Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik
dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarachnoid dengan tujuan mendapatkan analgesia setinggi
dermatom tertentu sesuai yang diinginkan. Teknik ini pertama kali dilakukan oleh
seorang ahli bedah asal Jerman yaitu dr. August Bier pada tahun 1887 dengan
menggunakan jarum spinal untuk memasukkan kokain ke dalam ruang
subarachnoid.

Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi yang aman, ekonomis
dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari.
Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama
untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah
kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal
pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap
sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan
post operatif dan analgesia yang minimal.

Anestesi spinal merupakan salah satu teknik analgesia regional yang paling
tua dan paling sering dilakukan. Teknik ini menghasilkan blokade yang paling
efisien, karena anestetik lokal dalam volume kecil yang diinjeksikan ke dalam
ruang subaraknoid sudah dapat menyebabkan blokade yang kuat dan luas pada
saraf spinal, oleh karena itu toksisitas sistemik tidak pernah terjadi. Komplikasi
yang dapat terjadi pada anestesi spinal yaitu hipotensi, lumpuhnya pernapasan
pada blokade spinal tinggi, dan sakit kepala pascapungsi spinal.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Anestesi spinal (subarachnoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal/subarachnoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang sub araknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah L2 dan di atas vertebra
sakralis. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan
insersi.

II.2. INDIKASI

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk


tindakan-tindakan :

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan

2
II.3. KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontra indikasi absolut :

1. Infeksi pada tempat suntikan. Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
2. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare.
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
3. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
4. Tekanan intrakranial meningkat. Dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis.
5. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim. Pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi, dan lain-lain, maka
harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
6. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
7. Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


1. Infeksi sistemik. Jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan
penyebaran infeksi.
2. Infeksi sekitar tempat suntikan. Bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
3. Kelainan neurologis. Perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
4. Kelainan psikis.

3
5. Pembedahan yang lama. Masa kerja obat anestesi local adalah kurang
lebih 90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
6. Penyakit jantung. Perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah
jantung akibat efek obat anestesi lokal.
7. Hipovolemia ringan. Sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
8. Nyeri punggung kronik. Kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

II.4. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana


dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah :3,4,5

 Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan


ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
 Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan

4
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.

II.5. PERALATAN ANESTESI SPINAL

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

Gambar 1. Jenis jarum spinal

5
II.6. OBAT OBAT PADA ANESTESI SPINAL

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi


local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
local bersifat reversible. Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat
iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat
harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini
juga harus larut dalam air. Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local
yaitu golongan amid dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja
yang sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi local ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya
adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak
terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri. 6 Berat
jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan
berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.6 Berikut adalah beberapa contoh sediaan
yang terdapat di Indonesia dan umum digunakan.

 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,


dosis 20-50mg(1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
 Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).

6
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system
saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut
dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis
tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup
banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka
sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.4,6,7

7
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal


dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh
mekanisme kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi
local dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa
kerja obat menjadi lebih lama.5,6,8
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal
ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.9,10
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.10

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan


anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Dosis obat untuk anestesi spinal

8
II.7. TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -


1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 12% 2-
3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan

9
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.

Gambar 2. Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

10
Gambar 3. Posisi duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

11
Gambar 4. Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.

12
Gambar 5. Lokasi Dermatom sensoris

II.8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :

1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

13
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat).
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

II.9. KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi yang harus diperhatikan pada anestesi spinal,
seperti :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus
diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan
obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah
dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama
dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan
hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,

14
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse
cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat
terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/81/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi
yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial
dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang
paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi
penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung,
yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti
nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada
saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya
dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting
dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan
positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali
ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel

15
yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan
pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup baik pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
 Apneu dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling ringan adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal
ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah
regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi
permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu
atau bulan. Ini ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit
motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologik yang paling
serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa
minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang
progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges
dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark

16
korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural
atau suntikan anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap
mungkin terjadi.
5. Komplikasi Gastroinstestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi
pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai
terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
ondansetron atau diberikan ranitidine.
6. Nyeri Kepala (Post Dural Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah
nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau
tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini
tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.
Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri
kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada
wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal.
Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan
menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal
adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau
hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48

17
jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara
cairan oral atau intravena), dan analgesik. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan
epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak
efektif, mungkin diperlukan terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
7. Kompliaksi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang
fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya
berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.

18
BAB III

RANGKUMAN

Anestesi spinal (subarachnoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan seperti
bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum perineum,
bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah
abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anestesi
umum ringan.

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut seperti infeksi
pada tempat suntikan, hipovolemia berat, koagulapatia, tekanan intrakranial
meningkat, fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim, kurang pengalaman
tanpa didampingi konsulen anestesi, dan pasien menolak. Kontraindikasi relatif
seperti infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, pembedahan yang lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan,
dan nyeri punggung kronik.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah


persiapan pasien dan periapan alat-alat anestesi spinal. Persiapan pasien seperti
Informed consent, Pemeriksaan fisik, dan Pemeriksaan laboratorium. Persiapan
alat-alat seperti monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, dan
EKG, peralatan resusitasi, jarum spinal, bahan antiseptic, kapas/ kasa steril dan
plester, obat-obatan anestetik lokal, spuit 3 ml dan 5 ml, dan infus set.

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi


local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
local bersifat reversible. Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat

19
iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat
harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama.

Teknik dari anestesi spinal secara garis besar sama, hanya saja posisi pasien
saat dilakukan anestesi yang berbeda. Posisi duduk atau posisi tidur lateral
dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi anestesi spinal yaitu Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa
factor. Diantaranya adalah volume obat analgetik lokal, konsentrasi obat,
barbotase, kecepatan penyuntikan, maneuver valsava, lokasi pungsi, berat jenis
larutan, tekanan abdominal yang meningkat, tinggi pasien, dan waktu
penyuntikan.

Terdapat beberapa komplikasi yang harus diperhatikan pada anestesi spinal,


seperti komplikasi kardiovaskular, blok tinggi atau total, komplikasi respirasi,
komplikasi neurologik, komplikasi traktus urinarius, komplikasi gastroinstestinal,
dan post dural puncture headache.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Hermawan, Andi. 2014. Hemorhoidectomy Under Spinal Saddle Block


Anesthesia. Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi
Intensif. Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr Moewardi. Surakarta.
2. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
3. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug,
5, 2013] Available at
http://emedicine.medscape.com/article/2000841overview.
4. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123-8
5. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet]
Subarachnoidal Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-
perineuraxialtechniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-
anesthesia.html
6. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 259-72
7. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and
Caudal Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill
Publishing.
8. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal
block anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm.
9. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last
Update on July 4 2011]

21
Availableat.http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/uploads/2011/07/230
-Neuraxial-adjuvants.pd
10. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2,
161–70.

22

Anda mungkin juga menyukai