB (Prem PG et al., 2007).
TB Oral dapat berupa manifestasi primer maupun sekunder.
Manifestasi primer dari TB oral sangat jarang ditemui dan terjadi pada
orang dewasa. Sedangkan manifestasi sekunder dari TB oral lebih
umum ditemui daripada manifestasi primer (0.005%-1.5% dari kasus
TB) dan terlihat pada manula. Prevalensi manifestasi oral tuberkulosis
secara keseluruhan yaitu 0.1-5% dari seluruh infeksi TB (Khan MN,
2015). Kejadian TB pada lidah, lebih sering dijumpai pada laki-laki
dengan ratio 4:1 dimana kebanyakan penderita adalah pasien dengan
ekonomi rendah. Menurut beberapa penelitian, laki-laki memang
lebih rentan terkena infeksi Mycobacterium tuberculosis. Hal ini dapat
berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih besar pada laki-laki,
yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas saluran pernafasan
sehingga menjadi lebih rentan untuk terinfeksi. Gangguan pada sistem
imunitas saluran pernafasan tersebut dapat berupa kerusakan
mukosiliar akibat racun asap rokok serta menurunkan respon terhadap
antigen, sehingga meningkatkan kerentanan terjadinya TB paru (Al
Rikabi, 2011).

Faktor yang mempengaruhi infeksi bakteri TB ke rongga mulut


yaitu, peran cleansing dari saliva, enzim dalam saliva, jaringan
antibodi dan saprofit oral, ketebalan epithelium, merokok, kebersihan
mulut yang buruk. Bagaimanapun, luka lecil pada mukosa mulut yang
disebabkan oleh iritasi kronis atau inflamasi dapat menjadi tempat
yang baik untuk kolonisasi bakteri. Faktor predisposisi lain termasuk
oral hygiene yang jelek, ekstraksi gigi dan leukoplakia. Pemeriksaan
klinis, anamnesis yang baik, pemeriksaan histopatologis, foto rontgen
paru sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Lebih akurat lagi
dapat dilakukan biopsi pada lesi oral tersebut dalam penegakkan
diagnosis (Nemes RM et al., 2015).
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan. Sebesar 90% dari kasus, pintu masuk bakteri penyebab
TB yaitu saluran pernafasan. Bila bakteri TB terhirup dari udara
melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal
saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan
oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri
ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang
biak dalam tubuh makrofag.yang lemah itu dan ,menghancurkan
magrofag. Dari proses ini, dihsilkan bahan kemotaksis yang menarik
monosit(makrofag) dari aliran darah dan membentuk tuberkel.
Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T. Bakteri TB yang
berada dalam alveoli akan membentuk fokus local (fokus ghon),
sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfa denopati
bertempat di hilus (kompleks primer ranks) dan disebut juga TB
primer. Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder, kelenjar limfe
regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan
terlokalisir. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma, mirip dengan terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis
jaringan lebih mencolok dan menghasilakn lesi kaseosa(perkejuan)
yang luas dan disebut tuberkuloma (Nunes-Alves et al., 2014).
Gambar 6. Patogenesis TB (Nunes-Alves et al., 2014)

Patogenesis tuberkulosis oral tidak dipahami dengan jelas,


namun ada beberapa penelitian yang menerangkan jalur inokulasi
yang berbeda-beda. TB oral dapat terjadi melalui rute hematogen atau
limfatik pada TB sekunder atau melalui inokulasi langsung seperti
pada TB primer. Insiden TB oral jarang dan telah dikaitkan dengan
membrane mukosa yang bertindak sebagai penghalang untuk penetrasi
langsung organisme, pembersihan mukosa mulut secara terus-menerus
dengan air liur, adanya flora normal yang bervariasi selain adanya
antibodi submukosa yang memberikan mukosa bukal resistensi
normal, pH local, dan antibodi meningkatkan resistensi rongga mulut
terkena infeksi TB (Sezer B, 2014).

Menurut Kanjikar S et al. (2019), basil tuberkulosis dapat


berkoloni di lidah dengan beberapa cara yaitu:
1. Implantasi langsung (teori basiler / sputogenik)

Terlihat pada TB paru. Dahak yang mengandung basil tuberkel, ketika


batuk, basil tuberkel akan menempel dan membuat lesi pada lidah.
Dalam kasus seperti ini, basil dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
dahak.

2. Inokulasi langsung

Dalam hal ini basil tuberkel akan secara langsung diinokulasi pada
membran mukosa mulut tanpa lesi TB primer lainnya. Dalam kasus
seperti ini, basil akan ditemukan pada pemeriksaan langsung yang
diambil dari lesi lidah.

3. Penularan selama praktik gigi juga ada kemungkinan.

4. Kemungkinan penyebaran secara hematogen

Basil dapat menjangkau jaringan mulut melalui jalur hematogen.

5. Fenomena Anachoretic

Kemungkinan fenomena anachoretic terjadi ketika ada lesi inflamasi


yang kemudian akan menarik kolonisasi bakteri dari darah karena
peningkatan permeabilitas kapiler. Teori anachoresis ini didukung
oleh Leslie et al. (2008) yang dalam penelitianmya mengatakan bahwa
area iritasi kronis atau peradangan dapat mendukung lokalisasi
Mycobacterium Tuberculosis terkait dengan penyakit ini. TB sekunder
pada rongga mulut dapat timbul setelah adanya sensitisasi akibat
infeksi primer TB pada paru.

Gejala klinis umum dari penyakit TB paru adalah batuh


berdahak lebih dari 2 minggu, demam sumer-sumer, keringat pada
malam hari, penurunan berat badan, batuk berdarah dan pembesaran
kelenjar getah bening (PDPI, 2011). Pada TB oral memiliki berbagai
gambaran klinis, yang membuatnya sulit untuk didiagnosa.
Manifestasi TB oral dapat timbul berupa ulser, pembesaran gingiva,
glositis, tuberkuloma, pembesaran kelenjar limfe, dan osteomyelitis.
Selain pada lidah, TB oral juga bisa dilihat di tempat lain di rongga
mulut seperti bibir, pipi, langit-langit lunak, dan uvula, mukosa
gingiva dan alveolar (Ababtain R et al., 2017).

Lesi tuberkulosis oral berbentuk ulkus yaitu suatu luka terbuka


dari kulit atau jaringan mukosa yang memperlihatkan disentegrasi dan
nekrosis jaringan sedikit demi sedikit. Lesi ulseratif di mukosa
penderita tuberculosis berupa ulkus yang ireguler, tepi yang tidak
teratur, dengan sedikit indurasi dan sering disertai dasar lesi berwarna
kuning, disekeliling ulkus juga sering dijumpai satu atau beberapa
nodul kecil.

Gambar 7. Lesi ulseratif pada permukaan ventral lidah (Kanjikar S et


al.,2019)
Gambar 8. TB primer lidah. Gambaran Mikroskopis granuloma dengan sel
giant Langhans (Kanjikar S et al.,2019)

Tuberkuloma atau granuloma tuberkulosa dapat terjadi pada


penderita TB karena penumpukan basil TB pada lidah melalui proses
yang lambat yang mengenai lidah, pada penderita TB juga dapat
terjadi tuberkuloma yang terlihat sebagai suatu glossitis yang sering
didiagnosa sebagai macroglossia. Glositis tuberkulosa yaitu suatu
peradangan yang biasa terjadi pad lidah yang di sebabkan karna
infeksi bakteri, dan manifestasi lainya yaitu pembengkakan ginggiva
pada penyakit TB berhubungan dengan efek proteksi diri dari rongga
mulut yaitu karna adanya proteksi dari sel skuamosa yang dapat
melawan basil yang masuk secara langsung (Verma AK et al.,2018).

Gambar 9. Dorsum lidah pasien yang menunjukan pembengkakan


tidak nyeri dengan indurasi berukuran 5 cm x 4 cm pada sisi kanan
(Verma AK et al.,2018)
Gambar 10. Granuloma epiteloid yang tersusun dari sel-sel epiteloid,
limfosit, dan multinucleated giant cells. HE x400 (Verma AK et
al.,2018)

Gambar 11. Pertumbuhan granuloma pada bagian anterior maxilla


(Ababtain R et al.,2017)

Diagnosa banding dari lesi tuberkulosa lidah dapat berupa


malignansi, penyakit granulomatosa, sifilis, ulser traumatik, ulser
aftosa dan infeksi jamur.
Tatalaksana utama glositis tuberkulosis yaitu dengan terapi
antibiotik TB sistemik yang terbagi dalam dua fase. Fase pertama
membutuhkan waktu terapi 2 bulan dengan 3 atau 4 antibiotik
termasuk isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Diikuti
oleh fase kedua selama 4 bulan dengan dua macam obat, isoniazid
yang paling umum serta rifampisin. Dalam kasus resistensi obat, lini
kedua terapi obat dianjurkan yang meliputi amino glikosida,
polipeptida, flouroquinolon, sikloserin, dan terizidon (Ababtain R et
al., 2017). Sedangkan panduan pengobatan tuberkulosis menggunakan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Indonesia sendiri menurut
Permenkes RI tahun 2016 yaitu :

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).


2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini
ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,
Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.

a) OAT Lini Pertama

Jenis obat utama (lini 1) yang sering digunakan adalah INH,


rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol

Tabel 1. OAT Lini Pertama (Kemenkes, 2014)

Dosis
Harian 3x / minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5 ( 4 - 6) 300 10 ( 8 - 12) 900
Rifampisin 10 ( 8 - 12 ) 600 10 ( 8 - 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 - 30 ) - 35 ( 30 - 40 ) -
Etambutol 15 ( 15 - 20 ) - 30 ( 25 - 35 ) -
Streptomisin 15 ( 12 - 18 ) - 15 ( 12 - 18 ) 1000

b) OAT Lini Kedua


Jenis obat lini kedua yang tersedia di Indonesia adalah
kanamisin, amikasin, dan kuinolon. Sedangkan kapreomisin,
sikloserino, PAS, derivat rifampisin- INH, dan thioamides
belum tersedia di Indonesia (Kemenkes, 2014)
Selain tatalaksana berupa pemberian OAT, pengobatan
simptomatik seperti analgesik dan antipiretik juga dapat diberikan.
Tatalaksana non farmakologis berupa edukasi mengenai oral
hygiene, penggunaan masker, dan edukasi terhadap keluarga juga
penting diperhatikan guna membantu pencegahan penularan bakteri
TB (Kanjikar S et al.,2019).

J. HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN DIABETES MELITUS


Diabetes melitus adalah suatu keadaan didapatkan peningkatan
kadar gula darah yang kronik sebagai akibat dari gangguan pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein karena kekurangan
hormone insulin. Masalah utama pada penderita DM ialah terjadinya
komplikasi, khususnya komplikasi DM kronik yang merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian penderita DM (Surkesda,
2008). DM adalah suatu sindrom kronik gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin
atau resistensi insulin pada jaringan yang dituju (Dorland, 2005).
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik (kebanyakan herediter)
sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif (DM Tipe 2) atau insulin
absolut (DM Tipe 1) di dalam tubuh. Pada DM terdapat tanda-tanda
hiperglikemi dan glukosuria, dapat disertai dengan atau tidaknya gejala
klinik akut seperti poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, ataupun
gejala kronik seperti gangguan primer pada metabolisme karbohidrat
dan sekunder pada metabolisme lemak dan protein (Tjokroprawiro,
2007).
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (2006) adalah sesuai
dengan klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA).
Klasifikasi etiologi DM:
1. DM Tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi
insulin
absolut ) :
- Autoimun
- Idiopatik
2. DM Tipe 2 (berawal dari resistensi insulin yang predominan dengan
defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang
predominan dengan resistensi insulin)
3. Diabetes Mellitus Gestasional

a. Perubahan yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus


a). DM Tipe 1 ( DMT 1 = Diabetes Mellitus Tergantung
Insulin ) DMT 1 merupakan DM yang tergantung insulin. Pada
DMT 1 kelainan terletak pada sel beta yang bisa idiopatik atau
imunologik. Pankreas tidak mampu mensintesis dan mensekresi
insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan
kadang-kadang tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada
kasus ini terdapat kekurangan insulin secara absolut
(Tjokroprawiro, 2007).
b). DM Tipe 2 ( Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin
=DMT 2)
DMT 2 adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini,
pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi
insulin) dan kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas
(defek sekresi insulin), yaitu sebagai berikut : (Tjokroprawiro,
2007) 1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang,
sehingga glukosa yang sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah
tetapi jumlah insulin yang efektif belum memadai. 2. Jumlah
reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000) pada
obesitas jumlah reseptor bahkan hanya 20.000. 3. Kadang-kadang
jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga kerja
insulin tidak efektif (insulin binding atau afinitas atau sensitifitas
insulin terganggu). 4. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga
proses glikolisis intraselluler terganggu. 5. Adanya kelainan
campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4. DM tipe 2 ini Biasanya
terjadi di usia dewasa. Kebanyakan orang tidak menyadari telah
menderita dibetes tipe 2, walaupun keadaannya sudah menjadi
sangat serius. Diabetes tipe 2 sudah menjadi umum di Indonesia,
dan angkanya terus bertambah akibat gaya hidup yang tidak sehat,
kegemukan dan malas berolahraga (Riskesdas, 2007).
b. Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan
Diabetes Melitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik kronik


yang sering dijumpai dalam masyarakat. Penyakit metabolik ini
ditandai dengan hiperglikemi yang disebabkan oleh sekresi insulin
yang kurang ataupun dari resistensi insulin.1 Terdapat beberapa
komplikasi dari penyakit metabolik ini, salah satunya dalam bidang
kedokteran gigi. Ada beberapa manifestasi oral yang berkaitan
dengan diabetes mellitus, yaitu periodontitis, gingivitis, disfungsi
saliva, infeksi bakteri dan jamur pada oral, kemudian juga terdapat
lesi mukosa oral seperti stomatitis, benign migratory glossitis,
fisured tongue, rhomboid tongue (Al-Maskari, 2011)

Berdasarkan penelitian, lesi mukosa oral yang sering terjadi


pada pasien dengan diabetes mellitus adalah fisured tongue atau
lidah pecah pecah. Keadaan ini terjadi pada 27,1% penderita
diabetes mellitus. Pada permukaan dorsal lidah yang sehat
seharusnya berisi papil pail filiform dan fungiform yang
memberikan warna merah muda cerah, sementara pada daerah
ventral dan lateral lidah halus dan tidak terisi papil sehingga
berwarna merah muda gelap. Tekstur dorsum lidah yang halus ini
diinterupsi oleh satu atau lebih patahan yang muncul sepanjang
lidah. Patahan ini kemungkinan berasal dari laju saliva yang rendah
yang terjadi secara terus menerus. Keadaan ini lama kelamaan akan
mengubah lingkungan di dalam rongga mulut sehingga kerusakan
jaringan lunak mulut lebih mudah terjadi. (Gandara, 2011)
Pada penderita DM akan mengalami gangguan perubahan di
dalam mulut seperti mulut kering, rasa terbakar pada lidah dan
mukosa pipi akibat adanya neuropati perifer, tidak terasa atau
terasa tebal, hiperemia dan hiperplasia jaringan gingiva. Resistensi
jaringan terhadap infeksi juga menurun secara menyeluruh. Lidah
menunjukkan perubahan pada pappila filiformis. Pada penderita
DM terkontrol, pappila filiformis mengalami hipertropi, sedangkan
pada penderita DM yang tidak terkontrol pappila filiformis
menghilang. Selain itu, lidah memperlihatkan beberapa manifestasi
terutama glositis dengan fisura-fisura yang nyeri dan lidah yang
berlapis (coated). Otot lidah menjadi flabby sehingga memberikan
gambaran tapak gigi di permukaan lidah bagian lateral.

Gambar 11. Fisured tongue (Gandara, 2011).

Kelainan pada lidah lainnya pada penderita dabetes mellitus


selain fisured tongue adalah median rhomboid glossitis. Keadaan
ini ditandai dengan titik atrofi yang terletak pada garis tengah
lidah, permukaan posterior lidah, bagian depan berbentu V berisi
papil sirkumvalata. Menurut beberapa penelitian, keadaan ini
seringkali terkain dengan infeksi Candida pseudohyphae kronik
(Gandara, 2011). Median rhomboid glossitis terjadi pda kurang
lebih 6,43% pada penderita diabetes dan 1,53% pada bukan
penderita diabetes, sekitar 70-80% penderitanya merupakan lelaki
namun etiologi masih belum jelas, selain karena kandidiasis kronik
dapat pula disebabkan embriologikal, inflamasi ataupun infeksi
Staphylococcus aureus (Ghabanchi, 2011)

Gambar 12. Median Rhomboid Glossitis (Ghabanchi, 2011)

Lesi pada mukosa oral lainnya yang lebih banyak terjadi


pada penderita diabetes adalah geographic tongue atau benign
migratory glositis (BMG). Keadaan ini ditandai dengan atrofi lokal
papil lidah yang menyerupai pola peta dengan karakteristik tepi
berwarna putih atau kekuningan yang berpindah sepanjang waktu.
Keadaan ini disebabkan oleh inflamasi dan berhubungan dengan
beberapa gejala seperti nyeri, gatal dan perasaan terbakar pada
mukosa.3 Inflamasi yang terjadi disebabkan oleh penurunan sekresi
saliva dan pH rendah yang disertai dengan perbaikan yang lebih
lambat dan penyembuhan yang terlambat yang disebabkan oleh
mikroangiopati vaskularisasi oral dan hipoksia pada pasien
diabetes. Pada pasien diabetes kejadian ini meningkat empat kali
lebih sering dibandingkan dengan bukan pasien diabetes (Saini et
al, 2010).

Komplikasi pada pasien diabetes yang berhubungan dengan


kesehatan oral tidaklah sedikit. Oleh karena itu perlunya edukasi
pada pasien diabetes mellitus terkait kesehatan mulut dan
mengontrol kadar gula darah. Dari beberapa penelitian yang ada,
komplikasi pada pasien diabetes ini lebih jarang terjadi apabila
pasien lebih rajin untuk mengontrol gula darahnya yang ditandai
dengan kadar HbA1c yang lebih rendah. Berikut ringkasan
mengenai hubungan antara diabetes mellitus dengan kondisi oral
(Gandara, 2011).

Gambar 13. Dampak Diabetes Melitus terhadap


kondisi oral pasien
Tatalaksana

Penatalaksanaan DM jangka pendek bertujuan untuk


menghilangkan/mengurangi gejala yang dirasakan penderita,
sedangkan jangka panjangnya bertujuan untuk mencegah komplikasi
(Mansjoer dkk., 2001).
Penatalaksanaan DM terdiri dari pertama terapi non farmakologis
yang meliputi terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani, dan
edukasi terkait penyakit DM yang dilakukan secara kontinyu, kedua
terapi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin
jika terapi non farmakologis yang dilakukan tidak mampu mengontrol
kadar glukosa darah (Aini et al, 2011).

a. Terapi gizi medis Terapi gizi medis dilakukan dengan mengatur


pola makan penderita DM berdasarkan status gizi diabetisi dan
memodifikasi diet yang didasarkan pada kebutuhan individual (Aini et
al, 2011)
b. Latihan jasmani Latihan jasmani merupakan kunci pengobatan DM,
terutama pada DM tipe 2 dikarenakan obesitas dan kurangnya
aktivitas yang berkontribusi terhadap pengembangan intoleransi
glukosa. Latihan jasmani meningkatkan penggunaan glukosa tubuh,
mengurangi level kolesterol, menurunkan tekanan darah, mengurangi
kebutuhan dosis insulin atau OHO, meningkatkan sensitivitas insulin,
dan memperbaiki psikologi melalui pengurangan stres (Kroon et al.,
2011).
c. Insulin Insulin merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan
beberapa kasus DM tipe 2 (Suherman, 2007). Penderita DM tipe 1
selalu diobati dengan insulin karena sel beta pankreasnya inaktif.
Keadaan seperti ketoasidosis, gestasional, infeksi, pembedahan, dan
gangguan hati atau ginjal juga tidak 6 dapat diatasi dengan OHO,
sehingga harus diberikan insulin dengan segera. Secara klinis,
perbedaan penting diantara produk insulin yang beredar berhubungan
dengan onset, peak, dan durasi aksi. Saat ini, produk-produk insulin
dikategorikan menjadi insulin aksi cepat (rapid acting), aksi pendek
(short acting), aksi sedang (intermediate acting), dan aksi panjang
(long acting) (Kroon et al., 2011).
d. Obat hipoglikemik oral
1) Sulfonilurea Sulfonilurea merupakan OHO golongan sekretagok
insulin yang berarti mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
menstimulasi sekresi insulin. Obat ini digunakan sebagai terapi awal
farmakologis pada DM tipe 2 (Soegondo, 2006). Glibenklamid,
gliklazid, glipizid, glikuidon, dan glimepirid merupakan obat
golongan sulfonilurea generasi kedua dengan daya kerja 10 hingga
100 kali lebih kuat dibandingkan tolbutamida, klorpropamida, dan
tolazamida yang merupakan generasi pertama (Tjay & Rahardja,
2007).
2) Glinid (Meglitinid) Repaglinid dan nateglinid yang termasuk dalam
golongan ini mempunyai aksi kerja sama dengan sulfonilurea. Harus
digunakan secara hati-hati pada penderita dengan gangguan hepar
atau ginjal (Tjay & Rahardja, 2007).
3) Biguanid Obat golongan biguanid bekerja dengan meningkatkan
sensitivitas insulin, sehingga absorpsi glukosa meningkat di jaringan
perifer . Sebenarnya ada 3 macam obat dari golongan ini yaitu
fenformin, buformin, dan metformin, namun fenformin telah ditarik
dari peredaran karena menyebabkan asidosis laktat. Saat ini yang
banyak digunakan ialah metformin (Tjay & Rahardja, 2007).
4) Tiazolidindion (Glitazon) Obat golongan tiazolidindion mempunyai
efek farmakologis yang sama dengan biguanida (Soegondo, 2006).
5) Penghambat alfa-glukosidase Enzim alfa-glukosidase di usus halus
bersama alfa-amilase pankreas menghidrolisis komplek polisakarida,
oligosakarida, trisakarida, dan disakarida. Akarbose, sebuah
penghambat alfa-glukosidase dan alfaamilase, bekerja dengan cara
menurunkan kecepatan digesti karbohidrat yang selanjutnya
berpengaruh terhadap absorpsi glukosa. Akarbose efektif untuk
penderita dengan hiperglikemik postprandial. Miglitol merupakan
obat golongan penghambat alfa-glukosidase yang lain (Setter et al.,
2000).

K. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN ANEMIA DEFISIENSI


BESI
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
terjadi, dan penyakit ini sering terjadi pada perempuan. Anemia
defisiensi besi dikaitkan sebanyak 20% dengan kehilangan darah yang
masif pada saat perempuan mengalami menstruasi. Selain itu,
penyakit ini dikaitkan dengan pendarahan kronis, pada pria penyakit
ini dikaitkan dengan penyakit gastrointestinal. Pada pasien yang
menderita penyakit ini akan mengalami gejala lelah, lemah,
pemendekan nafas, dan peningkatan detak jantung. Secara umum
pasien yang mengalami penyakit anemia defisiensi besi akan
memperlihatkan tanda-tanda pada bagian mulut termasuk atrophic
glossitis dan rasa panas pada mukosa mulut (Wu et al., 2014).
Anemia diklasifikasikan sebagai anemia defisiensi besi apabila
nilai mean red cell volume (MCV) dibawah 60fL dan nilai level serum
besi dibawah 80 µg/dL (Chiang et al., 2018). Kadar besi yang rendah
menyebabkan pembentukan hemoglobin dan sel darah merah menurun
selain itu menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang berukuran
kecil atau disebut dengan microcytic (Wu et al., 2014).
Anemia defisiensi besi bisa juga terjadi akibat penyakit anemia
yang lain seperti anemia akibat penyakit kronis (Lu, 2016). Gejala
umum anemia berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga mendenging. Pucat merupakan tanda penting
pada anemia yang muncul apabila hemoglobin turun hingga 7-8 gr/dL
(Warner & Kamran, 2019). Pada pemeriksaan fisik pasien anemia
defisiensi besi ditemukan (Tahara et al., 2014) (Goel, Bakshi, Soni, &
Chhavi, 2017) :
 Koilonychia (kuku sendok)
 Konjungtiva anemis
 Angular cheilitis
 Atropic glossitis
 Glossitis
 Clubbing finger
 Keratitis

Gambar 14. Atrofi papil lidah (Halim, Kalkur, Padmashree, &


Rangare, 2018)

Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan


laboratorium untuk melihat status besi pasien. Serum ferritin adalah
indikator yang paling sensitif dan spesifik untuk menilai defisiensi
besi pada pasien. Pada anemia defisiensi besi akan ditemukan level
serum ferritin, besi, dan saturasi transferrin akan berkurang (Warner &
Kamran, 2019). Serum ferritin <30ng/L, besi <7.1µg/L, saturasi
transferrin <15%. Total iron binding capacity akan meningkat >13.1
µmol/L (Johnson Wimbley & Graham, 2011). Pada anemia
hipokromik mikrositik sering disebabkan oleh dua, yaitu defisiensi
besi dan thalassemia. Indeks MCV >15 menunjukan akibat defisiensi
besi, sedangkan thalassemia akan terlihat pada indeks MCV <11.
Kemudian diagnosis thalassemia ditegakkan menggunakan hb
elektroforesis. Penanda ferritin normal atau diatas rata-rata
diakibatkan oleh serangan akut (Warner & Kamran, 2019).

Dampak anemia defisiensi besi pada tubuh


Zat besi merupakan mikronutrien penting untuk homeostasis
tubuh. Zat besi berperan dalam pembentukan hemoglobin dan
myoglobin, dan menjadi kofaktor untuk beberapa enzim dalam
metabolism seluler (Goel et al., 2017). Fungsi mitokondria dapat
sangat terganggu karena besi merupakan kofaktor untuk enzim yang
mengandung heme dan enzim yang mengandung besi non-heme
dalam transpor elektron mitokondria. Biosintesis gugus heme dan
besi-sulfur dalam mitokondria dihambat, mengganggu sintesis
senyawa seperti hemoglobin, mioglobin, sitokrom, dan enzim nitrat
oksida. Penelitian in vitro dan pra-klinis telah menunjukkan bahwa zat
besi diperlukan oleh banyak enzim yang terlibat dalam replikasi dan
perbaikan DNA, dan untuk pengaturan siklus sel normal. Zat besi juga
penting untuk pertumbuhan sel, proliferasi, dan diferensiasi sel imun,
dan untuk jalur efektor yang dimediasi sel tertentu. Studi pengamatan
menunjukkan bahwa individu yang kekurangan zat besi memiliki
fungsi kekebalan tubuh yang buruk, khususnya kekebalan sel-T, tetapi
diperlukan lebih banyak bukti. Model penelitian pra-klinis telah
menunjukkan myelogenesis abnormal, metabolisme sel otak, transmisi
saraf, dan pembentukan hippocampal pada neonatus yang kekurangan
zat besi dan hewan muda. Pada manusia, anemia defisiensi besi
dikaitkan dengan keterampilan kognitif dan motorik yang lebih buruk.
Jumlah besi yang terus menerus menurun akan menyebabkan kadar
hemoglobin menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer
(Musallam & Taher, 2018).

Manifestasi klinis anemia defisiensi besi pada mulut


Anemia defisiensi besi secara morfologis sel ditunjukkan
dengan anemia hipokromik mikrositik. Zat besi berperan penting
dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi memiliki peran
penting untuk membuat epitel berfungsi normal, defisiensi besi
mengakibatkan menyebabkan atrofi atau mukosa immature (Wu et al.,
2014).

Gambar 15. Angular cheilitis dan gambaran mengkilap dari lidah


pada atrophic glossitis (Lu, 2016).

Tatalaksana anemia defisiensi sebagai berikut:


a. Terapi kausa
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh. Sulfas ferosus 3 x 200 mg.
c. Diet: makanan bergizi dengan protein tinggi terutama protein hewani
d. Vitamin C 3 x 100 mg/ hari untuk meningkatkan reabsorbsi besi
e. Transfusi darah (dalam bentuk PRC (packed red cell), apabila terdapat
indikasi sebagai berikut:

Tatalaksana pada glositis adalah:


a. Menghindari iritan (makanan pedas, alkohol, dan rokok) untuk
mengurangi rasa tidak nyaman pada lidah
b. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi pada lidah
c. Menjaga oral hygiene (Gupta, 2018).

A. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN HIV


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan
terhadap infeksi dan penyakit. AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang disebabkan
oleh HIV dan ditandai dengan infeksi, menurunnya CD4 limfosit T, serta
imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik (Berberi et al,
2017; Frimpong et al, 2017).
Penyakit AIDS disebabkan oleh HIV, yaitu suatu retrovirus yang
diklasifikasikan kedalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak
menyebabkan AIDS di seluruhdunia adalah HIV-1 karena lebih virulen
dan lebih mudah menular. Sedangkan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika
Barat. Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang
menyebabkan hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T
helper, sel makrofag dan monosit yang mempunyai protein CD4 pada
permukaannya juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Berkurangnya nilai
CD4 dalam tubuh manusia mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah
putih yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga
meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi
oportunistik (Siregar, 2016). Penurunan bertahap jumlah sel CD4 + yang
paling penting adalah sel T-helper (sel T CD4), limfosit B, makrofag, dan
sel NK. Sel CD4 mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis dan,
ketika jumlah sel menurun, risiko dan tingkat keparahan infeksi
oportunistik meningkat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
jumlah absolut limfosit CD4 pada orang yang terinfeksi HIV turun dari
tingkat normal 800-900 menjadi 60-100 sel / mL dalam satu tahun
(Frimpong, 2017).
Target utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf
pusat. Sel target HIV adalah limfosit T. Masuknya virus ke dalam sel
memerlukan molekul CD4, yang bertindak sebagai reseptor dari virus.
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4. Selain
mengikat CD4, gp120 juga harus berikatan dengan dua sel reseptor
kemokin (CCR5 dan CXCR4) untuk dapat masuk ke dalam sel. Ikatan
gp120 dengan CD4 menyebabkan perubahan formasi pada gp120
sehingga memungkinkan pengikatan dengan reseptor kemokin selular
(CCR5). Interaksi ini mengaktifkan gp41 dan menghasilkan fusi
membran virus dengan membran selular, yang menyebabkan RNA
virus dan reverse transcriptase masuk ke dalam sel target. Reverse
transcriptase akan mentranskrip RNA virus menjadi DNA, yang
bergabung ke genom sel target. Penggabungan DNA virus ke
dalam material genetik sel menyebabkan terjadinya infeksi (Greenberg,
2013).

Gambar 16. Transkripsi virus HIV


Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respon imun yang progresif.
Pada pasien HIV-AIDS, spektrum manifestasi klinis pada gigi dan
mulut sangatlah luas. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut
didapatkan pada 30-80% pasien. Hidayat (2017) menyebutkan bahwa
94% prevalensi candidiasis mulut dapat ditemukan pada pasien pasien
HIV-AIDS. WHO mengklasifikasikan candidiasis mulut sebagai lesi yang
berhubungan erat dengan infeksi HIV. Manifestasi klinis HIV pada gigi
dan mulut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi gigi dan mulut sebagai efek samping terapi
antiretroviral (Bajpai dan Pazare, 2010).
Sebenarnya tidak terdapat lesi oral khusus yang hanya berkaitan
dengan HIV-AIDS. Akan tetapi, terdapat manifestasi klinis tertentu
seperti kandidiasis oral dan oral hairy leukoplakia yang sangat sering
berkaitan dengan HIV-AIDS dan dianggap sebagai bagian dari penyakit
AIDS, juga diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC
(Hidayat, 2017). Kandidiasis adalah gambaran klinis yang paling umum
dijumpai pada mukosa mulut pasien terinfeksi HIV. Infeksi kandida
biasanya bersifat kronis, dapat muncul sebagai lesi putih, merah, datar,
menonjol, atupun nodular. Daerah yang sering terkena antara lain
palatum, mukosa bukal, dan lidah. Dapat timbul kandidiasis dengan tipe
seperti pseudomembran kandidiasis, eritematous, hiperplastik
kandidiasis, dan angular cheilitis (Langlais, 2016).
Pseudomembran kandidiasis dikarakteristikkan dengan plak
berwarna putih krem yang setelah discrap memperlihatkan warna
kemerahan dan perdarahan pada mukosanya. Bentuk eritematous muncul
daerah merah yang difus, yang biasanya terdapat pada dorsum lidah. Pada
lokasi ini biasanya terdapat keterkaitan dengan hilangnya papila filiformis
yang dikenal dengan tipe median rhomboid glossitis. Kandidiasis
hiperplastik kronis adalah infeksi kandida pada stadium akhir yang
muncul secara klinis seperti plak keratosis putih yang difus pada mukosa
bukal, plak ini tidak dapat dihilangkan (Langlais, 2016).

Gambar 17. (a) Median Rhomboid Glossitis ; (b) Eritematous


kandidiasis pada dorsum lidah

Acute atrophic candidiasis disebut juga midline glossitis, glossodynia,


antibiotic tongue, acute erythematous candidiasis. Mungkin merupakan
kelanjutan kandidiasis pseudomembran akut akibat menumpuknya
pseudomembran. Daerah yang terkena tampak khas sebagai lesi
eritematosa, simetris, tepi berbatas tidak teratur pada permukaan dorsal
tengah lidah, sering hilangnya papila lidah dengan pembentukan
pseudomembran minimal dan terdapat rasa nyeri. Sering berhubungan
dengan pemberian antibiotik spektrum luas, kortikosteroid sistemik,
inhalasi maupun topikal. (Suyoso, 2011)

Infeksi karena virus golongan herpes sering dijumpai pada penderita


HIV/AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa stomatis
herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus(CMV),
HPV (Human Papiloma virus). Tidak seperti pada pasien dengan fungsi
imun normal, pasien dengan AIDS dapat terkena infeksi herpes pada
permukaan mukosa bukal dan lidah, rekurensi terjadinya HSV padapasien
infeksi HIV lebih parah. Herpes zoster lebih sering terjadi pada pasien
dengan infeksi HIV dibanding populasi normal. Gambaran klinisnya
hampir sama pada kedua kelompok ini namun prognosis paling buruk
terjadi pada pasien infeksi HIV. Hairy leukoplakia adalah salah satu
karakteristik lesi oral yang umum terlihat pada pasien infeksi HIV.
Gambaran klinisnya adalah muncul sebagai lesi putih yang asimtomatik,
meninggi dan tidak dapat dihilangkan. Lesi ini muncul bilateral pada
margin lateral lidah dan dapatmenyebar mencapai permukaan dorsum dan
ventral. Secara histologis dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang
seperti berambut, inflamasi yang sedikit dan infeksi candida (Greenberg,
2013).

Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Pengobatan


glossitis tergantung pada penyebabnya. Penatalaksanaan pembengkakan
dan rasa tidak nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan
per oral. Bila pembengkakan dirasakan makin parah, bisa diberikan
kortikosteroid. Kebersihan mulut yang baik sangat diperlukan juga
menghindari iritasi seperti tembakau, makanan panas dan pedas, serta
alkohol. Clotrimazole Troches, nystatin pastilles, dan suspensi oral
nystatin efektif untuk kandidiasis eritematosa dan pseudomembranosa
ringan hingga sedang. Namun, penggunaan yang lama dari agen-agen ini
dapat menyebabkan karies gigi yang signifikan karena substrat karbohidrat
yang dapat difermentasi hadir dalam formulasi. Obat sistemik untuk
kandidiasis oral melibatkan penggunaan obat antijamur imidazol
(ketoconazole) dan triazole (flukonazol dan itrakonazol). Flukonazol
diberikan dalam dosis 100-200 mg / hari. Durasi pengobatan dengan
imidazol oral biasanya sekitar 7-10 hari tetapi dalam kasus kecurigaan
keterlibatan kerongkongan, durasi dapat diperpanjang hingga 21 hari.
Sesuai pedoman terbaru, tidak ada peran profilaksis untuk kandidiasis pada
pasien HIV (Bajpai dan Pazare, 2010).
B. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN LUPUS ERITEMATOSUS
SISTEMIK (LES)

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit


autoimun heterogen yang dapat melibatkan banyak organ yang
berbeda dan menampilkan berbagai manifestasi klinis. Diagnosis LES
didasarkan pada karakteristik temuan klinis pada kulit, sendi, ginjal,
dan sistem saraf pusat. Prevalensi LES diperkirakan sebesar 51 per
100.000 individu di Amerika Serikat (Bertsias et al., 2012). Insidensi
LES lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan wanita:pria
= 15:1. Puncak insidensi LES pada wanita yaitu pada usia 30-70
tahun, sedangkan pada pria di kisaran usia 50-70 tahun. Ras kulit
hitam memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras
Asia, Hispanik, dan Kaukasia (Rees et al., 2017).

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun


yang dihubungkan dengan hiperaktivitas sistem imun dan
dikarakteristikkan denga munculnya autoantibodi (Ciarocca, 2006).
LES merupakan gangguan autoimun yang menyerang multisistem
dengan spektrum luas meliputi hampir semua organ dan jaringan
(Bertsias,2012). Manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang
berfungsi untuk menyerang benda asing, virus, bakteri, jamur, atau
patogen yang dapat menyebabkan penyakit. Pada penderita LES,
sistem kekebalan yang harusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh
mengalami kelainan, yaitu tidak dapat membedakan antara benda
asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan/sel tubuh sendiri
(Ciarocca,2006).

LES merupakan penyakit kronis dan progresif. Terdapat


imunitas yang dimediasi oleh sel dan humoral yg terlibat pada LES.
Kompleks imun yang berkumpul di setiap organ merangsang reaksi
inflamatorik yang mengarah pada gangguan fungsi organ. Pada
patogenesis LES, terjadi aktivasi dari jalur IFN tipe 1, disfungsi sel B
dan sel T, dan antibodi antinuklear. Antibodi anti-DNA
(deoxyribonucleic acid, antinuclear antibodies) ditemukan pada serum
tubuh pasien.

Hilangnya toleransi dan adanya disregulasi imun merupakan


konsekuensi dari faktor genetik dengan rangsang lingkungan dan
kejadian stokastik yang melibatkan 30 lokus genetik pada
patogenesisnya. Respon imun alami memiliki peran yang signifikan
terhadap LES, berkontribusi terhadap mekanisme kerusakan jaringan
melalui pelepasan sitokin inflamatorik sedemikian juga aktivasi dari
sel B dan sel T yang akan mengarah pada produksi auto antibodi yang
menyebabkan kerusakan organ. Asam nukleat autoantigenik dan
protein pengikatnya dibutuhkan untuk aktivasi self antigen spesifik
terhadap limfosit autoreaktif. Kompleks autoantigen dengan
autoantibodi mereka juga secara langsung berperan pada aktivasi sel-
sel imun alami melalui Fc reseptor (FcR), dengan asam nukleat pada
kompleks ini melibatkan reseptor seperti TLR (Toll like receptor)
dengan aktivasi sel B dan sel imun alamiah (Jinyoung Choi, Kim, &
Craft, 2013).

Pada pasien LES, terjadi respons imun terhadap antigen asam


nukleat endogen. Materi sel-sel tubuh yang mengalami apoptosis
dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T yang mengakibatkan
terjadinya autoantigen. Sel T yang telah aktif akan membantu sel B
untuk menghasilkan antibodi terhadap sel-sel tubuh sendiri dengan
menghasilkan sitokin seperti interleukin 10 (IL-10) dan IL-23 dan
oleh molekul permukaan sel seperti CD40L dan CTLA-4. Kompleks
imun dan jalur aktivasi komplemen selanjutnya memediasi fungsi
efektor dan kerusakan jaringan. Pada individu yang sehat, kompleks
imun akan dibersihkan oleh Fc dan reseptor komplemen, namun pada
LES terjadi kegagalan dalam mekanisme pembersihan kompleks imun
sehingga terjadi deposisi kompleks imun di jaringan dan kerusakan
jaringan setempat. Kerusakan jaringan akan mengundang sel
inflamasi, reactive oxygen specimen (ROS), menghasilkan sitokin pro-
inflamasi, dan modulasi jalur koagulasi (Bertsias et al., 2012).

Gambar 18. Patogenesis LES

Penegakan diagnosis LES cukup sulit dilakukan karena


memiliki manifestasi klinis yang sangat beragam serta perjalanan
penyakit yang tidak dapat diprediksi. Manifestasi klinis yang
digunakan untuk kriteria klasifikasi LES terangkum pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria klasifikasi systemic lupus erythematosus berdasarkan revisi


The American College of Rheumatology

Kriteria Definisi
Malar rash Eritema terfiksir, rata atau meninggi, melampaui
eminensia malar, cenderung menyisakan lipatan nasolabial
Discoid rash Plak meninggi eritematus dengan skuama keratotik dan
sumbatan folikuler, sikar atrofik timbul pada lesi lama
Fotosensitivitas Ruam kulit sebagai hasil dari reaksi terhadap sinar
matahari, dari anamnesis atau observasi dokter
Ulkus mulut Ulkus oral atau nasofaringeal, umumnya tidak nyeri
Arthritis Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
periferal, ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi
Serositis a. Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik yang meyakinkan atau
terdengarnya suara pleural friction rub saat auskultasi atau
efusi pleura atau
b. Perikarditis: gambaran EKG atau bukti adanya efusi
perikardial
Gangguan a. Proteinuria persisten >0,5 g per hari atau >3+ jika tidak
ginjal dilakukan kuantifikasi atau
b. Cellular casts: eritrosit, hemoglobin, granular tubular, atau
campuran
Gangguan a. Bangkitan: tidak adanya penggunaan obat atau kelainan
neurologis metabolik yang diketahui (misal uremia, asidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit) atau
b. Psikosis: tanpa adanya penggunaan obat atau kelainan
metabolik yang diketahui
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau
hematologi b. Leukopenia <4000/mm3 atau
c. Lymphopenia <1500/mm3 atau
d. Thrombositopenia <100.000/m3 tanpa adanya penggunaan
obat
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap DNA native di titer
imunologis abnormal, atau
b. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nukleus Sm
atau
c. Temuan antibodi antifosfolipid positif berdasarkan:
konsentrasi IgG atau IgM anticardiolipin serum abnormal.
Hasil positif dari antikoagulan lupus menggunakan metode
standar, atau tes serologi positif palsu terhadap sifilis
dalam 6 bulan terakhir dan dikonfirmasi dengan
immobilisasi Treponema pallidum atau tes absorpsi
antibodi treponemal fluoresen
Antibodi Titer antibodi antinuklear yang abnormal dengan
antinuklear pemeriksaan immunofluorescence

Manifestasi klinis LES terjadi di kulit, sendi, ginjal, paru-paru,


sistem saraf, dan organ lainnya. Sebagian besar pasien LES juga
mengalami masalah oral seperti rasa kering, nyeri, ulkus oral,
mukositis, glossitis, dan penyakit periodontal (Correa et al., 2017).
Lesi oral pada pasien LES berkisar 5%-25%. Lesi biasanya muncul di
palatum, mukosa buccal, dan gingiva. Kadang nampak sebagai area
likenoid, tapi juga dapat berbentuk nonspesifik atau berbentuk
granulomatosa. Keterlibatan zona vermilion dari bibir bawah (lupus
cheilitis) kadang dapat ditemui. Berbagai derajat ulserasi, nyeri,
eritema, dan hiperkeratosis dapat ditemui. Keluhan oral lainnya
antara lain xerostomia, stomatodynia, candidiasis, penyakit
periodontal dan dysgeusia. Ulkus oral atau nasofaringeal yang tidak
nyeri dan melibatkana palatum merupakan gejala khas dari LES.
Hingga 30% pasien LES mengalami Sjogren’s syndrome sekunder
dan xerostomia berat akibat keterlibatan kelenjar saliva (Sridevi et al.,
2012). Manifestasi oral yang berhubungan dengan LES pada anak-
anak yang telah dilaporkan antara lain terhambatnya erupsi gigi susu
dan gigi permanen serta formasi radix yang berbelit. Manifestasi
tersebut lebih berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid
dibandingkan dengan komplikasi LES. Pada anak-anak juga dapat
ditemui manifestasi oral berupa ulserasi mukosa akut atau kronis
sekitar 9-45%, cheilitis angularis, mukositis, glossitis, dan xerostomy
(Fernandes et al., 2007).
Glossitis atrofi adalah salah satu gejala LES yang dapat
ditemui di rongga mulut, ditandai dengan atrofi papila filiformis pada
lidah. Atrofi kemungkinan disebabkan anemia yang dialami pasien
dengan LES. Anemia dan tingkat Hb yang rendah mengurangi
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen, yang akhirnya
menyebabkan atrofi papila lidah (Wu et al., 2016). Anemia pada
pasien LES dapat disebabkan oleh kegagalan hematopoietik setelah
terjadi kerusakan imunologis sumsum tulang atau penurunan ekspresi
eritropoietin (EPO) oleh sitokin pro-inflamasi seperti IL-1 (Giannouli
et al., 2005).

Tujuan terapi pada pasien LES adalah untuk mengurangi


gejala dan tanda penyakit, mencegah kerusakan yang dapat terjadi,
dan meminimalkan efek samping obat, sekaligus memperbaiki
kualitas hidup. Terapi farmakologis yang direkomendasikan bagi
semua pasien LES adalah hidroklorokuin 6,5 mg/kg/hari. Penggunaan
glukokortikoid dapat meredakan gejala dengan cepat, namun
penggunaan jangka panjang harus diminimalkan setara prednison ≤
7,5 mg/hari karena banyak efek merugikan termasuk kerusakan organ
irreversibel, untuk episode akut dapat diberikan metilprednisolon
intravena dosis tinggi (250-1000 mg/hari selama 3 hari). Selain itu
terapi lain yang dapat digunakan adalah obat immunosupresan untuk
mencegah terjadinya flare. Pemilihan agen immunosupresan harus
mempertimbangkan usia, paritas, keamanan, dan harga. Pasien yang
memiliki kontrol gejala yang buruk walaupun telah menggunakan
hidroklorokuin dan glukokortikoid dapat menggunakan agen
immunosupresan seperti methotrexat dan azathioprine (Fanouriakis et
al., 2019).

Lesi mukosa oral memiliki hubungan yang signifikan dengan


penggunaan medikasi kombinasi pada pasien dengan LES. Pasien
yang menggunakan azathioprine dan siklofosfamid (bulanan,
parenteral) memiliki lesi mukosa oral yang lebih banyak dibandingkan
dengan yang hanya menggunakan hidroksiklorokuin. Kemungkinan
alasannya adalah kondisi yang memang lebih buruk pada pasien
dengan obat immunosupresan seperti azathioprine dan siklofosfamid.
Faktor lain yang memungkinkan adalah lesi oral ulseratif dan eritem
merupakan efek samping dari obat tersebut. Pasien dengan dosis
kortikosteroid yang lebih tinggi pada fase aktif penyakit memiliki lesi
yang lebih banyak (Khatibi et al., 2012).

Pada umumnya lesi oral pada kasus LES dapat diterapi dengan
obat kumur antiseptik yang dikombinasi dengan aplikasi topikal
kortikosteroid seperti hidrokortison hemisuksinat pellet (2.5 mg) atau
betamethason sodium fosfat (0.5 mg) di sekitar lesi 2-4 kali sehari.
Sediaan topikal kortikosteroid lainnya seperti spray, obat kumur, krim,
dan ointments menunjukkan hasil yang baik pada beberapa pasien.
Intralesional injections dengan triamcinolone dapat digunakan dan
dilaporkan cukup berhasil mengatasi keluhan pasien. Obat antimalaria
seperti hidroksiklorokuin dan dapson juga telah berhasil digunakan
untuk terapi lesi oral pada lupus. Pada kasus yang berat seperti
ulserasi yang luas, eritem dan rasa sakit, terapi sistemik steroid jangka
pendek dapat diberikan untuk menghilangkan keluhan (Ciarocca,
2006).
BAB III

KESIMPULAN

Lidah bukan hanya tempat bagi lesi lokal, tetapi juga menjadi
cerminan dari keberadaan beberapa penyakit sistemik. Glositis merupakan
peradangan lidah yang ditandai dengan deskuamasi papila filiformis
sehingga menghasilkan daerah kemerahan yang halus dan mengkilat,
dapat terjadi secara akut dan kronis. Penyebab glossitis dapat terjadi
karena penyebab lokal (infeksi, trauma dan iritasi) maupun sistemik
(malnutrisi, anemia, HIV dan obat-obatan). Glossitis memiliki hubungan
dengan penyakit sisemik antara lain glossitis dengan, anemia, LES,
diabetes melitus, HIV, dan LES. Pencegahan glossitis dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan rongga mulut, konsumsi makanan bergizi
seimbang dan menghindari agen iritan lidah
DAFTAR PUSTAKA

Ababtain R, Alohali A, Binahmed A (2017). Primary Tuberculosis of the Oral


Cavity: A Case Report. Clinics in Surgery, 2 (1377): 1-2.

Aini, N., Fatmaningrum, W., & Yusuf, A. H. (2011). Upaya meningkatkan


perilaku pasien dalam tatalaksana diabetes mellitus dengan pendekatan teori
model behavioral system Dorothy E. Johnson. Jurnal Ners, 6(1), 1-10.

Alikhani M, Khalighinejad N, Ghalaiani P, Khaleghi MA, Askari E, Gorsky M.


Immunologic and psychologic parameters associated with geographic
tongue. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol. 2014;118:68-71

Al-Maskari AY, Al-Maskari MY, Al-Sudairy S. Oral Manifestations and


Complications of Diabetes Mellitus. Sultan Qaboos University Medical
Journal.2011; 11(2):179-86

Al-Rikabi, A. and Arafah, M. (2011). Tuberculosis of the Tongue Clinically


Masquerading as a Neoplasm: A Case Report and Literature Review. Oman
Medical journal, pp.267-268.

Berberi, Antoine, and Georges Aoun. Oral Lesions Associated with Human
Immunodeficiency Virus in 75 Adult Patients: a Clinical Study. Journal of
the Korean Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, vol. 43, no. 6,
2017, p. 388

Bertsias, G., Cervera, R., & Boumpas, D. T. (2012). Systemic lupus


erythematosus: pathogenesis and clinical features. EULAR textbook on
rheumatic diseases, Geneva, Switzerland: European League Against
Rheumatism, 2012, 476-505.

Bajpai S dan Pazare AR. 2010. Oral Manifestation of HIV. Contemp Clin Dent.
2010 Jan-Mar; 1(1): 1–5.

Chandran V, Raychaudhuri SP. Geoepidemiology and environmental factors of


psoriasis and psoriatic arthritis. J Autoimmun. 2010;34:J314-21
Chiang, Chun-Pin, et al. Atrophic Glossitis: Etiology, Serum Autoantibodies,
Anemia, Hematinic Deficiencies, Hyperhomocysteinemia, and
Management. Journal of the Formosan Medical Association, 2019

Chiang, C. P., Chang, J. Y. F., Wang, Y. P., Wu, Y. H., Wu, Y. C., & Sun, A.
(2019). Atrophic glossitis: etiology, serum autoantibodies, anemia,
hematinic deficiencies, hyperhomocysteinemia, and management. Journal
of the Formosan Medical Association.

Chiang, C. P., Chang, J. Y. F., Wang, Y. P., Wu, Y. C., Wu, Y. H., & Sun, A.
(2018). Significantly higher frequencies of anemia, hematinic deficiencies,
hyperhomocysteinemia, and serum gastric parietal cell antibody positivity in
atrophic glossitis patients. Journal of the Formosan Medical Association.
https://doi.org/10.1016/j.jfma.2018.07.016

Ciarocca KN., Greenberg MS., Ulcerative Vesivular and Bullous Lesions dalam
Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment ed. 10th. BC Decker
Inc.2006p. 486-490.

Correa, J. D., Branco, L. G. A., Calderaro, D. C., Mendonça, S. M. S., Travassos,


D. V., Ferreira, G. A., ... & Silva, T. A. (2018). Impact of systemic lupus
erythematosus on oral health-related quality of life. Lupus, 27(2), 283-289.

Daneshpazhooh M, MoLEShi H, Akhyani M, Etesami M. Tongue lesions in


psoriasis: a controlled study. BMC Dermatol. 2004;4:16.
De Franceschi, L., Iolascon, A., Taher, A., & Cappellini, M. D. (2017). Clinical
management of iron deficiency anemia in adults: Systemic review on
advances in diagnosis and treatment. European Journal of Internal
Medicine, 42, 16-23.
Dennis M., Bowen WT, Cho L. 2012. Mechanisms of Clinical Signs, elsevier,
Australia

Fanouriakis, A., Kostopoulou, M., Alunno, A., Aringer, M., Bajema, I., Boletis, J.
N., ... & Houssiau, F. (2019). 2019 update of the EULAR recommendations
for the management of systemic lupus erythematosus. Annals of the
rheumatic diseases, 78(6), 736-745.
Fernandes, E. G. C., Savioli, C., Siqueira, J. T. T., & Silva, C. A. A. (2007). Oral
health and the masticatory system in juvenile systemic lupus
erythematosus. Lupus, 16(9), 713-719.

Frimpong, Paul, et al. Oral Manifestations and Their Correlation to Baseline CD4
Count of HIV/AIDS Patients in Ghana. Journal of the Korean Association
of Oral and Maxillofacial Surgeons, vol. 43, no. 1, 2017, p. 29

Gandara BK, Morton TH. Non-Perodontal Oral Manifestations of Diabetes: A


Framework for Medical Care Providers.Diabetes Spectrum.2011; 24(4):199-
205

Ghabanchi J, Tadbir AA, Darafshi RD, Sadegholvad M. The Prevalence of


Median Rhomboid Glossitis in Diabetc Patients: A Case Control Study.
Iranian Red Cescent Medical Journal. 2011; 13:503-6
Ghabanchi, J., Tadbir AA., Darafshi, R., Sadegholvad, M. 2011. The Prevalence
of Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control
Study. Iran Red Crescent Med J 2011; 13(7):503-506

Ghom, 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaype Medical Brothers Publisher, New
Delhi, h. 479
Ghabanchi, J., Tadbir AA., Darafshi, R., Sadegholvad, M. 2011. The Prevalence
of Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control
Study. Iran Red Crescent Med J 2011; 13(7):503-506

Giannouli, S., Voulgarelis, M., Ziakas, P. D., & Tzioufas, A. G. (2006). Anaemia
in systemic lupus erythematosus: from pathophysiology to clinical
assessment. Annals of the rheumatic diseases, 65(2), 144-148.
Gonzaga, H. F. S., Chaves, M. D., Gonzaga, L. H. S., Picciani, B. L. S., Jorge, M.
A., & Dias, E. P. (2014). Environmental factors in benign migratory
glossitis and psoriasis : Retrospective study of the association of emotional
stress and alcohol and tobacco consumption with benign migratory
glossitis and cutaneous psoriasis, 1–4. https://doi.org/10.1111/jdv.12616
Goswami M, Verma A, Verma M. Benign migratory glossitis with fissured
tongue. J Indian Soc Pedod Prev Dent. 2012;30:173-5.

Greenberg PD et al. (2013). Autoreactivity and exceptional CDR plasticity (but


not unusual polyspecificity) hinder elicitation of the anti-HIV antibody
4E10. PLoS pathogens, 9(9), e1003639.

Gupta, Shreya. (2018). Atrophic Glossitis Burning Agony of Nutritional


Deficiency Anemia..
Harian Analisa, 27 desember 2012. 80 Persen Penderita HIV AIDS Mengalami
Candidiasis.
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/27/96525/80_persen_pen
derita_aids_alami_candidiasis/ #.UOX7u6BdvMw

Hernández-Pérez F1, Jaimes-Aveldañez A, Urquizo-Ruvalcaba Mde L, Díaz-


Barcelot M, Irigoyen-Camacho ME, et al. Prevalence of oral lesions in
patients with psoriasis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2008;13:E703-8.

Hidayat, Wahyu, et al. Oral Manifestations of Anemia in HIV/AIDS Patients


without ARV Treatment. Padjadjaran Journal of Dentistry, vol. 29, no. 1,
2017

HIV AIDS online clinic. 2012. Perjalanan Penyakit dan Respon Imunologi HIV
AIDS. http://hivaidsclinic.wordpress.com/ 2012/08/13/ perjalanan-
penyakit-danrespon-imunologi-hiv-aids/

Honarmand M, Farhad Mollashahi L, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic


Tongue and Associated Risk Factors among Iranian Dental Patients. Iran J
Public Health. 2013;42:215-9.

Ishibashi M, Tojo G, Watanabe M, Tamabuchi T, Masu T, Aiba S. Geographic


tongue treated with topical tacrolimus. J Dermatol Case Rep. 2010;4:57-9.

Jainkittivong A, Langlais RP Geographic tongue: clinical characteristics of 188


cases. J Contemp Dent Pract. 2005;6:123-35.

Johnson MA, Armstrong AW. Clinical and histologic diagnostic guidelines for
psoriasis: a critical review. Clin Rev Allergy Immunol. 2013;44:166-72.
Kanjikar S, K Shyamala, Rajkamal Malige, V V Nagaraj, Chandrakanth Chillargi,
Pramod Manthalkar (2019). Primary Tuberculous Glossitis: Report of a
Case and Review. Journal of Advanced Oral Research, 6(2): 44-48.

Kemenkes RI (2014). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Kemenkes RI (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67


Tahun 2016 tentang penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.

Khan MN (2015). Oral manifestation of tuberculosis: the role of dentist. SADJ,


70(10):434-5.

Khatibi, M., Shakoorpour, A. H., Jahromi, Z. M., & Ahmadzadeh, A. (2012). The
prevalence of oral mucosal lesions and related factors in 188 patients with
systemic lupus erythematosus. Lupus, 21(12), 1312-1315.

Kumar, Tarun, et al. Benign Migratory Glossitis: A Rare Presentation of a


Common Disorder. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and
Radiology, vol. 27, no. 1, 2015, p. 112.

Langlais RP, Miller CS. 2001. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim.
Alih bahasa. Susetyo B. Jakarta: Hipokrates. 2001: 46.

Mirowski, Ginat W., and Allison Goddard. Herpetic Geometric Glossitis in an


Immunocompetent Patient with Pneumonia. Journal of the American
Academy of Dermatology, vol. 61, no. 1, 2009, pp. 139–142

Mirza, Daud, et al. Median Rhomboid Glossitis: A Peculiar Tongue Pathology,


Report Of A Case And Review Of Literature. International Journal of
Pharmacy and Biological Sciences, vol. 6, no. 4, 2016, pp. 51–53.

Siregar et al. 2016. Buku Ajar HIV dan AIDS. UNRI Press

Suyoso, S. 2011. Kandidiasis mukosa. http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id

Goel, A., Bakshi, S. S., Soni, N., & Chhavi, N. (2017). Iron deficiency anemia
and Plummer-vinson syndrome: Current insights. Journal of Blood Medicine,
8, 175–184. https://doi.org/10.2147/JBM.S127801

Halim, N., Kalkur, C., Padmashree, S., & Rangare, A. L. (2018). Case Report
Diagnosis of Iron Deficiency Anemia through Oral Manifestation-A Case
Report. JOJ Case Stud, 7(5), 10–12.
https://doi.org/10.19080/JOJCS.2018.07.555724

Jinyoung Choi, Kim, S. T., & Craft, J. (2013). NIH Public Access, 24(6), 651–
657. https://doi.org/10.1016/j.coi.2012.10.004.The

Johnson Wimbley, T. D., & Graham, D. Y. (2011). Diagnosis and management of


iron deficiency anemia in the 21st century. Therapeutic Advances in
Gastroenterology, 4(3), 177–184.
https://doi.org/10.1177/1756283X11398736

Lu, S. Y. (2016). Perception of iron deficiency from oral mucosa alterations that
show a high prevalence of Candida infection. Journal of the Formosan
Medical Association. https://doi.org/10.1016/j.jfma.2016.03.011

Ladizinski B, Lee KC, Wilmer E, Alavi A, Mistry N, Sibbald RG. A review of the
clinical variants and the management of psoriasis. Adv Skin Wound Care.
2013;26:271 84.
Langlais RP, Miller CS. 2001. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim.
Alih bahasa. Susetyo B. Jakarta: Hipokrates. 2001: 46.

Leslie D, Nancy WB. In: Koger B, Dietz K, Bradshaw N, Aiello G, editors


(2008). General and Oral Pathology for the Dental Hygienist. Philadelphia,
PA: Lippincotte Williams and Wilkins, 243(5)
Longo, D. L., & Camaschella, C. (2015). Iron-deficiency anemia. N Engl J Med,
372(19), 1832-1843.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (2001).
Kapita selekta kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.
Migliari DA, Penha SS, Marques MM, Matthews RW. Considerations on the
diagnosis of oral psoriasis: a case report. Med Oral. 2004;9:300-3.

Nam, S., Chesla, C., Stotts, N. A., Kroon, L., & Janson, S. L. (2011). Barriers to
diabetes management: patient and provider factors. Diabetes research and
clinical practice, 93(1), 1-9.

Nemes RM, Ianosi ES (2015). Tuberculosis of the oral cavity. RJME, 56(2).
Nunes-Alves C, Booty MG, Carpenter SM, Jayaraman P, Rothchild AC, Behar
SM (2014). In search of a new paradigm for protective immunity to TB. Nat
Rev Microbiol., 12(4): 289 – 299.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011). Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006). Konsensus Pengelolaan Diabetes


Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015). Konsensus Pengelelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Picciani BL, Silva-Junior GO, Michalski-Santos B, Avelleira JC, Azulay DR,


Pires FR, et al. Prevalence of oral manifestations in 203 patients with
psoriasis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2011;25:1481-3.
Picciani, B. L., Domingos, T. A., Teixeira-Souza, T., Santos, V., Gonzaga, H. F.,
Cardoso-Oliveira, J., Carneiro, S. (2016). Geographic tongue and psoriasis:
clinical, histopathological, immunohistochemical and genetic correlation - a
literature review. Anais brasileiros de dermatologia, 91(4), 410–421.
doi:10.1590/abd1806-4841.20164288
Pindborg Jens J. 2009. Kanker dan Prakanker Rongga Mulut. Alih bahasa: Lilian
Yuwono. Jakarta: EGC.
Prem PG, Sanjay F, Dipti A, Pradeep S (2007). Primary tuberculosis glossitis in
an immune competent patient. Hong Kong Med J, 13(4): 330-31.
Ram H, Kumar S, Mehrotra S, Mohommad S (2012). Tubercular ulcer:
mimicking squamous cell carcinoma of buccal mucosa. J Maxillofac Oral
Surg.,11(1):105-8.

Raut AS, Prabhu RH, Patravale VB. Psoriasis clinical implications and treatment:
a review. Crit Rev Ther Drug Carrier Syst. 2013;30:183-216.

Rees, F., Doherty, M., Grainge, M. J., Lanyon, P., & Zhang, W. (2017). The
worldwide incidence and prevalence of systemic lupus erythematosus: a
systematic review of epidemiological studies. Rheumatology, 56(11), 1945-
1961.

Saini R, Al-Maweri SA, Saini D, Ismail NM, Ismail AR. Oral Mucosal Leions in
Non Oral Habit Diabetic Patients and Association of Diabetes Mellitus with
Oral Precancerous Lesions. Diabetes Research and Clinical
Practice.2010;89:320-6

Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., &
Syam, A. F. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
Setter, S. M., Iltz, J. L., Thams, J., & Campbell, R. K. (2003). Metformin
hydrochloride in the treatment of type 2 diabetes mellitus: a clinical
review with a focus on dual therapy. Clinical therapeutics, 25(12), 2991-
3026.
Sezer B, Zeytinoglu M, Tuncay U, Unal T. 2014. Oral mucosal ulceration: a
manifestation of previously undiagnosed pulmonary tuberculosis. J Am Dent
Assoc Mar;135(3):336-340

Shavit, Gavish. (2011). Glossitis – Definition, Symptoms, Causes, Diagnosis and


Treatment. Taqwa. 2009. Kelainan Lidah.
Sinha P, Gupta A, Prakash P, Anupurba S, Tripathi R, Srivastava GN (2016).
Differentiation of Mycobacterium tuberculosis complex from non-tubercular
mycobacteria by nested multiplex PCR targeting IS6110, MTP40 and 32kD
alpha antigen encoding gene fragments. BMC Infectious Diseases, 16 (123):
1-10.

Smrati Bajpai, AR Pazare. 2010. Oral manifestations of HIV. Department of


General Medicine,Seth GS Medical College and KEM Hospital, Parel,
Mumbai, India
Soegondo, S. (2006). Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus
Tipe 2. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Sridevi, P., Munisekhar, M. S., Harika, C. H., & Rama Krishna, A. (2012). Oral
manifestations of autoimmune diseases. Int J Oral Maxillofac Pathol, 3, 27-
33.
Sudoyo Aru.W, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, Jilid III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Suyono S. (2007) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Hal 7-14
Suyoso, S. 2011. Kandidiasis mukosa. http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id

Swarup, N., Gupta, S., Sagolsem, C., Chowdhary, Z., Gupta, S., & Sinha, N.
(2017). Atrophic Glossitis Burning Agony of Nutritional Deficiency Anemia.
World Journal of Anemia, 1(2), 48–50.

Tahara, T., Shibata, T., Okubo, M., Yoshioka, D., Ishizuka, T., Sumi, K., …
Hirata, I. (2014). A case of plummer-vinson syndrome showing rapid
improvement of dysphagia and esophageal web after two weeks of iron
therapy. Case Reports in Gastroenterology, 8(2), 211–215.
https://doi.org/10.1159/000364820
Taqwa. 2009. Kelainan Lidah.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001053.html
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting: khasiat, penggunaan dan
efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo.
Treister NS, Bruch JM (2010). Clinical oral medicine and pathology. New York:
Humana Press. p. 149. ISBN 978-1-60327-519-4.
Verma AK, Joshi1 A, Mishra AR, Singh A, Kumari M, Kant S (2018). Tongue
Tuberculosis : A Rare Entity. Sahel Medical Journal, 20(4) :202-204

Warner, M. J., & Kamran, M. T. (2019). Anemia, Iron Deficiency.

Wu, Y.-C., Wang, Y.-P., Chang, J. Y.-F., Cheng, S.-J., Chen, H.-M., & Sun, A.
(2014). Oral manifestations and blood profile in patients with iron deficiency
anemia. Journal of the Formosan Medical Association, 113(2), 83–87.
https://doi.org/10.1016/j.jfma.2013.11.010

Wu, Y. C., Wu, Y. H., Wang, Y. P., Chang, J. Y. F., Chen, H. M., & Sun, A.
(2016). Hematinic deficiencies and anemia statuses in recurrent aphthous
stomatitis patients with or without atrophic glossitis. Journal of the
formosan medical association, 115(12), 1061-1068.

Zadik Y, Drucker S, Pallmon S. Migratory stomatitis (ectopic geographic tongue)


on the floor of the mouth. J Am Acad Dermatol. 2011;65:459-60.

Anda mungkin juga menyukai