Dosen Pengampu :
Astika Nur Rohmah, S. Kep, Ns. M. Biomed
Disusun Oleh:
1. Haikal Asa M 2011604086 8. Kurnia Dwi 2011604093
2. Devi Anggita 2011604087 9. Wulandari 2011604094
3. M. Rizqullah 2011604088 10. Nayla Ulfah 2011604095
4. Agya Dhia P 2011604089 11. Queina Rumaysa 2011604096
5. Ayu Astari 2011604090 12. Elsa Aulya P 2011604097
6. Siti Rahmawati 2011604091 13. Hajutri Prehatin 2011406098
7. Faradillah 2011604092 14. Desi Aprilianti 2011604099
15. Nurul Qalbi 2011604100
B. Klasifikasi
1) Anestesi Spinal
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4
atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulit
subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda
dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis
(LCS). Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi
abdomen bawah dan ekstermitas bawah.
2) Anestesi Epidural
Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).
Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan bagian bawah dengan
selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di bagian posterior
kedalaman maksimal terletak pada daerah lumbal. Anestetik lokal di ruang epidural
bekerja langsung pada saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Onset kerja
anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade sensoris
dan motoriknya lebih lemah.
3) Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale,
dan kantong dura. Teknik ini biasanya dilakukan pada pasien anakanak karena
bentuk anatominya yang lebih mudah ditemukan dibandingkan daerah sekitar
perineum dan anorektal, misalnya hemoroid dan fistula perianal.
C. Indikasi
Semua pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan
dokter anestesia maupun tindakan anestesia.
D. Kontra Indikasi
Kontra Indikasi Anestesi Regional Dengan Subarachnoid Block :
a. Absolut.
1) Pasien menolak.
2) Syok.
3) Infeksi kulit didaerah injection.
b. Relatif.
1) Gangguan faal koagulasi
2) Kelainan Tulang belakang
3) Peningkatan TIK
4) Pasien tidak kooperatif
Kontra Indikasi Kombinasi Anestesi Umum Dengan Dan Anestesi Regional Dengan
Epidural :
a. Absolut.
1) Pasien menolak.
2) Infeksi kulit didaerah injection.
b. Relatif.
Gangguan faal koagulasi.
E. Teknik
Teknik anestesi untuk pembedahan ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan
anestesia total atau regional. Teknik anestesia regional dibedakan menjadi blok neuroaksial
dan blok syaraf perifer. Blok neuroaksial akan membuat anestesia pada kedua ekstremitas,
sedangkan blok syaraf perifer akan membuat anestesia pada salah satu ekstremitas. Hal ini
bisa memberikan keuntungan tingkat anestesia sesuai kebutuhan daerah operasi saja.
Teknik anestesia blok syaraf perifer membutuhkan pemahaman anatomi syaraf perifer dan
obat lokal anestesia. Teknik ini telah digunakan pada banyak prosedur operasi tanpa disertai
gangguan fungsi sistem syaraf outonom. Semua tindakan teknik anestesia periter blok harus
dilaksanakan secara steril untuk mencegah komplikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan
kepercayaan diri yang “normal”, tidak boleh terlalu pesimis atau optimis.
F. Komplikasi
Seperti prosedur medis lainnya, ada resiko komplikasi dengan penggunaan tehnik
anestesi regional juga bisa terjadi. Komplikasi atau efek samping dapat terjadi, meskipun
telah di persiapkan serta dikerjakan dengan cara dimonitor secara hati-hati. Komplikasi
Anestesi regional dapat dilakukan tindakan pencegahan khusus untuk menghindarinya.
Untuk membantu mencegah penurunan tekanan darah, cairan dapat diberikan secara
intravena.
Meskipun tidak umum, sakit kepala dapat berkembang menjadi salah satu
komplikasi pada prosedur blok spinal atau subarachnoid blok.
Dengan perkembangan diameter jarum serta tehnik sementara jarum ditempatkan,
cara ini dapat mambantu mengurangi kemungkinan sakit kepala. Area di mana blok saraf
diberikan mungkin sakit selama beberapa hari namun dengan diberikan istirahat secara
berbaring, ketidaknyamanan ini, sering menghilang dalam beberapa hari dengan sendirinya.
Jika hal ini tidak menghilang atau bahkan semakin parah, perawatan komplikasi harus
segera diberikan dengan benar. Pada Epidural tehnik anestesi sering beresiko terjadi
komplikasi perdarahan di ruang epidural, hal ini akibat pembuluh darah di ruang epidural
sangat banyak di mana blok saraf epidural diberilan beresiko bahwa obat anestesi yang
disuntikkan dapat masuk ke dalam pembuluh darah dan berakibat komplikasi. Untuk
menghindari reaksi komplikasi tersebut segera lihat tanda-tanda pusing, detak jantung cepat,
rasa kesemutan atau mati rasa di sekitar mulut pasien.
Blok saraf pleksus brakialis mungkin akan terjadi komplikasi seperti mengalami perubahan
ukuran pupil pada sisi yang terkena, ini disebut sindrom Horner, juga mungkin mengalami
penurunan visus mata Anda (karena ptosis). Ini adalah reaksi yang normal yang biasanya
hilang. setelah blok saraf hilang. Juga mungkin akan mengalami hidung tersumbat dan
mungkin mengalami tingkat tertentu suara serak.
Urutan keparahan dari komplikasi utama anestesi regional.
A. Pengertian
DM merupakan penyakit metabolik yang terjadi oleh interaksi berbagai
faktor: genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup. Diabetes mellitus adalah
suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin progresif dilatar
belakangi oleh resistensi insulin. Pernyataan ini selaras dengan IDF (2017) yang
menyatakan bahwa diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang terjadi saat
meningkatnya kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak mampu memproduksi
banyak hormon insulin atau kurangnya efektifitas fungsi insulin. Menurut American
Diabetes Association (ADA) diabetes sangatlah kompleks dan penyakit kronik yang
perlu perawatan medis secara berlanjut dengan strategi pengontrolan indeks glikemik
berdasarkan multifaktor resiko. Ada beberapa tipe DM salah satunya DM tipe 2.
B. Klasifikasi
Organisasi profesi yang berhubungan dengan Diabetes Melitus seperti
American Diabetes Association (ADA) telah membagi jenis Diabetes Melitus
berdasarkan penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai organisasi yang sama di
Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar yang sama seperti klasifikasi yang
dibuat oleh organisasi yang lainnya (Perkeni, 2015). Klasifikasi Diabetes Melitus
berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1 Diabetes Melitus yang terjadi karena kerusakan atau
destruksi sel beta di pancreas kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang
terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2 Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 seperti yang diketahui
adalah resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara
optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin
juga dapat terjadi secara relatif pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dan sangat mungkin
untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM) tipe lain Penyebab Diabetes Melitus tipe lain sangat bervariasi.
DM tipe ini dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, efek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan
imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus.
d. Diabetes melitus Gestasional adalah diabetes yang muncul pada saat hamil. Keadaan ini
terjadi karena pembentukan beberapa hormone pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi
insulin (Tandra, 2018).
C. Etiologi
Insulin basal (insulin alami yang dikeluarkan pankreas) biasanya normal, tetapi
pelepasan insulin secara cepat dan jumlah banyak setelah makan menjadi pokok
permasalahan karena menyebabkan kegagalan metabolisme karbohidrat secara normal.
Beberapa data menunjukkan adanya pola cacat sekresi insulin diwariskan, kondisi ini
bertanggung jawab untuk kecenderungan keluarga Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) turun-
temurun. Faktor genetik sangat kuat pada Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2), dengan riwayat
diabetes hadir di sekitar 50% dari keluarga tingkat pertama.
Suatu tindak defek pada respon jaringan terhadap insulin diyakini memainkan peran
utama dalam etiologi Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2). Fenomena ini disebut resistensi
insulin dan disebabkan oleh reseptor insulin yang rusak pada sel target. Resistensi insulin
biasanya dihubungkan dengan obesitas dan kehamilan.
Pada individu normal yang mengalami obesitas atau hamil, sel Beta mensekresikan
jumlah besar insulin untuk mengkompensasi. Pasien yang memiliki kerentanan genetik atas
diabetes, tubuh mereka tidak dapat mengkompensasi karena cacat bawaan pankreas dalam
sekresi insulin.
D. Anatomi Fisiologi
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan
terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau Langerhans. Dalam pulau langerhans
jumlah sel beta normal pada manusia antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau
Langerhans. Pankreas berwarna putih keabuan hingga kemerahan.Organ ini merupakan
kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan
eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase dan lipase,
sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon
dan somatostatin (Dolensek, Rupnik & Stozer,2015).
Pulau Langerhans mempunyai 4 macam sel yaitu (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015) :
a. Sel Alfa sekresiglukagon
Gambar 2.1
AnatomiPankreas&HistologiPulau Langerhans
c. Sel Delta sekresisomatostatin
d. SelPankreatik
Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau Langerhans menyebabkan
pengaturan secara langsung sekresi hormon dari jenis hormon yang lain. Terdapat
hubungan umpan balik negatif langsung antara konsentrasi gula darah dan kecepatan
sekresi sel alfa, tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada
sel beta. Kadar gula darah akan dipertahankan pada
nilainormalolehperanantagonishormoninsulindanglukagon,akantetapihormon
somatostatin menghambat sekresi keduanya (Dolensek, Rupnik & Stozer,2015).
Insulin
Insulin (bahasa latin insula, “pulau”, karena diproduksi di pulau-pulau Langerhans
di pankreas) adalah sebuah hormon yang terdiri dari 2 rantai polipeptida yang mengatur
metabolisme karbohidrat (glukosa glikogen). Dua rantai dihubungkan oleh ikatan
disulfida pada posisi 7 dan 20 dirantai Ada posisi 7 dan 19 di rantai B
Fisiologi Pengaturan Sekresi Insulin
Peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh akan menimbulkan respons tubuh
berupa peningkatan sekresi insulin. Bila sejumlah besar insulin disekresikan oleh
pankreas, kecepatan pengangkutan glukosa ke sebagian besar sel akan meningkat
sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan kecepatan tanpa adanya sekresi
insulin. Sebaliknya jumlah glukosa yang dapat berdifusi ke sebagian besar sel tubuh
tanpa adanya insulin, terlalu sedikit untuk menyediakan sejumlah glukosa yang
dibutuhkan untuk metabolisme energi pada keadaan normal, dengan pengecualian di sel
hati dan sel otak.
(The New Zealand Institute of Health and Fitness, 2007)
Gambar 2.2
Mekanisme Insulin DalamMenyimpanGlukosa Darah keDalamSel
Pada kadar normal glukosa darah puasa sebesar 80-90mg/100ml, kecepatan sekresi
insulin akan sangat minimum yakni 25mg/menit/kg beratbadan. Namun ketika glukosa darah
tiba-tiba meningkat 2-3 kali dari kadar normal maka sekresi insulin akan meningkat yang
berlangsung melalui 2 tahap (Guyton&Hall,2012)
1. Ketika kadar glukosa darah meningkat maka dalam waktu 3-5 menit kadar
insulin plasama akan meningkat 10 kali lipat karena sekresi insulin yang sudah
terbentuk lebih dahulu oleh sel-sel beta pulau langerhans. Namun, pada menit
ke 5-10 kecepatan sekresi insulin mulai menurun sampai kira- kira setengah
dari nilainormalnya.
2. Kira-kira 15 menit kemudian sekresi insulin mulai meningkat kembali untuk
kedua kalinya yang disebabkan adanya tambahan pelepasaninsulin
E. Fisiologi
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh
jaringan prifer tergantung dari keseimbangan fisiologi beberapa hormon antara lain:
1. Hormon yang dapat merendahkan kadar gula darah yaitu insulin. Kerja insulin yaitu
merupakan hormon yang menurunkan glukosa darah dengan cara membantu glukosa darah
masuk kedalam sel.
2. Hormone yang meningkatkan kadar gula darah Antara lain :
a) Glucagon yang disekresi oleh sel alfa pulau Langerhans
b) Epinefrin yang disekresikan oleh mesulla adrenal dan jaringan kromafin.
c) Glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal.
d) Growt hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterioir. Glucagon, epinefrin,
glukokortikoid, dan growth hormone membentuk suatu mekanisme counferregulator
yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin.
F. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena
sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas
dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B
langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-
sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
resistensi insulin dan defisiensi insulin.
G. Manifestasi Klinis
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan frekuensi buang
air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan
merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit
berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin
tinggi pada golongan anak-anak dan remaja.
Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja, jika
glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram, maka dikerubuti
oleh semut yang merupakan tanda adanya gula (Smeltzer & Bare, 2002).
H. Komplikasi
Komplikasi akut terjadi apabila kadar glukosa darah seorang meningkat atau menurun
tajam dalam waktu yang singkat (Anonim, 2001). Komplikasi kronik terjadi apabila kadar
glukosa darah secara berkeoanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga menimbulkan
berbagai komplikasi kronik diabetes melitus (Perkeni, 2006)
1. Komplikasi Akut
Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State(HHS) adalah
komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi
defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat,
sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara
berlebihan.Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis
metabolik.Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta- hidroksibutirat
(3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding
natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). Seperti hipoglikemia dan
hiperglikemia.
2. Komplikasi Kronik
Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem
organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan
nonvaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan
nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit
serebrovaskular).Sedangkan komplikasi nonvaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan
perubahan kulit (Powers, 2010). Komplikasi seperti makroangiopati (makrovasuler) yaitu
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah kaki, dan penyakit pembuluh darah di otak
(Waspadji, 2004).
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Gula Darah Puasa (GDP) 115 mg/dl < 100 mg/dl
2 Jam PP (2jpp) 217 mf/dl 80 – 140 mg/dl
J. Penatalaksanaan Medis
penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien yang menderita diabetes mellitus antara lain :
I. Diet
Tujuan pemberian diet :
-Memberikan semua unsur makanan esensial.
-Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
-Memenuhi kebutuhan energi
-Mencegah fruktuasi kadar glukosa darah setiap hari dengan mnegupayakan kadar glukosa darah
-Mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
-Menurunkan kadar lemak darah jika meningkat.
Perencanaan diet berupa makanan yang akan dilakukan kepada pasie DM yaitu :
a. Pemenuhan kebutuhan kalori
Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahahnkan berat badan
yang sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah. Bekerjasama dengan ahli diet dalam
mengkaji kebiasaan makan pasien dan mencapai tujuan yang realistis. Pada distribusi kalori
harus difokuskan persentase kalori berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein
c. Lemak
Berupa rekomendasi tentang kandungan lemak dalam diet diabetes.
d. Protein
Mencakup penggunaan makanan sumber protein nabati untuk mengurangi asupan lemak
tak jenuh dan kolesterol.
e. Serat makanan
Penamahan banyak serat kedalam rencana makan.
f. Alkohol
Mengurangi konsumsi alkohol yang berlebihan. Dalam penatalaksanaan diet kepada
pasien perlu menggunakan Sistem klasifikasi makanan, makanan dikelompokkan berdasarkan
ciri-ciri yang sama seperti jumlah kalori dan komposisi makanan. Selain itu juga diperlukan
adanya daftar makanan pengganti sebagai pedoman untuk pasien, piramida makanan, indeksi
glikemik dan juga keterangan mengenai bahan pemanis dan label makanan
Selain itu, penyuluhan/pendidikan mengenai diet kepada pasien ditujukan pada pentingnya
konsistensi atau kontinuitas pada kebiasaan, hubungan antara makanan dan insulin dan adanya
rencanan makan yang sesuai kebutuhan. Perawat memegang peranan penting dalam
mengkomunikasikan informasi yang tepat kepada ahli diet dan pemahaman pasien
B. Indikasi
Pada pasien dengan diabetes, aliran darah ke kaki tidak berjalan dengan baik. Akibatnya,
luka akan lebih sulit sembuh. Tingginya kadar gula darah juga akan meningkatkan risiko infeksi
pada luka Luka kaki diabetik ditandai dengan rusaknya jaringan kulit, sehingga jaringan di
bawah kulit akan tampak dan menjadi borok tujuan pengangkatan luka ini mencegah luka borok
diabetes memburuk sekaligus menghindari amputasi
C. Komplikasi
1. Rasa nyeri karena sayatan pada kulit
Nyeri pasca operasi merupakan hal yang normal dan umum terjadi. Beberapa langkah
dapat diambil untuk meminimalisasi atau meredakannya, namun rasa nyeri pasca operasi dapat
memburuk ketika disertai dengan gejala lainnya, yang bisa jadi adalah komplikasi setelah
operasi yang butuh penanganan medis. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak yang menjalani
operasi juga merasakan nyeri yang sama, dan mereka biasanya akan mengekspresikan rasa
nyerinya dengan ucapan seperti sakit. Penyebab rasa nyeri biasanya datang pada penyayatan
pada kulit yang akan merangsang saraf untuk menghantarkan sinyal rasa nyeri ke otak. Seiring
tubuh yang mulai sembuh, rasa nyeri seharusnya berkurang dan akhirnya hilang sama sekali.
Lamanya nyeri pasca operasi dapat tergantung dari beberapa faktor seperti kondisi kesehatan
seseorang, adanya penyakit lain, dan juga kebiasaan merokok. Untuk mengatasi rasa nyeri pasca
operasi, dokter biasanya sudah meresepkan obat untuk meringankannya. Beberapa jenis obat
yang dapat menghilangkan rasa nyeri, antara lain, asetaminophen, nonsteroidal anti-
inflammatory medications (NSAID), seperti ibuprofen dan naproxen. Banyak orang yang tidak
mau mengonsumsi obat anti nyeri yang diresepkan oleh dokter dengan alasan takut ketagihan.
Sebenarnya ketagihan obat anti nyeri sangat jarang terjadi. Bahkan terkadang, tidak
menggunakan obat anti nyerilah yang berbahaya. Nyeri yang hebat terkadang membuat
seseorang susah mengambil napas dalam dan meningkatkan risiko pneumonia. Nyeri juga dapat
membuat seseorang sulit melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti berjalan, makan dan tidur.
Padahal gizi dan istirahat yang cukup sangat diperlukan dalam mempercepat proses kesembuhan
luka akibat operasi.
2. Efek samping obat bius yang bisa menyebabkan mual dan muntah
Apa yang terjadi jika para ahli di bidang kesehatan tidak menemukan obat bius?
Pastinya, kita akan mendengar jeritan kesakitan para pasien dari balik pintu ruang medis. Dalam
bidang kesehatan, pembiusan disebut dengan anestesi, yang berarti ‘tanpa sensasi’. Tujuan obat
bius adalah membuat mati rasa area tubuh tertentu atau bahkan membuat Anda tidak sadarkan
diri (tertidur). Dengan mengaplikasikan obat bius, dokter bisa leluasa melakukan tindakan medis
yang melibatkan peralatan tajam dan bagian tubuh tanpa menyakiti Anda. Obat bius mungkin
menimbulkan efek samping yang membuat Anda tidak nyaman seperti mual, muntah, gatal,
pusing, memar, sulit buang air kecil, merasa kedinginan dan menggigil. Biasanya efek-efek
tersebut tidak belangsung lama. Selain efek samping, komplikasi setelah operasi karena obat
bius ini mungkin saja bisa terjadi. Berikut beberapa hal buruk, meski jarang terjadi, yang
mungkin menimpa Anda:
Reaksi alergi terhadap obat bius.
Kerusakan saraf permanen.
- Pneumonia.
-Kebutaan.
-Meninggal.
Risiko terkena efek samping dan komplikasi bergantung pada jenis obat bius yang
digunakan, usia, kondisi kesehatan, dan bagaimana tubuh Anda merespons obat tersebut. Risiko
akan menjadi lebih tinggi jika Anda memiliki gaya hidup yang tidak sehat (merokok,
mengonsumsi alkohol dan narkoba), dan kelebihan berat badan. Untuk mencegah hal itu terjadi,
ada baiknya Anda mengikuti semua prosedur yang disarankan dokter sebelum menjalani
pembiusan seperti pola asupan. Dokter Anda mungkin akan meminta Anda berhenti makan di
atas jam 12 malam. Pengonsumsian obat-obat herbal atau vitamin sebaiknya dihentikan
setidaknya tujuh hari sebelum tindakan medis dilakukan.
3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel
terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal.
Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula
darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin
(resistensi insulin).
Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin
dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan
kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada
penderita Diabetes Melitus tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
DAFTAR PUSTAKA
Alfi, A.a. (2019). Konseling Gizi Menggunakan Media Aplikasi Nutri Diabetic Untuk
Meningkatkan Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Gamping I.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Bisono, L., Tantri, A. R., & Satoto, D. THE USE OF POPLITEAL AND FEMORAL
BLOCKS FOR PEDIS AMPUTATION IN PATIENT WITH CONGESTIVE HEART
FAILURE STAGE III.
dr. Ni Ketut Rai Purnami, Sp.PD, Ni Ketut Rai Purnami (2017) DIABETES MELITUS
TIPE 2.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.(2017).Chapter 2.
dr. Levina Felicia.(2020).Operasi Kaki Diabetik
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/251/2015
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN
NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
M Fahrulrozi · 2016. Diabetes melitus tipe 2. Sinus ac. id
Manis, Gendhis. (2020). Etiologi Diabetes Melitus Tipe-2( DMT2).
MARPAUNG, SRI HARVITA SARI.2016. PENERAPAN PENATALAKSANAAN PROSES
KEPERAWATAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS
LAPORAN KASUS II
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN GENERAL ANESTESI PADA
KASUS DIABETES MELLITUS TIPE 2
Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah
Asuhan Keperawatan Anestesi
Dosen Pengampu :
Astika Nur Rohmah, S. Kep, Ns. M. Biomed
Disusun Oleh:
1. Haikal Asa M 2011604086 8. Kurnia Dwi 2011604093
2. Devi Anggita 2011604087 9. Wulandari 2011604094
3. M. Rizqullah 2011604088 10. Nayla Ulfah 2011604095
4. Agya Dhia P 2011604089 11. Queina Rumaysa 2011604096
5. Ayu Astari 2011604090 12. Elsa Aulya P 2011604097
6. Siti Rahmawati 2011604091 13. Hajutri Prehatin 2011406098
7. Faradillah 2011604092 14. Desi Aprilianti 2011604099
15. Nurul Qalbi 2011604100
1. Pengumpulan data
a. Identitas
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien mengatakan takut dengan apa yang dialami sekarang
tentang penyakitnya, dan selalu memikirkan tentang penyakitnya.
4) Riwayat Kesehatan
- Adakah penyakit keturunan?Ada, pasien mempunyai riwayat DM dari ibu nya
- Sebelumnya pernah masuk Rumah Sakit? Jika iya, menderita penyakit apa?
Tidak pernah
- Bagaimana pengobatannya, tuntas atau tidak? Tidak pernah masuk rumah sakit
jadi tidak ada pengobatan
- Obat apa saja yang pernah digunakan? Tidak tertera pada kasus
- Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya? Tidak tertera pada kasus
- Kebiasaan-kebiasaan pasien (tidak ada)
- Riwayat alergi?Tidak ada.
- Saat Sakit
• Frekuensi : 1 x sehari
• Konsistensi : lembut dan padat
• Warna : kecoklatan tekstur lembut dan padat
• Bau : berbau normal
• Cara :-
• Keluhan : tidak ada keluhan
b) BAK
- Sebelum sakit
• Frekuensi : 4-8 kali sehari atau sebanyak 1-1,8 liter
• Konsistensi : normal
• Warna : kuning
• Bau : berbau seperti urin pada umunya (normal)
• Cara :-
• Keluhan : tidak ada keluhan
- Saat sakit :
• Frekuensi : 4-8 kali sehari atau sebanyak 1-1,8 liter
• Konsistensi : normal
• Warna : kuning pekat
• Bau : lebih kuat dibanding urin pada umumnya karna
pasien mengkonsumsi obat obatan pasca operasi
• Cara : bantuan alat cateter
• Keluhan : tidak ada keluhan
2. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis
GCS : Tidak terkaji
Penampilan : Tampak menahan nyeri
TTV : TTD : 110/80mmHg N : 101x/menit RR : 20x/menit T : 36,5
Pemeriksaan Mata
- Inspeksi :
a. Kelengkapan dan kesimetrisan mata ( - )
b. Ekssoftalmus (- ), Endofthalmus ( - )
c. Kelopak mata / palpebra : oedem ( - ), ptosis ( - ), peradangan ( - ) luka ( - ), benjolan ( -
)
d. Bulu mata : tidak
e. Konjunctiva dan sclera: (-)
f. Warna iris: ( -)
g. Reaksi pupil terhadap cahaya : (- )
h. Kornea: -
i. Nigtasmus ( - ), Strabismus ( - )
j. Pemeriksaan Visus
Dengan Snelen Card : OD (-) OS (-)
Tanpa Snelen Card : Ketajaman Penglihatan ( - )
Pemeriksaan lapang pandang : ( - )
- Palpasi
Pemeriksaan tekanan bola mata
Dengan tonometri ( - ), dengan palpasi Taraba ( - )
1. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi dan palpasi
a. Amati bagian telinga luar : bentuk normal, Ukuran normal, Warna normal lesi ( -
), nyeri tekan ( - ), peradangan (/-), penumpukan serumen ( - ).
b. Dengan otoskop periksa membran tympany amati, warna. transparansi
perdarahan ( - ), perforasi (- ).
c. Uji kemampuan kepekaan telinga :
Tes bisik normal
Dengan arloji tidak tertera di kasus
Uji weber : seimbang
Uji rinne : sama dibanding dengan hantaran udara
Uji swabach : sama
2. Pemeriksaan Mulut dan Faring
Inspeksi dan Palpasi
a. Amati bibir : Kelainan konginetal ( labioseisis, palatoseisis, atau labiopalatoseisis
), warna bibir tidak tertera di kasus lesi ( - ), Bibir pecah ( - ),
b. Amati gigi ,gusi, dan lidah : Caries ( - ), Kotoran ( - ), Gigi palsu ( -), Gingivitis
( -)
c. Lidah: Warna lidah: tidka terterah pada kasus. Perdarahan (/-), Abses ( - ).
d. Orofaring atau rongga mulut : Bau mulut :tidak tertera di kasus uvula ( simetris),
Benda asing : ( tidak )
e. Tonsil : Adakah pembesaran tonsil, T 0
f. Perhatikan suara klien : ( berubah karena pasien merintih kesakitan)
3. Pemeriksaan Leher
• Inspeksi dan palpasi amati dan rasakan:
a. Bentuk leher ( simetris ), peradangan ( - ), jaringan parut ( - ), perubahan warna (
- ), massa ( - )
b. Kelenjar tiroid, pembesaran ( - )
c. Vena jugularis: pembesaran ( - ), tekanan : -
d. Pembesaran kelenjar limfe ( - ), kelenjar tiroid ( - ), posisi trakea ( simetris )
4. Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
• Inspeksi
a. Ukuran payudara - , bentuk ( simetris ), pembengkakan ( - ).
b. Kulit payudara : warna - , lesi ( - ), Areola : perubahan warna ( - )
c. Putting : cairan yang keluar ( - ), ulkus ( - ), pembengkakan ( - )
• Palpasi
a. Nyri tekan ( - ), dan kekenyalan (- ), benjolan massa ( -)
5. Pemeriksaan Torak
a. Pemeriksaan Thorak dan Paru
• Inspeksi
- Bentuk torak ( Normal chest ), susunan ruas tulang belakang ( - ), bentuk
dada ( simetris ), keadaan kulit -
- Retrasksi otot bantu pernafasan : Retraksi intercosta ( - ), retraksi
suprasternal ( - ), Sternomastoid ( - ), pernafasan cuping hidung ( - ).
- Pola nafas : -
- Amati : cianosis ( - ), batuk ( - ).
• Palpasi
- Pemeriksaan taktil / vocal fremitus : getaran antara kanan dan kiri teraba (
sama ). Lebih bergetar sisi -
• Perkusi
- Area paru : ( - )
• Auskultasi
- Suara nafas
Area Vesikuler: ( bersih ), Area Bronchial: ( bersih )
Area Bronkovesikuler ( bersih )
- Suara Ucapan
Terdengar: Bronkophoni ( - ), Egophoni ( - ), Pectoriloqy ( - )
- Suara tambahan
Terdengar: Rales ( - ), Ronchi ( - ), Wheezing ( - ),
Pleural fricion rub ( - )
6. Pemeriksaan Abdomen
• Inspeksi
Bentuk abdomen : ( cembung )
Massa/Benjolan ( - ), Kesimetrisan ( - )
Bayangan pembuluh darah vena (-)
b. Auskultasi
Frekuensi peristaltic usus .......x/menit ( N = 5 – 35 x/menit, Borborygmi ( - )
c. Perkusi : -
Tympani :-
d. Palpasi
- Palpasi Hepar :
Nyeri tekan ( - ), pembesaran ( - ), perabaan ( lunak), permukaan (halus),
tepi hepar (-) . ( N = hepar tidak teraba).
- Palpasi Lien :
Pembesaran lien : ( - )
- Palpasi Appendik :
Titik Mc. Burney . nyeri tekan ( - ), nyeri lepas ( - ), nyeri menjalar
kontralateral ( - ).
Acites atau tidak : Shiffing Dullnes ( - ) Undulasi ( - )
- Palpasi Ginjal :
Nyeri tekan( - ), pembesaran ( - ). (N = ginjal tidak teraba).
7. Pemeriksaan Genetalia
1. Genetalia Pria
• Inspeksi :
Rambut pubis (bersih / tidak bersih ), lesi ( + / - ), benjolan ( + / - )
Lubang uretra : penyumbatan ( + / - ), Hipospadia ( + / - ), Epispadia (
+/-)
• Palpasi
Penis : nyeri tekan ( + / - ), benjolan ( + / - ), cairan ...............................
Scrotum dan testis : beniolan ( + / - ), nyeri tekan ( + / - ),
Kelainan-kelainan yang tampak pada scrotum :Hidrochele ( + / - ), Scrotal
Hernia ( + / - ), Spermatochele ( + / - ) Epididimal Mass/Nodularyti ( + / - )
Epididimitis ( + / - ), Torsi pada saluran sperma ( + / - ), Tumor testiscular (
+/-)
• Inspeksi dan palpasi Hernia :
Inguinal hernia ( + / - ), femoral hernia ( + / - ), pembengkakan ( + / - )
2.Pada Wanita
• Inspeksi
Kebersihan rambut pubis (bersih ), lesi ( - ),eritema ( - ), keputihan ( - ),
peradangan ( - ). Lubang uretra : stenosis /sumbatan (-)
14. Pemeriksaan Anus
• Inspeksi
Atresia ani ( - ), tumor ( - ), haemorroid ( - ), perdarahan ( - )
Perineum: jahitan (-), benjolan (-)
• Palpasi
Nyeri tekan pada daerah anus (-) pemeriksaan Rectal Toucher (-)
B. Data Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DO : Gangguan Kecemasan
• Pasien Perempuan (Ansietas) Berat.
• Pasien berusia 55 tahun
• Diagnosa Medis DM tipe 2
• GDS 400 mg/dl
• Pasien tampak gelisah dan tegang, tampak sedih dan
memikirkan ketika ditanyai mengenai penyakitnya.
• GDP : 115 mg/dl
• 2jpp : 217 mg/dl
• Pasien terlihat menahan nyeri dan merintih kesakitan,
terdapat luka sayatan.
• TD 110/80 mmHg, N : 101x/menit, RR 20x/menit, T :
36,5˚C.
DS :
• Pasien mengatakan takut dengan apa yang dialami
sekarang tentang penyakitnya, dan selalu memikirkan
tentang penyakitnya.
• Pasien mengatakan ada riwayat penyakit DM dari ibunya
dan sudah menderita DM selama 2 tahun.
• Pasien mengatakan tidak ada menentang makanan selama
sebelum dirawat.
• Pasien mengatakan belum mengetahui tentang diet DM.
• Pada post operasi pasien mengatakan lemah pada kaki
kiri.
• Pasien mengeluh nyeri pada bagian luka bekas operasi,
nyeri secara terus menerus, seperti teriris di bagian bawah
ekstermitas bawah, dengan skala 4.
DO : Nyeri Akut.
• Pasien Perempuan
• Pasien berusia 55 tahun
• Diagnosa Medis DM tipe 2
• GDS 400 mg/dl
• Pasien tampak gelisah dan tegang, tampak sedih dan
memikirkan ketika ditanyai mengenai penyakitnya.
• GDP : 115 mg/dl
• 2jpp : 217 mg/dl
• Pasien terlihat menahan nyeri dan merintih kesakitan,
terdapat luka sayatan.
• TD 110/80 mmHg, N : 101x/menit, RR 20x/menit, T :
36,5˚C.
DS :
• Pasien mengatakan takut dengan apa yang dialami
sekarang tentang penyakitnya, dan selalu memikirkan
tentang penyakitnya.
• Pasien mengatakan ada riwayat penyakit DM dari ibunya
dan sudah menderita DM selama 2 tahun.
• Pasien mengatakan tidak ada menentang makanan selama
sebelum dirawat.
• Pasien mengatakan belum mengetahui tentang diet DM.
• Pada post operasi pasien mengatakan lemah pada kaki
kiri.
• Pasien mengeluh nyeri pada bagian luka bekas operasi,
nyeri secara terus menerus, seperti teriris di bagian bawah
ekstermitas bawah, dengan skala 4.
DS :
• Pasien mengatakan takut dengan
Nyeri Akut
apa yang dialami sekarang tentang
penyakitnya
• Pasien selalu memikirkan tentang
penyakitnya
• Pasien mengatakan ada riwayat
penyakit DM dari ibunya
• Pasien juga mengatakan tidak
pernah mengontrolkan tentang
penyakitnya ke puskesmas atau ke
pengobatan lainnya.
• Pasien mengatakan tidak ada
memantang makanan selama
sebelum dirawat
• Pasien mengatakan belum
mengetahui tentang diet DM.
DO :
• Pasien bernama Ny. K
• Berusia 55 tahun
• Jenis kelamin perempuan.
• Di diagnosa Medis DM tipe 2.
• GDS 400 mg/dl
• Pada tubuh pasien terdapat luka
kecil pada ekstermitas bawah yang
tidak kunjung sembuh
• Pasien terlihat menahan nyeri dan
merintih kesakitan, Terdapat luka
sayatan
• Pemeriksaan terakhir menunjukkan
GDP: 115 mg/dl dan 2jpp : 217
mf/dl.
• Pemeriksaan TTV menunjukan TD
110/80 mmHg, N : 101x/menit, RR
20x/menit, T: 36,5 C.
•
DS:
PRIORITAS DIAGNOSA
Diagnosa Pre dan Post operasi
Ansietas
Nyeri akut