PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik
dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarachnoid dengan tujuan mendapatkan analgesia setinggi
dermatom tertentu sesuai yang diinginkan. Teknik ini pertama kali dilakukan oleh
seorang ahli bedah asal Jerman yaitu dr. August Bier pada tahun 1887 dengan
menggunakan jarum spinal untuk memasukkan kokain ke dalam ruang
subarachnoid.
Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi yang aman, ekonomis
dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari.
Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama
untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah
kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal
pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap
sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan
post operatif dan analgesia yang minimal.
Anestesi spinal merupakan salah satu teknik analgesia regional yang paling
tua dan paling sering dilakukan. Teknik ini menghasilkan blokade yang paling
efisien, karena anestetik lokal dalam volume kecil yang diinjeksikan ke dalam
ruang subaraknoid sudah dapat menyebabkan blokade yang kuat dan luas pada
saraf spinal, oleh karena itu toksisitas sistemik tidak pernah terjadi. Komplikasi
yang dapat terjadi pada anestesi spinal yaitu hipotensi, lumpuhnya pernapasan
pada blokade spinal tinggi, dan sakit kepala pascapungsi spinal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
II.2. INDIKASI
2
II.3. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
1. Infeksi pada tempat suntikan. Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
2. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare.
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
3. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
4. Tekanan intrakranial meningkat. Dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis.
5. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim. Pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi, dan lain-lain, maka
harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
6. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
7. Pasien menolak.
3
5. Pembedahan yang lama. Masa kerja obat anestesi local adalah kurang
lebih 90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
6. Penyakit jantung. Perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah
jantung akibat efek obat anestesi lokal.
7. Hipovolemia ringan. Sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
8. Nyeri punggung kronik. Kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.
4
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.
5
II.6. OBAT OBAT PADA ANESTESI SPINAL
6
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system
saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut
dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis
tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup
banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka
sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.4,6,7
7
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
8
II.7. TEKNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.
9
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.
10
Gambar 3. Posisi duduk pada Spinal Anestesi
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
11
Gambar 4. Tusukan Medial dan Paramedial
12
Gambar 5. Lokasi Dermatom sensoris
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
13
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat).
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.
II.9. KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi yang harus diperhatikan pada anestesi spinal,
seperti :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus
diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan
obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah
dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama
dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan
hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
14
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse
cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat
terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/81/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi
yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial
dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang
paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi
penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung,
yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti
nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada
saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya
dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting
dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan
positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali
ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel
15
yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan
pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup baik pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
Apneu dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling ringan adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal
ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah
regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi
permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu
atau bulan. Ini ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit
motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologik yang paling
serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa
minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang
progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges
dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark
16
korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural
atau suntikan anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap
mungkin terjadi.
5. Komplikasi Gastroinstestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi
pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai
terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
ondansetron atau diberikan ranitidine.
6. Nyeri Kepala (Post Dural Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah
nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau
tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini
tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.
Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri
kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada
wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal.
Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan
menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal
adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau
hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48
17
jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara
cairan oral atau intravena), dan analgesik. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan
epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak
efektif, mungkin diperlukan terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
7. Kompliaksi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang
fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya
berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
18
BAB III
RANGKUMAN
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut seperti infeksi
pada tempat suntikan, hipovolemia berat, koagulapatia, tekanan intrakranial
meningkat, fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim, kurang pengalaman
tanpa didampingi konsulen anestesi, dan pasien menolak. Kontraindikasi relatif
seperti infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, pembedahan yang lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan,
dan nyeri punggung kronik.
19
iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat
harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama.
Teknik dari anestesi spinal secara garis besar sama, hanya saja posisi pasien
saat dilakukan anestesi yang berbeda. Posisi duduk atau posisi tidur lateral
dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi anestesi spinal yaitu Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa
factor. Diantaranya adalah volume obat analgetik lokal, konsentrasi obat,
barbotase, kecepatan penyuntikan, maneuver valsava, lokasi pungsi, berat jenis
larutan, tekanan abdominal yang meningkat, tinggi pasien, dan waktu
penyuntikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
Availableat.http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/uploads/2011/07/230
-Neuraxial-adjuvants.pd
10. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2,
161–70.
22