“ANESTESI SPINAL’’
Pembimbing :
Disusun Oleh :
REVILA AULIA
102119086
KEPANITERAAN KLINIK
RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah SWT
Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya. Tak lupa pula Salawat
beserta Salam kita panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari alam Jahiliah ke alam penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Sehingga
penulis dapat menyusun Paper dengan judul “Anestesi Spinal” sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi Kepaniteraan Klinik Dalam Program studi Kedokteran Universitas
Batam tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun. Semoga karya tulis ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan bermanfaat
bagi semua pihak yang membacanya.
Medan, 2020
(Revila Aulia)
BAB I
PENDAHULUAN
A.DEFINISI
B. ANATOMI
C. PATOFISIOLOGI
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat
aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut
akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat
lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada medula
spinalis.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan
absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal
dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal
dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran
darah ke sel saraf.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan
kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural.
Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis
yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai blokade sensorik dan
motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi pada akar saraf
memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan
untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade
transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat
somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen
motorik dan outflow otonom1.
a. Blokade somatic
b. Blokade otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade
dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa dideskripsikan
sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral. Serabut saraf
praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar dari spinal cord dari
T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas maupun ke bawah
sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial
tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan
kerja simpatis1.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal dengan
blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang berasal dari C3-
C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya ada
sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh hilangnya kontribusi otot
perut untuk ekspirasi paksa1.
1. Sistem kardiovaskular
2. Sistem pernafasan
b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau
depresi langsung pusat pengaturan nafas.
c. Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya
berpengaruh kecil pada volume tidal, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan
kapasitas vital akibat penurunan kontribusi otot abdomen dalam ekspirasi
paksa. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi
maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output
dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau ketidakseimbangan
perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien
dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi untuk
membantu pernafasan1.
3. Sistem pencernaan
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa
tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi,
gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal bicara tidak
jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma.
5. Imunologi
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai
tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak
terjadi hipotensi berat maka aliran darah ginjal serta urin output masih dalam
batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar akan
menurun mengikuti derajat dari hipotensi.
1. BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963 12. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat
sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia
selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal
bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan
dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain
dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam
dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan
lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya
yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih
kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih
panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg
akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang
ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan
pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8
jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik
dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan
untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah
175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB17.
a. Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara menginhibisi
perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan
kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus
otot skelet16. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Bila pasien mengalami syok hipovolemik, septikemia, infeksi pada beberapa organ,
atau koagulopati, suntikan epidural, kaudal atau subarachnoid harus dihindari. Kadar
bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat suntikan intravaskuler) dapat
menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang. Pencegahan terjadinya komplikasi
dengan cara mencegah overdosis (memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan),
hati-hati dalam memberikan penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang
benar, mengaspirasi terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose 10%
dari dosis total, mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan kontak verbal
dengan pasien, memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan darah, dan
frekwensi nadi. Tanda dan gejala prapemantauan dimanifestasikan sebagai rasa tebal
dari lidah dan rasa logam, gelisah, tinitus, dan tremor. Dukungan sirkulasi (cairan
intravena, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1 – 2 mEq / kg untuk mengobati
toksisitas jantung (blokade saluran natrium), bretilium IV 5 mg/kg,
kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan mengamankan saluran
pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %) merupakan hal yang penting.
Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02 – 0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1
mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan atau pengobatan kejang. Tingkat
blokade simpatik (bradikardia dengan blok diatas T5) menentukan tingkat hipotensi
(sering ditandai dengan mual dan muntah) setelah bupivakain spinal / subarakhnoid.
Hidrasi cairan (10-20 ml/kg larutan NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin)
dan pergeseran uterus ke kiri pada pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis
dan pengobatan. Memberikan sulfas atropin untuk mengobati bradikardi16.
2. KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek
sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian
secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-3μg/kg), transdermal
(0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian
klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi
(menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi
umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif
dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk
peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek
langsung pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan
ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala
withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek
samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering11.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah
terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-
dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada
pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
a.Manfaat klinis lain
Agonis alfa-adrenergik (klonidin dan dexmedetomidine) menghasilkan sedasi,
menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkatkan stabilitas hemodinamik
perioperatif ( kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi terhadap stimulasi bedah)
dan stabilitas simpatoadrenal. Sebagai tambahan, reseptor alfa2 didalam korda
spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan analgesia. Penggunaan klonidin
secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk memenuhi kebutuhan sedasi
postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah dibatasi karena waktu paruh yang panjang
mencapai 6-10 jam11.
b. Analgesia
Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga epidural atau
subarachnoid (150 sd 450 μg) menghasilkan analgesia yang dose-dependent, tidak
seperti opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-gatal, mual dan muntah,
atau perlambatan pengosongan lambung. Retensi urin, yang merupakan komplikasi
umum dari opioid epidural, jarang ditemukan ketika diberikan klonidin epidural
untuk analgesi post operatif. Klonidin menghasilkan analgesia diperkirakan melalui
mekanisme aktivasi reseptor alfa2 post sinaps di substansia gelatinosa dari korda
spinalis. Klonidin dan morfin, ketika digunakan secara bersamaan sebagai analgesia
neuroaxial, tidak menghasilkan toleransi silang. Hipotensi, sedasi, dan mulut kering
dapat terjadi pada penggunaan klonidin neuroaksial untuk menghasilkan analgesia.
Penambahan klonidin sebesar 1μ/kg terhadap lidokain yang digunakan untuk anestesi
regional intravena total akan meningkatkan analgesia post operatif. Penggunaan
klonidin regional intravena sebesar 1μ/kg terbukti efektif dalam mengurangi nyeri
yang difasilitasi oleh sistem saraf simpatis11.
c. Medikasi pre anestetik
Pemberian medikasi klonidin per oral (5μ/kg) dapat (a)menumpulkan refleks
takikardi yang berkaitan dengan laringoskopi direk untuk intubasi trakea, (b)
menurunkan ketidakstabilan tekanan darah dan frekuensi nadi, (c) menurunkan
konsentrasi katekolamin plasma, dan (d) menurunkan secara dramatis kebutuhan zat
anestetik inhalasi (MAC) dan obat yang diberikan intra11.
Dosis klonidin yang sama dapat meningkatkan analgesia post operatif yang
dihasilkan oleh morfin dan tetrakain intratekal tanpa meningkatkanintensitas efek
samping dari morfin. Aktivasi sistem saraf simpatis yang dihasilkan oleh pemberian
desfluran dan ketamin dapat ditumpulkan oleh klonidin. Sebagai contoh, premedikasi
klonidin oral 5μ/kg yang diberikan 90 menit sebelum induksi anestesi akan
menstabilkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi yang secara normal
mengikuti pemberian ketamin 1m/kg i.v. Itu telah diobservasi bahwa medikasi
konidin oral sebelum anestesi meningkatkan respons tekanan efedrin i.v11.
Respon peningkatan ini penting pada pemberian dosis efedrin untuk
mengatasi hipotensi yang berkaitan dengan pemberian klonidin selama periode
perioperatif. Fakta bahwa efek yang paling jelas dari klonidin terlihat pada penurunan
aktivitas sistem saraf simpatis mendahului kemungkinan peningkatan respon
kardiovaskular terhadap hipotensi. Namun, didapatkan bukti bahwa konsentrasi
katekolamin plasma dapat meningkat sebagai respon terhadap hipotensi meskipun
sudah diberikan klonidin sebelumnya11.
3. EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara
alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH
pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara langsung”
pada sel efektor1.
a. Farmakodinamik
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α2 19. Efek pada
α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada α1
dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1 berupa
takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek
peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan
NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian
efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang
makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang
menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya.21 Hanya I-efedrin dan
efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya
tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan
darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner,
otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah
pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin karena
efek efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga respon
peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin berupa
peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR. Efedrin bolus
5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan peningkatan TD
yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi dari peningkatan
SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi vasokontriksi pada
vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain melalui reseptor α2. Melalui
reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot jantung21.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi
karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan inhalasi.
Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50 mg IM.
Pemberian efedrin sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara bermakna.
Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik berupa
peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar akibat
epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot uterus, dan
pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga dapat dipakai
untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi
berlangsung lebih lama dibandingkan dengan epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek cahaya,
daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus dikurangi
oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin kurang efektif
dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan Epinefrin. Efek sentral
efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah. Vasopresor yang ideal
sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
Tidak menstimulasi saraf pusat
Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan20.
b. Farmakokinetik
Efedrin yang merupakan golongan nonkatekolamin, digunakan dalam klinik
umumnya efektif pada pemberian oral karena efedrin resisten terhadap COMT dan
MAO yang banyak terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal20.
c. Efek Samping, Toksisitas dan Kontraindikasi
Efek samping penggunaan efedrin serupa dengan efek samping pada
penggunaan epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Pemberian efedrin dapat
menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala
berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernafas dan palpitasi21.
Dosis efedrin yang besar dapat menimbulkan perdarahan otak karena
kenaikan tekanan darah yang hebat. Efedrin juga dapat menyebabkan terjadinya
aritmia yang bersifar fatal pada penderita penyakit jantung organik. Insomnia, yang
sering terjadi pada pengobatan kronik, mudah diatasi dengan pemberian sedatif20.
Efedrin dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-blocker
nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α pembuluh darah
dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak20.
4. EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-
neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan
stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan
jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan meningkatkan curah
jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai respon
terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara
intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan
oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga disekresi oleh
medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan
dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter utama yang
bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine merupakan vasopressor
kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan
stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk garam
bitartat22.
Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek
adrenalin, adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung,
meningkatkan metabolisme otot jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan
sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia
ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu
menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,
vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor
β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek adrenalin/noradrenalin
pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung oleh karena aktivitas otot
jantung dan menurunkan tekanan diastole dengan peningkatan tahanan perifer. Efek
kedua hormon ini terhadap kerja otot jantung dapat dihambat dengan agent pemblok
reseptor β seperti propranolol22.
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid, dapat
menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang kedua yaitu
dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan dalam dua jenis
kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan kompartemen dalam
(endoneurium dan serabut-serabut saraf)22.
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi spinal
sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok yang
mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.
5. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika23.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat.
Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping
tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan kedalaman
anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan opioid lipofilik
dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga insidensi depresi
pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan dimulainya blok terhadap
sensorik pada T6.25
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada anastesi
spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan
tekanan darah sistolik dapat menurun juga25.
F. INDIKASI
G. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan
tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.
Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital
stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi,
yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan
risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan
intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi14.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal14.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan
anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya semua
faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini
penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada
anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.
Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebra
lumbalis. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang belakang adalah L4 atau L4-5. tentukan tempat tusukan, misalnya pada L2-3,
L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medula
spinalis.1,3,4
Cabut stilet, lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikan obat
anestetik local yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subarachnoid. Kadang-kadang
untuk memperlama kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.4
1. Posisi Pasien
a. Posisi Duduk
Midline anatomi lebih mudah dinilai ketika pasien posisi duduk dari
pada ketika pasien posisi lateral dekubitus. Perbedaan ini lebih jelas pada
pasien yang sangat gemuk / obese. Pasien duduk dengan siku diletakkan
diatas paha atau tepi meja operasi atau dengan memeluk bantal. Fleksi dari
spinal (tulang belakang membusur maksimal) menjadikan area target yang
berdekatan dengan prosesus spinosus dan spinal mendekat ke permukaan
kulit.
Gambar 3. Posisi duduk untuk blok
c. Posisi Prone
Posisi ini mungkin digunakan untuk prosedur anorektal pada larutan
obat anestesi hipobarik, lebih jauh blok ini dilaksanakan pada posisi yang
sama seperti prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien tidak harus bergerak
mengikuti blok. Ketika liquor cerebrospinal (LCS) tidak menetes melalui
jarum, penempatan ujung jarum pada subarakhnoid perlu dikonfirmasi dengan
aspirasi LCS.
I. PENDEKATAN ANATOMIS
1. Pendekatan Median
Tulang belakang teraba dan posisi tubuh pasien diperiksa untuk
memastikan bahwa tulang belakang tegak lurus dengan bidang datar. Tekanan
antara prosesus spinosus vertebra atas dan bawah pada level yang akan di
digunakan diraba, menentukan tempat jarum akan disuntikkan. Setelah
persiapan dan dilakukan anestesi lokal, masukkan jarum pada median/midline.
Prosesus spinosus dari tulang belakang ke kulit mengarah kebawah, untuk itu
jarum yang akan dimasukkan mengarah sedikit ke sefal. Pada jaringan
subkutan terasa ada sedikit tahanan pada jarum. Saat jarum masuk lebih
dalam, melalui ligamentum supraspinosum dan interspinosum akan terasa
meningkatnya kerapatan jaringan.
Jika jarum menyentuh tulang pada saat masih dangkal, mungkin jarum
membentur prosesus spinosus bagian bawah. Jika jarum membentur tulang
setelah jarum masuk dalam, biasanya jarum yang di midline membentur
prosesus spinosus bagian atas, atau posisi jarum disebelah lateral midline dan
membentur lamina. Pada kasus yang lain, jarum bengkok arah jarum belok.
Saat jarum menembus ligamentum flavum, biasanya tahanan akan meningkat
secara nyata.
2. Pendekatan Paramedian
Teknik paramedian dipilih bila blok epidural atau spinal sulit
dilakukan, terutama pada pasien yang tidak bisa diposisikan dengan mudah,
misalnya pada pasien dengan artritis berat, kiposkoliosis atau pernah
menjalain operasi tulang belakang sebelumnya.
A. Jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti
ujung bambu runcing (jenis Quincke – Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
b. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin
bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif
terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat retensi urin yang
lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius.
2. Lokasi penyuntikkan
a. Nyeri punggung
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu
repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat
berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal
dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
c. Hematoma spinal
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun
faktor yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian
antikoagulan atau penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah,
penyuntikkan anestesi spinal berulang kali. Perdarahan pada ruang
subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia dan
kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan
tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
3. Toksisitas obat
a. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai
bawah. Gejala umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan
kembali menjadi normal. Ini terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi
setelah beberapa hari. Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun secara
teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin
dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan
anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada
serabut akar saraf lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih
mudah mendapatkan efek toksik dari anestetik lokal. Pecegahan berupa
pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
Anestesi spinal merupakan tindakan anestesi memasukan obat anestesi local ke dalam
LCS, yang disuntikan dalam ruang subarachnoid pada daerah lumbal.
1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-
787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade.
In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages
203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan
bupivakain pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah
berkala X-IDSAI. Bandung; 520-521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC.
Jakarta. 1994. Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and
Analgesia. Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI.
Jakarta. 2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 3. Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati
E, Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia.
Forth Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages
449-465.
11. Aziz, AA. Perbandingan antara Klonidin 2ug/kgbb dan 4ug/kgbb Per Oral
terhadap Level Sedasi, Pemanjangan Blokade Sensorik dan Motorik pada Anestesi
Spinal dengan Bupivakain 5 % Isobarik untuk Operasi Abdomen Bawah. Tesis.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2010.
12. Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006.
Pages 266-267.
13. Muhiman, M, Thaib,R,dkk. Anestesi Regional dalam Buku Anestesiologi. FKUI.
Jakarta. 2004.
14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2009. Available
in Website : www.nysora.com.
15. Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache.
Anaesthesia Tutorial of The Week 181. 2010. Available at website :
http://www.totw.anaesthesiologists.org
16. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol
35:1-10.
17. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia.
Philadelphia. WB Saunders company. 1996. Pages 188-197.
18. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on
Sensory and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments
for Turp. Anesthesiology : 43-6
19. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK. Hyperbaric or Plain Bupivacaine Combined
with Fentanyl for Spinal Anesthesia During Caesarean Delivery. Indian Journal of
Anesthesiology. Vol 48 : 44-6
20. Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FKUI. Jakarta. 2005. Pages 67-71.
21. Kusumawardhani, RR. Perbandingan Dosis Efedrin 0,1 mg/kgbb dengan 0,2
mg/kgbb untuk Mencegah Hipotensi Akibat Spinal Anestesi. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2009.
22. Lamanepa, Maria EL. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi
Aterosklerosis pada Tikus Wistar yang Diberi Diet Perasan Pare dengan Diet
Perasan Pera dan Statin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro.
Semarang. 2005.
23. Anonymous. Obat Analgetik Antipiretik. 2006. Available at website :
http://www.medicastore.com
24. Harsoor, Vikram. Spinal Anaesthesia with Low Dose Bupivacaine with Fentanyl
for Caesarean Section. SAARC Journal of Anaethesia. Vol 12 : 142-145. 2008.
Available at website : http://www.saarcaa.com
25. Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and
Bupivacaine in Spinal Anaesthesia for Cesarean Section. BioMed Central Journal.
Vol 5. 2005. Available at website : http://www.biomedcentral.com\