Anda di halaman 1dari 22

PARASTESIA

1. JESSICA EVELYN KOSASIH 20170720124


2. JESSICA VELISIA 20170720125
3. KANDARANI THOMSEN ADI 20170720126
4. KORNELIUS M.F. NABEN 20170720127
5. KYAGUS BADIUS SANI 20170720128
6. LOUYS MAY FERNANDO 20170720129
7. LUSI SUSANTI 20170720130
8. MAYA ADISTI GUNAWAN 20170720131
9. MUHAMMAD FIRDAN RESALDI 20170720132
DEFINISI

 Suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa terbakar dari kulit tanpa adanya stimulus yang jelas dan
salah satu manifestasi klinis adanya sensasi yang tidak normal, hal ini terjadi akibat adanya perubahan
sensasi pada sistem saraf perifer, dapat bersifat sementara atau menetap.
 Parestesi disebabkan oleh cedera saraf yang dapat mengenai N. alveolaris inferior, N. lingualis, N.
bukalis, N. milohyoideus dan N. mentalis. Cabang – cabang saraf tersebut mempunyai fungsi sensoris.
Pada suatu waktu, pasien merasa kebas (beku) selama beberapa jam setelah pemberian anestesi lokal,
yang terjadi pada bagian – bagian wajah tertentu seperti bibir, gusi, ujung lidah atau dagu. Hal ini tidak
menjadi masalah, namun ketika parestesia tetap ada selama beberapa hari, minggu bahkan bulan, akan
menjadi masalah.
ETIOLOGI

 Trauma pada saraf


 Penyebab timbulnya parestesi secara umum adalah karena trauma yang mengenai saraf. Injeksi
larutan anestesi lokal yang terkontaminasi alcohol atau larutan sterilisasi, menimbulkan edema dan
peningkatan tekanan pada region saraf, mengakibatkan parestesi. Bahan – bahan kontaminan,
terutama alcohol, bersifat neurolitik dan dapat menghasilkan trauma jangka panjang terhadap saraf
(parestesi bisa berlangsung selama beberapa bulan atau tahun).
 Trauma pada selebung saraf dapat dihasilkan oleh jarum sewaktu injeksi dilakukan. Pasien
melaporkan adanya sensasi kejutan listrik selama distribusi pada saraf yang terlibat. Trauma seperti
ini paling sering berhubungan dengan ekstraksi, terutama apabila anatomi gigi ataupun posisi N.
Alveolaris inferior sangat dekat oleh akar gigi posterior mandibula
 Penyebab lain terjadinya parestesi dapat disebabkan perdarahan kedalam atau disekitar selubung
saraf. Adanya perdarahan dapat meningkatkan tekanan pada saraf, sehingga menimbulkan
parestesi. Hal – hal lain dapat disebabkan karena:
1. Insisi yang luas sampai ke formaen mentalis dan vestibulum lingualis
2. Pembuangan tulang dengan bur tanpa adanya irigasi menyebabkan sensasi panas berlebih oleh
saraf yang dekat dengan tulang
3. Akar gigi molar ketiga bawah yang menembus kanalis mandibularis
4. Tekanan yang berlebihan pada jaringan lunak yang dijahit terlalu kencang
 Akibat perawatan ortodonti
 Hal ini terjadi pada kasus maloklusi klas III dimana akar distal molar dua kiri bawah letaknya dekat
atau kontak dengan kanalis mandibula
 Akibat perawatan saluran akar
 Parestesia dapat berasal dari bedah periapkial, over instrument, iritasi dari obat – obatan saluran
akar, pengisian bahan saluran akar yang berlebih.
 Kerusakan sistem saraf pusat atau perifer
 Hal ini disebabkan karena adanya gangguan atau kerusakan metabolism seperti pada diabetes
mellitus, hipotiroid, kekurangan vitamin B12.
PATOFISIOLOGI

 Kerusakan saraf dan gejala klinis secara fisiologis menurut (Seddon dan Sunderland)
kerusakan saraf dapat di bagi kedalam tiga kelompok besar yaitu:
 Neuropraksia
 Aksonotmesis
 Neurotmesis
 Neuropraksia
 Kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson. Dalam hal ini terdapat gangguan p
enghantaran impuls yang bersifat sementara. Prognosanya baik, karena perbaikan fung
si sensoris terjadi secara spontan, cepat dan sempurna. Perbaikan paling lambat berlan
gsung selama 4 minggu. Kerusakan saraf ini terjadi akibat gangguan pada selubung miel
in sedangkan akson tidakrusak. Penyebabnya dapat berupa tekanan tumpul, peradanga
n disekeliling saraf atau jaringangranulasi.
 Aksonotmesis
 Kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi kehilangan kontinuitas akson tetapi
selubung endonerium tetap utuh. Sehingga diperlukan regenerasi akson dalam proses
perbaikannya. Proses perbaikan biasanya berlangsung cukup lama dapat terjadi 2
sampai 6 bulan, tetapi fungsi sensoris dapat kembali secara sempurna. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh kompresi yang panjang atau adanya iskemi lokal yang
mengganggu mielin dan akson.
 Neurotmesis
 Kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf terputus.
Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensasi
biasanya bersifat menetap. Keadaan ini biasanya disebabkan trauma benda tajam.
 Mekanisme terjadinya parestesia sebagai respon terhadap kerusakan saraf perifer dapat dijelaskan mela
lui proses Wallerian Degeneration bahwa kerusakan anatomi saraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuh
an ringan saja dapat menimbulkan kelainan sensasi.
 Pada sistem saraf perifer, jika terjadi kerusakan maka ujung akson pada sisi distal akan mengalami degen
erasi. Makrofag akan bermigrasi untuk melaksanakan fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-
benda asing di daerah kerusakan. Sel-sel Schwan tidak berdegenerasi tetapi berproliferasi dan berubah
membentuk sel yang solid menyerupai bentuk sel yang asli seperti sel-sel schwan pada akson bagian pr
oksimal. Kemudian akson distal sebagai akson baru yang dibungkus oleh sel-sel Schwan, akan masuk da
n bersatu dengan akson proksimal. Jika pembentukan berlangsung terus secara normal maka akan terb
entuk akson baru yang akan menghubungkannya dengan sinaps. Dengan terbentuknya kembali selubung
akson maka peristiwa penghanteran impuls akan kembali normal. Selama fase regenerasi didaerah keru
sakan maka peristiwa penghantaran impuls tidak sebaik sebagaimana mestinya.
JURNAL 1 - ASSESMENT OF NERVE INJURIES AFTER SURGICAL REMOVAL
OF MANDIBULAR THIRD MOLAR: PROSPECTIVE STUDY

Jurnal ini mengambil data berasal dari 147 pasien yang datang ke Departemen Bedah Oral dan Maxillofacial Swargiya
Dadasaheb Kalmegh Smurti Dental College & Hospital, Nagpur, yang melakukan ekstraksi bedah pada impaksi molar
tiga rahang bawah. Prediksi variabel preoperative diambil dari nama, umur, jenis kelamin, and tipe impaksinya.
Postoperativenya assesmennya dilakukan 1 minggu setelah odontektomi dan pada saat pengambilan jahitan untuk
melihat parestesia/anestesia dengan menanyakan tentang lidah, dagu, dan sensitifitas bibir dengan melakukan tes
neurosensori seperti 2-point discrimination, pinprick dan tekanan ringan. Pasien dengan gangguan neurosensori
dievaluasi selama 6 bulan.
METODOLOGI

Pada saat pasien melakukan visit post operative,


setiap pasien ditanyakan secara spesifik
mengenai apakah ada perbedaan pada bibir
bawah dan dagu pada bagian yang di operasi
dan yang tidak dioperasi. Pasien juga
ditanyakan tentang apakah ada kejadian bibir
tergigit secara tidak sengaja, air liur mengarlir
di dagu, dan sensasi terbakar, sakit, ataupun
kesemutan.
METODOLOGI

 Test yang dilakukan adalah yang pertama, 2 point


Discrimination Test (TPD) menggunakan probe yang
ditarik sepanjang permukaan kulit atau mukosa pada
2 titik dengan tekanan yang konstan dan pasien
ditanyakan apakah terasa hanya 1 atau 2 titik. Kedua,
pin prick test (PP) menggunakan dental probe yang
tajam diaplikasikan pada permukaan kulit dengan
gerakan menusuk yang cepat pada beberapa area.
Pada setiap area dilakukan gerakan menusuk
sebanyak 3 kali bilateral dan pasien ditanyakan apakah
ada perbedaan pada setiap area (lidah, mukosa, bibir,
dan kulit pada dagu). Ketiga, Light Touch Assesment
(LT) menggunakan sentuhan ringan cotton stick di
area kulit dan pasien dievaluasi.
HASIL

 Dari 147 pasien, 95 adalah laki - laki dan 52 perempuan. Batasan umur pasien mulai dari 15 sampai 57 tahun
dengan rata - rata 26,3 tahun. Dari itu semua, 62 (42,1%) pasien dengan tipe impaksi mesioangular, 37 (25,1%) tipe
impaksi horizontal, 36 (24,4%) tipe impaksi vertikal, 10 (6,8%) tipe impaksi distoangular, 1 (0,68%) tipe impaksi
linguoversi.
 Parestesia pada nervus lingual hanya ditemukan pada 2 pasien saja (1,36%) dari 147 kasus dan tipe impaksinya
adalah horizontal kelas 2, posisi C dan distoangular kelas 2, posisi A. Parestesia pada nervus inferior alveolar
ditemukan pada 1 pasien (0,86%) yang tipe impaksinya mesioangular kelas 2.
JURNAL 2 - TRANSIENT PARESTHESIA AFTER SURGICAL
REMOVAL OF EMBEDDED SUPERNUMERARY TOOTH

 Pasien laki - laki berumur 19 tahun datang ke Universitas SEGI oral health center fakultas kedokteran gigi pada
bulan November 2014. Pasien mengeluhkan adanya rasa sakit yang sangat mengganggu pada bagian mandibular
bawah kanan gigi premolar. Pada pemeriksaan klinis ditemukan ruang pulpa pada gigi premolar kedua bawah terbuka
akibat gigi tersebut tambalannya sudah rusak. Pasien dirujuk ke endodontist untuk dilakukan perawatan saluran akar.
METODOLOGI

 Setelah menjalani foto radiografi periapikal


secara rutin pada perawatan saluran akar
ditemukan pada bagian apikal premolar kedua
rahang bawah kanan dan molar pertama rahang
bawah kanan terdapat gigi yang supernumerary
/ gigi yang berlebih. Setelah itu pasien di rujuk
ke ahli bedah mulut pasa SEGi oral health
center. Pasien tersebut dievaluasi menggunakan
orthopantomograph (OPG)
METODOLOGI

 Setelah itu ahli bedah dan endodontist menetapkan beberapa rencana perawatan secara bersama - sama. Tahap
pertama perawatan dilakukan perawatan saluran akar pada gigi premolar 2 rahang bawah kanan dengan restorasi
amalgam. Pada visit kedua dilakukan apicoectomy dengan retrograde filling dan pengambilan dengan cara bedah pada
gigi supernumerary. Pada hari operasi pengambilan tersebut diberikan 1gr amoxicilin, 200gr metronidazole, dan
500mg asam mefenamat secara oral satu jam sebelum operasi untuk mencegah infeksi postoperative dan
mengurangi rasa sakit setelah operasi.
HASIL
1. Post operative Hari-1 (POD 1)
Pasien merasa kebas pada bagian kanan dagu dan bagian
kanan dari kulit bawah bibir. Pasien tidak mempunyai
riwayat penyakit sistemik, tidak ada medical history
apapun, dan tidak ada alergi. Pemeriksaan klinis ekstra
oral menunjukkan tidak ada pembengkakan atau
limfadenopati di daerah tersebut. Pemeriksaan klinis
intra oral menunjukkan area insisi tersebut tidak ada
tanda - tanda infeksi ataupun inflamasi.
Pasien dievaluasi secara radiografi dengan OPG dan
menunjukkan adanya gambaran soket pada gigi
supernumerary yang dekat dengan foramen mentale.
Selain itu, atap kanal nervus inferior terlihat terputus.
Pasien diinformasikan dengan keadaan tersebut yang
menyebabkan adanya rasa kebas pada bagian tersebut
dan menunggu sampai kondisi nya membaik
HASIL

2. Post operative Hari-7


Pasien merasa sensasi tersebut kembali normal dan
menyebar ke kulit dan mukosa bibir, mulai dari proksimal
hingga ke bagian tengah. Setelah 6 bulan dari hari operasi
tersebut pasien merasa lebih nyaman dari visit yang
terakhir dengan tidak ada keluhan maupun gejala dari
parestesia nervus mentale sebelumnya. Selain itu pada
radiografi menunjukkan adanya regenerasi tulang.
TERAPI PARASTESIA

 Dalam kebanyakan kasus, parastesia pada pasien akan sembuh sendiri dari waktu ke waktu, dengan
jarak waktu dari beberapa hari, bulan hingga lebih setahun. Dalam beberapa kasus, terdapat pasien yang
mengalami kehilangan sensoris sebagian maupun sepenuhnya, yang bersifat permanen.
PERAWATAN PADA PARASTESIA YANG PERMANEN
 Testing dan Mapping- Menetapkan dasar sebagai pembanding
Aspek penting dalam mengelola dan merawat parastesia pasien meliputi pendokumentasian jenis, tingkat dan meluasnya
efek yang telah disadari.
 Obat-obatan
Obat anti inflamasi: penggunaan obat ini mengkontrol reaksi inflamasi yang terjadi pada saraf yang injured/cedera yang
cenderung dapat menghambat pemulihannya (pembengkakan jaringan saraf, gangguan saraf yang melibatkan mikrosirkulasi)
Adrenokortikosteroid: penggunaan adrenokortikosteroid lebih awal pada pasien yang mengalami cedera dapat
meminimalisir beberapa jenis neuropati pada saat proses penyembuhan, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih baik.
 Surgical repair
Keputusan dalam pembedahan dan penentuan waktunya tergantung pada sifat perubahan sensorik yang dialami dan
dievaluasi kembali oleh dokter bedah mulut.
Juodzbalys G, et al. Injury of the Inferior Alveolar Nerve during Implant Placement: a Literature Review.

Anda mungkin juga menyukai